Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Kamis, 28 Februari 2013

VARIASI KALIMAT BERDASARKAN URUTAN DAN VARIASI AKTIF-PASIF

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keefektifan kalimat, selain dilihat dari ciri gramatikal, keselarasan, kepaduan, dan kehematan juga dilihat dari kevariasiannya. Kevariasiannya secara tidak langsung berdampak pada kesalahan, tetapi lebih berdampak pada ketepatan, gaya atau keindahan. Kevariasian dapat menghindarkan seorang pembaca atau pendengar dari kebosanan. Artinya seseorang dalam berkomunikasi dituntut memilih kata, klausa, kalimat, bahkan paragraf yang bervariasi.
Soedjito (1988) membedakan variasi berdasarkan urutan kalimat dan jenis kalimat. Yang dimaksud dengan variasi urutan adalah urutan unsur-unsur fungsi yang berbeda. Berbeda urutan yang dimaksud adalah urutan biasa dan urutan inversi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan.
1. Apa yang dimaksud dengan kalimat bervariasi berdasarkan urutan?
2. Apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam menyusun variaasi berdasarkan urutan?
3. Bagaimana menganalisis kaliamat berdasarkan variasi aktif-pasif?

C. Tujuan
Berdaasarkan rumusan masalah di atas, memiliki beberapa tujuan.
1. Mendeskripsikan kalimat bervariasi berdasarkan urutan!
2. Mendeskripsikan apa saja yang perlu diperhatikan dalam menyusun variaasi berdasarkan urutan!
3. Menganalisis kaliamat berdasarkan variasi aktif-pasif!

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
1. Mengetahui maksud kalimat bervariasi berdasarkan urutan.
2. Mengetahui dalam menyusun variaasi berdasarkan urutan.
3. Mengetahui dalam menganalisis kaliamat berdasarkan variasi aktif-pasif.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kalimat Bervariasi Urutan
Secara umum kebanyakan kalimat dalam bahasa Indonesia berurutan Subjek-Predikat (S-P). Jika ada objek dan keterangan (S-P-O-K). Dengan urutan seperti itu, berarti S terdapat pada awal kalimat, P di belakangnya.
Untuk menhindari kebosanan atau kejenuhan pembaca atau pendengar, pembicara atau penulis yang baik menggunakan urutan yang berbeda dengan urutan S-P-O-K. Urutan yang dipilih diantaranya adalah urutan kalimat yang dimulai dengan menempatkan P atau K pada awal kalimat.
Contohnya:
(1) Pemuda itu bekerja dengan tekun.
S P
(1a) Bekerja dengan tekun pemuda itu.
P S
Kalimat (1) adalah kalimat yang tersusun biasa, yakni S-P. Kalimat (1a) adalah kalimat yang tersusun inversi, yakni P-S. Kalimat yang berstruktur biasa objek kalimat berada pada paling awal. Karena dalam bahasa indonesia lazimnya subjek terdapat pada awal kalimat, tidak terasa adanya penonjolan pada komponen subje. Hal ini berbeda jika yang terdapat pada awal kalimat komponen selain subjek, misalnya kalimat (1a). Komponen yang terdapat pada awal kalimat (1a) terasa lebih menonjol dibandingkan dengan komponen lainnya. Pada kalimat (1a) predikat bekerja dengan tekun terasa lebih ditonjolkan dibandingkan dengan S.
B. Penyusunan Variasi Berdasarkan Urutan
Untuk menghasilkan variasi urutan yang baik ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.
1. Keterangan kalimat yang letaknya bebas dapat dipertukarkan tempatnya.
Keterangan ini bisa ditempatkan di awal, di tengah, atau pada akhir kalimat. Keterangan kalimat adalah komponen kalimat yang biasa diidentifikasi cara mengenai kategorinya. Kategori frase preposisional pada umunya menempatkan fungsi keterangan. Walaupun tidak dapat dipastikan.


Contoh:
1. Ujian skripsi mahasiswa itu berlangsung kemarin.
S P Kw
2. Adiknya membantu ibu di toko tadi pagi.
S P O Kt Kw
Pada kalimat (1) dan (2) mendapat keterangan kalimat. Pada kalimat (1) mendapat keterangan waktu kemarin. Keterangan itu bisa ditempatkan di depan S seperti pada kalimat (1a) atau di belakang S sebagaimana tempat pada kalimat (1b).
(1a) Kemarin ujian skripsi mahasiswa itu berlangsung.
Kw S P
(1b) Ujian skripsi mahasiswa itu kemarin berlangsung.
S K P
Keterangan yang terdapat pada kalimat (2) adalah keterangan tempat (Kt). Antara dua keterangan itu letaknya bisa dipertukarkan. Perhatikan kalimat (2a) dan (2b).
(2a) Tadi pagi adiknya membantu ibu di toko.
Kw S P O Kt
(2b) Di toko adiknya membantu ibu tadi pagi.
Kw S P O Kt
2. Objek sebagai bagian dari predikat tidak dapat dipisahkan
Objek dengan predikat memiliki ikatan yang sangat erat. Oleh karena itu, antara keduanya tidak dapat dipisahkan atau dipindahkan tempatnya. Pemindahan objek harus selalu diikuti dengan pemindahan predikat. Artinya, jika objek akan dipindahkan bagian awal kalimat, tetap harus dibelakang predikat.
Contoh pada kalimat berikut.
(1) Adiknya membantu ibu di toko tadi pagi.
S P O Kt Kw
(1a) Adiknya ibu membantu di toko tadi pagi.
S O P Kt Kw
(1b) Adiknya membantu di toko ibu tadi pagi.
S P Kt O Kw
(1c) Adiknya membantu di toko tadi pagi ibu?
S P Kt Kw O
3. Predikat yang berupa verba pasif pelaku orang I dan II pokok kata kerja tidak dapat dipisahkan.
Predikat yang berupa verba pasif pelaku orang 1 dan II dan pokok kata kerja tidak dapat dipisahkan sebab keduanya merupakan paduan unsur yang sangat kuat.
Perhatikan kalimat berikur.
(1) Baju yang bagus itu kami sudah beli untuk ayah.
(1a) Baju yang bagus itu sudah kami beli untuk ayah.
(2) Bunga yang indah-indah itu saya sebaiknya bawa ke rumah temanku.
(2a) Bunga yang indah-indah itu sebaiknya saya bawa ke rumah temanku.
4. Predikat yang berupa kata kerja rangkap dapat divariasikan dengan diinversikan (dibalik susunannya) atau diprolepsisikan (digeser posisinya).
Diinversikan artinya dibalik strukturnya dari SP menjadi PS, sedangkan diprolepsikan berarti digeser ke depan. Predikat yang berupa kata kerja rangkap artinya predikat yang terdiri atas dua kata, misalnya dapat membaca, pandai berbicara, terampil bekerja.
Contohnya pada kalimat.
(1) Joko dapat membaca puisi.
S P O
Kalimat (1) dapat divariasi menjadi kalimat (1a) dan (1b). Variasi (1a) dilakukan dengan cara menginversikan kalimat (1), sedangkan variasi (1b) dilaksanakan dengan cara menginversikan dan memprolepsiskan kalimat (1). Adapau variaasi (1c) terjadi karena prolepsis.
(1a) Dapat membaca puisi Joko
P O S
(1b) membaca puisi Joko dapat
P O S Modalitas
(1c) Joko membaca puisi dapat
S P P Modalitas
5. Keterangan subjek tidak dipisahkan dengan subjeknya sebagai induknya
Keterangan subjek (S) adalah keterangan yang menerangkan fungsi subjek. Keterangan ini letaknya harus di belakang subjek; tidak bisa dipindahkan ke depan subjek (S) atau ke belakang predikat (P).


Contoh:
1. Mahasiswi yang berjilbab hijau itu sedang membaca novel di taman.
S Ket. S P O K. T
Kalimat di atas tidak dapat divariasikan dengan cara memidahkan Ket. S ke bagian akhir kalimat (1a) atau pun ke depan subjek (1b).
(1a) Mahasiswi sedang membaca novel di taman yang berjilbab hijau itu.
(1b) Yang berjilbab hijau itu mahasiswi sedang membaca novel di taman
6. Keterangan objek tidak dapat dipisahkan dengan objeknya
Objek (O) adalah salah satu fungsi yang terdapat pada kalimat aktif transitif yang letaknya yang letaknya di belakang verba aktif transitif. Verba aktif transitif adalah verba yang berimbuhan meN-. Keterangan O adalah bagian kalimat yang menjelaskan atau menerangkan unsur O. Keterangan O terletak di belakang O dan tidak boleh dipindahkan tempatnya, baik ke depan O, P, maupun ke depan S.
Contoh:
Polisi sedang menolong orang- orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas.
S P O Ket. O
Kalimat di atas tidak dapat divariasikan dengan cara memidahkan Ket. O ke depan O, P, maupun ke depan S.
Polisi sedang menolong yang mengalami kecelakaan lalu lintas orang- orang.
Polisi yang mengalami kecelakaan lalu lintas sedang menolong orang- orang.
Yang mengalami kecelakaan lulu lintas polisi sedang menolong orang- orang.
C. Kalimat Berdasarkan Aktif-pasif
Kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya diisi oleh verba aktif. Verba aktif adalah verba yang berimbuhan MeN- yang bisa diikuti oleh objek (O) atau tidak. Objek adalah nomina yang mengikuti verba aktif transitif. Kalimat pasif adalah kalimat yang predikatnya diisi oleh verba pasif. Verba pasif adalah verba yang secara morfologis ditandai adalah kalimat yang predikatnya diisi oleh verba pasif. Verba pasif adalah verba yang secara morfologis ditandai denagn penggunaan afiks di-, ter-, atau pelaku orang I/II + pokok kata kerja, misalnya dibawa, dibeli, tertangkap, terjatuh.
Variasi aktif-pasif adalah variasi yang terjadi dalam pemakaian bahasa (bisa berupa kalimat atau wacana) yang didalamnya terdapat kalimta yang berwujud kalimat aktif dan kalimat yang berwujud kalaimat pasif.

Contoh:
Ringkasnya, tembang adalah sebuah genre penting dalam puitika Jawa klasik. Berbagai tembang yang ditulis oleh pujangga keratonpada abad ke- 19 (terutama Kasunanan dan Mangkunegaran, Surakarta) merupakan sarana untuk mengungkapkan, mengajarkan, dan mengukuhkan filsafat hidup Jawa. Tentu saja tidak semua berisi filsafat hidup ynag berat: ada juga tembang yang digubah dengan menitikberatkan nilai-nilai hiburan. Tembang yang berta banyak menggunakan kosakata Kawi dan aliterasi, sehingga makananya tidak selalu mudah untuk dipahami. Setiap jenis tembang memiliki jenis metrumnya sendiri, sebagai pedoman mengubah dan melagukan tembang tersebut (Hoed, dalam Markhamah, 2008: 80)
Wacana di atas terdiri atas lima kalimat. Kalimat-kalimat yang dimaksud adalah kalimat (1) – (5).
(1) Ringkasnya, tembang adalah sebuah genre penting dalam puitika Jawa klasik.
(2) Berbagai tembang yang ditulis oleh pujangga keraton pada abad ke- 19 (terutama Kasunanan dan Mangkunegaran, Surakarta) merupakan sarana untuk mengungkapkan, mengajarkan, dan mengukuhkan filsafat hidup Jawa.
(3) Tentu saja tidak semua berisi filsafat hidup yang berat: ada juga tembang yang digubah dengan menitikberatkan nilai-nilai hiburan.
(4) Tembang yang berta banyak menggunakan kosakata Kawi dan aliterasi, sehingga makananya tidak selalu mudah untuk dipahami.
(5) Setiap jenis tembang memiliki jenis metrumnya sendiri, sebagai pedoman mengubah dan melagukan tembang tersebut.
Pada wacana di atas terdapat variasi aktif-pasif. Hal ini dapat dilihat pada kaliamt (1) – (5) yang sebagian besar diisi oleh kalimat aktif. Kalimat (2), kalimat intinya kalimat nomina, namun di dalamnya terdapat klausa-klausa pengisi objek yang berupa klausa aktif, yakni sarana untuk mengungkapkan, mengajarkan dan mengukuhkan filsafat hidup Jawa.
Kalimat yang di dalamnya terdapat klausa pasif adalah kalimat (3). Klausa pasifnya adalah ada juga tembang yang digubah denagn menitikberatkan nilai-nilai hiburan.
Kalimat (4) terdiri atas dua klausa pertama Tembang yang banyak menggunakan kosakata Kawi dan aliterasi, dan klausa kedua sehingga makananya tidak selalu mudah untuk dipahami. Klausa pertama termasuk klausa aktif karena predikatnya berupa verba aktif, yakni banyak menggunakan kosakata Kawi dan aliterasi. Sementara itu klausa kedua termasuk klusa adjektival karena predikatnay diisi oleh frasa adjektiva. Walaupun pada klausa kedua terdapat verba pasif, yakni dipahami, namun verba tersebut tidak berkedudukan sebagai predikat.
Walaupun hanya sebagian kecil, pada wacana di atas terdapat variasi aktif-pasif. Variasi demikian akan mengurangi kelelahan pembaca/ mengurangi kejenuhan pembaca. Pembaca akan merasa lebih enak membaca tes yang bervariasi daripada teks yang monoton.



BAB III
PENUTUP

Kevariasian dapat menghindarkan seorang pembaca atau pendengar dari kebosanan. Artinya seseorang dalam berkomunikasi dituntut memilih kata, klausa, kalimat, bahkan paragraf yang bervariasi. Secara umum kebanyakan kalimat dalam bahasa Indonesia berurutan Subjek-Predikat (S-P). Jika ada objek dan keterangan (S-P-O-K). Dengan urutan seperti itu, berarti S terdapat pada awal kalimat, P di belakangnya.
Untuk menghasilkan variasi urutan yang baik ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.
1. Keterangan kalimat yang letaknya bebas dapat dipertukarkan tempatnya.
2. Objek sebagai bagian dari predikat tidak dapt dipisahkan
3. Predikat yang berupa verba pasif pelaku orang I dan II pokok kata kerja tidak dapat dipisahkan.
4. Predikat yang berupa kata kerja rangkap dapat diveriasikan dengan diinversikan (dibalik susunannya) atau diprolepsisikan (digeser posisinya).
5. Keterangan subjek tidak dipisahkan dengan subjeknya sebagai induknya
6. Keterangan objek tidak dapat dipisahkan dengan objeknya
Variasi aktif-pasif adalah variasi yang terjadi dalam pemakaian bahasa (bisa berupa kalimat atau wacana) yang didalamnya terdapat kalimta yang berwujud kalimat aktif dan kalimat yang berwujud kalaimat pasif.

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

VARIASI BAHASA KAUM REMAJA

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia berhubunga dengan sesamanya menggunakan bahasa. Dalam arti manusia berinteraksi dan bekerja sama pasti menggunakan bahasa. Selain itu manusia menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan dalam kehidupannya. Dalam kehidupannya kelompok manusia banyak ragamnya, ragam inilah yang membuat adanya ragam bahasa yang disebut juga variasi bahasa. Salah satu variasi bahasa di antaranya adalah bahasa prokem yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dalam berbagai lapangan kehidupan kaum remaja.
Apabila bahasa yang digunakan kaum remaja dicoba untuk dipahami oleh kaum yang tidak remaja lagi, maka tidak jarang mereka akan bingung, heran, bahkan pusing karena tidak dapat mengerti apa yang diucapkan  atau yang ditulis pada waktu kaum remaja itu berbicara atau berkomunikasi. Tampaknya bahasa yang digunakan itu merupakan bahasa yang biasa kita pakai sehari-hari atau campuran antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, selanjutnya disebut bahasa prokem. Dari bahasa yang digunakan para remaja ini ada sejumlah kosa kata yang dapat diahami dan ada yang tidak dapat dipahami. Hal inilah yang sangat merisaukan masyarakat yang sama sekali tidak paham bahasa remaja atau bahasa prokem tersebut sehingga mereka menganggap bahwa kaum remaja ini merusak bahasa Indonesia baku.
Bahasa remaja tidak pernah tetap, atau dengan kata lain selalu berganti ganti sesuai dengan sifat remaja itu sendiri  yang selalu ingin menemukan hal-hal yang selalu baru, memang bahasa porkem ini belum mapan. Perubahan bahasa prokem ini tidak bisa diramalkan walaupun oleh para remaja itu sendiri sebagai pemakai bahasa itu.

B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah makalah ini, adalah:

1.         Apakah Pengertian dari bahasa prokem?
2.         Bagaimanakah bentuk  bahasa prokem?
3.         Bagaimanakah bentuk  kosakata bahasa prokem?
4.         Bagaimanakah perkembangan bahasa prokem di era globalisasi sekarang?
5.         Bagaimanakah ekses penggunaan bahasa prokem?
6.         Bagaimanakah Efek Pemakaian Bahasa prokem?

C.       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan makalah ini adalah:

1.         Mengetahui pengertian dari bahasa prokem.
2.         Mengetahui bagaimana bentuk dari bahasa prokem.
3.         Mengetahui bagaimana bentuk kosakata dari bahasa prokem.
4.         Mengetahui perkembangan bahasa prokem di era globalisasi pada zaman sekarang.
5.         Mengetahui ekses penggunaan bahasa prokem.
6.         Mengetahui Efek Pemakaian Bahasa prokem.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dari Bahasa Prokem

Bahasa prokem adalah sejenih ragam bahasa atau variasi bahasa yang khas yang boleh juga disebut sebagai jenis bahasa rahasia yang hanya digunakan kelompok tertentu saja untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan bukan dengan warga masyarakat yang bukan anggota kelompok mereka (Harimukti Kridalaksana, 1978).
Warga masyarakat yang tidak memahami bahasa prokem, akan menyebutkan bahwa bahasa prokem itu adalah bahasa yang hanya dipakai oleh kaum pemuda dan kaum remaja saja, dan penggunaannya seenaknya, sehingga tidak dipahami oleh masyarakat umum.
Kaum remaja dan pemuda yang paham akan bahasa prokem mendefinisikan bahasa prokem bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa bahasa prokem adalah bahasa yang digunakan untuk mencari dan menunjukan identitas diri; bahasa prokem adalah bahasa yang diolah kembali agar pembicaraan mereka ini tidak dipahami orang tua ataupun guru-guru yang sering melarang mereka sebelum sempat melakukan sesuatu.
B.     Bentuk Bahasa Prokem

Tidak ada orang yang dapat menjelaskan secara tepat bagaimana wujud bahasa prokem pada waktu muncul pertama kali. Namun, mengingat bahwa nama bahasa ini disebut ”bahasa prokem”, penulis mengambil kesimpulan bahwa bentuk olahan awal bahasa ini adalah penyisipan  (-ok-), antara lain: seperti yang terlihat pada nama bahasa itu, yaitu dari kata “preman” kemudian disisipi (-ok-) menjadi ‘prokeman’, lalu mengalami gejala apokot dengan lenyapnya bunyi akhir (-an) menjadi ‘prokem’. Kalau diperhatikan kosa kata bahasa prokem sampai pertengahan dekade 80, tampak bahwa sebagaian kata-katanya diolah dengan member sisipan (-ok-). Apakah cara ini saja yang digunakan pada saat awal timbulnya, tidaklah dapat dipastikan. Namun, dari data tertulis dapat disimpulkan bahwa kosa kata yang diolah dengan cara ini merupakan salah satu rumus yang memegang peran yang sangat penting, melihat besarnya kosa kata seperti ini disekitar 30%. Di samping penyisipan (-ok-), kosa kata bahasa prokem pun banyak mengalami gejala metatesis (pembalikan urutan penulisan huruf). Gejala ini sudah dikenal lama sekali kira-kira sudah tampak sekitar 30 tahun yang lalu. Namun yang patut dicatat adalah bahwa pembalikan unsur-unsur kata yang diolah itu pun mempunyai beberapa bentuk yang berbeda. Beberapa perbedaan di antaranya masih dapat kita lihat dari kosa kata yang tampak dari sejumlah data yang tertulis, misalnya kata’kibin’ (bikin), ‘depek’ (pendek), ‘maya’ (ayam), dan ‘baak’ (asbak).
Para remaja pengguna bahasa prokem ini cenderung mencampuradukkan segala macam pola kedalam bahasa prokem seolah-olah mau menganggap bahwa segala macam bentuk yang tidak baku merupakan bahasa prokem. Kosa kata yang mengalami gejala efesinsi dengan menyisipkan (-ok-) masih digunakan sampai kini, tetapi kalau diperhatikan bentuk-bentuk kata bahwa bentukan metatesis banyak sekali. Setelah diteliti secara lebih cermat, ternyata kata yang diolah dengan bentuk ini bahkan lebih dari sepertiga jumlah kosakata bahasa prokem. Dari data ini tersirat bahwa banyak mengolah kata bentuk metatesis.

C.    Kosa kata Bahasa Prokem

Kosa kata suatu bahasa senantiasa mencerminkan keadaan lingkungan, sikap hidup, serta alam pikiran para penuturnya. Sebagian besar kata berhubungan dengan keadaan sekitar dan kehidupan penuturnya sehari-hari. Hal yang sangat berpengaruh terhadap bahasa prokem adalah kosa kata yang dahulu muncul dalam bahasa permanen yang lebih menjurus ke arah dunia hitam atau kriminal, seperti dunia pencuri, pencopet, penodong, dan prampok. Boleh dikatakan bahwa kaum preman sama sekali tidak mau menghiraukan masalah-masalah dan hal-hal di luar lingkungan kehidupan mereka. Sebagian besar kosa kata yang digunakan dalam bahasa preman menggambarkan orang-orang serta barang-barang sasaran, tempat, serta lingkungan sasaran, dan khalayak serta petugas keamanan yang justru menjadi penghambat dalam melaksanakan kegiatan mereka.
Lain halnya dengan penggunaan bahasa prokem, para remaja menggunakan bahasa prokem dalam keaktifan sehari-hari yang lebih banyak berkaitan dengan kehidupan keluarga, keadaan sekolah atau perguruan tinggi, serta masalah-masalah kenakalan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa kosa kata bahasa prokem mengacu pada hal dan masalah sekitar rumah, pergaulan, pendidikan, dan kenakalan remaja yang terungkap dengan istilah kekerabatn, kata ganti orang, masalah seks, narkotika, dan obat-obtan sejenis serta minuman keras. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa semua kosa kata kaum preman sama sekali tidak digunakan para pemuda dan remaja, tetapi fungsi suatu benda dalam suatu kelompok, yang bentuknya  juga  dikenal anggota kelompok lain, tentulah berbeda. Mobil, rumah, arloji, televisi, dan sebagainya merupakan beberapa contoh kata yang dikenal dua kelompok. Kelima benda pertama merupakan benda yang dinikmati sebagaian besar remaja. Kata terakhir, polusi, merupakan orang yang bertugas menegakkan hukam dan dapat menyebabkan siapa saja yang melanggar hukum masuk penjara sehingga pasti dihindari kaum remaja, tetapi juga dapat membantu mereka dalam mengatasi sejumlah kesulitan sesuai dengan kewajiban petugas kopolisian, yaitu melindumgi dan memberi rasa aman kepada masyarakat.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbedaan bahasa prokem dan bahasa preman terjadi karena penuturannya berbeda, fungsi dan tujuan pemakainnya pun berbeda: kaum preman melakukan tindakan kejahatan, para pemuda dan remaja suka bergembira dan bergaul dengan sesamanya dan lebih dikenal dengan bahasa kekerabatan. Selanjutnya pengertian “bahasa prokem” ini telah berubah atau lebih tepat dikatakan bergeser maknanya. Bahasa prokem ini tidak lagi disediakan dalam bentuk, rumus atau kode bahasa, melainkan lebih ditonjolkan sebagai bahasa kode atau sandi yang dipakai oleh kelompok tertentu, dalam hal ini para pemuda dan remaja. Setiap kelompok dapat saja memberi interprestasi yang berbeda-beda menurut pengertian masing-masing, karena itu dapat ditemukan sejumlah variasi dalam pemakaian kalimat bahasa Indonesia. Inilah yang merupakan salah satu cirri pembeda bahasa prokem kaum preman, pencetus dan pencipta bahasa ini dengan bahasa prokem kaum pemuda dan kaum remaja saat ini. Bentuk-bentuk kosa kata itu adalah:
1.      Akronim:
Selaras “semakin laku keras”
Turbo”turunan bokek”
Manja”mandi jarang”
Pejabat”peranakan jawa batak”
Sersan”serius tapi santai”
2.      Singkatan huruf awal:
TKW”tak kenal wanita”
KUHP”kasih uang habis perkara”
AC”adegan cinta”
MBA”memble aja”
3.      Pemakaian kata yang huruf awalnya sama dengan huruf awal kata yang diacu:
Ji SamSoe”jiwaku sampai surge”
Bentul Filter”blue flim”
Taksi Gelap”tante girang”
4.      Pemakaian kata yang bermajas ironi:
Badak”kasar”
Bonsai”orang kerdil”
Gersang”tidak disuguhi minuman” (Harimukti Kridalaksana,1978)
D.    Perkembangan Bahasa Prokem di Era Globalisali Sekarang

Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri ditengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Perkembangan bahasa prokem ini pada tahun-tahun terakhir ini memang semakin menjadi-jadi, secara lisan dalam pergaulan sehari-hari dan secara tertulis melalui, antara lain serial cerita Lupus, majalah Hai, dan majalah Pro Kamu.
Agak aneh juga dan di luar dugaan semula, kata-kata yang dianggap sebagai kosa kata bahasa prokem tidak banyak dijumpai dalam bahasa remaja ini. Yang ada hanyalah doi, doksi, doku, kokit dan mokat [1]. Bahasa prokem hanyalah suatu variasi atau ragam bahasa Indonesia yang unsur kosa kata dan bentuk pembentukan katanya agak menyimpang. Sejumlah kosakatanya dengan dasar kosa kata bahasa Indonesia atau kosakata dialek Jakarta dibentuk dengan pola-pola tertentu, dan pembentukan kata gramatikalnya banyak menggunakan sistem morfologi dialek Jakarta[2].
Fenomena kebahasaan yang kini begitu booming terjadi adalah maraknya penggunaan kata-kata gaul oleh remaja Indonesia khususnya remaja perkotaan di kehidupan sehari-harinya. Adapun penggunaan bahasa gaul yang saat ini marak digunakan oleh remaja, baik yang masih duduk di bangku sekolah atau bahkan yang tidak mengenyam pendidikan adalah bahasa-bahasa gaul yang sejatinya diperkenalkan oleh media massa elektronik, seperti iklan di televisi, sinetron khusus remaja, atau bahkan bahasa yang digunakan oleh selebriti di infotainmen.
Kata-kata yang merujuk pada bahasa gaul yang booming kini seperti ciyus ‘serius’, miapah ‘demi apa’, enelan ‘beneran’ dan masih banyak lagi. Sepintas, kata-kata seperti itu terkesan lumrah terdengar sehari-hari. Penggunaannya marak digunakan oleh berbagai kalangan khususnya para remaja.Banyak yang menganggap jika penggunaan kata-kata terebut dianggap wajar dan lucu atau bahkan mencirikan identitas dari sekelompok masyarakat bahasa tertentu.
Penggunaan kata-kata tersebut pada masa kini tak lagi diucapkan pada kelompok tutur sebaya, namun terkadang remaja saat ini dengan tidak sadar ataupun tidak sengaja melakukan tindak tutur dengan menggunakan bahasa tersebut kepada orang yang lebih tua. Unsur-unsur atau pihak-pihak yang terlibat dalam tindak tutur itu sama sekali tidak dihiraukan dalam tindak bahasanya.
E.     Ekses Penggunaan Bahasa Prokem.

Para penutur dan para pencipta bahasa prokem tidak pernah memperhitungkan untuk menjadi saingan atau menjadi pengganti bahasa Indonesia yang mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan menggunakan bahasa prokem ini para remaja hanya ingin memisahkan diri dari kalangan orang luar kelompok mereka dan berusaha menempatkan diri mereka dalam suatu kelompok tertentu.
Bahasa prokem yang mirip bahasa rahasia ini mempunyai ciri khusus yang menyebabkan orang-orang di luar kelompok mereka ini tidak paham akan pembicaraan mereka. Karena bahasa yang digunakan mempunyai sifat khusus ini membuat mereka sangat membanggakan dirinya alasanya karena dapat menyaingi bahasa para orang tua yang juga suka menggunakan bahasa rahasia. Menurut pendapat para remaja, orang tua pun sering menggunakan bahasa asing kalau berbicara didekat mereka mengenai hal-hal yang dianggap tabu dan tidak boleh diketaui remaja. Meskipun sejenis bahasa rahasia yang mempunyai kode tertentu dan sifatnya rahasia, bahasa prokem yang digunakan para pemuda dan remaja tidaklah terlalu menonjol dibandingkan dengan sifat bahasa rahasia yang digunakan di kalangan preman dan bandit. Para pemuda dan remaja lebih mementingkan aspek pembedaan diri dari orang lain untuk menyatakan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Pada umumnya dialek-dialek atau bahasa prokem ini digunakan untuk membedakan diri mereka dengan orang-orang di luar kelompok mereka. Dengan bahasa yang digunakan tersebut mereka ingin menunjukkan kebolehan mereka dalam menciptakan kata-kata khusus tadi dan dengan bahasa ini mereka menunjukan identitasnya.
Pada waktu mereka berada dalam situasi resmi, mereka pasti akan menggunkan bahasa Indonesia baku. Keaadan inipun berlaku bagi kalangan remaja di kota yang tadinya kebanyakan menggunakan bahasa prokem. Dalam arti pada suatu saat perkembangan kehidupannya mereka tidak lagi memungkinkan berbahasa prokem, maka para pemuda dan para remaja ini akan meninggalkan bahasa prokem
F.     Efek Pemakaian Bahasa prokem.

Penggunaan kata-kata tersebut pada masa kini tak lagi diucapkan pada kelompok tutur sebaya, namun terkadang remaja saat ini dengan tidak sadar ataupun tidak sengaja melakukan tindak tutur dengan menggunakan bahasa tersebut kepada orang yang lebih tua. Unsur-unsur atau pihak-pihak yang terlibat dalam tindak tutur itu sama sekali tidak dihiraukan dalam tindak bahasanya.
Hal ini amat mengkhawatirkan. Hanya dari kesalahan penggunaan bahasa, bisa jadi menimbulkan banyak kesalahan persepsi yang menyebabkan berbagai gesekan yang timbul dalam masyarakat. Hal inilah yang menimbulkan masyarakat bahasa cenderung bersikap negatif atas penggunaan kata-kata gaul tersebut.
Tidak hanya itu, penggunaan kata-kata tersebut cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat Indonesia. Mengingat pengaplikasian bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan belum terkondisikan dengan cukup baik. Penggunaan bahasa Indonesia masih harus diperhatikan lebih lanjut karena posisinya yang juga bersaing dengan penggunaan bahasa daerah maupun bahasa asing yang masuk di wilayah Indonesia.
Kata-kata gaul tersebut dianggap mampu mengganggu stabilitas penggunaan bahasa Indonesia oleh para remaja. Remaja yang merupakan agen pembawa keberlangsungan bahasa Indonesia harus berjuang lebih keras dalam upaya mempertahankan bahasa persatuannya dari berbagai pengaruh yang cenderung negatif tersebut.
Oleh karena itu, remaja Indonesia diharapkan mampu memberikan usaha terbaiknya dalam mempertahankan keberlangsungan bahasa Indonesia yang baik tanpa menghilangkan identitas kebahasaan sehingga remaja Indonesia tidak mudah terpapar oleh pengaruh-pengaruh negatif dalam hal kebahasaan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Bahasa prokem banyak digunakan oleh kaum pemuda dan remaja, yang pada umumnya penuturannya digunakan untuk berkomunikasi dengan sesame dalam keadaan santai dan berfungsi untuk menjalin keakraban  atau sebagai identitas keakraban. Bahasa ini pun digunakan sebagai identitas kelompok  sehingga ada kemungkinan bahwa kelompok yang berbeda akan menggunakan kosakata yang berbeda pula.
Sebagaian besar kosa katanya dibentuk seolah-olah merupakan kata biasa yang digunakan orang dalam percakapan sehari-hari.Karena  itu, orang yang berbeda di luar kelompok ini tidak paham akan apa yang dituturkan mereka, sehingga timbul kekhawatiran bahasa prokem yang digunakan para remaja dan para pemuda ini akan merusak kaidah bahasa Indonesia baku. Tetapi tak perlu terlalu dirisaukan karena bahasa ini hanya merupakan suatu gejala yang serupa dengan gejala bahasa dialek lainnya yang dikenal dalam bahasa Indonesia.
B.                 Saran

Sebaiknya antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia harus berkembang seimbang agar peran bahasa Indonesia di era global ini diakui dan tetap berdiri tegak di bumi Indonesia. Bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa Indonesia yang mengalami penginggrisan harus dapat ditekan dan hanya sebatas untuk komunikasi pergaulan. Bahasa pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dalam konteks kebudayaan nasional merupakan komponen yang paling representatif dan dominan, termasuk upaya melanggengkan kesatuan bangsa (Hasan Alwi, 1998). Orang Indonesia sebaiknya belajar mencintai bahasa nasionalnya dan belajar memakainya dengan kebanggaan dan kesetiaan sehingga membuat orang Indonesia berdiri tegak di dunia ini walaupun dilanda arus globalisasi dan tetap dapat mengatakan dengan bangga bahwa orang Indonesia menjadi bangsa yang berdulat yang mampu menggunakan bahasa nasionalnya untuk semua keperluan modern.


























DAFTAR PUSTAKA



Abdul Chaer. 1993. Pembakuan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dede Oetomo. 1990. “Bahasa Rahasia Waria dan Gay di Surabaya” dalam Muhadjir dan Basuki Suhardi 1990.

Harimukti Kridalaksana. 1978. Struktur Sosial dan Variasi Bahasa, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.

 Masnur Muslich. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

 Rahardja Praathama dan Hendry Chambers Loir. 1988. Kamus Bahasa Prokem. Jakarta: Pustaka Utama.

Vismaya S. Damayanti. 2011. Bahasa dan Sastra Indonesia di Tengah ArusGlobal.Bandung:Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.

http://atqomohammed.blogspot.com/2010/03/perkembangan-bahasa-gaul-di-indonesia.html. (diakses pada tanggal 17 desember 2012 pukul 16.45).

Ragam & Variasi Bahasa

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu dari bangsa Indonesia yang sudah dipakai oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, namun tidak semua orang menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar, salah satunya pada penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri yang tidak sesuai dengan Ejaan maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh karena itu pengetahuan tentang ragam bahasa cukup penting untuk mempelajari bahasa Indonesia secara menyeluruh yang akhirnya bisa diterapkan dan dapat digunakan dengan baik dan benar sehingga identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan hilang.
Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda. Ragam bahasa terdiri dari ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Ragam bahasa sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sehingga harus diperhatikan dalam tata cara penulisan dan penggunaannya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Pengertian ragam bahasa.
2. Macam-macam ragam bahasa.
3. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media atau sarana .
4. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur.
5. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan ragam sosial dan ragam fungsional.
6. Ragam bahasa Indonesia menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian.
C.    Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ragam bahasa serta macam-macam ragam dalam bahasa yang ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa.


D.    Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
       1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan ragam dan variasi bahasa.
      2. Mahasiswa mengetahui adanya berbagai ragam Bahasa Indonesia yang sering                                                                                                       digunakan dalam kehidupan sehari-hari .
       3. Penggunaan ragam dan variasi bahasa.
       4. Contoh-contoh ragam dan variasi bahasa.


BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian Ragam Bahasa

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu:
(1) ragam bahasa lisan,
(2) ragam bahasa tulis.

Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
Macam-macam ragam Bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu berdasarkan media atau sarana, berdasarkan cara pandang penutur, berdasarkan ragam sosial dan ragam fungsional dan ragam bahasa berdasarkan topik pembicara.

1. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media atau sarana terdiri dari ragam lisan  dan ragam tulis.
A. Ragam bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.


Ciri-ciri ragam lisan :
1.   Memerlukan orang kedua/teman bicara;
2.   Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
3.   Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.
4. Berlangsung cepat;
5. Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
6. Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
7. Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi
Kelebihan Ragam Bahasa lisan:
Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan, atau intonasi.
Kelemahan Ragam bahasa lisan:
Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Apa yang dibicarakan secara lisan di dalam sebuah ruang kuliah, hanya akan berarti dan berlaku untuk waktu itu saja. Apa yang diperbincangkan dalam suatu ruang diskusi  belum tentu dapat dimengerti oleh orang yang berada di luar ruang.
Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’
B. Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Ciri-ciri ragam tulis :
1.   Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;
2.   Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
3.   Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4. Berlangsung lambat;
5. Selalu memakai alat bantu;
6. Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7. Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.
Kelemahan Ragam bahasa tulisan:
Ragam tulis perlu lebih terang dan lebih lengkap daripada ragam lisan. Fungsi-fungsi gramatikal harus nyata karena ragam tulis tidak mengharuskan orang kedua berada di depan pembicara. Kelengkapan ragam tulis menghendaki agar orang yang “diajak bicara” mengerti isi tulisan itu. Contoh ragam tulis ialah tulisan-tulisan dalam buku, majalah, dan surat kabar.

Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1.      Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
a.       Ragam bahasa lisan :
-         Nia sedang baca surat kabar
-         Ari mau nulis surat
-         Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
-         Mereka tinggal di Menteng.
-         Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-         Saya akan tanyakan soal itu

b.      Ragam bahasa Tulis :
-         Nia sedangmembaca surat kabar
-         Ari mau menulis surat
-         Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
-         Mereka bertempat tinggal di Menteng
-         Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-         Akan saya tanyakan soal itu.

2.      Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata :
a.       Ragam Lisan
-         Ariani bilang kalau kita harus belajar
-         Kita harus bikin karya tulis
-         Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak

b.      Ragam Tulis
-         Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
-         Kita harus membuat karya tulis.
-         Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.

Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan nonstandar.
a.       Ragam standar,
b.       Ragam nonstandar,
c.        Ragam semi standar.

Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).

Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan :
a.       topik yang sedang dibahas,
b.      hubungan antarpembicara,
c.       medium yang digunakan,
d.      lingkungan, atau
e.       situasi saat pembicaraan terjadi.

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar :
•     Penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
•     Penggunaan kata tertentu,
•     Penggunaan imbuhan,
•     Penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
•     Penggunaan fungsi yang lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.

Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

2. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur
Terdiri dari ragam dialek, ragam pendidikan penutur (terpelajar), ragam resmi dan ragam tak resmi.
Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak padapelafalan/b/pada posisiawal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll
Contoh ragam dialek adalah ‘Gue udah baca itu buku.’

Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
Contoh ragam terpelajar adalah ‘Saya sudah membaca buku itu.’

Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi resmi/formal, baik lisan maupun tulisan.
Bahasa baku dipakai dalam :
a. pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas memberikan kuliah/pelajaran;
b. pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan guru/dosen, dengan pejabat;
c. komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang;
d. wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
Segi kebahasaan yang telah diupayakan pembakuannya meliputi :
a. tata bahasa yang mencakup bentuk dan susunan kata atau kalimat, pedomannya adalah buku Tata Bahasa Baku Indonesia;
b. kosa kata berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI);
c. istilah kata berpedoman pada Pedoman Pembentukan Istilah;
d. ejaan berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD);
e. lafal baku kriterianya adalah tidak menampakan kedaerahan.
3. Berdasarkan Ragam Sosial dan Ragam Fungsional
Ragam sosial
yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya di dasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab dapat merupakan ragam sosial tersendiri.
Ragam fungsional,yang kadang-kadang disebut juga ragam profesional,
adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya.
4. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan, wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah, dll. Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya.

Terdiri dari ragam bahasa ilmiah, ragam hukum, ragam bisnis, ragam agama, ragam sosial, ragam kedokteran dan ragam sastra.
Ciri-ciri ragam ilmiah :
           1.    Bahasa Indonesia ragam baku,
2. Penggunaan kalimat efektif,
3. Menghindari bentuk bahasa yang bermakna ganda,
4. Penggunaan kata dan istilah yang bermakna lugas dan menghindari pemakaian kata dan istilah yang bermakna kias,
5. Menghindari penonjolan persona dengan tujuan menjaga objektivitas isi tulisan,
6. Adanya keselarasan dan keruntutan antarproposisi dan antaralinea.
Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan :
1. Dia dihukum karena melakukan tindak pidana. (ragam hukum)
2. Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.(ragam bisnis)
3. Cerita itu menggunakan unsur flashback. (ragam sastra)
4. Anak itu menderita penyakit kuorsior. (ragam kedokteran)
5. Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif. (ragam psikologi)
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku lisan.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Dalam konteks ini ragam bahasa meliputi bahasa lisan dan bahasa baku tulis.
Pada ragam bahasa baku tulis diharapkan para penulis mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta menggunakan Ejaan bahasa yang telah Disempurnakan (EYD), sedangkan untuk ragam bahasa lisan diharapkan para warga negara Indonesia mampu mengucapkan dan memakai bahasa Indonesia dengan baik serta bertutur kata sopan sebagaimana pedoman yang ada.

POLA DASAR KALIMAT BAHASA INDONESIA

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN



1.1        Latar Belakang
Dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulis, kita sebenarnya tidak mengunakan kata-kata secara lepas. Akan tetapi, kata-kata itu terangkai mengikuti aturan atau kaidah yang berlaku sehingga terbentuklah rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan. Rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan itu dinamakan kalimat.
Kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam sejumlah kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan berasal dari beberapa pola kalimat dasar saja. Sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing, kalimat dasar tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja harus didasarkan pada kaidah yang berlaku.
Berdasarkan uraian diatas, maka makalah ini membahas mengenai pola dasar kalimat berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku.

1.2        Tujuan Penulisan
1.2.1  Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengetahui tentang pola dasar kalimat bahasa Indonesia.


1.2.2  Tujuan Khusus
           Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang :
•               Pola dasar kalimat bahasa Indonesia : (pengertian dan unsure-unsur kalimat).


1.3        Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini disusun sebagai berikut :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I      PENDAHULUAN
I.1   Latar Belakang
I.2   Tujuan Penulisan
I.3   Sistematika Penulisan
BAB II    PEMBAHASAN
2.1    Pengertian
2.2    Unsur-unsur kalimat
2.3    Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia
BAB III   PENUTUP
3.1  Kesimpulan
3.2  Saran                                                                                    
DAFTAR PUSTAKA



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian
Kalimat yaitu rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan.
Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Pada kalimat sekurang kurangnya harus memiliki subjek (S) dan predikat (P). Bila tidak memiliki subjek dan predikat maka bukan disebut kalimat tetapi disebut frasa. Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulaidengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?) dan tanda seru (!).

2.2.      Unsur-Unsur Kalimat
 Dalam menuliskan kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar maka kita harus ketahui unsur-unsur yang biasanya dipakai dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Indonesia digunakan aturan SPO atau SPOK (Subjek, Predikat, Objek atau Subjek, Predikat, Objek, Keterangan).
Berikut beberapa unsur kalimat.
2.2.1   Subjek (S)
Subjek adalah unsur pokok yang terdapat pada sebuah kalimat di samping unsur predikat. Dengan mengetahui ciri-ciri subjek secara lebih terperinci, kalimat yang dihasilkan dapat terpelihara strukturnya.
Ciri-ciri subjek sebagai berikut.        
•      Jawaban atas Pertanyaan Apa atau Siapa
            Penentuan subjek dapat dilakukan dengan mencari jawaban atas pertanyaan apa atau siapayang dinyatakan dalam suatu kalimat. Untuk subjek kalimat yang berupa manusia, biasanya digunakan kata tanya siapa.
     Contoh :  Siwon adalah seorang aktor dan penyanyi.
•      Disertai Kata Itu
            Kebanyakan subjek dalam bahasa Indonesia bersifat takrif (definite). Untuk menyatakan takrif, biasanya digunakan kata itu. Subjek yang sudah takrif misalnya nama orang, nama negara, instansi, atau nama diri lain tidak disertai kata itu.
     Contoh : Buku itu dibeli oleh Kimbum.
•      Didahului Kata Bahwa
            Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi fungsi subjek. Di samping itu, kata bahwa juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat yang menggunakan kata adalah atau ialah.
Contoh :
o   Bahwa pengurus SEMA harus segera dibentuk pada rapat hari ini.
o   Saya mengatakan bahwa Super Junior adalah boyband favoritku.
•      Mempunyai Keterangan Pewatas Yang
            Kata yang menjadi subjek suatu kalimat dapat diberi keterangan lebih lanjut dengan menggunakan penghubung yang. Keterangan ini dinamakan keterangan pewatas.
     Contoh : Mahasiswa yang ingin lulus harus mengikuti ujian.
•      Tidak Didahului Preposisi
            Subjek tidak didahului preposisi, seperti dari, dalam, di, ke, kepada, pada. Orang sering memulai kalimat dengan menggunakan kata-kata seperti itu sehingga menyebabkan kalimat-kalimat yang dihasilkan tidak bersubjek.
•      Berupa Nomina atau Frasa Nominal
            Subjek kebanyakan berupa nomina atau frasa nominal. Di samping nomina, subjek dapat berupa verba atau adjektiva, biasanya, disertai kata penunjuk itu.
Contoh : Bermain itu menyenangkan.

2.2.2   Predikat (P)
Predikat juga merupakan unsur utama suatu kalimat di samping subjek. Predikat berfungsi menjelaskan subjek.
Ciri-ciri predikat adalah sebagai berikut.
•      Jawaban atas Pertanyaan Mengapa atau Bagaimana
            Dilihat dari segi makna, bagian kalimat yang memberikan informasi atas pertanyaan mengapaatau bagaimana adalah predikat kalimat. Pertanyaan sebagai apa atau jadi apa dapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa nomina penggolong (identifikasi). Kata tanya berapadapat digunakan untuk menentukan predikat yang berupa numeralia (kata bilangan) atau frasa numeralia.
     Contoh :
o   Gadis itu cantik.
o   Harga buku itu sepuluh ribu rupiah.
•      Kata Adalah atau Ialah
            Predikat kalimat dapat berupa kata adalah atau ialah. Predikat itu terutama digunakan jika subjek kalimat berupa unsur yang panjang sehingga batas antara subjek dan pelengkap tidak jelas.
     Contoh : Justin Bieber adalah penyanyi favoritku
•      Dapat Diingkarkan
            Predikat dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk pengingkaran yang diwujudkan oleh katatidak. Bentuk pengingkaran tidak ini digunakan untuk predikat yang berupa verba atau adjektiva. Di samping tidak sebagai penanda predikat, kata bukan juga merupakan penanda predikat yang berupa nomina atau predikat kata merupakan.
     Contoh : Kamu tidak hadir dalam rapat kemarin.
•      Dapat Disertai Kata-kata Aspek atau Modalitas
            Predikat kalimat yang berupa verba atau adjektiva dapat disertai kata-kata aspek seperti telah,sudah, sedang, belum, dan akan. Kata-kata itu terletak di depan verba atau adjektiva. Kalimat yang subjeknya berupa nomina bernyawa dapat juga disertai modalitas, kata-kata yang menyatakan sikap pembicara (subjek), seperti ingin, hendak, dan mau.
     Contoh : Obama akan datang ke Indonesia.
•      Unsur Pengisi Predikat
            Predikat suatu kalimat dapat berupa:
o  Kata, misalnya verba, adjektiva, atau nomina.
o  Frasa, misalnya frasa verbal, frasa adjektival, frasa nominal, frasa numeralia (bilangan).


2.2.3   Objek (O)
Objek yaitu keterangan predikat yang memiliki hubungan erat dengan predikat. Unsur kalimat ini bersifat wajib dalam susunan kalimat aktif transitif yaitu kalimat yang sedikitnya mempunyai tiga unsur utama, subjek, predikat, dan objek. Predikat yang berupa verba intransitif (kebanyakan berawalan ber- atau ter-) tidak memerlukan objek, sedangkan verba transitif yang memerlukan objek kebanyakan berawalan me-.
Ciri-ciri objek sebagai berikut.
•      Langsung di Belakang Predikat
            Objek hanya memiliki tempat di belakang predikat, tidak pernah mendahului predikat.
     Contoh : Sinta memberikan Jojo komputer baru.
•      Dapat Menjadi Subjek Kalimat Pasif
            Objek yang hanya terdapat dalam kalimat aktif dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Perubahan dari aktif ke pasif ditandai dengan perubahan unsur objek dalam kalimat aktif menjadi subjek dalam kalimat pasif yang disertai dengan perubahan bentuk verba predikatnya.
     Contoh : Keju itu dimakan tikus.
•      Tidak Didahului Preposisi
            Objek yang selalu menempati posisi di belakang predikat tidak didahului preposisi. Dengan kata lain, di antara predikat dan objek tidak dapat disisipkan preposisi.
     Contoh : Dia mengirimi saya bunga mawar.
•      Didahului Kata Bahwa
            Anak kalimat pengganti nomina ditandai oleh kata bahwa dan anak kalimat ini dapat menjadi unsur objek dalam kalimat transitif.

2.2.4   Pelengkap (Pel.)
Pelengkap merupakan unsur kalimat yang dapat bersifat wajib ada karena melengkapi makna verba predikat kalimat.
Pelengkap dan objek memiliki kesamaan. Kesamaan itu ialah kedua unsur kalimat ini :
o  Bersifat wajib ada karena melengkapi makna verba predikat kalimat.
o  Menempati posisi di belakang predikat.
o  Tidak didahului preposisi.
Perbedaannya terletak pada kalimat pasif. Pelengkap tidak menjadi subjek dalam kalimat pasif. Jika terdapat objek dan pelengkap dalam kalimat aktif, objeklah yang menjadi subjek kalimat pasif, bukan pelengkap.
Berikut ciri-ciri pelengkap.
•         Di Belakang Predikat
       Ciri ini sama dengan objek. Perbedaannya, objek langsung di belakang predikat, sedangkan pelengkap masih dapat disisipi unsur lain, yaitu objek. Contohnya terdapat pada kalimat berikut.
o   Diah mengirimi saya buku baru.
o   Mereka membelikan ayahnya sepeda baru.
Unsur kalimat buku baru, sepeda baru di atas berfungsi sebagai pelengkap dan  tidak mendahului predikat.
•         Tidak Didahului Preposisi
       Seperti objek, pelengkap tidak didahului preposisi.
Contoh : Sherina bermain piano.

2.2.5   Keterangan (K)
Unsur kalimat yang didahului preposisi disebut keterangan.
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut tentang suatu yang dinyatakan dalam kalimat; misalnya, memberi informasi tentang tempat, waktu, cara, sebab, dan tujuan. Keterangan ini dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa frasa ditandai oleh preposisi, seperti di, ke, dari, dalam, pada, kepada, terhadap, tentang, oleh, dan untuk. Keterangan yang berupa anak kalimat ditandai dengan kata penghubung, seperti ketika, karena,meskipun, supaya, jika, dan sehingga.
Berikut ini beberapa ciri unsur keterangan.
•      Bukan Unsur Utama
       Berbeda dari subjek, predikat, objek, dan pelengkap, keterangan merupakan unsur tambahan yang kehadirannya dalam struktur dasar kebanyakan tidak bersifat wajib.
•      Tidak Terikat Posisi
       Di dalam kalimat, keterangan merupakan unsur kalimat yang memiliki kebebasan tempat. Keterangan dapat menempati posisi di awal atau akhir kalimat, atau di antara subjek dan predikat.
Contoh :
o   Malam ini, Suju akan kembali ke Korea.
o   Mereka memperhatikan materi dengan seksama.
•      Terdapat Beberapa Jenis Keterangan
       Keterangan dibedakan berdasarkan perannya di dalam kalimat.
o  Keterangan Waktu
            Keterangan waktu dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa kata adalah kata-kata yang menyatakan waktu, seperti kemarin, besok, sekarang, kini, lusa,siang, dan malam. Keterangan waktu yang berupa frasa merupakan untaian kata yang menyatakan waktu, seperti kemarin pagi, hari Senin, 7 Mei, dan minggu depan. Keterangan waktu yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor yang menyatakan waktu, sepertisetelah, sesudah, sebelum, saat, sesaat, sewaktu, dan ketika.
o  Keterangan Tempat
            Keterangan tempat berupa frasa yang menyatakan tempat yang ditandai oleh preposisi, seperti di, pada, dan dalam.
o  Keterangan Cara
            Keterangan cara dapat berupa frasa, atau anak kalimat yang menyatakan cara. Keterangan cara yang berupa frasa ditandai oleh kata dengan atau secara yang diikuti verba (kata kerja). Terakhir,  keterangan cara yang berupa anak kalimat ditandai oleh kata dengan dan dalam.
o  Keterangan Alat
       Keterangan cara berupa frasa yang menyatakan cara ditandai oleh kata dengan yang diikuti nomina (kata benda).
o  Keterangan Sebab
            Keterangan sebab berupa frasa atau anak kalimat. Keterangan sebab yang berupa frasa ditandai oleh kata karena atau sebab yang diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Keterangan sebab yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor karena atau lantaran.

o  Keterangan Tujuan
            Keterangan ini berupa frasa atau anak kalimat. Keterangan tujuan yang berupa frasa ditandai oleh kata untuk atau demi, sedangkan keterangan tujuan yang berupa anak kalimat ditandai oleh konjungtor supaya, agar, atau untuk.
o  Keterangan Aposisi
            Keterangan aposisi memberi penjelasan nomina, misalnya, subjek atau objek. Jika ditulis, keterangan ini diapit tanda koma, tanda pisah (--), atau tanda kurang.
     Contoh : Dosen saya, Bu Erwin, terpilih sebagai dosen teladan.
o  Keterangan Tambahan
            Keterangan tambahan memberi penjelasan nomina (subjek ataupun objek), tetapi berbeda dari keterangan aposisi. Keterangan aposisi dapat menggantikan unsur yang diterangkan, sedangkan keterangan tambahan tidak dapat menggantikan unsur yang diterangkan.
Contoh : Marshanda, mahasiswa tingkat lima, mendapat beasiswa.
     Keterangan tambahan (tercetak tebal) itu tidak dapat menggantikan unsur yang diterangkan yaitu kata Marshanda.
o  Keterangan Pewatas
            Keterangan pewatas memberikan pembatas nomina, misalnya, subjek, predikat, objek, keterangan, atau pelengkap. Jika keterangan tambahan dapat ditiadakan, keterangan pewatas tidak dapat ditiadakan. Contoh: Mahasiswa yang mempunyai IP tiga lebih mendapat beasiswa.
     Contoh diatas menjelaskan bahwa bukan semua mahasiswa yang mendapat beasiswa, melainkan hanya mahasiswa yang mempunyai IP  tiga lebih.

2.3.      Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia
Kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam sejumlah kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan berasal dari beberapa pola kalimat dasar saja. Sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing, kalimat dasar tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja harus didasarkan pada kaidah yang berlaku.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktrur inti, belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap. Kalimat dasar dapat dibedakan ke dalam delapan tipe sebagai berikut.
2.3.1    Kalimat Dasar Berpola S P
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek dan predikat. Predikat kalimat untuk tipe ini dapat berupa kata kerja, kata benda, kata sifat, atau kata bilangan. Misalnya:
o  Mereka / sedang berenang.
     S                    P (kata kerja)
o  Ayahnya / guru SMA.
     S                 P (kata benda)
o  Gambar itu / bagus.
      S                P (kata sifat)
o  Peserta penataran ini / empat puluh orang.
             S                                  P (kata bilangan)
2.3.2    Kalimat Dasar Berpola S P O
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan objek. subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba transitif, dan objek berupa nomina atau frasa nominal. Misalnya:
Mereka / sedang menyusun / karangan ilmiah.
      S                   P                             O
2.3.3    Kalimat Dasar Berpola S P Pel.
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan pelengkap. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif atau kata sifat, dan pelengkap berupa nomina atau adjektiva. Misalnya:
Anaknya / beternak / ayam.
      S               P          Pel.
2.3.4    Kalimat Dasar Berpola S P O Pel.
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, dan pelengkap. subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan pelengkap berupa nomina atau frasa nominal. Misalnya:
Dia / mengirimi / saya / surat.
  S           P             O       Pel.
2.3.5    Kalimat Dasar Berpola S P K
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan harus memiliki unsur keterangan karena diperlukan oleh predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya:
Mereka / berasal / dari Surabaya.
     S            P                   K
2.3.6    Kalimat Dasar Berpola S P O K
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. subjek berupa nomina atau frasa nomina, predikat berupa verba intransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya:
Kami / memasukkan / pakaian / ke dalam lemari.
    S              P                  O                   K
2.3.7    Kalimat Dasar Berpola S P Pel. K
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, pelengkap, dan keterangan. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif atau kata sifat, pelengkap berupa nomina atau adjektiva, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya :
Ungu / bermain / musik / di atas panggung.
    S           P          Pel.              K
2.3.8    Kalimat Dasar Berpola S P O Pel. K
 Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, pelengkap berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya:
Dia / mengirimi / ibunya / uang / setiap bulan.
  S           P              O         Pel.           K



BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktrur inti, belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap.

3.2         Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini di harapkan agar para pembaca khususnya mahasiswa AKPER Pemda cianjur dapat lebih mengetahui dan memahami pola dasar kalimat bahasa indonesia. Dan dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan.




DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C. (2002) Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan
        Penelitian Kualitatif. Bandung: Dunia Pustaka Jaya
Iswara, P.D. (2000) Variasi Pola Kalimat dan Keterbacaannya. Tesis pada Program
        Pascasarjana UPI Bandung.
Santoso,Azis.(2008) Penelitian Pola Kalimat Bahasa Indonesia.www.google.com

Ragam Bahasa

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN
1. A.  Latar Belakang
Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan atau berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000). Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Hal ini karena bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.
Indonesia terdiri dari banyak kepulauan yang terbentang dari sabang sampai marauke, dengan keanekaragaman suku dan kebudayaan sehingga melahirkan bahasa yang berbeda-beda. Variasi bahasa yang digunakan oleh masing-masing suku yang ada di suatu daerah di Indonesia itulah, yang dinamakan ragam bahasa.
Ragam bahasa timbul seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000).
 B.  Rumusan Masalah
Guna menghindari meluasnya pembahasan makalah, maka saya membatasi bahasan-bahasan tersebut menjadi sebagai berikut:
1. Apa pengertian ragam bahasa?
2. Apa macam-macam ragam bahasa?
3. Bagaimana macam ragam bahasa berdasarkan situasi ?
4. C.  Tujuan
Dengan adanya makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana keanekaragaman Bahasa Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
1. A.  Pengertian Ragam Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Seiring dengan perkembangan zaman yang sekarang ini banyak masyarakat yang mengalami perubahan. Bahasa pun juga mengalami perubahan. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000)
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi resmi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Penyebab-penyebab adanya ragam bahasa disebabkan tiga hal yaitu :
1. Perbedaan wilayah
Setiap daerah mempunyai perbedaan kultur atau daerah hidup yang berbeda seperti wilayah Jawa dan Papua dan beberapa wilayah Indonesia lainnya
1. Perbedaan demografi
Setiap daerah memiliki dataran yang berbeda seperti wilayah di daerah pantai, pegunungan yang biasanya cenderung mengunakan bahasa yang singkat jelas dan dengan intonasi volume suara yang besar. Berbeda dengan pada pemukiman padat penduduk yang menggunakan bahasa lisan yang panjang lebar dikarenakan lokasinya yang saling berdekatan dengan intonasi volume suara yang kecil.
1. Perbedaan adat istiadat
Setiap daerah mempunyai kebiasaan dan bahasa nenek moyang senderi sendiri dan berbeda beda.
1. B.  Macam – Macam Ragam Bahasa
2. Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Media
Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang sering disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baku bahasa Indonesia, memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolak ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi didalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Ragam bahasa Indonesia berdasarkan media dibagi menjadi dua yaitu :
1. Ragam bahasa lisan
Ragam bahasa lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan. Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis.
Ciri-ciri ragam lisan :
1. Memerlukan orang kedua/teman bicara
2. Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu
3. Hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh
4. Berlangsung cepat
5. Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu
6. Kesalahan dapat langsung dikoreksi
7. Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.
Yang termasuk dalam ragam lisan diantaranya pidato, ceramah, sambutan, berbincang-bincang, dan masih banyak lagi. Semua itu sering digunakan kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama ngobrol atau berbincang-bincang, karena tidak diikat oleh aturan-aturan atau cara penyampaian seperti halnya pidato ataupun ceramah.
1. Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dan lain-lain. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
1. Tidak memerlukan kehadiran orang lain
2. Tidak terikat ruang dan waktu
3. Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat
4. Pembentukan kata dilakukan secara sempurna
5. Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap
6. Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu
7. Berlangsung lambat
8. Memerlukan alat bantu

1. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
2. Ragam Bahasa berdasarkan daerah (logat/dialek)
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dan lain-lain. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan “t” seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dan lain-lain.
1. Ragam Bahasa berdasarkan pendidikan penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
1. Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku dipakai dalam :
1. Pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas memberikan pelajaran.
2. Pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan guru/dosen, dengan pejabat.
3. Komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang.
4. Wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
5. Ragam Bahasa menurut Pokok Persoalan atau Bidang Pemakaian
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama. Koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran. Improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran atau majalah dan lain-lain.
1. C.  Situasi Ragam Bahasa Dalam Berbagai Macam Keadaan
2. Ragam Baku adalah ragam bahasa yang oleh penuturnya dipandang sebagai ragam yang baik. Ragam ini biasa dipakai dalam kalangan terdidik, karya ilmiah, suasana resmi, atau dalam penulisan surat resmi.
3. Ragam Cakapan (akrab) adalah ragam bahasa yang dipakai apabila pembicara menganggap kawan bicara sebagai sesama (sama usianya),  lebih muda, lebih rendah statusnya atau apabila topik pembicara bersifat tidak resmi.
4. Ragam Hormat adalah ragam bahasa yang dipakai apabila lawan bicara orang yang dihormati, misalnya orang tua dan atasan.
5. Ragam Kasar adalah ragam bahasa yang digunakan dalam pemakaian tidak resmi di kalangan orang yang saling mengenal, misalnya ketika berbicara dengan teman sebaya.
6. Ragam Resmi adalah ragam bahasa yang dipakai dalam suasana resmi, misalnya pidato kepresidenan, wawancara, ketika membawakan berita dan lain-lain.
7. Ragam ilmiah adalah ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah, misalnya ceramah, penulisan karya ilmiah dan lain-lain.
8. Ragam populer adalah ragam bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tulisan popular, misalnya singkatan bahasa yang sering digunakan ketika seseorang mengirimkan sms kepada temannya.

BAB III
PENUTUP

1. A.  Kesimpulan
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Dalam konteks ini ragam bahasa meliputi bahasa lisan dan bahasa baku tulis. Pada ragam bahasa baku tulis diharapkan para penulis mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta menggunakan Ejaan bahasa yang telah Disempurnakan (EYD), sedangkan untuk ragam bahasa lisan diharapkan para warga negara Indonesia mampu mengucapkan dan memakai bahasa Indonesia dengan baik serta bertutur kata sopan sebagaimana pedoman yang ada.
1. B.  Saran
Sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya kita semua mempelajari ragam bahasa yang kita miliki, kemudian mempelajari dan mengambil hal-hal yang baik, yang dapat kita amalkan dan kita pakai untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Baku Bahasa Indonesia  Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rabu, 06 Februari 2013

Deduktif Induktif

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif..
Kedua penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.



BAB II
PEMBAHASAN

Sesuai dengan titik pangkal dalam proses pemikiran, kita dapat membedakan dua jalan atau pola dasar,[1] yaitu:
-          Induksi: proses pemikiran di dalam akal kita dari pengetahuan tentang kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa/hal-hal yang lebih konkret dan ‘khusus’ untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih ‘umum’.
-          Deduksi: proses pemikiran di dalamnya akal kita dari pengetahuan yang lebih ‘umum’ untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih ‘khusus’.

Pengetahuan yang
lebih umum

INDUKSI
DEDUKSI

Kenyataan
Pengetahuan yang lebih
konkret dan khusus

A.      Argumen Deduktif
Logika telah berperan dalam pembentukan suatu argumen atau pernyataan sebagai hasil pemikiran atau penalaran yang logis.[2] Telah diketahui pula bahwa setiap argumen terdiri atas dua buah premis atau lebih yang memberikan bukti-bukti dan sebuah kesmpulan yang diperoleh dari premis-premis tersebut. Bentuk argumen seperti ini disebut silogisme. Mari kita simak contoh berikut ini.
Semua binatang akan mati.               (premis 1)
Kucingku adalah binatang.               (premis 2)
Karenanya kucingku akan mati.       (kesimpulan)
Premis (1) menyatakan bahwa, semua binatang akan mati. Pernyataan ini telah terbukti dengan nyata. Tak ada orang yang dapat mengingkari pernyataan tersebut. Artinya premis (1) adalah pernyataan yang merupakan sebuah bukti yang benar. Demikian pula dengan premis (2), juga merupakan pernyataan yang benar, sebab kucing digolongkan dalam kelompok binatang. Penggolongan ini telah diterima oleh semua orang, jadi merupakan suatu hal yang dibenarkan. Dari kedua premis tadi dapat diambil kesimpulan bahwa kucingku pada suatu saat akan mati.
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.[3] Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Deduktif diawali oleh sebuah asumsi (entah itu dogma, atau apapun) yang kemudian dilanjutkan dengan kesimpulan yang lebih khusus yang diturunkan dari asumsi awal tersebut. Kesimpulan yang diambil harus merupakan turunan atau derivasi dari asumsi atau pernyataan awal.[4]
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berfikir yang dinamakan silogisme.[5] Silogisme disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Penarikan kesimpulan seperti ini disebut dengan penarikan kesimpulan yang sah, sahih, valid, absah, atau correct.[6] Setiap argumen di mana kebenaran dari premis-premisnya tidak memungkinkan bagi kesimpulannya untuk salah disebut dengan argumen yang sah atau valid.
Arti deduksi (deducction) menurut Ensiklopedi Indonesia yaitu : cara berfikir yang mulai dari pokok permulaan, menguraikan semua hal yang terkandung, atau mungkin dapat disusun atas dasar tersebut, sedemikian rupa sehingga dalam seluruh perjalanan pemikiran tidak terdapat soal yang bertentangan atau tidak serasi. Dalam Encyclopedia Americana, Deduction dinyatakan sebagai: demmistrative inference, reasoning from a more inclusive, or general, proposition (conclusion) contained in or subsumable under the former.
 Konstruksi penalaran disebut silogisme. Silogisme berfungsi sebagai proses pembuktian benar-salahnya suatu pendapat, tesis, atau hipotesis tentang masalah tertentu.[7]
Silogisme dalam contoh merupakan suatu argumen deduktif, karena melibatkan bukti-bukti yang mengandung kesimpulan atau pembuktian. Pernyataan-pernyataan dalam argumen tersebut bermula dari yang bersifat umum menuju kesimpulan yang merrupakan pernyataan yang besifat lebih khusus atau kurang umum.
Sekarang, marilah kita tinjau beberapa jenis argumen deduktif. Argumen pada contoh tadi dapat kita ganti dengan bentuk yang sama sebagai berikut.
Semua B adalah C                (premis 1)
A adalah B                                        (premis 2)
Karenanya A adalah C          (kesimpulan)

Argumen yang terdapat pada contoh tadi merupakan argumen yang sahih dan memiliki bentuk yang sahih pula. Kita dapat mengatakan bahwa tidak ada argumen deduktif yang memiliki bentuk yang sahih, akan memiliki premis yang benar tetapi mempunyai kesimpulan yang salah.
Silogisme pada contoh tadi terdiri atas tiga bagian, yaitu premis 1 yang biasa disebut premis mayor, premis 2 yang disebut premis minor dan kesimpulan. Premis-premis tersebut merupakan pernyataan yang dapat menerima atau menolak bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar.
Pada dasarnya silogisme terdapat dalam dua bentuk, yaitu silogisme kategorik dan silogisme hipotetik. Silogosme kategorik adalah silogisme yang semua proporsinya merupakan proporsi kategorik.[8]
Proporsi adalah suatu penuturan (assertion) yang utuh, juga dapat didefinisikan ungkapan keputusan dalam kata-kata, atau juga manifestasi luaran dari sebuah keputusan.[9] Proporsi sebagai dasar kita mengambil kesimpulan bukanlah proporsi yang dapat kita nyatakan dalam bentuk oposisi, melainkan proporsi yang mempunyai hubungan independen. Bukan sembarang hubungan independen, melainkan mempunyai term persamaan.[10] Untuk memperjelas uraian tentang silogis katagorik ini, marilah kita tinjau lagi argumen pada contoh tadi.
Semua binatang akan mati.               (premis 1)
Kucingku adalah binatang.               (premis 2)
Karenanya kucingku akan mati.       (kesimpulan)

Dalam rangka mengemukakan pendapat atau kesimpulan, kita perlu membuat analisis terlebih dahulu tentang kalimat yang kita gunakan sebagai pernyataan pendapat dan kesimpulan tadi. Tentu saja pernyataan yang kita buat ini harus merupakan suatu pernyataan yang benar. Suatu kalimat lengkap paling sedikit terdiri atas subjek (S) dan predikat (P). Kalimat kucingku akan mati terdiri atas kata kucingku sebagai subjek (S) dan akan mati sebagai predikat (P). Apabila kita perhatikan, kata mati terdapat pada premis mayor, sedangkan kucingku terdapat pada premis minor. Kata binatang yang terdapat pada kedua premis tersebut merupakan kata yang dapat menunjukkan adanya hubungan antara subjek dan predikat sehingga kesimpulan yang diperoleh itu benar karena didukung oleh kedua premis yang benar pula. Pospoprodjo (1985) menamakan kata yang menghubungkan antara S dan P itu term penengah. Term adalah bagian dari satu kalimat yang berfungsi sebagai S atau P. Kita lihat pula bahwa term penengah itu hanya terdapat pada premis-premis, tetapi tidak terdapat pada kesimpulan. Jadi, fungsi term penengah adalah untuk menunjukkan alasan mengapa S dan P dipersatukan dalam kesimpulan.
 Dalam percakapan sehari-hari atau dalam rapat serta diskusi sering kali kita harus mengemukakan suatu pernyataan yang kita inginkan diterima oleh semua pihak. Dalam hal inilah pentingnya perana silogisme kategorik yang dilandasi oleh logika yang menjadi pedoman untuk menyatakan pikiran kita secara tertib dan teratur. Apabila kita ingin mengemukakan bahwa para koruptor harus dihukum, perlu kita cari term penengah yang akan kita gunakan dalam silogisme kategorik ini. Perhatikan rumusan argumen berikut.
Semua penjahat harus dihukum.       (premis 1)
Koruptor adalah penjahat.                (premis 2)
Koruptor harus dihukum.                 (kesimpulan)

Rumusan tersebut diatas ini menunjukkan titik pangkal pemikiran serta jalan pemikiran yang ada di dalam argumen tersebut. Jadi untuk merumuskan suatu silogisme kategorik, kita rumuskan dahulu kesimpulan yang akan kita kemukakan, kemudian kita cari alasannya yang dalam hal ini menjadi term penengah. Setelah itu disusun silogisme, yaitu kesimpulan yang mengandung S dan P, kemudian kita susun premis minor yang mengandung S dan M (term penengah), dan akhirnya kita susun premis mayor yang terdiri atas M dan P. Premis mayor ini merupakan titik pangkal pemikiran. Dalam contoh di atas yang menjadi term penengah adalah kata penjahat.
Silogisme kategorik tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut.

Bentuk 1
       M --------------------------- P
S ---------------------------- M
S                                                                                  P
Silogisme yang dicontohkan pada awal Kegiatan Belajar 1, yaitu:
Semua intan dapat menggores gelas.                        (premis mayor)
Baru permata pada cincin Lina tidak dapat menggores gelas.                                                          (presmis minor)
Batu permata pada cincin Lina bukan intan.            (kesimpulan)

Dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bentuk 2
                                                 M ---------------------------    P
       S ------------------------------------------------------------      M
       S ----------------------------    P
Bentuk silogisme yang lain ialah silogisme hipotetik. Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proporsi hipotetik, sedangkan premis mayornya adalah proporsi kategorik yang menetapkan atau mengingkari term antecedent atau term kosekuen premis mayornya.[11] Salah satu di antaranya ialah silogisme kondisional atau silogisme bersyarat, yaitu silogisme yang premis mayornya berupa keputusan kondisional.[12]
Perhatikan silogisme kondisional pada contoh berikut ini.
Apabila turun hujan, jalan-jalan basah.         (premis mayor)
Sekarang turun hujan.                                                           (premis minor)
Jadi jalan-jalan basah.                                                           (kesimpulan)

Setelah menyimak argumen tersebut, kita melihat bahwa premis mayornya berupa keputusan kondisional, artinya keputusan yeng mengandung suatu syarat. Premis mayor itu terdiri atas dua bagian, yaitu bagian pertama berupa kalimat: Apabila turun hujan dan bagian kedua jalan-jalan basah. Bagian kedua itu benar, jika syarat pada bagian pertama dipenuhi. Keputusan bersyarat itu sendiri dinyatakan benar jika hubungan bersyarat di dalamnya itu benar. Kalimat berikut menunjukkan hubungan bersyarat yang tidak benar, jika keputusan kondisionalnya salah.
Kalau kamu minum air, kamu akan merasa haus.
Deduksi berpangkal dari suatu pendapat umum berupa teori, hukum, atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus, atau dalam menarik kesimpulan. Penelitian yang semata-mata didasarkan hanya dengan penalaran deduksitidak dapat membawa kita ke pembentukan teori baru.[13]
Bagian keputusan yang mengandung syarat disebut antesedens, sedangkan bagian yang mengandung apa yang dikondisikan disebut konsekuens. Kita tentu mengetahui bahwa dalam hal ini premis mayor menyatakan suatu syarat yang menjadi gantungan benar tidaknya konsikuens, sedangkan premis minor menyatakan dipenuhinya syarat itu. Dengan demikian maka kesimpulan menyatakan benarnya konsikuens.

B.       Argumen Induktif
Mungkin kita pernah mendengar seorang ayah mengatakan kepada anaknya, “Jangan bermain air kotor, nanti kulitmu gatal”. Si ayah mengatakan demikian karena ia pernah beberapa kali kena air kotor, lalu kulitnya terasa gatal atau ia pernah diberitahu oleh seorang dokter bahwa air kotor itu dapat menyebabkan kulit menjadi gatal. Pernyataan seorang ayah tadi mengandung arti bahwa ia menganggap “semua air kotor menyebabkan kulit gatal”. Ini adalah pernyataan yang bersifat umum yang berasal dari sejumlah pengalaman yang bersifat khusus. Si ayah mengalami kulit gatal karena terkena air kotor di beberapa daerah. Pernyataan tersebut merupakan suatu bentuk penalaran yang disebut induksi, yang menyimpulkan suatu pernyataan umum dari sejumlah pernyataan khusus. Kesimpulan yang berupa generalisasi ini hanya didukung oleh beberapa pengalaman si ayah. Dengan demikian kebenarannya belum dapat dipastikan atau dapat dikatakan bahwa pernyataan si ayah tersebut mungkin benar.

Perhatikan contoh berikut ini.
Seorang ahli kimia melakukan eksperimen berpuluh-puluh kali tentang pengaruh kadar gas karbon monoksida terhadap kesehatan. Ia menyimpulkan bahwa gas tersebut berbahaya bagi kesehatan karena dapat mengurangi kemampuan darah mengikat oksigen dari udara. Kesimpulan yang dibuatnya merupakan generalisasi induktif yang derajat kebenarannya lebih tinggi daripada kesimpulan yang dibuat oleh seorang ayah pada contoh terdahulu.
Dari contoh-contoh sederhana di atas dapat kita lihat bahwa argumen induktif berbeda dengan argumen deduktif. Pada argumen deduktif kita marik kesimpulan berdasarkan apa yang tersedia dalam kedua premis, sedangkan pada argumen induktif kita berangkat dari beberapa contoh atau kasus yang dalam banyak hal belum teruji kebenarannya serta membuat generelasi yang berupa kesimpulan yang belum pasti. Jadi, dalam hal argumen induktif kita hanya bicara tentang probabilitas atau kemungkinan. Eksperimen yang dilakukan berkali-kali oleh seorang ilmuwan akan menghasilkan generalisasi induktif yang memiliki tingkat probabilitas yang tinggi, artinya mendekati kebenaran.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.[14] Pemikiran ini berangkat dari suatu kejadian khusus ke suatu kejadian khusus lainnya yang semacam, dan menyimpulkan bahwasanya apa yang benar pada yang satu juga benar pada yang lain.[15]
Bahaya yang melekat pada jalan pikiran induksi ialah bahwa kita terlalu cepat menarik suatu kesimpulan umum (tanpa memperhatikan apakah cukup memiliki dasar untuk itu), atau menganggap sudah pasti sesuatu yang sama sekali belum pasti.[16]
Penalaran induktif mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu. Pada dasarnya ilmu berkembang dengan bertambahnya penemuan-penemuan atau timbulnya teori-teori dan hukum-hukum yang baru. Teori serta hukum dalam ilmu terbentuk dari hasil pemikiran atau eksperimen yang telah teruji derajat kebenarannya pada kurun waktu tertentu. Apabila pada kurun waktu tertentu timbul teori atau hukum baru sebagai hasil generalisasi induktif yang teruji serta didukung oleh bukti-bukti baru maka teori atau hukum yang lama dapat ditinggalkan atau tidak diakui lagi kebenarannya.
 Sebaliknya, pengambilan kesimpulan secara induktif yang kurang didukung oleh data yang akurat atau sampel yang diambil kurang refresentatif akan mengakibatkan kesalahan. Misalnya, hasil eksperimen tentang khasiat obat yang diujikan pada binatang belum dapat dijadikan kesimpulan yang sama bagi manusia. Untuk memperoleh validitas hasil eksperimen tersebut bagi manusia, perlu dilakukan eksperimen tentang khasiat obat tersebut terhadap manusia dalam rangka suatu penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiahnya.
Bagi ilmuwan, hasil penelitian secara ilmiah sebagai suatu proses menalar secara induktif merupakan keyakinan individual yang akan senantiasa dipertahankan. Namun demikian, penyebaran informasi mengenai hasil suatu penelitian ilmiah bagi konsumsi masyarakat awam, perlu memperhatikan tingkat pendidikan, keyakinan, budaya serta nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekeliruan persepsi atau penolakan oleh masyarakat, yang dapat berakibat adanya kesalahan yang dialami oleh sebagian warga masyarakat tertentu. Adakalanya masyarakat sangat percaya pada otoritas seseorang dalam bidang ilmu tertentu. Pernyataan Prof. Soemitro mengenai kebocoran penggunaan pinjaman dari luar negeri sebesar 30%, telah dianggap sebagai kesimpulan induktif yang derajat probabilitasnya tinggi oleh masyarakat karena otoritas beliau di bidang ilmu ekonomi sangat besar.
Proses penalaran induktif dapat kita laksanakan melalui teknik-teknik, generalisasi, analogi, hubungan kausal, hipotesis dan kausal.
Generalisasi sebagai teknik mula-mula yang kita bicarakan adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.[17] Dengan begitu hukum yang disimpulkan dari fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Perlu kita ingat kembali bahwa tingkat probabilitas generalisasi induktif tergantung pada kualitas hal-hal khusus yang mendukungnya. Namun demikian, perlu pula dipahami bahwageneralisasi yang telah dihasilkan mungkin hanya berlaku untuk kurun waktu tertentu karena kondisinya telah berubah. Perkembangan teknologi mempunyai peranan penting dalam menciptakan perubahan kondisi tersebut. Misalnya, perkembangan dalam bidang teknologi computer telah mampu menghasilkan alat laboratorium yang memiliki tingkat reabilitas serta kecermatan yang tinggi sehingga dapat menghasilkan bukti-bukti baru yang lebih berkualitas. Dengan demikian, hal itu memungkinkan timbulnya generalisasi baru yang lebih tinggi tingkat probabilitasnya.



BAB III
KESIMPULAN

Argumen deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Deduktif diawali oleh sebuah asumsi (entah itu dogma, atau apapun) yang kemudian dilanjutkan dengan kesimpulan yang lebih khusus yang diturunkan dari asumsi awal tersebut. Kesimpulan yang diambil harus merupakan turunan atau derivasi dari asumsi atau pernyataan awal. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berfikir yang dinamakan silogisme.
Pada dasarnya silogisme terdapat dalam dua bentuk, yaitu silogisme kategorik dan silogisme hipotetik. Silogosme kategorik adalah silogisme yang semua proporsinya merupakan proporsi kategorik.Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proporsi hipotetik, sedangkan premis mayornya adalah proporsi kategorik yang menetapkan atau mengingkari term antecedent atau term kosekuen premis mayornya.
Proporsi adalah suatu penuturan (assertion) yang utuh, juga dapat didefinisikan ungkapan keputusan dalam kata-kata, atau juga manifestasi luaran dari sebuah keputusan.
Argumen induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Argumen induktif mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu. Pada dasarnya ilmu berkembang dengan bertambahnya penemuan-penemuan atau timbulnya teori-teori dan hukum-hukum yang baru.
Generalisasi sebagai teknik mula-mula yang kita bicarakan adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. Dengan begitu hukum yang disimpulkan dari fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Bahaya yang melekat pada jalan pikiran induksi ialah bahwa kita terlalu cepat menarik suatu kesimpulan umum (tanpa memperhatikan apakah cukup memiliki dasar untuk itu), atau menganggap sudah pasti sesuatu yang sama sekali belum pasti.


DAFTAR PUSTAKA

Akin, Hasriadi M. Berfikir Nalar. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/08/berfikir-nalar-prof-dr-hasriadi-m-akin.pdf
Mundiri. Logika. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1998
Poedjiadi, Anna, Suwarma. Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008
Pospoprodjo W. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berfikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. Bandung: Pustaka Grafika. 1999
____________. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika. 1999
Santoso. Penalaran Deduktif dan Induktif. http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
Shadiq, Fadjar. Deduksi atau Penalaran Deduktif : Kelebihan dan Kekurangannya, http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2008/06/07-deduksi_limas_.pdf. 07/06/2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2003





FOOTNOTE


[1]W. Pospoprodjo, Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berfikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis, (Bandung: Pustaka grafika, 1999), hal. 22
[2]Anna Poedjiadi dan Suwarma, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), Hal. 4.10
[3]Santoso, Penalaran Deduktif dan Induktif, http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
[5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), Hal. 49
[6]Fadjar Shadiq, Deduksi atau Penalaran Deduktif : Kelebihan dan Kekurangannya, http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2008/06/07-deduksi_limas_.pdf, 07/06/2008. Hal. 5
[7]Hasriadi M. Akin, Berfikir Nalar, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/08/berfikir-nalar-prof-dr-hasriadi-m-akin.pdf, hal.16
[8]Mundiri, Logika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), Hal. 86
[9]W. Pospoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), Hal. 170
[10]Mundiri, Loc. Cit., Hal. 85-86
[11]Ibid.. Hal 111
[12]Anna Poedjiadi dan Suwarma, Op. Cit., Hal. 4.13
[13] Hasriadi M. Akin, Op. Cit., hal.14
[14]Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit., Hal. 48
[15]W. Pospoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, Op. Cit., Hal. 242
[16]W. Pospoprodjo, Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berfikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis, Op. Cit. Hal. 24
[17]Mundiri, Op. Cit., Hal. 125

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites