Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Rabu, 07 November 2012

Memahami Berbagai Disiplin Ilmu Yang Membantu Filsafat Pendidikan Dalam Memecahkan Problematika Pendidikan

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of sciences) yang mampu menjawab segala pertanyaan dan permasalahan. Mulai dari masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Filsafat adalah untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen penting yang saling berhubungan. Komponen-komponen yang ada pada sistem tersebut merupakan bagian-bagian yang mendukung satu sama lain, sehingga jika komponen/bagian tersebut mengalami kerusakan atau tidak berjalan dengan baik, maka yang menjadi cita-cita pendidikan akan tidak tercapai. Dewasa ini, pengkajian terhadap komponen-komponen pendidikan tersebut, memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab kesemuanya memiliki peran dan fungsi yang urgen dalam mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan dan dalam memecahkan persoalan (agenda) pendidikan. Untuk itu, kajian dan diskusi tentang bagaimana filsafat pendidikan dalam untuk memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan sangat dibutuhkan harus dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan pelaku pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman.
Makalah ini sengaja disusun dengan harapan, kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep filsafat pendidikan dalam memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan yaitu melalui berbagai disiplin ilmu, sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan, khususnya di wilayah kajian filsafat Pendidikan. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.
B.        Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian filsafat pendidikan?
2.        Apa saja ruang lingkup bahasan filsafat pendidikan?
3.        Bagaimana konsep filosofis mengenai pendidikan?
4.        Apa urgensi filsafat pendidikan dalam bidang pendidikan?
5.        Apa syarat-syarat suatu ilmu pengetahuan?
6.        Bagaimana pengembangan berbagai disiplin ilmu?
7.        Apa saja problema esensial filsafat dan pendidikan?
8.        Bagaimana peranan filsafat pendidikan?

C.        Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui pengertian filsafat pendidikan
2.        Mengetahui apa saja ruang lingkup bahasan filsafat pendidikan
3.        Mengetahui bagaimana konsep filosofis mengenai pendidikan
4.        Mengetahui urgensi filsafat pendidikan dalam bidang pendidikan
5.        Mengetahui syarat-syarat suatu ilmu pengetahuan
6.        Mengetahui bagaimana pengembangan berbagai disiplin ilmu
7.        Mengetahui apa saja problema esensial filsafat dan pendidikan
8.        Mengetahui bagaimana peranan filsafat pendidikan
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Filsafat Pendidikan
1.     Pengertian filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia. Dari kata philosophia ini kemudian banyak diperoleh pengertian–pengertian filsafat, baik dari segi pengertiannya secara harfiah atau etimologi maupun dari segi kandungannya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat. Orang arab memindahkan kata philosophia dari bahasa Yunani ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan, tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu falasafah dengan pola fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya menjadi falsafah atau filsaf.
Dari pengertian secara etimologi itu, ia memberikan definisi sebagai berikut:
-             Pengetahuan tentang hikmah
-             Pengetahuan tentang prinsip atau dasar - dasar
-             Mencari kebenaran
-             Membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas. (Tri Prasetya, 2000: 9)
2.     Pendidikan dan filsafat pendidikan
a)          Pendidikan
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian drii manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh terpisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik sesuai dengan dunianya dan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Abdul Khobir, 2007: 3)
b)         Filsafat pendidikan
Berbagai pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan para ahli. Menurut Al-Syaibany, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya.
Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. (H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 19)

B.        Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan
1.      Sudut pandang filsafat
Pandangan kita terhadap filsafat harus positif dan konstruktif. Filsafat memang mempunyai hubungan dengan kehidupan manusia dan karena dari kehidupan itulah kita menggali filsafat. Jadi filsafat mempunyai dasar atau gejala dari persoalan.
a)     Objek materi filsafat terdiri dari 3 persoalan pokok
1)        Masalah Tuhan, yang sama sekali di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa
2)        Masalah alam yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
3)        Masalah manusia yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
b)    Objek formal filsafat: mencari keterangan sedalam-dalamnya, sampai ke akar persoalannya, sampai kepada sebab-sebab dan menganggapnya yang terakhir tentang objek materi filsafat, sepanjang kemungkinan yang ada pada akal budi manusia.
2.      Sikap manusia terhadap filsafat
Untuk memudahkan dalam peninjauan tentang filsafat pendidikan nantinya, terlebih dahulu akan diketahui bagaimana pandangan, pendirian dan atau sikap orang-orang terhadap filsafat sesuai dengan macam-mcam dan perbedaan pengertian mereka terhadap arti kata filsafat.
Macam-macam dan perbedaan pandangan tersebut digolongkan kepada:
a)     Pandangan yang berpendapat bahwa apabila mendengar kata filsafat maka terbayanglah dihadapan sesuatu yang ruwet dan sulit
b)    Pandangan yang bersifat skeptis yakni orang-orang yang berpendapat bahwa berfilsafat adalah suatu perbuatan yang tidak ada gunanya
c)     Pandangan yang bersifat negatif, karena mengartikan filsafat secara negatif.
d)    Golongan yang memandang dari sudut yang positif.
3.      Masalah pokok filsafat dan pendidikan
Ada tiga masalah pokok, yaitu:
a)     Realita
Mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran.
b)    Pengetahuan
Berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa hak pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan.
c)     Nilai
Yang dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. (Tri Prasetya, 2000: 32-36)

C.        Konsep Filosofis Mengenai Pendidikan
Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan tantangan agar para pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan atas pendirian tertentu pula. Untuk ini, yang lazim dianut, menurut Theodor Brameld, adalah kemungkinan-kemungkinan sikap seperti konservatif, bebas dan modifikatif, regresif atau radikal rekonstruktif.
Beberapa sikap di atas dalam penjabarannya mengenai pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.     Menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus.
Pendidikan adalah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimulasi-stimulasi. Yang dimaksud dengan berpikir adalah penerapan cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisa, mengadakan pertimbangan, dan memilih diantara alternatif yang tersedia.
Semuanya ini diperlukan oleh pendidikan agar orang yang melaksanakan dapat maju atau mengalami suatu progress. Dengan demikian orang akan dapat berbuat sesuatu dengan inteligen dan mampu melakukan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.
2.     Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.
Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik perlu dilatih agar memiliki kemampuan absorbs yang tinggi.
3.     Yang menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena jiwa abad pertengahan merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional. Abad pertengahan dengan jiwanya itu telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri.
4.     Yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti ini anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas. (Imam Barnadit, 1990: 26)
D.        Urgensi Filsafat Pendidikan dalam Bidang Pendidikan
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktek pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yang menyatakan tujuan pendidikan Negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidikan. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogic atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu filsafat bagi pendidikan sebagai berikut:
1.     Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu Negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Disamping itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan;
2.     Filsafat pendidikan dapat membentuk azas yang khas menyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran dan lain-lain.
3.     Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
4.     Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang menguasai dunia pendidikan.
5.     Banyak ahli filsafat yang termasyhur, telah memberikan sumbangannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. (Burhanuddin Salam, 1995: 77)
Adapun dasar alasan mengapa filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap pendidik atau guru. Argumentasi-argumentasi dalam bentuk pokok-pokok pikiran di bawah ini akan memberikan kepada kita pengertian tentang apa yang dimaksud di atas terdiri atas:
1.     Bahwa setiap manusia atau individu harus bertindak, termasuk bertindak dalam pendidikan, secara sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
2.     Bahwa demikian pula setiap individu harus bertanggungjawab, termasuk tanggungjawab dalam pendidikan, yang tinggi rendahnya nilai mutu tanggungjawab tersebut akan banyak ditentukan oleh sistem nilai dasar norma yang melandasinya.
3.     Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki filsafat hidup, demikian pula setiap manusia yang hidup dalam bidang dan dunia pendidikan harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan “guidepost,” tonggak papan penunjuk jalan sumber dasar dan tujuan tindakan dan tanggungjawabnya dalam kegiatan pendidikannya.
4.     Suatu kenyataan pula bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan, terhadap mana individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas dan bertanggungjawab, terbuka, kritis dengan meninjaunya dari segala segi, baik positif dan negatifnya.
5.     Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya maka ia tidak netral lagi dan meyakininya dan mengamalkannya aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa tanggungjawab. (Ali Saifullah, tt: 120)

E.         Syarat-Syarat Suatu Ilmu Pengetahuan
Karena dari pembahasan ini akan muncul adanya benang merah antara pendidikan, maupun berbagai disiplin ilmu dengan ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu pengetahuan adalah suatu uraian yang lengkap dan tersusun tentang suatu obyek (Abu Ahmadi, 1991: 79). Berbeda dengan Drs. Amir Daien yang mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau masalah.
Oleh karena itu ilmu pengetahuan itu menguraikan tentang sesuatu, maka haruslah ilmu itu mempunyai persoalan, mempunyai masalah yang akan dibicarakan. Persoalan atau masalah yang dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam dunia ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek material dan obyek formal (Amier Daien, 1973: 10). Obyek material adalah bahan atau masalah yang menjadi sasaran pembicaraan atau penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang manusia, tentang ekonomi, tentang hukum, tentang alam dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek formal adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau pembicaraan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang manusia. Dari segi manakah kita mengadakan penelaahan tentang manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari segi jiwanya? Jika mengenai tubuhnya, mengenai bagian-bagian tubuhnya atau mengenai fungsi bagian-bagian tubuh itu.
Dua macam ilmu pengetahuan dapat mempunyai obyek material yang sama. Tetapi obyek formalnya tidak boleh sama, atau harus berbeda. Contoh ilmu psikologi dengan ilmu biologi manusia. Kedua macam ilmu pengetahuan ini mempunyai obyek material yang sama yaitu manusia, tetapi, kedua ilmu itu mempunyai obyek formal yang berbeda. Obyek formal dari ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa manusia itu. Sedangkan, obyek formal dari ilmu biologi manusia adalah keadaan atau kehidupan dari tubuh manusia itu. Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan di atas mengharuskan bahwa uraian dari suatu ilmu pengetahuan harus metodis. Yang dimaksud dengan metodis di sini adalah bahwa dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu pengetahuan itu harus menggunakan cara-cara atau metode ilmiah, yaitu metode-metode yag biasa dipergunakan untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan secara modern. Metode-metode yang dapat dipertanggunagjawabkan, yang dapat dikontrol dan dibuktikan kebenarannya.
Mengenai metode-metode yang dapat dipergunakan dalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah ada bermacam-macam. Dapat disebut di sini beberapa di antaranya:
1.     Metode observasi
2.     Metode eksperimen
3.     Metode angket dan questionnaire
4.     Metode test
5.     Metode pengumpulan data, dsb
Untuk penyelidikan suatu ilmu pengetahuan tertentu, belum tentu suatu metode itu dapat digunakan. Suatu metode belum tentu cocok untuk penyelidikan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya dalam penyelidikan ilmu alam atau ilmu kimia, maka tidak cocok kiranya kalau mempergunakan metode angket. Tetapi untuk penyelidikan ilmu alam atau kimia, maka metode eksperimen kiranya lebih tepat.
Kemudian yang terakhir, bahwa dalam menguraikan sesuatu masalah untuk disusun menjadi suatu ilmu pengetahuan harus teratur, harus sistematis, harus menurut tata aturan tertentu. dengan kata lain, sistematika adalah uraian sejumlah komponen atau unsur yang berkaitan antara satu dengan yang lain menurut susunan tertentu sehingga merupakan satu kesatuan yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Dari uraian di atas kita dapat diambil kesimpulan bahwa suatu ilmu pengetahuan haruslah memenuhi tiga syarat pokok yaitu:
1.     Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (khususnya obyek formal).
2.     Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang sesuai.
3.     Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sistematika tertentu.
Disamping ketiga macam syarat tersebut, maka dapat diajukan syarat-syarat tambahan bagi suatu ilmu pengetahuan ialah antara lain:
1.      Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika, artinya ilmu pengetahuan harus senantiasa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan diri.
2.      Suatu ilmu pengetahuan harus praktis, artinya ilmu pengetahuan harus berguna atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari.
3.      Suatu ilmu pengetahuan harus diabadikan untuk kesejahteraan umat manusia.
Oleh kerena itu penyelidikan-penyelidikan suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai akibat kehancuran bagi manusia selalu mendapat tantangan- tantangan dan kutukan.

F.         Pengembangan Berbagai Disiplin Ilmu
Dalam dunia pendidikan, banyak sekali disiplin-disiplin ilmu. Namun ada satu disiplin ilmu yang harus kita pelajari terlebih dahulu sebelum mempelajari disiplin ilmu yang lainnya yaitu psikologi. Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang amat penting dipelajari. Namun sebagian besar teori psikologi berasal dari Barat, jadi besar kemungkinan kerangka pikir psikologi dipenuhi oleh pandangan dan nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan dengan pandangan dan nilai-nilai Islam. Timbul kekhawatiran, jika psikologi Barat diserap tanpa hati-hati, maka akan merusak ideologi umat Islam. Banyak teori psikologi Barat yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan pandangan Islam.
Objek kajian psikologi adalah manusia, Karena itu hal yang mendasar dan pertama kali dibicarakan oleh disiplin ilmu ini adalah tentang hakikat manusia, oleh sebab itu uraian ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang hakikat manusia menurut perspektif Islam.

G.        Problema Esensial filsafat dan Pendidikan
Filsafat pendidikan yang diberikan pada Departemen kependidikan Islam adalah sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar pakar kita. Sedangkan kajian filsafat Islam sudah hampir putus dari nilai dan wawasan Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian filsafat pengetahuan Islam, sebab pada sisi inilah yang justru menjadi sumber krisis di dunia muslim dan yang paling sedikit dikaji pada universitas Islam selama ini bahkan ditinggalkan sama sekali. (Mujamil Qomar, 2005: 209)
Filsafat adalah wilayah kajian proses yang menghasilkan ilmu. Filsafat ekonomi menghasilkan ilmu ekonomi, filsafat hukum menghasilkan ilmu hukum dan filsafat pendidikan melahirkan ilmu pendidikan. Mengingat bahwa filsafat pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah pemikiran filsafat barat, maka pendidikan yang dikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat.
Jika ditelusuri ke belakang, corak pendidikan barat tersebut memiliki jalinan dengan akar sejarah yang berkembang di Barat pada masa lampau. Sebagaimana di kutip Amrulllah Achmad, Muhammad Mubarak menuturkan, “Karakteristik system pendidikan barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan kebudayaan abad XVIII-XIX yang ditandai dengan isolasi terhadap agama, sekularisme Negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai etika, yang kemudian digantikan dengan pragmatisme, (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 91) maka corak pendidikan barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanta mencakup hal-hal yang dapat diindera dan dinalar semata.
Karakter pendidikan Barat itu tampaknya telah mengilhami pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam. Orang-orang Islam misalnya dengan bangga menerapkan model pendidikan Barat, sebagai suatu model yang diagungkan (diunggulkan) di atas model pendidikan lainnya. Bahkan sikap peniruan secara membabi buta itu mendapatkan pengakuan sebagai telah mengikuti perkembangan pendidikan paling modern. Barat selalu diidentikkan dengan modern, padahal sebenarnya hanyalah kebetulan belaka. Munculnya model pendidikan yang paling modern sekalipun, bisa dari Negara-negara Timur, tidak harus dari Barat. Istilah modern sebenarnya hanyalah sebagai sifat dengan indikator tertentu, yaitu efektif dan efesien. Model pendidikan dari manapun datangnya asal lebih efektif dan efesien dibanding model pendidikan lainnya niscaya harus dianggap paling modern.
Pengaruh karakter pendidikan Barat itu memasuki hampir semua dimensi pendidikan di kalangan muslim. Mereka sekarang ini senantiasa meniru jejak-jejak Barat dalam melakukan proses pendidikan, seperti sistem menggunakan sistem klasikal, penjenjangan kelembagaan, penjenjangan kelas, pemakaian kurikulum yang jelas, pembuatan persiapan pengajaran dan sebagainya.
Adalagi kenyataan yang lebih parah lagi. Banyak dari penerapan pendidikan di dunia Islam terlanjur mengikuti pola dan model yang dikembangkan Barat dengan alasan untuk mencapai kemajuan, seperti yang terjadi di Barat, tetapi kenyataannya sangat berlawanan dengan harapan itu. Kaum muslim yang merasa dirugikan; disatu sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya sekedar mengikuti model, namun disisi lain ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Hasil pendidikan yang dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.

H.        Peranan Filsafat Pendidikan
Proses pendidikan adalah proses perkembangan manusia yang secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan, sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila pra kondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya iklim, makanan, kesehatan, keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. (Mohammad Noor Syam, 1986: 40)
Adakah makna kedewasaan, kematangan di atas bersifat biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa dan karsa) ataukah secara moral dalam ari bertanggung jawab, sadar-normatif,. Ataukah semuanya itu. Persoalan ini sudah menyangkut scope dan pengertian tujuan pendidikan yang harus didasarkan pula atas sistem nilai dan asas-asas normatif suatu ke budaya. Dengan demikian masalah tersebut sudah merupakan bidang filsafat pendidikan. Sebab lebih dari pada hanya perkembangan teologis secara alamiah itu, manusia pun mengandung potensi-potensi human dengan martabat kemanusiaannya. Manusia dengan kodrat human dignity itu, memiliki kesadaran diri (self-existence), potensi pikir, rasa dan karsa. Bahkan manusia mempunyai dorongan untuk merealisasi potensi-potensi psikologis ini supaya berkembang sebagai satu self-realization dan ideal=self guna berfungsi dan bermanfaat bagi hidup pribadi dan sosialnya.
Manusia melihat kenyataan, bahwa tidak semua manusia berkembang sebagaimana diharapkan. Lahirlah di dalam pemikiran manusia problem-problem tentang kemungkinan-kemungkinan perkembangan potensi manusia itu. Apakah yang menentukan perkembangan dan realisasi potensi manusia itu. Manakah yang lebih menentukan potensi yang kodrati, faktor-faktor alam sekitar, faktor luar, khususnya pendidikan. Tema problem ini memang klasik, karena memang sudah lama ada di dalam konteks filsafat, psikologi, pendidikan, genetika dan sebagainya.
Sesungguhnya adanya aktivitas dan lembaga-lembaga pendidikan merupakan jawaban manusia atas problema itu. Karena umat manusia berkesimpulan dan yakin bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sebagai aktualisasi, maka pendidikan itu diselenggarakan.
Timbulnya problem dn pikiran pemecahannya itu adalah bidang pemikiran filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan. Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan daripada ide-ide filsafat. Dengan perkataan lain ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi pembinaan manusia, telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan.
  
BAB III
PENUTUP
A.        Simpulan
Menurut Al-Syaibany, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
Ruang lingkup bahasan filsafat pendidikan: (1) sudut pandang filsafat (objek materi, objek formal); (2) sikap manusia terhadap filsafat; (3) masalah pokok filsafat dan pendidikan (realita, pengetahuan, nilai).
Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan tantangan agar para pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan atas pendirian tertentu pula. Untuk ini, yang lazim dianut, menurut Theodor Brameld, adalah kemungkinan-kemungkinan sikap seperti konservatif, bebas dan modifikatif, regresif atau radikal rekonstruktif.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktek pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Mengenai metode-metode yang dapat dipergunakan dalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah ada bermacam-macam. Dapat disebut di sini beberapa di antaranya: Metode observasi, Metode eksperimen, Metode angket dan questionnaire, Metode test, Metode pengumpulan data, dsb. Untuk penyelidikan suatu ilmu pengetahuan tertentu, belum tentu suatu metode itu dapat digunakan. Suatu metode belum tentu cocok untuk penyelidikan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya dalam penyelidikan ilmu alam atau ilmu kimia, maka tidak cocok kiranya kalau mempergunakan metode angket. Tetapi untuk penyelidikan ilmu alam atau kimia, maka metode eksperimen kiranya lebih tepat.
Proses pendidikan adalah proses perkembangan manusia yang secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan, sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila pra kondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya iklim, makanan, kesehatan, keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Pendidikan, Jakarta: Reneka Cipta
Ali, Hamdani. 1986. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Barnadib, Imam. 1990. Filsafat Pendidikan (sistem & metode). Yogyakarta: Andi Offset
Daien, Amier. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Idi, H. Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Juhaya. 2005. Aliran-aliran Filsafat &Etika. Jakarta: Prenada Media
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Nata, Abuddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Cipta
Prasetya, Tri. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia
Qomar, Mujami. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlannga
Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Said, H.M. 1988. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Alumni
Saifullah, Ali. Tanpa tahun. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Salam, Burhanuddin. 1995. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara
Syam, Muhammad Noor. 1986. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat Pendidikan pancasila. Surabaya: Usaha Nasional 
Tirtahardja, Umar & Sulo La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta



Sabtu, 03 November 2012

PENGARUH FILSAFAT ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pasca serangan teroris yang menghancurkan gedung kembar WTC di Amerika Serikat pada bulan september 2001, amerika kemudian melakukan kampanye global melawan terorisme. Kampanye itu kemudian dilakukan secara besar-besarandengan menggunakan berbagai kecanggihan teknologi komunikasi yang dikuasai barat (Amerika). Sangat disayangkan, gerakan melawan terorisme yang sebenarnya didukung oleh semua agama itu, kemudian bias menjadi isu permusuhan kepada islam. Amerika sepertinya sangat meyakini bahwa dibalik gerakan terorisme itu selama ini (sekalipun tidak pernah dibuktikan secara meyakinkan) adalah kelompok islam garis keras (yang dalam hal ini Osama Bin Laden dengan jaringan Al-Qaidanya).
Berabgai istilah miringpun kemudian dihembuskan Amerika untuk menyudutkan berbagai kelompok Islam di seluruh dunia. Sebutan miring yang diarahkan kepada kelompok islam beragam: mulai dari sebutan “kelompok radikal”, “kelompok militan”, “kelompok ekstrim”, sampai pada ”Kelompok fundamentalis”. Amerika, kemudian secara serampangan melakukan simplifikasi dan reduksi terhadap makna dari semua terminologi itu. Intinya semuanya bermakna negatif yang mengacu pada kelompok umat islam yang sangat fanatik dengan ajaran agamanya dan kemudian melakukan tindak kekerasan untuk melawan setiap sesuatu yang akan mengancam keyakinan agama mereka.
Di tanah air sendiri, tidak sedikit kalangan islam yang menerima pemahaman salah seperti ini begitu saja. Tidak banyak diantara kita yang ketika mendengar istilah-istilah itu disebut kemudian mencoba menganalisa dan mengkritisi proporsinalitas penggunaannya untuk memahami apa sebenarnya fundamentalisme islam itu? Bagaimana dia bisa muncul? apa tujuannya? Dan apakah kelompok fundamentalisme itu selalu identik dengan terorisme?
B.       Tujuan
Tujuan dari dibuat makalah ini adalah untuk memberi informasi, apa sebenarnya islam fundamentalisme itu sendiri, sehingga ketika kita mendengar istilah islam fundamentalisme, kita tidak langsung menganggap kelompok tersebut sebagai kelompok yang negatif.
Selain itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pengantar Stud Islam.
Harapan kami, semoga dengan membaca makalah ini, wawasan kita semua akan terbuka tentang Islam fundamentalis, serta menambah semangat kita untuk lebih memahami islam secara benar.
BAB II
FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
 A.       Pengertian Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi), oleh sebab itu pengikut kelompok-kelompok paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada dilingkungan agamanya sendiri, dikarenakan anggapan diri sendiri lebih murni dan benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajarannya telah “tercemar”. Ini semua biasanya didasarkan pada tafsir atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam kitab Suci atau buku pedoman lainnya.1
Secara historic, istilah “Fundamentalisme” pada dasarnya diatributkan pada sekte protestan yang menganggap injil bersifat absolute dan sempurna dalam arti literal sehingga mempertanyakan satu kata yang ada dalam injil dianggap dosa besar dan tak terampuni.
Dalam hal ini, kamus Oxford mendifinisikan kata Fundamentalisme sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung didalamya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen protestan.
Konsep asal Fundamentalisme itu sekarang menjadi bagian masa lalu, selama lebih dari dua setengag dekade, interpretasi baru dari istilah ini menjadi populer karena disinonimkan dengan ekstremisme dan radikalisme yang berakar dari intoleransi agama.
Berbicara mengenai istilah Fundamentalism, banyak para sarjana (kususnya sarjana Muslim) mengakui bahwa penggunaan istilah “Fundamentalisme” sangat prolematik dan tidak tepat. Kaum Syiah yang dalam suatu pengertian umumnya dikenal sebagai Para Fundamentalis, tidak terikat pada penafsiran harfiah Al-Qur’an.
William Montgomery Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.2
Fazlur Rahman sendiri tampaknya kurang suka memakai istilah fundamentalisme, lebih suka memakai istilah Revivalism. Seperti dalam bukunya Revival and Reform in Islam. Rahman yang digolongkan sebagai pemikir neo-modernis mengatakan bahwa pergerakan reformasi sosial pra-modern yangmenghidupkan kembali makna dan pentingnya norma-norma Al-Qur’an disetiap masa. Mereka adalah kelompok pra-modern “fundamentalis-tradisional-konservatif” yang memberontak melawan penafsiran Al-Qur’an yang digerakana oleh tradisi keagamaan, sebagai perlawanan terhadap penafsiran yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks(inter-textual). Menurut Rahman,dalam daftar kosa katanya, “fundamentalis” sejati adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekontruksi atau rethinking (pemikiran kembali)3
Fazlur Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodoksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam menghadapi kerusakan agama dan kekendoran serta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepanjang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India.
Ia menunjuk gerakkan Wahabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamentalisme.
Fundamentalisme merupakan salah satu fenomena abad 20 yag paling banyak dibicarakan. Fudamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar dunia, tidak hanya Kristen dan Islam, Fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi dan Konfusianisme.4 Sehingga belum ada definisi yang jelas megenai istilah “Fundamentalisme” itu sendiri dikarenakan kemunculannya bermula pada pengistilahan yang dipakai oleh kaum protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri dari kaum protestan yang lebih liberal.5 Sehingga sejak saat itu, istilah “fundamentalisme” dipakai secara bebas untu menyebut gerakan-gerakan purifikasi(pemurnian ajaran) yang terjadi diberbagai agama dunia dan mempunyai pola-pola tertentu dikarenakan fundamentalisme tersebut merupakan mekanisme pertahanan(defense mechanism) yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam.6
Dengan modifikasi konsep Martin E. Marty, prinsip dasar fundamentalisme agama dipilah Azyumardi Azra (1993) ke dalam empat ragam:
1. Oposisionalisme. Setiap pemikiran dan arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama harus senantiasa dilawan.
2. Penolakan terhadap hermeneutika. Pada titik ini, teks suci serta-merta menjadi ruang yang kedap kritik.
3. Penentangan akan pluralisme sosial. Masyarakat mesti seragam dan tak boleh beragam.
4. Pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia.7
Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu.Hanya saja,yang laik diperselisihkan adalah mengapa sikap fundamental itu bersifat dokrinaldan cenderung kaku sehingga ia tidak kuasa bergerak palstis mengikuti kelenturan perkembangan sosial?
Dalam bahasa abid al-jabiri mengatakan ketika upaya kebebasan(Ijtihad) dibekukan dan klaim kebenaran telah final dipetakan, saat itulah fundamentalisme lahir dengan keperkasaan yang dipaksakan. Oleh sebab tiu,fundamentalisme yang pada dasarnya bersifat positif lalu bergerak liar secara negative dan destruktif. Ruh agama tak lagi dijadikan kekuatan pembebas yangmenjunjung nilai luhur kemanusiaan (humanisme) dalam porsi yang pantas sebaliknya ia justru dijadikan kekuatan penebas yang memenggal paham dan pemikiran yag berbeda dan tak selaras.
Tepat di aras inilah sebenarnya urat nadi persoalan fundamentalisme agama terterakan. Dalam bahasa Abid al-Jabiri, ketika upaya kebebasan (baca: ijtihad) dibekukan dan klaim kebenaran telah final dipetakan, saat itulah fundamentalisme lahir dengan keperkasaan yang dipaksakan.
Fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan untuk mempresetasikan pemberontakan terhadap moderntas seperti yang dikatakan oleh Karen Armstrong.8
 B.       Latar Belakang Kemunculannya Istilah Fundamentalisme
Latar Belakang kemunculannya istilah Fundamentalisme tak dikenal dalam literatur Islam, karena Islam tidak pernah mengenyam situasi dan konteks sebagaimana munculnya gerakan fundamentalisme itu sendiri.
Fundamentalisme adalah produk budaya Barat yang dipaksakan untuk diterapkan pada situasi-situasi khusus masyarakat muslim modern. Awalnya ia adalah gerakan kristen protestan amerika pada abad 19 M yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Milenium. Gerakan ini mengimani kembalinya al Masih AS secara fisik dan materi ke dunia, 1000 tahun sebelum datangnya hari kiamat (Imarah, 1999:10) Kemunculan mereka lebih disebabkan adanya penakwilan yang liberal atas teks injil dan penolakan seutuhnya atas kehidupan sekular yang mewabah di Barat pada masa awal abad 19 M. Oleh karena itu mereka mengadakan seminar-seminar dan membentuk organisasi-organisasi untuk mempropogandakan ajaran-ajarannya. Seperti pada tahun 1902 Organisasi Kitab Suci telah berhasil mempublikasikan 12 buku dengan judul “Fundamentals”, sebagai pembelaan atas penafsiran injil secara liberal serta menangkal kritik dan penakwilan atas kandungan injil. Lebih lanjut pada tahun 1919 berdirilah Yayasan Fundamentalisme Kristen International. Oleh karena itu sesungguhnya sejarah Islam tidak tampak secara umum bersinggungan dengan gerakan fundamentalisme ini.
Dalam kajian keislaman orang yang pertama kali mengintrodusir penggunaan istilah fundamentalisme untuk menamai sejumlah gerakan keagamaan kaum muslimin di Timur tengah adalah Leonard Binder dalam bukunya “The Ideological revolution in The Middle East (New York:Wiley,1964) yang secara umum disetereotypekan pada “Gerakan-gerakan di dunia muslim yang bertujuan membangun tatanan politik Islam dimana syariah diakui secara umum dan dijalankan berdasarkan hukum Islam (Molten, 1999:154) Suatu pelabelan yang menurut Ismail Raji Faruqi adalah suatu tindakan yang salah, sebab istilah yang benar untuk menamai gerakan kebangkitan kaum muslim itu adalah Nahdlah baca: Faruqi :Islamic Renaissance in Contemporary Societies, 1978).
Sejarah Kolonialisme-Imperialisme yang dimulai pada abad 16 hingga pertengahan abad 20 itulah yang telah merubah peta umat islam secra drastis. Kolonialisme dengan segala implikasi yang ditimbulkannya -yakni Militerisme, Mercandhise, Missionaris- secara langsung atau tidak langsung direspon secara berbeda oleh setiap negara jajahan. Bagi penjajah kegiatan kolonialisme mereka itu dibarengi dengan studi yang intensif dalam skenario besar mereka yang terwujud dalam sebutan “Orientalisme” Penyelidikan Barat atas kehidupan sosial budaya masyarakat jajahannya (bangsa Timur) dengan dalih -Mission Civilisatrice- itu pada gilirannya memunculkan sikap reaksioner dari masyarakat setempat. Munculnya aliran pemikiran kontemporer seperti fundamnetalisme, Modernisme, Messianisme dan Tradisonalisme itu diyakini merupakan bentuk lain dari pergumulan dari konfrontasi sosial budaya dengan arus imperialisme Barat (S.H. Nasr, 1988 dalam Amin Abdullah ,1999) Sebab menurut Edward W. Said kegiatan orientalisme adalah bias cara pandang Barat terhadap Timur (Islam) yang oleh Karel Steenbrink dirinci dalam tiga hal: Prasangka Kristen, Historisme, dan Superioritas ras, sehingga para orientalis cenderung melakukan anomali-anomali dalam penyelidikan mereka atas fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim (Amin Abdullah, 1999;213) Pasca Modernisme gerakan pemikiran Islam dalam pandangan Ernest Gellner mewujud dalam 3 kelompok besar: Fundamnentalisme, Relativisme dan Deconstructionisme (Amin; 23)
Di sisi lain Gerakan modernisme Islam yang digagas oleh M. Abduh juga berpengaruh bagi munculnya kelompok fundamentalisme, mereka menolak secara apriori ide-ide Abduh tersebut (Gibb, 1988:52) Gibb menengarai bahwa dari sekian banyak aliran yang muncul baik dalam gerakan pembaharuan Modernisme, Konservativisme, maupun gerakan Thariqah Shufiyah -sekalipun mereka secara ideologi berseberangan- akan tetapi mereka bersatu sikap dalam menghadapi kristenisasi di Asia dan di timur tengah dan ingin lepas dari cengkraman Kolonialisme Barat (Gibb, 1988:57)
Motif lain yang menggerakkan faham Fundamentalisme adalah munuculnya kelompok pembaharu baik yang dimulai oleh Abdul wahab (1703 – 1787) Muhammad Ali Pasha (1765 – 1848) Rifa’ah Badawi Rafi’ al Tahtawi (1801 – 1873) Jamaludin al Afghani (1839 – 1897) M. Abduh (1849 – 1905 ) Rasyid Ridla ( 1865 – 1935) dan lain-lain keseluruhan pembaharu ini mengkritik kondisi umat Islam yang dalam diagnosa mereka peradaban kaum Muslimin sedang terserang penyakit TBC (Harun Nasution,1985;95-100). Muhammad Abduh dan modernis lainnya berusaha menafsir ulang terhadap teks-teks normatif dengan menyesuaikan pada perkembangan dan perubahan-perubahan sosial kemasyarakatan, lebih-lebih dengan penggunaan basis rasional (aqal) agar diperoleh ajaran-ajaran yang fleksibel dan yang sifatnya adaptatif dengan perkembangan zaman dan peradaban. Gerakan-gerakan kelompok modernisme inilah yang pada akhirnya membentuk sekelompok umat Islam untuk meresponnya dengan kekuatan lain semisal, Konservatisme, Tradisonalisme yang kemudian berubah wujud menjadi gerakan fundamentalisme –radikalisme.
Sedangkan di belahan dunia Islam yang lain pembaharuan juga sedang digalakkan seperti di wilayah Turki Usmani yang dimulai pada masa Sultah Mahmud II (1808 – 1839) dan Sadik Rif’at (1807 – 1856) . Konsentrasi gerakan mengarah pada pemberdayaan ilmu Pengetahuan , ekonomi dan industri. Zaman ini dikenal dengan istilah periode Tanzhimat. Oleh karena pembaharuan periode ini tidak memuaskan, muncul periode baru dalam Tuki modern yakni masa Usmani Muda , yakni Namik Kemal (1840 – 1888) konsentrasi gerakan pada rekonstruksi Konstitusi Ustmani. Selanjutnya estafet pembaharuan beralih ke tangan gerakan Turki Muda, ada tiga golongan yang timbul: kelompok yang berorientasi Barat, Nasionalis dan Islamis. Nasionalisme Turki akhirnya menjadi pemenang sebagai dasar pembaharuan modern di bawah kendali Zia Gokalp (1875 – 1924 ) dan mencapai puncaknya pada masa Musthafa Kemal at Taturk.
Selain Turki, angin pembaharuan juga berhembus ke India saat Syah Waliyullah al Dahlawiy (1703 – 1762) menyatakan perang terhadap kondisi praktik takhayul dan mistik India yang jauh dari ruh Islam. gerakan Syah Waliyullah masih dalam taraf idealisme sementara yang mewujudkannya dalam tataran praksis adalah Sayyid Ahmad Syahid (1752 – 1831) yang kemudian berlanjut pada kelompok revivalis lainnya seperti Sayyid Ahmad Khan (1817 – 1898) juga yang semasa dengan nya yakni gerakan Haji Syari’atullah ((1817 – 1898 ) kemudian safari pembaharuan itu berlanjut di tangan Bapak Pakistan Modern Muhammad Ali Jinah (1876 – 1948). Sekalipun demikian tidak bisa dilupakan jasa besar tokoh-tokoh pra modernis lain seperti M. Iqbal (1873 – 1938). Di tempat lain angin pembaharuan itu juga menerpa Aljazair saat Tokoh perhimpunan Ulama Aljazair, Abu Hamid Bin Badis menyatakan perang terhadap gerakan tashawuf dan praktik khurafat yang mewabah di wilayah Aljazair. Semua pembaharuan yang mengepung dunia Islam kala itu merangsang sebagian kelompok ummat Islam untuk bersikap reaksioner untuk menyikapi aksi modernis itu. Pengamat Barat melihat gerakan reaksioner itu sebagai cikal bakal bagi tumbuhnya gerakan fundamentalisme.
C.       Karakter Fundamentalisme.
Fundamentalisme identik dengan perilaku taqlid, memusuhi aqal, anti dengan penafsiran yang sifatnya metafor, ta’wil dan penggunaan qiyas serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash. Adapun ciri-ciri umumnya (dalam tradisi Barat) adalah sebagai berikut:
Ø   Stagnan, menolak menyesuaikan diri, menolak pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat riel
Ø   Kembali pada masa lalu dan menisbatkan diri kepada warisan lama
Ø   Tidak toleran, mengisolasi diri, kebekuan mazhab melawan dan membangkang
Dalam tradsisi Islam karakter Fundamnetalisme dicirikan sebagai berikut:
1.             Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang besar kepada Barat
2.             Mereka bersikeras mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan romantisisme masa lalu.
3.             Mereka bertujuan mengaplikasikan syariat Islam secara sempurna
Keyakinan kuat bahwa Islam adalah perpaduan antara agama dan Negara, masa lalu yang bukan menjadi tujuan, tapi penuntun pada masa depan, mereka bukan konservatif tapi orang-orang revolusioner ( dikutip dari Seize Moment karya mantan presiden USA: Richard Nixon)
D.      Fundamentalisme Sunni dan Syi’ah
1.    Fundamentalisme Sunni.
Menurut HAR Gibb dalam bukunya Modern Trends in Islam akar fundamentalisme klasik bisa ditemukan pada gerakan rasionalisme yang diusung oleh Ibn Taimiyyah. Pemikiran ibn Taimiyah ini mempompakan darah segar bagi berkembangnya gerakan fundamentalisme di dunia islam. Beberapa gerakan sosio-religius berikut ini bisa dikategorikan sebagai gerakan fundamnetalisme, yakni:
a.         Jihad Sokoto di Negeria, yang mulai berembus pada awal abad 19 dengan titik tekan gerakan pada pemurnian keimanan dan praktik-praktik islam yang telah dicemari oleh kebiasaan-kebiasaan non Islam. Gerakan in diarsietki oleh Syaih Ustman bin Muhammad fudi (1754 –1817) terkenal dengan sebutan : Syaikh Usman Dau fodio dan berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang didasarkan pada syari’at yang kemudian dikenal dengans ebuatan Khilafah Sokoto.
b.         Gerakan Mahdi di Sudan. Gerakan ini dipimpin oleh Muhammad bin Abdullah (1834 – 1885) yang bertujuan untuk menentang penguasa Ustmani yang tidak memberlakukan syari’ah dan dan bertujuan utnuk memurnikan keyakinan-keyakinan dan praktik Islam dan menggulingkan pemerintahan yang korup dan bid’ah dan diganti dengan sistem pemerintahan yang meniru contoh Negara Madinah. Upayanya berhasil selama kurang lebih 14 tahun menegakkan sistem pemerintahan dimaksud samapai akhirnya dikalahkan oleh kekuasaan Ustmani pada tahun 1899.
c.         Ikhwanul Muslimin di Mesir yang digags oleh Hasan al Bana ( 1906 – 1949 ) yang mendapat inspirasi dari Muhammad Syaukani (1760 – 1824) ulama Yaman dari sekte Syi’ah Zaidiyah, yang menolak taqlid kepada siapapun dan menekankan perlunya ijtihad dalam persoalan kontemporer. Belakangan gerakan ini berubah menadi gerakan politik yang keras dan anti kompromi dan bahkan pengaruhnya sampai keluar Mesir. demikian pula Gerakan Khaksars di India, didirikan pad atahun 1931 oleh Inayatullah Khan Masyriqi. Gerakan ini bercorak sosio-religius dan sosio-kultural. Tujuan utama meningkatkan taraf hidup rakyat , cinta damai, persamaan dan keadilan.
d.         Ahlul Hadis di India sebuah gerakan tradisionalis – fundamnetalisme yang berdiri di akhir abad 19 dan snagat dipengaruhi oleh pemikiran Syah Wliyullah. Mereka berpegang pada al qur’an dan as sunnah dan tidak mau mengikuti pendapat par aulama dan fuqaha abad pertengahan bila pendapat tersebut tidak disandarkan pada kedua sumber tersebut.
e.         Jama’at Islami di dirikan di Pakistan oleh sayyid Abul A’la al Maududi pada tahun 1941 sebagai suatu gerakan ideologi sekalipun tidak bisa meninggalkan kesannya sebagai organisasi dengan basis politik yang kuat. Islam, bagi Maududi adalah jalan hidup yang universal dan komprehensif ia adalah sistem yang tertata dengan baik, keseluruhan yang konsisten dengan seperangkat jawaban bagi semua persoalan. Negara Islam dikonsepsikan sebagai bentuk pemerintahan yang teo-demokratik sebuah perpaduam gaya Barat dan Islam yang kental.
f.           Tokoh-tokoh personal yang mendapat predikat sebagai pengusung faham fundamentalisme diantaranya adalah Sayyid Qutb. Sebagaian orang beranggapan dalam sikap dan pemikiran hukumnya yang tertuang dalam tafsir monumentalnya – Fi Zilal al Qur’an – ada kesan beliau berfaham Misogini dan konservatif dalam metodologi tafsirnya. Sesuatu yang dibantah oleh ulama pada masa-masa berikutnya seperti disertsi abu Fayyad al Khalidy yang merasakan adanya metodologi pergerakan (Manhaj al Harakiy)dalam keseluruhan metode tafsir yang digagas oleh Sayyid Qutb.
g.         Pada masa Post Modernisme gerakan-gerakan Fundamentalis menyatukan langkah dalam sebuah gerakan politik (kekuatan bersenjata) untuk melawan hegemaoni Barat (Amerika) yang semakin hari semakin kuat mencengkeramkan kuku kekuasaan/dominasinya ke berbagai wilayah, terutama negara-negara muslim yang sedang berkembang. Semisal kelompok; Jamah Islamiyah di kawasan Asia Tenggara, Gerakan Thaliban di Afghanistan, Gerakan al Qaidah al Islamiyah di Timur Tengah, partai FIS di aljazair dan lain-lain.
2.    Fundamentalisme Syi'ah.
Fundamentalisme Iran dikobarkan oleh Ayatullah Ruhullah Musawi al Khomeini dengan revolusi yang terkenal pada tahun 1979. Bagi Khomeini Islam adalah kode etik sempurna yang harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu revolusi iran bisa difahami akibat regim Syah Pahlevi yang tidak menegakkan syariat Islam dengan sempurna. bagi Khomeini revolusi yang ditujukan pada regim Syah itu secara Individual dan komunal adalah wujud kewajiban terhadap Islam. Selain itu Khomeini juga merasakan adanya kerinduan pada romantisisme Kekhalifahan Rasyidun terutama terinspirasikan oleh Model khilafah Ali.. Dan pada saat yang sama Iran modern sedang berlangsung suatu pemerintahan absoluth-Monarkhi . Oleh karena itu Khomeini mengajak untuk menegakkan jihad sebab Islam adalah agamanya orang-orang militan dan komitmen pada kebenaran dan keadilan dan lebih-lebih ia adalah mazhab bagi orang yang berjuang melawan Imperialisme.
Metode yang digunakan Khomeini untuk keberhasilan revolusinya antara lain:
a.         Perlawanan yang menyeluruh dan tanpa kompromi terhadap regim Syah
b.         Perlawanan itu didasari pada asumsi bahwa Syah adalah boneka Pemerintahan USA dan Israel
c.         Khomeini menolak pembaharuan setengah-setengah dan tidak menyeluruh
d.         Ia mengobarkan revolusinya dengan memobilisasi masa lewat ceramah-ceramah yang direkam dalam kaset, sehingga terkenal ungkapan “revolusi Via Kaset”
 Motif gerakan fundamentalisme Iran yang lebih representatif bisa dibaca pada: Nikkie Kiddie : Roots of Revolutions : An Interpretation History of Modern Iran, New Haven:Yale University Press, 1981)
  
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.         Fundamentalime bukan produk sejarah/peradaban masyarakat Muslim
2.         Pelabelan fundamentalisme terhadap fenomena pembaharuan /gerakan kebangkitan Islam lebih disebabkan oleh cara pandang yang salah ( Bias Perspectiv ) yang dilakukan oleh ilmuwan Barat
3.         Geneologi Fundamentalisme berakar pada dua motif:
a.    Fundamentalisme Pra-Modernis: kemunculannya dimotivasi oleh faktor internal, berupa Purifikasi terhadap berbagai praktik-praktik keagamaan yang menyimpang dari bunyi teks yang normatif
b.    Fundamentalisme Post-Modernisme, kemunculannya dimotivsi oleh faktor eksternal berupa merebaknya hegemoni Barat dan kenyatan tentang ketertinggalan , keterbelakangan dan kemunduran peradaban Islam terhadap dominasi Barat
4.         Fundamentalisme pada masa Post-Modernisme cenderung bercorak politik dengan mengusung agenda besarnya berupa gerakan menentang supremasi Amerika sebagi polisi dunia. Mereka memilki angkatan bersenjata dengan didukung organisasi yang militan, kuat dan laten. dalam menghadapi Hegemoni Amerika mereka bersikap sangat ekstrim-radikal dan menerapkan prinsip Zero Tolerance.
B.       Saran
Setelah memabca makalah ini, mari kita lebih selektif lagi dalam memahami istilah-istilah yang diluncurkan oleh Negara-negara barat, jangan sampai kita menelan mentah-mentah istilah-istilah tersebut tanpa diteliti terlebih dahulu. Selain itu , kita perlu memperkaya pengetahuan kita tentang islam agar tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya yang bertentangan dengan islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 1999, Studi Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fazlurrahman, 1968, Islam, New York: anchor Books, Ahsin Muhammad (Penerjemah)
Fazlurrahman, 2000. Gelombang Perubahan dalam Islam:Studi tentang Fundamentalisme islam, Jakarta : Rajawali Press.
Garaudy, Roger, 1985, Promesses de L’Islam, jakarta: Bulan Bintang
Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press
HAR Gibb, 1983, Mohammadanisme, Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Imarah, M., 1999, al Ushuliyah Baina al Garb Wa al Islam, Jakarta : gema Insani Press
Mumtaz, Ahmad (ed.), 1994, Politics and Islam, Indianapolis:Americans Trust Publication erna Hadi (penerjemah)
Rashid Moten, Abdul, 2001. Political Science; an Islamic Perspective, Jakarta : Pustaka
_________ , 1995, Modern Trends in Islam, jakarta; Raja Grafindo Pustaka

Footnote
1 dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas bahasa Indonesia
2 William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modrnitas, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm 3-4
3 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000)hlm 14
4 Karen Amstrong, Islam A Short History (Sepintas Sejarah islam), (Yogyakarta : IKON TERALITA, 2002) hlm 193
5 James Barr “ Fundamentealism” (1991 : 1)
6 Martin E. Marty dan R. Scoot Appleby dikutip dari Benjamin Barber (2002: 335 dalam bukunya berjudul “JIHAD vs Mc WORLD, how  Globalism and Tribalisn Are The World
7 dikutip dari http. Islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=792
8 lihat majalah tempo 30 Desember 2001

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites