DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Definisi Pendidikan 3
B. Definisi Pendidikan Islam 9
C. Dasar Utama Pendidikan Islam 10
D. Komponen Dasar Pendidikan Islam 11
E. Tujuan Pendidikan Islam 15
F. Nilai-Nilai Pendidikan Islam 24
G. Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan Islam 26
H. Lingkungan Pendidikan Islam 27
I. Aspek-Aspek Pendidikan Islam 31
BAB III PENUTUP 32
Simpulan 32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan Alam semesta.
Pendidikan Islam mengajarkan setiap manusia umumnya dan umat Islam khususnya untuk mencapai dan mewujudkan sebuah tujuan yang sesungguhnya yaitu untuk selalu taat dan mengabdi kepada Allah Swt. Tujuan ini merupakan dasar yang paling utama sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.
Tidak semua manusia yang tunduk dan patuh kepada Allah swt. Ketidakpatuhan tersebut salah satunya didasari tidak adanya pendidikan dasar Islam yang seharusnya sudah diajarkan saat manusia terlahir kedunia. Allah memberikan sebuah potensi fitrah pada manusia setiap ia lahir kepermukaaan dibumi ini, namun perlu adanya pendidikan dasar yang telah dibebankan kepada setiap orang tua sebagai pendidik awal bagi anaknya. orang tua mempunyai peran penting untuk membimbing, membina dan mendidik anaknya untuk menjadi anak yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Makalah ini akan mengkaji mengenai Konsep Dasar Pendidikan Islam yang sesungguhnya. Bagaimana peran pendidikan Islam dalam mengajarkan dan membimbing manusia kearah jalan yang benar dan langkah serta upaya apa yang harus dilakukan pendidik agar dapat mewujudkan manusia atau anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi pendidikan?
2. Apa definisi pendidikan Islam?
3. Apa dasar utama pendidikan Islam?
4. Apa saja komponen dasar pendidikan Islam?
5. Apa saja tujuan pendidikan Islam?
6. Apa saja nilai-nilai pendidikan Islam?
7. Apa saja prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam?
8. Apa saja lingkungan pendidikan Islam itu?
9. Apa saja aspek-aspek pendidikan Islam?
C. Tujuan Penulisan
Bersadarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ditulis bertujuan untuk:
1. Mengetahui definisi pendidikan
2. Mengetahui definisi pendidikan Islam
3. Mengetahui dasar utama pendidikan Islam
4. Mengetahui komponen dasar pendidikan Islam
5. Mengetahui tujuan pendidikan Islam
6. Mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam
7. Mengetahui prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam
8. Mengetahui apa saja lingkungan pendidikan Islam
9. Mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Ilmu pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan redaksi yang agak singkat Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam.
1. Pengertian Secara Etimologi
Etimologi adalah ilmu yang menyelidiki asal usul kata serta perubahannya dalam bentuk dan makna.
Pendidikan dalam bahasa indonesia berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti “perbuatan”. Istilah pendidikan semula berasal dari kata Yunani yaitu “paedogogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.
Merujuk kepada informasi al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan al-Qur’an sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Tarbiyah berasal dari kata Robba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا ً
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24)
Kata tarbiyah, mencakup semua kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka menyiapkan individu (peserta didik), untuk kehidupan yang lebih sempurna dalam berbagai hal.
Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata al-tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61:
قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَة ٌ وَلَكِنِّي رَسُول ٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba”. Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik (Samsul Nizar, 2001: 90). Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak (Jalaluddin, 2003: 125). Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة ٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik (Jalaluddin, 2003: 133). Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَاؤُلاَء إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“ Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
2. Pengertian Secara Terminologi
Terminologi adalah ilmu mengenai batasan atau defenisi istilah.
a. Tarbiyah
Musthafa al-Maraghiy, membagi aktifitas al-tarbiyah dalam dua macam:
1) Tarbiyah Khalqiyah
Pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan jasmani manusia yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan rohaninya.
2) Tarbiyah diniyah tah-zibiyyah
Pendidikan yang terkait dengan pembinaan,pengembangan akhlak dan agama manusia, untuk kelestarian diri sesama, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan.
Berdasarkan pembagian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa ruang lingkup tarbiyah sangatlah luas. Ia mencakup semua kebutuhan manusia baik itu kebutuhan jasmani, rohani, duniawi, akhirat, kebutuhan antar sesama manusia serta terhadap lingkungan dimana mereka berada yang harus dipertanggung jawabkan nantinya dihadapan Allah SWT.
b. Ta’lim
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, ta’lim adalah proses transmisi sebagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Kemudian menurut al-Maraghi pengajaran dilaksanakan bertahap, sebagaimana tahapan Adam As. Mempelajari, menyaksikan dan menganalisa asma-asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya.
Artinya ta’lim hanyalah sebuah penyampaian atau pengiriman ilmu pada jiwa manusia dan belum mencakup aspek lain.
Dr. Abdul Fattah Jalal, pengarang Min al-Usul at-Tarbiyah fii al-Islam (1977: 15-24) mengatakan bahwa istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya untuk pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut pendidikan “pendahuluan”), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak. Pandangan Fattah tersebut didasarkan pada dua ayat sebagaimana difirmankan Allah SWT surat al-Isra ayat 24 dan As-Syuara ayat 18.
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ
"Firaun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu."
Kata ta’lim menurut Fattah merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afeksi dan psikomotorik. Fattah juga mendasarkan pandangan tersebut pada argumentasi bahwa Rasulullah saw, diutus sebagai Muallim, sebagai pendidik dan Allah SWT sendiri menegaskan posisi Rasul-Nya yang demikian itu dalam surat Al-Baqarah: 151.
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Dalam Pandangan Syaikh Muhammad An-Naquib Al- Attas, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term at-tarbiyah dari at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih universal dari pada ruang lingkup at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanyalah milik Allah semata. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat manusia, tetapi termasuk juga spesies-spesies lainnya.
c. Ta’dib
Pengertian ta’dib disini lebih kearah ketauhidan manusia terhadap pencipta-Nya.
Muhammad Nadi Al-Badri sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengemukakan, pada zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta’dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus digunakan sepanjang masa kejayaan Islam, sehingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada masa itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan Islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa arab, dan sebagainya, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filsafat, astronomi, kedokteran, farmasi, dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub ala-adab. Dengan demikian terkenAllah Al-Adab Al-Kabir dan Al-Adab Ash-Shagir yang ditulis oleh Ibnu Al-Muqaffa (w. 760 M).
Menurut Al-Attas, ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Istilah yang paling relevan menurut Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas bukanlah tarbiyah dan bukan pula ta’lim, melainkan ta’dib. Sementara Dr. Abdul Fattah Jalal beranggapan sebaliknya, karena yang lebih sesuai menurutnya justru ta’lim. Kendatipun demikian, mayoritas ahli kependidikan Islam tampaknya lebih setuju mengembangkan istilah tarbiyah (yang memang berarti pendidikan, education) dalam merumuskan dan menyusun konsep pendidikan Islam dibanding istilah ta’lim (yang berarti pengajaran, instruction) dan ta’dib (yang berarti pendidikan khusus dan menurut Al-Attas berarti pendidikan), mengingat cakupan yang dicerminkan lebih luas, dan bahkan istilah tarbiyah sekaligus mengimplisitkan makna dan maksud yang dicakup istilah ta’lim dan ta’dib. Selain itu, juga karena alasan historis bahwasannya istilah yang dikembangkan sepanjang sejarah, terutama di negara-negara yang berbahasa Arab, dan bahkan juga di Indonesia ternyata istilah tarbiyah, menyusul kemudian istilah ta’lim, dan jarang sekali istilah ta’dib dipergunakan.
d. Al-Riadhah
Al-ghazali berpendapat al-Riyadhah ialah pelatihan individu pada masa kanak-kanak. Beliau mengkhususkan penggunaan al-riyadhah untuk fase anak-anak.
B. Definisi Pendidikan Islam
Bilamana pendidikan kita artikan sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniyah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan.
Berdasarkan pandangan diatas, maka pendidikan Islam adalah system yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Pengertian pendidikan Islam dengan sendirinya adalah suatu system kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena itu Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrowi.
Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh pendidikan Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut system tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik tuntutan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan itu semakin meluas sejalan dengan meluasnya tuntutan hidup manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, ditinjau dari aspek pengalamannya pendidikan Islam berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang ruang lingkupnya berada didalam kerangka acuan norma-norma kehidupan Islam. Hal demikian akan nampak jelas dalam teorisasi pendidikan Islam yang dikembangkan. Ilmu pendidikan Islam adalah studi tentang system dan proses kependidikan yang berdasarkan Islam untuk mencapai produk atau tujuan, baik studi secara teoritis maupun praktis.
Ada pula yang berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an, Hadits dan akal. Penggunaan dasar ini haruslah berurutan, al-qur’an terlebih dahulu dijadikan sebagai sumber dari segala sumber, bila tidak ada atau tidak jelas didalam al-qur’an maka harus dicari dalam hadits, bila tidak juga jelas atau tidak ada didalam hadits barulah digunakan akal (pemikiran), tetapi temuan akal itu tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-qur’an dan atau hadits.
C. Dasar Utama Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam tertumpu dalam Al-Qur`an dan sunnah Nabi. Di atas dua pilar inilah dibangun konsep dasar pendidikan Islam. Titik tolaknya dimulai dari konsep manusia menurut Islam.
Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayungkan ilmunya diatas jalan kebenaran. Rosulullah SAW bersabda, “Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah SWT, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedududkan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat. (HR. ar-Rabi’)
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT :
“Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Demi Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan. (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajaran dan metode ajaran) yang berlaku dalam pendidikan Islam. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syari’at Islam peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pendidikan.
Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada aqidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud adalah aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.
Menurut Haidar Putra daulay dasar pendidikan Islam adalah suatu konsep yang menggambarkan ciri suatu bentuk baik dalam hal yang nampak ataupun yang tidak terlihat. Manusia sebagai makhluk yang sempurna yang berperan sebagai subjek dan objek dalam kehidupan ini harus bijak dan mampu memahami konsep dasar pendidikan Islam. Untuk dapat memahaminya, maka diperlukan sebuah metode pembelajaran yang efektif dan efesien serta adanya sarana dan fasilitas yang sesuai.
D. Komponen Dasar Pendidikan Islam
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2) peserta didik, 3) pendidik, 4) isi pendidikan dan 5) konteks yang mempengaruhi suasana pendidikan. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.
1. Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat .
Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah memebentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 102.
Mengenai tujuan pendidikan, menurut Klaus Mollenhaver yang memunculkan “Teori Interaksi” menyatakan bahwa “di dalam pendidikan itu selalu ada (dijumpai) mengenai masalah tujuan pendidikan”.
2. Peserta Didik
Sehubungan dengan persoalan anak didik disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ?
Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak didik.
3. Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja.. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah:
a. Orang Dewasa
Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa , yakni:
1) manusia yang memiliki pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap,
2) manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik,
3) manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri,
4) manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif,
5) manusia yang telah mencapai umur kronologs paling rendah 18 th,
6) manusia berbudi luhur dan berbadan sehat,
7) manusia yang berani dan cakap hidup berkeluarga, dan
8) manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.
b. Orang Tua
Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
c. Guru/pendidik
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara lagsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasrkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d. Pemimpin Kemasyarakatan, dan Pemimpin Keagamaan.
Selain orang dewasa, orang uta dan guru, pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam sebagai pendidik, tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerokhanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
4. Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan.
Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.
5. Konteks yang Memepengaruhi Suasana Pendidikan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial.
a. Sarana
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan.
b. Metode
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
c. Sistem/Kurikulum
Sistem pembelajaran yang baik akan semakin menambah peluang untuk berhasilnya sebuah pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
E. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam terkait erat dengan tujuan penciptaan Manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai Hamba Allah. Dalam rangkaian tujuan pendidikan Islam, salah satu pakar pendidikan Islam mengutarakan rincian tujuannya yaitu:
a. Untuk membantuk pembentukan akhlak
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa-apa (dinul Islam) yang kubawa” (Hadist Arba’in An-Nawawiyyah)
Kepribadian (akhlak) Islam merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam kehidupannya. Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada pola pikirnya (aqliyah) dan pola sikap dan tingkah lakunya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam.
Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam sebagaiman yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Pertama, melakukan pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang merupakan aqidah aqliyyah (aqidah yang muncul melalui proses perenungan pemikiran yang mendalam). Kedua, mengajaknya untuk selalu bertekat menstandarkan aqliyyah dan nafsiyyahnya pada aqidah Islam yang dimilikinya. Ketiga, mengembangkan aqliyyah Islamnya dengan tsaqofah Islam dan mengembangkan nafsiyyah Islamnya dengan dorongan untuk menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu ke waktu.
Seseorang yang beraqliyyah Islam tidak akan mau punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Semua pemikiran dan pendapatnya selalu sesuai dengan keIslamannya. Tidak pernah keluar pernyataan: “Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu tergantung pada pribadi kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar contohnya adalah “Sebagai seorang muslim, tentu saya berpendapaat hal itu buruk, karena Islam mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana ketetapan Islam atas sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu itu. Ia segera menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap sesuatu hal yang beru baginya itu.
Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku (bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis, ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya kepada lawan jenis itu lewat pernikahan. Nafsiyyah seseorang harusnya semakin lama semakin berkembang. Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram, secara bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dengan semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin banyak aktivitas mubah yang ia tinggalkan.
Seorang yang berkepribadian Islam tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi malaikat. Hanya saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar bertobat kepada Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam kembali.
b. Persiapan kehidupan di dunia dan Akhirat
c. Menumbuhkan ruh ilmiyah
d. Menyiapkan peserta didik dari segi profesional.
- Mengusai Tsaqofah Islam
“Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs. az-Zumar: 9).
Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science), tsaqofah adalah ilmu yang didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi lewat pemberitaan, pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata. Tsaqofah Islam adalah tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada Islam dalam kehidupannya. Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Ketetapan-ketetapan Allah ini dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah. Maka ia terdorong untuk mempelajari tafsir al-Qur’an dan mempelajari hadist. Karena al-Qur’an dan hadist dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari Bahasa Arab. Karena teks-teks al-Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar, maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari al-Qur’an dan hadist yaitu ilmu ushul fiqh. Pada saat seseorang belum mampu memahami ketentuan Allah langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang sudah memahaminya, dengan kata lain ia mempelajari fiqh Islam.
Demikianlah Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist, Ushul Fiqh, dan fiqh merupakan bagian dari tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah Islam, setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam kehidupan sesuai dengan arahan Islam.
- Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinyamalam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali-Imran : 190).
Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran, rekayasa industri, dan lain-lain.
- Memiliki Ketrampilan Memadai
“Siapkanlah bagi mereka kekuatan dan pasukan kuda yang kamu sanggupi.” (Qs. al-Anfaal : 60).
Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya ketrampilan dalam industri, penerbangan dan pertukangan, juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana halnya iptek, Islam juga menjadikannya sebagai fardlu kifayah. Harus ada yang menguasainya pada saat umat membutuhkannya.
e. Persiapan dalam berusaha untuk mencari rezeki
Sedangkan menurut As Syaibany bahwa tujuan pendidikan Islam adalah persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam yang utama adalah membentuk pribadi seorang muslim dan muslimat untuk menjadi hamba yang taat, tunduk dan patuh Kepada Allah. Selain itu, Tujuan Pendidikan Islam juga berorientasi kepada perwujuan suatu sikap yang selalu menghadirkan Allah sebagai Tuhan yang selalu mengawasi setiap makhluknya. Oleh karenaya, jika ini terwujud, maka akan terlahirlah bibit-bibit manusia yang bertaqwa dan beriman dan selalu berada dijalan yang benar dengan kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
1. Prinsip-Prinsip Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam mempunyai beberapa prinsip tertentu, guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan Islam. Prinsip itu adalah :
a. Prinsip universal (syumuliyah)
Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup.
b. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah).
Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
c. Prinsip kejelasan (tabayun).
Prinsip yang didalamnaya terdapat ajaran hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalbu, akal dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
d. Prinsip tak bertentangan.
Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaanya, sehingga antara satu kompenen dengan kompenen yang lain saling mendukung.
e. Prinsip realisme dan dapat dilaksankan.
Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan relistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosopolitik, dan sosiokultural yang ada.
f. Prinsip perubahan yang diingini.
Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniyah dan nafsaniyah; serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nili-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan (QS. ar-Ra’d: 11).
g. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.
Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta didik, baikciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.
h. Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.
2. Komponen-Komponen Tujuan Pendidikan Islam
Secara teoritis, tujuan akhir dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Tujuan Normatif
Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi, misalnya :
1) Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif.
2) Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
3) Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan dari pada sasaran- sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
4) Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) kearah tujuan akhir.
5) Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.
b. Tujuan Fungsional
Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi :
1) Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan kedalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
2) Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai kedalamm kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
3) Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
4) Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
c. Tujuan Operasional
Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial. Menurut langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu :
1) Tujuan umum (tujuan total), menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukan keselaraasn dan keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga ini hakikat manusia.
2) Tujuan khusus, tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya.
3) Tujuan tak lengkap, tujuan ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari suatu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya.
4) Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan besifat sesaat, misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
5) Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan-tujuannya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya.
6) Tujuan intermedier, tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung dan sebagainya.
3. Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu :
a. Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. Dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus).
b. Mengetahui ilmu Allah SWT, melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.
c. Mengetahuai kekuatan (qudrah) Allah SWT melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas makhluk-Nya.
d. Mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT, (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
Abdal Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya,Educational Theory, aQur’anic outlook,menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu :
a. Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf al-Jismiyah)
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Ia berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy” sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik, (QS.al-Baqarah : 247, al-Anfal :60).
b. Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyah)
Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah SWT semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran : 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua ( QS. Al-Baqarah : 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manuisa secara individual dari sikap negatif (QS al-Baqarah : 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).
c. Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah)
Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta. Tahapan akal ini adalah :
1) Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yaqin) (QS. Al-Takastur : 5)
2) Pencapaian kebenaran empiris (ain al-yaqin) (QS. Al- Takastur : 7)
3) Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq –alyaqin) (QS. Al-Waqiah : 95).
d. Tujuan Pendidikan Sosial ( al-Ahdaf al-Ijtimaiyah)
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial. Identitasindividu disini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk).
Menurut Muhammad Athahiyah al-Abrasy, tujuan pendidiakn Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak dari sabda Nabi SAWyang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
انْما بُعثتُ لأتمم مكارمَ الأخلاق عن انس بن مالك
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu:
a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Pandangan dunia akhirat dalam pandangan al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yan lebih emiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad adalah:
“Education aims at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the rasional self, feeling and bodile sense. Education should , therefore, cater, for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectivelly, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of pefection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
Maksudnya, pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiyah, linguistik, baik secara individu, maupun secara kolektif dan memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan utama pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas.
Dari beberapa rumusan tujuan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah :”terbentuknya insankamil yang didalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris nabi”. Tujuan bisa dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:
a. Terbentuknya “insankamil” ( manusia paripurna ) yang mempunyai wajah-wajah qur’ani.
b. Terciptanya “insankaffah”.
c. Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi (warasatalanbiya’) dan memberikan bekal yang memadahi dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
F. Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Dalam buku At-Tarbiyah ad-Diniyah al-Islamiyyah baina al-Ashalah wa al-Mu`asharah, karya Fathi Ali Yunis dkk, disebutkan pendidikan Islam memiliki beberapa ciri khas: Karakter ketuhanan (thabi`iyah ilahiyyah); aspek-aspek pendidikan dalam Islam menyentuh sisi akidah, ibadah, muamalah yang kesemuanya bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Komprehensif (at-Takamul), menyentuh berbagai aspek; rohani-jasmani, akidah-syari`ah, ilmu dan amal. Realistik (Waqi`iyyah), pendidikan Islam menyentuh realitas hidup manusia. Universal (`Alamiyyah) mencakup waktu, tempat, dan umat.
Pendidikan Islam senantiasa relevan dengan zaman, tempat dan bangsa. Menyatukan antara yang permanen dengan yang dinamis (al-Jam`u baina ats-Tsabat wa-al-murunah). Akidah bersifat permanen, sedangkan mu’amalah dan hal-hal furu’iyah sangat dinamis. Agar pendidikan kemasyarakatan dapat mencapai target yang optimal, Ibnu Khaldun seorang sosilog muslim dalam al-Muqaddimah-nya, memberikan beberapa prinsip pendidikan masyarakat :
1. Prinsip kausalitas (as-Sababiyah).
Hukum kausalitas adalah sistem yang diciptakan Allah dalam alam semesta. Dalam dunia pendidikan akan selalu dijumpai beragam watak, tabiat dan kemampuan manusia. Dalam hal ini Rasulullah Saw memberikan arahannya, “Kami para Nabi diperintahkan untuk berbicara kepada umat sesuai dengan kadar pemahamannya.”
2. Prinsip rasionalitas (al-`Aqlaniyyah).
Rasionalitas adalah kemampuan akal dalam memahami dan menangkap ilmu pengetahuan.
3. Prinsip format dan isi (as-Surah wa al-Muhtawa).
Format adalah gambaran nyata, sedangkan isi adalah informasi yang akan dicapai. Artinya menggunakan wasa’il al-idhah dalam menyampaikan pesan atau informasi. Al-Qur’an dan al-hadis banyak menggunakan matsal (perumpamaan) dengan term taysbih (penyerupaan), kinayah (kiasan) dalam menyampaikan makna yang dimaksud dalam pemahaman ajaran agama.
4. Prinsip fleksibilitas (al-Taghayyur).
Dunia ini sangat dinamis, selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula dengan manusia sebagai pelaku utama di dunia ini pasti mengalami perubahan dari satu masa ke masa, dari satu generasi ke generasi.
5. Prinsip-prinsip pendidikan yang diambil dari realitas pendidikan yang berlaku
Masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat pendidik, saling mengingatkan satu sama lain. Al-Qur’an telah menggambarkan kriteria masyarakat Islam dalam surat Ali `Imran: 110, “Kalian adalah umat terbaik yang pernah ada, karena saling mengajak kepada kebaikan, mencegah dari kemunkaran, dan beriman kepada Allah.” Masyarakat Madinah yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar merupakan contoh nyata masyarakat Islam yang ideal.
Sedangkan target pendidikan Islam yang akan dicapai menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, adalah sebagai berikut :
1. Mendekatkan diri kepada Allah, dengan sikap tawadhu’.
2. Mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat mengantarkan pemiliknya menjadi orang saleh, karena hakekat kebahagian di dunia dan akherat adalah ilmu pengetahuan.
Berakhlak mulia. Karena akhlak mulia adalah tujuan diutusnya para nabi dan rasul. Hal ini ditegaskan Nabi Saw, “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Dengan demikian pendidikan yang telah dicontohkan Nabi Saw, baik kandungan maupun metodenya dapat ditiru oleh umatnya, sehingga ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’ dapat tercapai.
G. Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan Islam
Muhammad al-Faisal al-Saud menulis bahwa suatu system pendidikan yang disusun berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an merupakan suatu system transformasi nilai-nilai al-Qur’an itu sendiri dengan jaminan bahwa karakteristik umat Islam akan terpelihara integritas dan kelurusannya. Prinsip-prinsipnya:
1. Prinsip tauhid
Prinsip tauhid merupakan prinsip dalam pendidikan Islam dan setiap sesuatu yang disebut Islami sebagai konsekuensi lagis dari prinsip tauhid sehingga akan muncul konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus, bahwa tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.
2. Prinsip integrasi
Suatu prinsip integrasi yang seharusnya dianut bahwa dunia merupakan jembatan menuju kampong akhirat karena itu mempersiapkan manusia secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakan, agar masa kehidupan duniawi benar-benar bermanfaat sebagai bekal kehidupan akhirat.
3. Prinsip keseimbangan
Karena ada prinsip tauhid dan integrasi maka prinsip keseimbangan merupakan kemestian sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak muncul kepincangan dan kensenggangan yaitu keseimbangan antara material dan spiritual, unsure jasmani dan rohani.
Dalam aspek lain dari keseimbangan ini adalah prinsip pengembangan dan pembinaan mansusia sebagai individu dan kemasyarakatan.
4. Prinsip persamaan
Prinsip ini berasal dari prinsip yang pertama dan prinsip dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal, tidak ada diskriminasi jenis kelamin dan sebagainya.
Menurut catatan ahli sejarah, karena prinsip persamaan yang diisyaratkan dalam ajaran Islam antara lain yakni melapungkan jalan cepatnya dakwah Islam khususnya pada masyarakat dianak benun India dulu.
5. Prinsip pendidikan seumur hidup
Prinsip ini pula ditekankan karena Islam memang mendambakan umatnya betul-betul tidak berhenti belajar dan memulainya sejak dini.
Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan manusia dalam kaitan dengan keterbatasan manusia sepanjang hidupnya dihadapkan pada tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskannya.
6. Prinsip keutamaan
Prinsip keutamaan adalah inti dari segala kegiatan pendidikan dengan dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar proses mekanik, melainkan merupakan suatu proses yang dimiliki ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan.
H. Lingkungan Pendidikan Islam
1. Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan terutama bagi anak. Pendidikan di keluarga bertujuan membentuk fondasi kepribadian Islam pada anak, yang akan dikembangkan setelah anak masuk sekolah.
Pada fase prenatal terjadi pertumbuhan yang penting di dalam rahim ibu. Suasana kesehatan dan kejiwaan ibu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rahimnya. Rangsangan yang diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi dengan anak sejak dalam rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa kehamilan, bayi mulai mendengar suara-suara seperti detak jantung ibu, suara usus dan paru-paru, dan juga suara lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban yang ada dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar anak, sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak. Anak menjadi tenang ketika ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan kata manis. Hal ini akan menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal itu diulang semakin kuat guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini sebaiknya digunakan oleh ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat al-Qur’an. Karena suara ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak dalam rahim adalah bacaan ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape atau radio atu dari yang lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama kehamilan semakin kuatlah guratan memori al-Qur’an di otak anak.
Masa 0 – 2 tahun didominasi oleh aktivitas merekam sedang masa 3 – 5 tahun didominasi oleh aktivitas merekam dan meniru. Pada masa sekarang, umumnya perkembangan anak lebih cepat sehingga aktivitas meniru muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah lingkungan keluarga memberikan nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan keseharian. Semua orang yang berada di lingkungan keluarga harusnya memberikan perlakuan dan teladan yang baik secara konsisten. Ketika anak sudah mulai bermain ke luar rumah pada masa 3 – 5 tahun keluarga harus sudah bisa membentengi anak dari nilai-nilai atau contoh-contoh buruk yang ada di luar rumah.
Menurut Fatima Hareen (1976), masa 3-10 tahun merupakan fase-fase cerita dan pembiasaan. Pada saat inilah terdapat lapangan yang luas bagi orangtua untuk menggali cerita-cerita AlQur’an dan sejarah perjuangan Islam. Anak mengenali sifat-sifat pemberani, jujur, dan mulia dari pejuang-pejuang Islam.
Masa 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab, sopan santun, dan sifat-sifat ahlaq. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan kewajiban-kewajiban muslim seperti sholat dan shaum.
Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu Hibban].
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat, dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan).” [HR. al-Hakim dan Abu Dawud].
Masa akhir anak-anak (10-14 tahun) merupakan rentang usia di mana anak-anak umumnya memasuki masa baligh. Jadi masa ini anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan sudah baligh. Karenanya pada masa ini pemberian tugas sudah harus dilengkapi dengan sanksi apabila mereka tidak menjalankan tugas yang diberikan. Setelah usia 10 tahun, walaupun mereka belum baligh, kita sudah harus memukul mereka agar mereka menjadi lebih disiplin dalam menjalankan sholat. Tentunya nasehat dalam bentuk verbal juga tidak ditinggalkan.
Demikianlah pendidikan dalam keluarga menyiapkan anak menjadi muslim yang berkualitas yang siap menjalankan semua taklif hukum dari Allah ketika ia memasuki usia baligh. Dari proses pendidikan yang digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam keluarga. Namun memang tidak dapat disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling dominan pengaruhnya dalam keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang pertama kali memberi warna pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak. Tidak aneh ketika Islam menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang wanita. Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain.
2. Pendidikan Dalam Masyarakat
Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di tengah masyarakat juga merupakan pendidikan sepanjang hayat lewat pengalamam hidup sehari-hari. Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa di dalam diri individu. Masyarakat sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku individu. Masyarakat Islam juga memiliki kepekaan yang tinggi sehingga mampu mencium penyelewengan individu dari jalan Islam dan segera meluruskannya. Dalam pengawasannya individu tidak akan berani melakukan kemaksiyatan secara terang-terangan.
3. Pendidikan di Sekolah
Di dalam Islam menuntut ilmu adalah wajib ‘ain sebagaiman sabda Rasulullah Saw:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Dalam hadist lain dikatakan:
“Jadilah kamu sebagai orang alim atau sebagai orang yang menuntut ilmu, atau sebagai orang yang mendengar ilmu, atau orang yang cinta terhadap ilmu. Akan tetapi janganlah kalian menjadiorang yang kelima (orang yang bodoh), nanti kalian akan binasa.”
Atas dasar ini maka negara wajib menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Pendidikan ini dilakukan di sekolah-sekolah. Ijma shahabat menunjukkan negara wajib memberikan pendidikan bebas biaya kepada setiap warga negara.
Karena menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, maka sekolah tidak bisa dibatasi untuk anak-anak saja. Semua muslim yang sudah baligh harus mendapat jaminan melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu. Sedangkan penyediaan sekolah untuk kepentingan terbetuknya generasi yang berkualitas dilakukan untuk anak-anak yang belum baligh sejak mereka berusia 7 tahun.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam yaitu membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, iptek dan ketrampilan maka negara menerapkan sistem pendidikan.
Kurikulum yang digunakan tentunya bukan kurikulum yang sekuler seperti yang kita temukan saat ini di sekolah-sekolah di Indonesia. Pada kurikulum yang kita temukan saat ini, Islam tidak mewarnai mata pelajaran lain selain mata pelajaran agama Islam. Ketika anak belajar sejarah, ketatanegaraan, ekonomi, ilmu alam, dan yang lain-lain, mereka tidak menemukan kaitan antara pelajaran-pelajaran itu dengan aqidah Islam mereka, bahkan mereka menemukan adanya pertentangan. Mereka tidak mempelajari Siroh dan Tarikh Islam, namun mereka belajar tentang kejayaaan bangsa-bangsa yang menjajah kaum muslimin. Jika mereka belajar sejarah mengenai Islam , mereka mempelajari sejarah yang sudah diputarbalikkan oleh orientalis. Mereka belajar bagaimana negara kapitalis mengelola pemerintahan, bagaimana mereka mengelola ekonomi, sehingga mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan ekonomi Islam. Maka terbentuklah kehidupan mereka yang sekuler. Seharusnya aqidah Islam mewarnai semua mata pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah.
I. Aspek-Aspek Pendidikan Islam
Manusia terlahir dari dua potensi alam yang berlainan tetapi satu dalam bentuk. Potensi itu berupa jasmani dan rohani. Potensi jasmani berupa fisik, sedangkan potensi rohani berupa pemikiran dan perasaan. Kedua potensi ini sangat perlu pendidikan sebagai upaya mewujudkan manusia yang fitrah sebagai dasar utama penciptaan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Ada dua hal pola pendidikan yang harus ditanamkan kepada setiap manusia, pertama pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam bidang akhlak dan moral.
Aspek aspek pendidikan yang perlu ditanamkan kepada manusia dalam konsep pendidikan Islam adalah:
• Aspek pendidikan Ketuhanan
• Aspek pendidikan akhlak
• Aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan
• Aspek pendidikan fisik
• Aspek pendidikan kejiwaan
• Aspek pendidikan keindahan
• Aspek pendidikan keterampilan
Untuk merealisasikan konsep pendidikan Islam diperlukan perencanaan pendidikan yang meliputi:
• Kelembagaan
• Kurikulum
• Manajemen
• Pendidik
• Alat, sarana dan fasilitas
• Kebijakan pemerintah
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan Islam adalah system yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
3. Dasar pendidikan Islam tertumpu dalam Al-Qur`an dan sunnah Nabi. Di atas dua pilar inilah dibangun konsep dasar pendidikan Islam. Titik tolaknya dimulai dari konsep manusia menurut Islam.
4. Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2) peserta didik, 3) pendidik, 4) isi pendidikan dan 5) konteks yang mempengaruhi suasana pendidikan.
5. Tujuan pendidikan Islam terkait erat dengan tujuan penciptaan Manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai Hamba Allah. Dalam rangkaian tujuan pendidikan Islam, salah satu pakar pendidikan Islam mengutarakan rincian tujuannya yaitu:
a. Untuk membantuk pembentukan akhlak
b. Persiapan kehidupan di dunia dan Akhirat
c. Menumbuhkan ruh ilmiyah
d. Menyiapkan peserta didik dari segi profesional.
e. Persiapan dalam berusaha untuk mencari rezeki
6. Pendidikan Islam memiliki beberapa ciri khas: Karakter ketuhanan (thabi`iyah ilahiyyah); aspek-aspek pendidikan dalam Islam menyentuh sisi akidah, ibadah, muamalah yang kesemuanya bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Komprehensif (at-Takamul), menyentuh berbagai aspek; rohani-jasmani, akidah-syari`ah, ilmu dan amal. Realistik (Waqi`iyyah), pendidikan Islam menyentuh realitas hidup manusia. Universal (`Alamiyyah) mencakup waktu, tempat, dan umat.
7. Muhammad al-Faisal al-Saud menulis bahwa suatu system pendidikan yang disusun berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an merupakan suatu system transformasi nilai-nilai al-Qur’an itu sendiri dengan jaminan bahwa karakteristik umat Islam akan terpelihara integritas dan kelurusannya. Prinsip-prinsipnya:
a. Prinsip tauhid
b. Prinsip integrasi
c. Prinsip keseimbangan
d. Prinsip persamaan
e. Prinsip pendidikan seumur hidup
f. Prinsip keutamaan
8. Adapun lingkungan pendidikan dalam Islam meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
9. Aspek aspek pendidikan yang perlu ditanamkan kepada manusia dalam konsep pendidikan Islam adalah:
a. Aspek pendidikan Ketuhanan
b. Aspek pendidikan akhlak
c. Aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan
d. Aspek pendidikan fisik
e. Aspek pendidikan kejiwaan
f. Aspek pendidikan keindahan
g. Aspek pendidikan keterampilan
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah, 1991. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan la-Qur’an, terj. Arifin HM, judul asli : Educational Theory, a Qur’anic outlook, Jakarta: Rineka Cipta
Abdul Mujib, 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media.
Ahamad D. Marimba, 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: al-Ma’arif.
Al-Marghi, M., 2001, Tafsir al-Maraghi, Bairut: Dan Fikr.
Arifin H M, 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara
Azra, Azyumardi, Prof. Dr. 2000. Pendidikan Islam, Jakarta. Logos
Babbie dalam Sudjana, 2007. D., Pendidikan Nonformal. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W (penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Daradjat. Z., dkk, 2009, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986. Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, terj. Fathur Rahman, Bandung: al-Ma’arif
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Rineka cipta, 2009
Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. Ke 3. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Langgulung, H., 2003, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Muhammad Al-abrasyi, 1975. At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa falasifatuha, Mesir: al-Halabi
Muhammad Athahiyah al-Abrasy, tt. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya’
Nata, A. 2005, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Nizar, Samsul, 2001. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, 1979. Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
QUTHB, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Al-Ma’arif Bandung, 1993
Ramayulis, 2004, Pengantar Ilmu Pendidikan, Padang: the minangkabau foundation press.
Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Redaksi Penerbit, 2006, Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri,
Sayid Muhammad al-Zarqani, tt. syarkh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, Beirut: Dar al-Fikr
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an. 2005. Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani
Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun. 2005. Perencanaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar