Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Selasa, 06 Januari 2015

PROPOSAL PTK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL MELALUI PENNDEKATAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH/PROBLEM BASED INTRUCTION (PBI) PADA SISWA KELAS VIII MADRASAH TSANAWIYAH INAYATUL MARZUKI DESA TATAH LAYAP KECAMATAN TATAH MAKMUR KABUPATEN BANJAR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika merupakan disiplin ilmu yang bersifat khas. Salah satu kekhasannya adalah bersifar abstrak. Sifat inilah yang sering menimbulkan masalah bagi seseorang dalam mempelajari matematika, padahal matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Matematika merupakan pengetahuan yang esensial sebagai dasar untuk bekerja seumur hidup dalam era globalisasi (Hudoyo, 1994, 2). Karena itu, setiap manusia termasuk siswa perlu mengetahui dan menguasai matematika sebagai bekal hidupnya dalam memasuki era globalisasi ini.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, tidak terkecuali di Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kab. Banjar. Dari hasil analisis penulis sebagai guru mata pelajaran di sekolah ini, dari hasil proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan pola pembelajaran yang lebih banyak didominasi oleh guru, ternyata keterlibatan siswa selama pembelajaran belum optimal sehingga berakibat pada perolehan hasil belajar siswa tidak optimal pula. Karena ternyata disini peran siswa tidak lagi sebagai subjek belajar melainkan sebagai objek pembelajaran. Tanggung jawab siswa terhadap tugas belajarnya seperti dalam hal kemampuan mengembangkan, menemukan, menyelidiki, dan mengungkap pengetahuan yang dimiliki masih sangat kurang. Sebab ternyata proses pembelajaran yang dilakukan lebih menekankan pada tuntutan kurikulum dan penyampaian tekstual semata dari pada pengembangan kemampuan belajar siswa tersebut.
Padahal peranan guru sebagai salah satu pemeran utama dalam proses pembelajaran haruslah profesional di bidangnya agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik sekaligus sebagai pengajar yang berkompeten. Untuk itu guru haruslah menguasai bahan yang diajarkan, terampil mengajarkannya, dan mampu mengatasi berbagai kendala yang ditemaui dalam pembelajaran. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah mampu memilih dan menggunakan dengan tepat metode, pendekatan, atau model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi yang diajarkan, dan karakteristik siswa agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara optimal.
Melihat dan mencermati hasil analisa yang penulis lakukan, teryata dengan proses pembelajaran yang telah dilakukan, capaian hasil belajar siswa kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar pada materi Sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) belum mencapai kriteria ketuntasan sebagaimana yang ditetapkan. Pada materi ini ada kurang lebih 60% siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan setiap kali diadakan evaluasi. Ketidaktercapaian ketuntasan belajar ini disebabkan oleh kurang mampunya siswa dalam menyelesaikan permasalahan sesuai tahapan penyelesaian soal berbentuk masalah. Pola pengajaran yang selama ini dilakukan ternyata belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa untuk menemukan ide dan pendapat mereka, dan bahkan siswa masih enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang disajikan guru.
Untuk mengantisipasi masalah ini, guru perlu menemukan suatu pola atau model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbentuk masalah, menumbuhkan kembali motivasi dan minat siswa dalam belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru hendaknya mampu menerapkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengembangkan, menemukan, menyelidiki, dan mengungkap ide siswa sendiri, serta melakukan proses penilaian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil belajar siswa yang optimal. Dengan kata lain diharapkan kiranya guru mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa dalam matematika dan melakukan penilaian yang berkelanjutan.
B. Rumusan Masalah
Kemampuan memecahkan masalah merupakan tujuan umum dalam pengajaran matematika dan bahkan sebagai jantung matematika. Karena itu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam matematika perlu dilatih dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Kemampuan ini diperlukan siswa sebagai bekal siswa dalam memecahkan persoalan matematika dan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa memecahkan masalah adalah model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Intruction). Model ini merupakan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik (nyata) sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Permasalahannya adalah apakah dengan pelaksanaan pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Instruction) pada siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar dapat meningkatkan hasil belajar siswa masih memerlukan penelitian secara empirik.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk melakukan penelitian tindakan kelas dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan rumusan masalah sebagai berikut: “Apakah model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar?”
Secara rinci masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar siswa?
2. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran?
3. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran?
4. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
Untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan di atas, penulis dan kolaborator melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Merancang perangkat pembelajaran berorientasi pembelajaran berdasarkan masalah yang meliputi, rencana pembelajaran, lembar kerja siswa, alat-alat bantu pembelajaran, dan lembar penilaian.
b. Melakukan simulasi untuk mengetahui apakah perangkat pembelajaran yang telah disusun layak untuk digunakan dalam penelitian.
c. Membuat lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memverifikasi apakah pelaksanaan pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
2. Mengetahui aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
3. Mengetahui aktivitas guru selama pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
4. Mengetahui kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Peneliti memperoleh informasi yang terpercaya yang dapat dijadikan bekal untuk mengajar di masa yang akan datang
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
E. Hepotesis Tindakan
Melalui pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variaber. Pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah juga akan dapat meningkatkan aktivitas siswa dan guru dalam proses pembelajaran, serta dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
F. Definisi Operasional
Yang dimaksud dengan meningkatkan hasil belajar disini adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami, merumuskan, mengembangkan, menyelidiki dan memecahkan, permasalahan matematika yang berhubungan dengan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
Sedangkan yang dimaksud dengan meningkatkan aktivitas siswa adalah upaya untuk mengarahkan anak untuk lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran dan lebih menyenangi mata pelajaran matamatika melalui proses pembelajaran tersebut sehingga anak bukan lagi sebagai objek pembelajaran, melainkan sebagai subjek dari pembelajaran.
Adapun yang dikehendaki dengan meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran adalah upaya untuk menjadikan guru dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran, aktivitas guru tidak lagi cuma sekedar melakukan kegiatan pendahuluan, menutup, dan menyajikan konsep/teori kepada siswa, tetapi lebih kepada bagaimana guru mengorganisir siswa, mengarahkan siswa kepada masalah, membimbing dan membantu siswa memecahkan masalah, membantu siswa mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah, serta menganalisa dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.

BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian dan Makna Belajar
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Belajar berarti berusaha, memperoleh kepandaian atau ilmu; membaca; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
Skiner (1973) mengartikan belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
M. Sobry Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004), mengartikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dengan interaksi dengan lingkungannya.
C. T. Morgan (1962) mengartikan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang telah lalu.
Cronbach memberikan definisi: Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.
Harold Spears memberikan batasan: Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction.

Geoch mengatakan: Learning is a change in performance as a result of practice.
Menurut Oemar Hamalik (2002) belajar adalah perubahan tingkah laku yang reatif mantap berkat latihan dan pengalaman.
Sedang menurut Pedoman Pembinaan Profesional Guru sekolah Dasar dan Menengah, Dirjen Dikdasmen, Depdikbud , Jakarta (1997-1998) yang dikutip dari skripsi Dimar R. yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII F SMP Negeri 01 Ketanggungan Brebes pada Pokok Bahasan Teorema Phytagoras Melalui Diskusi Dalam Kelompok-Kelompok Kecil” belajar didefinisikan sebagai berikut:
“Belajar merupakan proses perubahan tingkah siswa akibat adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, kemauan, minat, sikap, kemampuan untuk berpikir logis, praktis dan kritis”.
Selain itu belajar juga dapat diartikan sebaagi proses perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu dan belajar merupakan proses pengetahuan. Sebagai upaya untuk mencapai suatu perubahan kegiatan belajar itu sendiri harus dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh siswa menjadi aktif, dapat merangsang daya cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini para siswa tidak hanya mendengarkan atau menerima penjelasan guru secara sepihak, tetapi dapat pula melakukan aktivitas-aktivitas lain yang bermakna dan menunjang proses penyampaian yang dimaksud. Misalnya melakukan percobaan, membaca buku, bahkan jika perlu siswa-siswa tersebut dibimbing menemukan masalah dan sekaligus mencari upaya-upaya pemecahannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diterangkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya serta merupakan hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya. Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa hasil dari belajar adalah perubahan, yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau setelah melakukan aktivitas tertentu.
Ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul suparno, 1997) yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Belajar berarti mencari makna, makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
2. Kontruksi makna adalah proses yang terus menerus
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan ah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi yang memengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
B. Hasil Belajar
Menurut bahasa hasil berarti sesuatu yang diadakan, dibuat pikiran, tanam-tanaman, tanah sawah, ladang hutan, dan sebagainya; pendapatan; akibat kesudahan.
Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan, maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasilyang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, [2003] dalam Fathul Himam, [2004])
Gagne (1985) menyebutkan ada lima macam hasil belajar, yaitu:
1. Keterampilan intelektual atau keterampilan proseduralyang mencakup belajar diskriminasi, konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang semuanya didapatkan lewat materi yang disampaikan guru di sekolah.
2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah baru dengan cara mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat, dan berpikir.
3. Informasi verbal, yakni kemampuan untuk menggambarkan sesuatu dengan kata-kata dengan cara mengatur informasi-informasi yang relevan.
4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5. Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor intelektual.
C. Pengertian dan Hakekat Belajar Matematika
Matematika, menurut Ruseffendi (1991), adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Sedang hakekat matematika menurut Soedjadi (2000), yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.
Hakekat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata. Schoenfeld (1985) mendefinisikan bahwa belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah. Matematika melibatkan pengamatan, penyelidikan, dan keterkaitannya dengan fenomena fisik dan sosial. Berkaitan dengan hal ini, maka belajar matematika merupakan suatu kegiatan yang berkenaan dengan penyelesaian himpunan-himpunan dari unsur matematika yang sederhana dan merupakan himpunan-himpunan bar, yang selanjutnya membentuk himpunan-himpunan baru yang lebih rumit. Demikian seterusnya, sehinga dalam belajar matematika harus dilakukan secara hierarki. Dengan kata lain belajar matematika pada tahap yang lebih tinggi harus didasarkan pada tahap belajar yang lebih rendah.
Selanjutnya Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural tau hierarki dalam belajar matematika. Kedelapan belajar tersebut adalah:
1. Belajar sinyal (signal learning)
2. Belajar Stimulus respons (stimulus-response learning)
3. Belajar merangkai tingkah laku (behavior chaining learning)
4. Belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning)
5. Belajar diskriminasi (discrimination learning)
6. Belajar konsep (concept learning)
7. Belajar aturan (rule learning)
8. Belajar memecahkan masalah (problem solving learning)
Menurut Piaget seperti yang dikemukakan Bell Gredller bahwa untuk memahami konsep matematika dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih tinggi, berkembang seiring dengan perkembangan intelektual anak yang dipilahnya menjadi empat periode berpikir. Keempat periode berpikir itu, yakni:
1. Periode sensori motor
2. Praoperasional
3. Operasi konkret
4. Periode operasi formal
Menurut Piaget, perkembangan intelektual terjadi secara pasti dan spontan. Sedangkan anak belajar matematika sifatnya fleksibel, tidak tergantung pada umurnya. Dapat dipahami bahwa Piaget tidak sependapat jika belajar matematika dipandang sebagai suatu proses yang terbatas, yaitu lebih dipacu ke arah spontanitas terbatas untuk masalah tunggal (teori stimulus-respon). Ini disebabkan adanya struktur kognitif anak yang merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam belajar matematika.
Struktur kognitif anak menurut Ausubel (dalam Romiszowski) berhubungan dengan struktur ingatan yang secara tetap terbentuk dari apa yang sudah dibentuk sebelumnya. Untuk itu, bahan pelajaran matematika yang dipelajari harus bermakna, artinya bahan pelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematika yang baru perlu dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap dengan baik. Hakekat belajar matematika seperti ini oleh Ausubel disebut sebagai belajar bermakna.
Bruner misalnya, mengonsepkan belajar suatu bidang studi sebagai suatu proses informasi, transpormasi informasi ke dalam memori, serta uji relavansinya pada situasi atau permaslahan yang relevan. Lebih jauh menurut Bruner, persoalan inti dari belajar memecahkan masalah matematika terletak pada bagaimana informasi yang didapatkan disimpan di dalam memori sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil (retrieved) pada saat diperlukan. Saat yang dimaksud adalah ketika seseorang dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang polanya baru.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika, sebaiknya dalam proses pembelajarannya perlu memperhatikan teori pemprosesan informasi. Sedikitnya ada empat tahap yang dilalui dalam pemrosesan informasi, yakni:
1. Pemasukan informasi yang akan dicatat melalui indra.
2. Simpanan jangka pendek, dimana informasi yang diterima hanya bertahan selama 0,5 sampai 2,0 detik.
3. Memori jangka pendek atau memori kerja, dimana data dalam jumlah terbatas dipertahankan selama dua puluh detik.
4. Memori jangka panjang, dimana data yang telah disandikan menjadi bagian dari sistem pengetahuan. Memori yang tidak tersandikan akan hilang dari sistem memori.
Menurut M. Sabry Sutikno (2007) untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pembelajaran, perlu diberlakukan usaha atau tindakan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan membandingkan hasilnya dengan tolak ukur untuk memperoleh simpulan.
Menurut Sardiman N., dkk., (1991: 242) sebagaiman dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah (2005: 247) tujan penilaian dalam proses belajar mengajar adalah:
1. Mengambil keputusan tentang hasil belajar.
2. Memahami anak didik.
3. Memperbaiki dan mengembangkan program pengajaran.
Menurut Sardiman N., dkk., pengambilan keputusan tentang hasil belajar merupakan suatu keharusan bagi seorang guru agar dapat mengetahui berhasil tidaknya anak didik dalam proses belajar mengajar.
Menurut Muhaimin, dkk., (2008) untuk pengendalian sistem mutu pendidikan yang diprogramkan, maka diperluakan suatu acuan standar sistem penilaian sesuai dengan acuan tuntutan standar penilaian pendidikan nasional dan kondisi masing-masing sekolah dalam mengukur keberhasilan program yang dikembangkan. Oleh karenanya, diantara sekian banyak yang perlu ditetapkan oleh sekolah untuk mengendailan mutu pendidikan tersebut adalah standar ketuntasan belajar.
Ketuntasan belajar berisi tentang kriteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal per mata pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah/madrasah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Sekolah/madrasah harus menetapkan ketuntasan belajar dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku dan kondisi nyata yang ada disekolah/madrasah. Peraturan yang berlaku meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga. Ketiga peraturan tersebut harus dalam bentuk saling memperkuat.
2. Dengan mempertimbangkan kondisi di atas, dalam setiap tahun ajaran baru, guru (dengan melalui forum guru serumpun) dapat menentukan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM), atau kriteria ketuntasan belajar minimal (KKM). SKBM atau KKM tersebut harus diinformasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah dan orang tua.
3. Sekolah/madrasah dapat menetapkan batas/standar ketuntasan belajar minimal di bawah nilai ketuntasan belajar maksimum (100) dengan catatan sekolah/madrasah harus merencanakan target dalam waktu tertentu untuk mencapai nilai ketuntasan belajar ideal.
4. Penetapan nilai ketuntasan belajar minimum (KKM) dilakukan melalui analisis ketuntasan minimum pada setiap indikator, KD dan SK. Masing-masing dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan belajar minimal dan penetapannya harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Tingkat Kompleksitas (kerumitan dan kesulitan) tiap indikator, SK dan KD per mata pelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Tingkat kompleksitas tinggi bila dalam pelaksanaan suatu indikator, KD, SK mata pelajaran menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, penalaran dan kecermatan siswa yang tinggi, penerapan yang kompleks, sikap yang tinggi, SDM memahami kompetensi yang harus dicapai siswa secara kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran, membutuhkan waktu yang cukup lama karena pengulangan. Semakin tinggi tingkat kompleksitasnya maka semakin rendah nilai kompleksitasnya.
b. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata siswa pada sekolah/madrasah yang bersangkutan. Hasil belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan peserta didik. Karena itu, dalam penetapan KKM, kondisi rata-rata kemampuan peserta didik perlu dijadikan dasar acuan standar keberhasilan pembelajaran. Pertimbangan intake siswa dalam menetapkan KKM kelas awal didasarkan pada rata-rata tingkat kemampuan awal peserta hasil seleksi PSB, nilai tes seleksi atau hasil yang dicapai pada satuan pendidikan sebelumnya. Sedangkan untuk kelas di atasnya didasarkan pada tingkat pencapaian KKM pada semester atau kelas sebelumnya. Semakin tinggi nilai rata-rata kemampuan peserta didik maka semakin tinggi nilai intakenya.
c. Kemampuan sumber daya dukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah/madrasah. Semakin tercukupi sumber daya baik yang berupa sumber daya manusia atau suber daya lainnya, maka semakin tinggi tingkat keefektifan pembelajaran. Pertimbangan daya dukung sekolah/madrasah dalam menetapkan KKM dapat dapat didasarkan pada ketesediaan dan ketrcukupan tenaga pendidikan, fasilitas yang tersedia, sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, biaya opersional pendidikan (BOP), manajemen sekolah, kepedulian stakeholders sekolah/madrasah. Semakin tinggi tingkat ketercukupan dan kesesuaian daya dukung sekolah/madrasah, maka semakin mudah untuk mencapai hasil belajar, sehingga nilainya sangat tinggi.
D. Materi Ajar yang Berkaitan Dengan Penelitian.
1. Persamaan linear satu variabel
2. Persamaan Linear Dua Variabel (PLDV)
Suatu persamaan disebut persamaan linear dua variabel apabila persamaan tersebut memiliki dua buah variabel/peubah dan pangkat tertinggi masing-masing variabel/peubah tersebut adalah satu.
Bentuk umum persamaan linear dua variabel (PLDV) adalah:
ax + by = c
dimana a, b, dan c merupakan konstanta
x dan y merupakan variabel/peubahnya.
Atau dengan kata lain, Persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk ax + by = c dengan a, b, c Є R, a ≠ 0, b ≠ 0, dan x, y suatu variabel disebut persamaan linear dua variabel.
Contoh persamaan linear dua variabel
3x + y = 9
2a + b = 10
3. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Apabila kita mempunyai dua buah persamaan linear dua variabel, yaitu a1x + b1y = c1 dan a2x + b2y = c2 atau sering ditulis
a1x + b1y = c1
a2x + b2y = c2
maka kedua persamaan iu disebut sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Nilai x dan y yang memenuhi kedua persamaan kedua persamaan tersebut disebut penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel, dan nilai x dan y yang tidak memenuhi kedua persamaan tersebut bukan merupakan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel.
Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dapat digunakan beberapa cara,yaitu dengan menggunakan metode grafik, metode eliminasi, metode substitusi, dan metode campuran.
a. Penyelesaian SPLDV dengan Metode Grafik
Untuk menyelesaiakan suatu SPLDV dengan metode ini ada beberapa ahapan yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menggambarkan setiap persamaan pada bidang Cartesius.
2) Menentukan titik potong kedua garis (persamaan) tersebut.
Pasangan koordinat titik potong kedua persamaan tersebut merupakan penyelesaian dari sistem persamaan linear dua variabel. Apabila kedua persamaan tersebut tidak memiliki titik potong, maka SPLDV tidak memiliki penyelesaian.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan metode grafik.
Jawab.
Persamaan x + 2y = 4 akan melalui titik-titik yang terdapat pada tabel berikut.
X 0 4
Y 2 0



Sedangkan persamaan x – y = 1 akan melalui titik-titik yang terdapat pada tabel di bawah ini.
X 0 1
Y -1 0

Grafik himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah sebagai berikut.

Tampak pada grafik di atas atas bahwa kedua garis berpotongan di titik (2,1)
Jadi himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah {(2,1)}.
b. Menyelesaikan SPLDV dengan menggunakan metode Eliminasi
Yang dimaksud dengan metode eliminasi adalah menghilangkan salah satu peubah (biasanya x dan y) pada persamaan linear dua variabel untuk mendapatkan penyelesaian.
Untuk menyelesaikan suatu SPLDV dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah:
1) Jika koefisien dari variabel x atau y yang akan dihilangkan pada kedua persamaan linear tidak sama, maka langkah pertama adalah meyamakan terlebih dahulu koefisien yang akan dihilangkan tersebut dengan cara mengalikan/membagi dengan bilangan tertentu sehingga akan diperoleh koefisien yang sama.
2) Selanjunya lihat tanda kedua yang disamakan koefisiennya. Apabila keduanya memiliki tanda yang sama, maka keduanya dikurangkan satu dengan yang lainnya, dan apabila berbeda maka keduanya dijumlahkan.
Perhatikan contoh berikut
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode eliminasi.
Penyelesaian:
Untuk mendapatkan nilai y terlebih dahulu kita harus mengeliminasi nilai x dengan langkah/cara sebagai berikut

Dan untuk memperoleh nilai x kita eliminasi terlebih dahulu nilai y dengan cara sebagai berikut:

Sehingga diperoleh nilai x = 2 dan y = 1
3) Menyelesaiakan SPLDV dengan menggunakan metode substitusi
Metode substitusi adalah suatu metode penyelesaian sistem persamaan linear dengan cara mengganti atau menyulih variabel-varial yang ada sehingga ditemukan persamaan linear satu variabel.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Merubah salah satu persamaan sehingga salah satu variabel menjadi bentuk fungsi variabel yang lain.
b. Mengganti variabel pada persamaan yang lain dengan fungsi tersebut.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode substitusi.
Penyelesaian:
Diketahui; x + 2y = 4 dan x – y = 1
Misal x – y = 1 kita ubah ke bentuk fungsi maka kita peroleh
x – y = 1
x – y + y = 1 + y
x = 1 + y
Langkah selanjutnya adalah mensubstitusikan fungsi x = 1 + y ke dalam persamaan x + 2y = 4, sehingga diperoleh
x + 2y = 4
(1 + y) + 2y = 4
1 + y + 2y = 4
1 – 1 + 3y = 4 – 1
3y = 3
y = 1
dengan mensubstitusikan y = 1 ke dalam salah persamaan tersebut diperoleh:
x + 2y = 4
x + 2(1) = 4
x + 2 = 4
x + 2 – 2 = 4 – 2
x = 2
sehingga himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah {(2,1)}.
4) Menyelesaikan SPLDV menggunakan metode campuran.
Seringkali dalam menyelesaikan SPLDV digunakan metode eliminasi dan substitusi secara bersamaan. Cara seperti ini biasa disebut metode campuran atau metode gabungan.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengeliminasi atau menghilangkan salah satu variabel kemudian mengganti dan mensubstitusikan nilai variabel yang didapat pada salah satu persamaan yang ada. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode campuran.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan metode eliminasi kita hilangkan salah satu variabel pada persamaan persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, misal variabel yang akan kita eliminasi adalah variabel x, maka kita peroleh

Selanjutnya kita substitusikan y = 1 ke salah satu dari persamaan yang ada, misal kita substitusikan ke dalam persamaan x – y = 1 sehigga kita peroleh
x – y = 1
x – 1 = 1
x – 1 + 1 = 1 + 1
x = 2
E. Pengertian Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Winkel (1991), mengartikan pembelajaran sebagai seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap kejadian-kejadian internal yang berlangsung dalam diri peserta didik.
Dimyathi dan Mudjiono, (1999) mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa.
Dalam pengertian lain Iskandar, et al,. (1995) mengartikan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.
Sedang Arief. S. Sadiman et al., (1990) mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa.
Jadi pembelajaran tidak sama dengan belajar, karena belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan yang baru, sedang pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan guru untuk membelajarkan siswa, atau dengan kata lain pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh guru/pendidik agar terjadi proses belajar pada diri siswa.
Menurut M. Sobry Sutikno (2007), dalam pembelajaran pendidik dituntut untuk dapat berfungsi dalam melaksanakan empat macam tugas berikut ini:
1. Merencanakan, baik untuk jangka panjang (satu tahun dan satu semester), maupun perencanaan jangka pendek (satu pertemuan). Perencanaan ini harus dilakukan dengan pemikiran yang matang agar tujuan dari pembelajaran dapat tercapai.
2. Mengatur, yang dilakukan pada waktu implementasi. Tugas ini berkenaan dengan apa yang mencakup rencana dan pengetahuan, tentang bentuk dan macam kegiatan yang harus dilaksanakan, dan bagaimana agar semua komponen dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3. Mengarahkan, agar proses belajar dapat berjalan lebih lancar.
4. Mengevaluasi, untuk mengetahui apakah perencanaan, pengaturan dan pengarahan dapat berjalan dengan baik ataukah masih perlu diperbaiki.
Menurutnya, ciri-ciri pembelajaran secara detail meliputi:
1. Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk siswa dalam suatu perkembangan tertentu.
2. Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode, dan teknik yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Fokus materi jelas, terarah, dan terencana dengan baik.
4. Adanya aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
5. Aktor guru yang cermat dan tepat.
6. Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan siswa dalam proporsi masing-masing.
7. Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
8. Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan model pembelajaran yang mengikuti pola Top-down. Pembelajaran yang demikian ini merupakan implementasi dari teori belajar konstruktivisme. Penerapan pembelajaran ini adalah memecahkan masalah keseharian (authentik) sehingga anak sudah dibiasakan dengan situasi nyata sehari-hari.
Selain itu, dengan PBI guru dapat melatih siswa untuk menjadi pembelajar mandiri, meniru peran orang dewasa dan terbiasa memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) dikenal melalui berbagai nama seperti Pembelajaran Projek (Project Based –Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experienced Based education), Belajar autentik (Autentic learning), Pembelajaran Berakar pada kehidupan nyata (Anchored instruction).
Arends (Hurhayati Abbas 2000: 12) sebagaimana dikutip Kusmini (2005: 22) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Menurut Nurhayati Abbas (2002: 12) sebagaimana dikutip lebih lanjut oleh Kusmini (2005: 22) menyatakan bahwa model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir krtitis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan megarahkan diri. Penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah adalah pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pda masalah, termasuk bagaimana belajar.
Lev Vygotsky dalam muslimin Ibramin dan Mohamad Nur (2002:15) sebagaimana dikutip Muslimatun (2006) mengemukakan bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalamannya sendiri. Dia juga menambahkan bahwa interasi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pembelajaran berbasis masalah berusaha memantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom. Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu sendiri.
Menurut Arends (Abbas:2000: 10) seperti yang dikutip Herman Wahyu Pratomo (2006: 10) ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah meliputi suatu pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, menghasilkan karya, dan penghargaan.
Tujuan Pembelajaran berdasarkan masalah adalah untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, belajar berperan sebagai orang dewasa yang autentik, dan menjadi pebelajar yang mandiri.
Adapun penerapan pembelajaran berdasarkan masalah ini terdiri atas lima tahap berikut:

Fase ke- Indikator Aktivitas atau Kegiatan Guru
1 Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperement, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4 Mengemangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang sesuai, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

F. Aktivitas Siswa
Menurut kamus bahasa Indonesia, aktivitas berarti kegiatan kesibukan; keaktifan; kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan.
Menurut Sardiman A. M (1986) dalam belajar diperlukan aktivitas. Sebab menurutnya pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Menurut Sardiman tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asa yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar.
Lebih lanjut ia mengutip pernyataan Montessori yang mengatakan bahwa anak-anak memiliki tenaga-tenaga untuk berkembang sendiri, membentuk sendiri. Pendidik akan berperan sebagai pembimbing dan mengamati bagaimana perkembangan anak didiknya. Menurut sardiman pernyataan Montessori ini memberikan petunjuk bahwa yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam pembentukan diri adalah anak itu sendiri, sedang pendidik berperan untuk memberikan bimbingan dan merencanakan kegiatan yang akan diperbuat oleh anak didik.
Lebih lanjut ia mengutip pernyatan Rousseau yang menjelaskan bahwa segala perbuatan itu haruslah diperoleh dengan pengamatan sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun secara teknis. Menurutnya hal ini menunjukan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri. Tampa ada aktivitas, belajar tidak mungkin terjadi.
Menurutnya sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Menurutnya banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan siswa di sekolah. Menurutnya aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat sebagaiman lazimnya terdapat di sekolah-sekolah tradisional. ia menjelaskan bahwa Paul B. Diedrich telah membuat suatu daftar yang berisi 177 (seratus tujuh puluh tujuh) macam kegiatan siswa yang diantara 177 cara tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Visual Activites, yang termasuk di dalamnya adalah membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, dan pekerjaan orang lain.
b. Oral Activites, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi.
c. Listening Activites, seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.
d. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, dan menyalin.
e. Drawing activites, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, dan diagram.
f. Motor activites, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model reparasi, bermain, berkebun, beternak.
g. Mental activities, misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activites, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
Menurutnya dengan klasifikasi seperti yang diuraikan diatas menunjukan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Dan jika seandainya berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan kanm memperlancar peranannya sebagai pusat dan transformasi kebudayaan.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 84) aktivitas belajar anak meliputi:
1. Anak didik blajar secara individual untuk menerapkan konsep, prinsip, dam generalisasi.
2. Anak didik belajar dalam bentuk kelompok untuk memecahkan masalah.
3. Setiap anak didik berpartisipasi dalam melaksanakan tugas belajarnya melalui berbagai cara.
4. Ada aktivitas belajar analisis, sintesis, penilaian, dan kesimpulan.
5. Anak didik berani mengajukan pendapat.
6. Antar anak didik terjalinhubungan sosial dalam melaksanakan kegiatan belajar.
7. Setiap anak didik bisa mengomentari dan memberikan tanggapan terhadap pendapat anak didik yang lain.
8. Setiap anak didik berkesempatan menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia.
9. Setiap anak didik berupaya menilai hasil belajar yang dicapainya.
10. Ada upaya dari anak didik untuk bertanya kepada guru dan/atau meminta pendapat guru dalam upaya kegiatan belajarnya.
G. Aktivitas Guru
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 85) diantara aktivitas guru mengajar adalah:
1. Guru memberikan konsep esensial bahan pelajaran.
2. Guru mengajukan masalah dan/atau tugas-tugas belajar kepada anak didik, baik secara individual atau kelompok.
3. Guru memberikan bantuan mempelajari bahan pelajaran dan/atau memecahkan masalahnya.
4. Guru memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bertanya.
5. Guru mengusahakan sumber belajar yang diperlukan oleh anak didik.
6. Guru memberikan bantuan atau bimbingan belajar kepada anaka didik, baik individual maupun kelompok.
7. Guru mendorong motivasi belajar anak didik melalui pengahargaan dan/atau hukuman.
8. Guru menggunakan berbagai metode dan media pengajaran dalam proses mengajarnya.
9. Guru melaksanakan penilaian dan monitoring terhadap proses dan hasil belajar anak didik.
10. Guru menjelaskan tercapainya tujuan belajar dan menyimpulkan pengajaran dan tindak lanjutnya.
H. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Dalam kamus bahasa Indonesia mampu berarti kuasa, sanggup melakukan sesuatu; dapat; berada, kaya.
Jadi kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Oemar Hamalik (2002) diantara kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar dengan pengalaman mengajar. Kemampuan ini meliputi:
1. Mempelajari cara-cara memotivasi siswa untuk belajar.
2. Berlatih menggunakan cara-cara memotivasi siswa.
3. Mempelajari macam-macam bentuk pertanyaan.
4. Berlatih menggunakan macam-macam pertanyaan secara tepat.
5. Mempelajari beberapa mekanisme psikologis belajar mengajar di sekolah (transfer, reinforcement, retention, dan senbagainya.
6. Mengkaji faktor-faktor fositif dan negatif dalam proses belajar.
7. Mempelajari cara-cara berkomunikasi antarpribadi.
8. Berlatih menggunakan cara-cara berkomunikasi antarpribadi.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari bagaimana penelitian ini dilakukan, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas, merupakan rangkaian penelitian yang dilakukan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah sampai masalah itu terpecahkan. PTK bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Penelitian tindakan di sini adalah kolaboratif partisipatoris, yaitu kerja sama antara peneliti dengan guru atau teman sejawat di lapangan. Peneliti terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.
Menurut Suhardjono (2007: 61) seperti dikutip Mohammad Asrori (2008: 13) tujuan penelitian tindakan kelas adalah:
a. Meningkatkan mutu isi, masukan proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
b. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam kelas.
c. Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.
d. Menumbuh-kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan.
2. Desain Penelitian
Desain PTK mengacu pada model Kemmis dan MC Taggart (1988) yang terdiri atas empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. PTK dilaksanakan dalam dua siklus.

B. Sasaran Penelitian
Penelitian dilaksanakan di MTs. Inayatul Marzuki Kelas VIII
C. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian pada semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011 di kelas VIII MTs. Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kec.Tatah Makmur Kab. Banjar. Pelaksanaan berlangsung pada tanggal Oktober-Nopember 2010 selama 8 jam pelajaran. Tiap jam pelajaran berlangsung selama 40 menit.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimulai dengan siklus pertama yang terdiri atas empat kegiatan, yaitu, perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Apabila peneliti sudah mengetahui apa dimana letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang telah dilakukan pada siklus pertama, maka peneliti akan membuat kembali rancangan tindakan yang akan peneliti lakukan pada siklus kedua. Kegiatan pada siklus kedua ini merupakan kelanjutan dari keberhasilan tindakan pada siklus pertama. Namun pada siklus kedua ini peneliti memberikan tambahan-tambahan tindakan untuk perbaikan dari hambatan dan kesulitan dari siklus pertama.
Berikut adalah bagan prosedur PTK yang akan peneliti lakukan dalam proses Penelitian Tindakan Kelas.

E. Kehadiran Peneliti di Lapangan
Sesuai dengan pendekatan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat diutamakan, karena peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana dan pembuat laporan.
Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh teman sejawat yaitu Uzair Yusra, S. Pd. Sebagai Observer yang mengamati aktivitas siswa dan guru selama berlangsungnya tindakan dan Rabiatul Adawiyah sebagai Observer yang mengamati proses Belajar Mengajar. Peneliti sebagai perencana tindakan artinya peneliti membuat perangkat pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Perlu diketahui bahwa yang mengajar atau melaksanakan tindakan adalah peneliti sendiri, peneliti sebagai pengumpul data, penganalisis data dan sekaligus pembuat laporan hasil penelitian.
G. Data dan Sumber Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data hasil ulangan harian siswa pada setiap akhir siklus, dan data pengelolaan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah. Sumber data adalah seluruh siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu kelas VIII yang berjumlah 34 orang merupakan sumber data secara klasikal.
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian tindakan kelas ini digunakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket, ulangan harian, dan lembar observasi.
H. Analisis Data
Data yang diperoleh dikumpulkan kemudian dianalisis. Perolehan data selama penelitian akan dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis data observasi pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah
2. Data observasi diperoleh dari pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah. Data ini digunakan untuk menganalisis kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = kurang baik
2 = cukup
3 = baik
4 = sangat baik
Data tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dianalisis dengan menghitung rata-rata setiap aspek dari beberapa kali pertemuan yang dilaksanakan. Selanjutnya nilai rata-rata tersebut direfleksikan dengan kriteria sebagai berikut (Indana, 1998):
0,00 – 1,69 = tidak baik
1,70 – 2,59 = kurang baik
2,60 – 3,49 = cukup baik
3,50 – 4,00 = baik
Pembelajaran dianggap telah berlangsung efektif bila guru telah mampu mengelola pembelajaran dengan mencapai kriteria baik atau cukup baik.
3. Analisis hasil ulangan harian
Data hasil ulangan harian akan digunakan untuk mengetahui ketuntasan siswa dalam belajar, dengan ketentuan sebagai berikut (Depdikbud, 1994):
a. Jika siswa secara individu telah mencapai skor minimal 65% dalam menyelesaikan soal tes sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KKM maka siswa dinyatakan tuntas dalam belajar;
b. Jika secara klasikal ada 85% siswa yang telah mencapai skor 65% maka pembelajaran bisa dikatakan tuntas.
I. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap Pendahuluan
a. Menyusun Jadwal Penelitian
b. Menentukan Observer dan melaporkannya ke Kepala Sekolah
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tentang materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
d. Menyusun denah tempat duduk
e. Menyiapkan lembar kerja siswa
f. Menyusun soal ulangan harian.
g. Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas siswa
h. Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas guru
i. Menyusun lembar Observasi penilaian pengelolaan pembelajaran.
2. Tahap Tindakan
a. Siklus I
1) Rencana Tindakan
a) Menyipakan Rencana Pelaksanaan pembelajaran siklus I
b) Menempatka siswa sesuai denah yang telah disusun sebelumnya.
c) Menyiapkan lembar kerja siswa
d) Menyiapkan soal ulangan harian
e) Menyiapkan lembar penilaian proses belajar
f) Menyiapkan lembar observasi aktivitas siswa dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
g) Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas guru
h) Menyusun lembar Observasi penilaian pengelolaan pembelajaran.
2) Pelaksanaan Tindakan
Sesuai dengan langkah-langkah pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
3) Observasi dan refleksi
b. Siklus II
Pelaksanaan Siklus II dilaksanakan stelah mempelajari hasil refleksi pada siklus I. Tahap-tahap pelaksanaan pada siklus II sama dengan tahap-tahap pada siklus I.


DAFTAR PUSTAKA
Ari Y, Rosihan dan Indriyastuti. Perspektif Matematika 1 untuk Kelas X SMA dan MA. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2008
Asrori, Mohammad. Prof. Dr. H. M. Pd.. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: CV. Wacana Prima. 2008.
Damari, Ari. Mari Belajar Matematika untuk SMA dan MA Kelas X. Surabaya: SIC. 2005
Dimar R. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII F SMP Negeri 01 Ketanggungan Brebes pada Pokok Bahasan Teorema Phytagoras Melalui Diskusi Dalam Kelompok-Kelompok Kecil, Skripsi. Semarang: Universitas Negeri semarang. 2006
Djamarah. Syaiful Bahri. Drs. M. Ag.. Guru dan Anak Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005
Hamalik, Oemar. Prof. Dr. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Heruman. S. Pd. M. Pd.. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008Hoetomo M. A.. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar. 2005
Iskandar, Dr. M. Pd.. Penelitian tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Kunandar, S. Pd. M. Si.. Langkah Mudah Penelitian tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Kusmini. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mengembangkan Kecakapan Matematika Siswa Siswa SD Kelas V Sebagai Impementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005. t. d.
Muhaimin. Prof. Dr. H. M. A.. dkk., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Muslimatun. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penekanan Representasi untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Kerjasama dalam Kelompok Pokok Bahasan Dalil Phythagoras Siswa SMPN I Semarang Kelas VIII Tahun Pelajaran 2005/2006: Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006.. t. d.
Nurdin, Hasan. Belajar Aktif Matematika untuk SMP dan MTs. Kelas VIII. Surabaya: PT. Tropodo Jaya Lestari. 2006
Pratomo, Herman Wahyu. Keefektifan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Terhadap kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Kelas X SMA Negeri 5 SurakartaSemester I Tahun Pelajaran 2005/2006, Skripsi, Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006. t. d.
Rusoni, Elin. Dra. Buku Pedoman Guru Madrasah sanawiyah Bernuansa Islam Dengan Pendekatan Keterampilan Proses Matematika Untuk Kelas I, II, III. Jakarta: Departemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.1997
Sardiman A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sujatmiko, Ponco. Matematika Kreatif Konsep dan Terapannya 2 untuk Kelas VIII SMP dan MTs. Solo: PT Tiga Serangkai. 2005.
Sutikno, M. Sobry, Dr. Belajar dan Pembelajara, Bandung: Prospeks, 2009
Susilo, Herawati. Prof. Dra. M. Sc. Ph. D. Dkk.. Penelitian Tindakan Kelas sebagai Sarana Pengembangan Kepofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayu Media, 2009.

Uno, Hamzah B. Prof. M. Pd. Model Pembelajaran Menciptakan Prose Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara, 2009

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites