PENDAHULUAN
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual-beli sewa-menyewa bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain. Baik dalam urusan kepentingan pribadi maupun kemaslahatan umat. Dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia. Suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia. Dan juga menjaga kemaslahatan umat agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab tiu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya karena dengan teraturnya muamalat maka, penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya. Sehingga perbantahan dan dendam mendendam tidak akan terjadi. Jadi Allah SWT sudah mengatur dengan sedemikian rupa tentang bagaiman jual beli yang sesuai dengan rukun dan syarat yang di syari'atkannya. Untuk pembahasan selanjutnya tentang apa itu jual beli maka akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. JUAL BELI
1. Pengertian jual beli
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksut dengan jual beli adalah sebagai berikut.
1. Menukar barang dengan barang, atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan[1]
2. Pemilik harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara'.[2]
3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasarruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara'.[3]
4. Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).[4]
5. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.[5]
6. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.[6]
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela diantara dua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara', dan disepakati.
2. Dasar hukum jual beli
Peraturan atau hukum jual beli dalam Islam ditetapkan sebagai berikut:
1. Dibenarkan jual beli yang tidak berbentuk riba.
2. Dalam jual beli perlu ada ijab qabul (tanda terima) yang diucapkan dengan lisan atau perkataan, dan dibolehkan dalam hati masing-masing.
3. Dilarang memperjual belikan darah, bangkai, hasil pencurian, wakaf, milik umum, minuman keras, babi, barang yang tidak ada harganya, dan barang yang tidak ada pemiliknya.
4. Akad jual beli harus dilaksanakan dalam satu mejlis, dapat diterima (taslim) dan dapat dipegang (qabadh).
5. Dalam jual beli dibenarkan adanya hak meneruskan atau membatalkan suatu pembelian suatu barang jika misalnya terdapat cacat ('aib) atau melihat kepada keadaannya, dan menurut Imam Hanafi dan Imam maliki "hak Khiyar" tersebut tidak boleh dari tiga hari.
6. Dalam jual tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal, sedangkan pada anak kecil dibenarkan untuk benda-benda yang tidak bernilai tinggi, kecuali jika mereka telah dewasa ( umur 15 tahun)
7. Jika barang–barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau ukurannya harus tertentu dan diakui.
8. Larangan menawar tawaran orang lain ataupun menjual sesuatu dengan yang sudah dibeli oleh orang lain.
9. Larangan menimbun barang pada saat masyarakat banyak memerlukan barang tersebut.
10. Larangan jual beli kearah yang bermaksiat kepada Tuhan. Misalnya menjual patung untuk disembah.
11. Larangan jual beli yang berunsur kepada penipuan atau paksaan.
12. Dalam jual beli harus terlihat jelas bendanya tetapi diperbolehkan dengan melihat contohnya seperti pesanan buku-buku.[7]
3. Rukun jual beli
1. Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah:
a. Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c. Tidak mubazzir (pemboros), sebab harta orang yang mubazzir itu ditangan walinya.
d. Baligh (berumur 15 tahun keatas atau dewasa).
2. Uang dan benda yang di beli
Syaratnya adalah:
a. Suci
Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b. Ada manfaatnya.
Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c. Barang itu dapat diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang dijaminkan sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilnya, atau yang mengusahakannya.
e. Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga diantara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengecoh.
3. Lafaz ijab dan Qabul
a. Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya: "saya jual barang ini sekian".
b. Qabul adalah ucapan si pembeli, "saya terima (saya beli dengan harga sekian)" keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka, dan juga sabda Rasulullah SAW. dibawah ini:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه إبن حبان)
"Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka" (Riwayat Ibnu Hibban).
4. Syarat jual beli
Agar jual beli jadi sah, diperlukan terpenuhnya syarat-syarat sebagai berikut:
Diantaranya yang berkaitan dengan orang yang berakad. Yang berkaitan dengan yang diakadkan atau tempat berakad, artinya harta yang akan dipindahkan dari kedua belah pihak yang melakukan akad, sebagai harga atau yang dihargakan.
a. Syarat orang yang berakad:
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan:
Berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah. Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar kadang-kadang gila), berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah.jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan ketika yang dilakukan ketika gila tidak sah.
Akad anak kecil yang sudah dapat membedakan dinyatakan valid (sah), hanya kevalidannya tergantung pada izin walinya.
b. Syarat barang yang diakadkan:
1. Bersihnya barang.
2. Dapat dimanfaatkan.
3. Milik orang yang melakukan akad.
4. Mampu menyerahkannya.
5. Mengetahui.
6. Barang yang diakadkan ada di tangan.
1.5 Bentuk-bentuk jual beli yang terlarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya, yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah:
1) menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain 2) menyempitkan gerakan pasaran 3) merusak ketentraman umum.
1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedang dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu dilarang.
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلى بَيْعِ بَعْضٍ
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW telah bersabda: ‘Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain”. (sepakat ahli hadits).
3. Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهْ عليهِ وسَلَّمَ لَا تَتَلَقُوْا الرُّكْبَانِ (متفق عليه)
“Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW bersabda:‘Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar dijalan sebelum mereka sampai di pasar”. (sepakat ahli hadits).
Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar.
4. Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.
Sabda Rasulullah SAW:
لا تَحْتَكِرُ إِلا خَاطِئٌ
“Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah).” (Riwayat Muslim).
5. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
Firman Allah SWT:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (al-Maidah : 2).
6. Jual beli yang disertai tipuan berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رََسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عليهِ وسلمَ مَرَّ على صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيها فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَاهَذا يَا صَاحِبَ الطعَامِ قَالَ أَصابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطعامِ كَيْ يَرَاهُ الناسُ مَنْ غَشَّى فَلَيْسَ مِنِّي (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah, beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata: ’Apakah ini?’ Jawab yang punya makanan: ‘Basah karena hujan, ya Rasulullah’ beliau bersabda: ‘Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang?, barangsiapa yang menipu, maka ia bukan umatku.’ (Riwayat Muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa menipu itu haram, berdosa besar. Semua ulama sepakat bahwa perbuatan itu sangat tercela dalam agama, menurut akalpun tercela.
Jual beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqh berikut ini : ‘Apabila larangan urusan muamalat itu karena karena hal yang di luar urusan muamalat, larangaan itu tidak menghalangi sahnya akad.
Simpulan
1. Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak yana lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2. Rukun jual beli:
1. Akad (ijab qabul)
2. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3. Ma’kud alaih (objek akad)
3. Syarat jual beli
1. Berakal
2. Dengan kehendak sendiri
3. Tidak mubazir (pemboros)
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, 1992, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta:Jakarta.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Sabiq, Sayid, Fiqih Sunnah, PT. Al-Ma’arif:Bandung.
Rasyid, Sulaiman, 1996. Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo:Jakarta
[1]Lihat Idris Ahmad, Fiqh Al-Syafi’iyah, hlm. 50.
[2]Lihat Nawawi, 1956:130.
[3]Taqiyuddin, Kifayat Al-Akhyar, t.t. hlm.329
[4]Lihat Zakaria, t.t. hlm. 157.
[5]Lihat Fiqh Al-Sunnah, hlm. 126.
[6]Lihat Hasbi Ash-Shiddiqie, Fiqh Muamalah, hlm. 97.
[7]Husein Bahreisj, Pedoman Fiqh Islam,Passin, hlm 167-169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar