Download Ratusan Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan kehidupan Imu mengalami kemajuan. Perkembangan ilmu ini dapat terwujud karena adanya aktivitas yang berupa penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Beberapa orang ahli filsafat diantaranya Francis Bacon (1561-1620) dan Karl Popper dan Thomas Kuhn telah melakukan pengamatan atas aktivitas atau cara kerja ilmuwan tersebut. Para pengamat yang bukan ilmuwan sains menyebut cara kerja ini sebagai metode ilmiah.
Banyak ilmuwan mengemukakan bahwa metode ilmiah yang dikemukakan oleh Bacon dan Popper itu terlalu sederhana dan kurang memadai. Mereka mengemukakan bahwa metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa : pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan, perumusan hipotesis, pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran informasi.
Sebagai “Home Sapiens “ manusia tidak akan pernah berhenti berpikir selama hidupnya, terlepas dari kadar atau tingkatan masalah yang dipikirkannya. Apakah masalah biasa (sederhana), masalah ilmiah, atau bahkan masalah filsafat.
Apakah manusia berpikir dengan menekankan kegunaannya dari pada kebenarannya ini termasuk dalam tingkatan berpikir biasa. Apabila manusia berpikir dengan menekankan kebenarannya dari pada kegunaanya sebagai batas pengalaman termasuk dalam tingkatan berpikir ilmiah. Dan apabila manusia berpikir secara komprehensif, mendasar dan spekulatif melewati batas pengalaman ini termasuk tingkatan berfikir filsafat.
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk mengkaji metode ilmiah ditinjau dari filsafat ilmu. Hal ini penting sekali karena dalam makalah tersebut juga akan dibahas tentang penemuan ilmiah secara logis dan kritis.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan di membahas dalam makalah ini adalah tentang metode ilmiah. Hal ini menarik untuk di kaji karena metode ilmiah merupakan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Lebih khusus lagi makalah ini akan menguraikan berbagai teori tentang metode ilmiah dan standar dalam menilai teori-teori ilmiah
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I Pendahuluan, mengemukakan latar belakang masalah, masalah dan pembatasan masalah, serta sistematika penulisan. Bab II Membahas metode ilmiah dan Standar dalam menilai teori-teori ilmiah. Bab III Mengemukakan kesimpulan isi masalah dan rekomendasi yang di anggap perlu.
BAB II
METODE ILMIAH DALAM TINJAUAN FILSAFAT ILMU
A. Kajian Filsafat Ilmu
Sebelum menelaah tentang peranan filsafat ilmu perlu lebih dahulu dipahami apakah pengetahuan dan apakah ilmu itu. Seorang, anak balita bersama ayahnya mengunjungi kebun binatang yang terdapat di kota tempat tinggalnya. Si anak memperoleh pengetahuan tentang kebun binatang melalui inderanya dan ia tahu bahwa di kebun binatang terdapat bermacam macam binatang. Ayahnya memperoleh pengetahuan tentang kebun binatang melalui pengamatannya juga, bahwa kebun binatang di kotanya lebih kecil dan jenis binatangnyapun tidak begitu banyak bila dibaindingkan dengan kebun binatang yang pernah ia lihat, di kota 'Lain. Dalam hal ini pengetahuan yang diperoleh si anak tentang kebun binatang, berbeda deengan pengetahuan yang diperoleh ayahnya, meskipun mereka mengamati obyek yang sama.
Dari contoh tadi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengetahuan itu merupakan hasil tahu tentang sesualu yang diperoleh melalui suatu usaha. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang terbentuk pada diri masing masing individu tergantung dari pengetahuart dan pengalaman individu tersebut sebelumnya.
Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang diberikan oleh orang lain kepada kita. Yang dimaksud dengan infonnasi di sini adalah wacana yang dapat berbentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian pembentukan pergetahuanpun akan berbeda beda bagi tiap individu sebagaimana dikemukakan oleh pandangan konstruktivisme. Sesuai pandangan tersebut, kecepatan seseorang membentuk pengetahuanpun berbeda beda pula. Jadi meskipun informasi atau stimulusnya sama, berbagai individu akan membentuk pengetahuan yang berbeda dengan kecepatan yang tidak sama pula. Bagi seorang guru misalnya, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam kegiatan mengajar harus diusahakan agar wacana yang dilakukan tidak mudah disalahartikan oleh peserta didik, Pengetahuan yang anda kenal pada contoh contoh di atas merupakan pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek tertentu dan yang ingin kita hayati melalui indera dan pemikiran. Pengetahuan ini biasa disebut pengetahuan saja atau dalam bahasa higgris disel knowledge. Pengetahuan itu, dapat pula diperoleh melalui pengalaman yang tidak hanya melalui indera, tetapi juga diperoleh melalui suatu eksperimen.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, para filsuf senantiasa ditantang untuk menjawab, pertanyaan pertanyaan yang sangat mendasar tentang segala sesuatu yang mereka amati atau peristiwa yang mereka alarni. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil pemikiran yang rasional dan mendasar, kritis dan logis, analitis dan sisternatis untuk menjawab, pertanyaan tentang hakekat, azas, atau, prinsip dari seluruh realitas, disebut pengetahuan filsafat atau filsafat.
Dengan demikian filsafat itu pada awalnya membahas tentang hakekat segala hal dan dimulai dengan pemikiran manusia mengenai alam dan segala peristiwa yang ada vang kemudian berkembang lebih luas lagi. Jadi bidang bahasanya amat luas yaitu mencakup semua ilmu yang dikenal orang pada masa tertentu.
Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan ilmu, dapat dikemukakan contoh bahwa hingga abad 18 fisika masih disebut sebagai "filsafat alam". Demikian pula yang sekarang kita kenal sebagai ilmu ekonomi, dahulu disebut sebagai filsafat moral. Sejak pertengahan abad 19, fisika, kimia dan biologi disebut sebagai ";Ilmu kealaman" dan bukan bagian dari filsafat alam. Dalam perkembangan selanjutnya pada abad 20, fisika, kimia, biologi, psikologi, serta ilmu ilmu sosial seperti ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, sosiologi, ilmu hukurn, dan ilmu politik telah dinyatakan sebagai "ilmu ilmu empiris".
Dengan berjalannya waktu ilmupun berkembang menjadi lebih banyak dan lebih luas sehingga banyak pula cabang cabang ilmu yang lebih dalam pembahasannya. Dengan demikian ilmu ilmu itu lahir, berdiri sendiri sebagai disiplin disiplin ilmu yang terlepas dari filsafat sebagai induknya. Pada dasarnya ilmu itu lahir dan berkembang sebagai produk dari upaya manusia untuk memahami realitas alam serta kehidupan di dalamnya serta upaya mengembangkan produk produk yang telah dihasilkan oleh manusia sebelumnya.
Disiplin disiplin ilmu yang telah lepas tadi berkembang terus dengan pesat dan banyak menghasilkan produk produk berupa teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat, di samping ada pula dampak negatif yang timbul dari perkembangan ilmu tersebut. Kita tentu masih ingat betapa dahsyatnya letusan bom, atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki di negeri Jepang pada tahun 1945. Akibat dari pemboman ini sebagian besar dari kedua kota itu hancur dan penduduknyapun banyak yang meninggal. Sebagian dari mereka menderita, luka dan cacat tubuh seumur hidupnya. Inilah sebuah contoh tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh penggunaan kemajuan ilmu tentang energi nuklir dengan produk teknologinya.
Kisah ini menyadarkan kita tentang perlunya mempersoalkan pengembangan ilmu pada aspek maralitas, norma etika serta spiritualitasnya. Aspek aspek ini tidak dapat kita temukan pada teori, hokum-hukum maupun eksperimen yang mendasari perkembangan ilmu tertentu.
Meskipun dalam, perkembangannya filsafat telah melahirkan ilmu ilmu yang bersifat mandiri, tidak berarti bahwa hubungan antara ilmu dan filsafat telah putus, karena masih ada dan perlu ada interaksi antara keduanya. Sebagai contoh filsafat bertugas antara lain untuk membuat analisis tentang konsep-konsep dan asumsi asumsi ilmu dalam hal arti dan validitasnya. Selain itu filsafat juga mengatur hasil berbagai ilmu dalam suatu pandangan hidup yang terintegrasi, komprehensif dan konsisten. Sebaliknya sikap ilmiah yang merupakan landasan perkembangan ilmu, dirasakan amat bermanfaat pula bagi perkembangan filsafat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat dan ilmu saling membutuhkan. Filsafat ilmu yang salah satu tugas pokoknya ialah menilai hasil ilmu ditinjau dari aspek eksistensi manusia seutuhnya, merupakan jembatan penghubung antara filsafat dan ilmu.
Sains telah berkembang secara cepat sejalan dengan perkembangan teknologi. Misalnya ilmu kealaman secara berangsur memiliki banyak cabang ilmu yang masing masing ditelaah, diteliti dan dikembangkan oleh kelompok-¬kelompok ilmuwan yang berminat terhadap cabang ilmu tertentu. Pembagian ini disebabkan oleh keterbatasan manusia yang tidak mampu mempelajari beberapa bidang ilmu sekaligus secara mendalam.
Filsafat yang menelaah tentang manusia dan hubungan antar manusia disebut moral philosophy atau philosophy saja. Dalam perkembangannya ketompok ilmu ilmu ini menjadi ilmu ilmu sosial vang dalam bahasa Jerman disebut Geisteswissenschaften. ilmu sosial atau ilmu kemasyarakatan meliputi berbagai cabang yang pada dasarnya mengkaji hubungan antar manusia, baik antar individu maupun kelompok.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ilmu itu tidak dapat hanya dirumuskan atau ditentukan oleh ilmu itu sendiri, tetapi perlu dikaitkan dengan dasar budaya masyarakat atau bangsa. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya nilai suatu pergembangan ilmu itu perlu ditinjau sejauh mana ilmu itu dapat menyumbangkan nilai tambah untuk kesejahteraan masyarakat tanpa harus mengorbankan nilai nilai budaya mereka. Oleh karenanya pemahaman tentang filsafat ilmu amat diperlukan.
B. Metode Ilmiah Popper
Ide-ide Popper tentang metode ilmiah paling mudah dipaham jika dibandingkan dengan metode yang mengikuti teori belajar induktif. Ada dua asas yang mendasari teori Popper. Pertama, Penyelidikan tidak boleh di mulai dengan usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus pada satu persoalan. Peneliti harus bertanya : Apa masalahnya ? Kedua Usaha untuk menemukan sebuah solusi atau solusi yang terperbaiki tidak boleh merupakan usaha hati-hati untuk berpegang pada Fakta, tetapi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dengan yang berani dengan kritisisme yang tajam.
Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang hakekat belajar, terutama hakekat berfikir yang kreatif. Hal ini karena kita sebenarnya melakukan proses belajar dengan cara menduga dan menolak untuk memecahkan persoalan cara terbaik untuk mencapai kemajuan belajar adalah dengan memfokuskan dan mengartikulasikan persoalan, dengan memprediksi solusi dengan cara berani dan Imajinatif, serta dengan menilai solusi yang ditawarkan secara kritis.
Arti penting pembuktian secara empiris berasal dari asas-asas dasar ini tujuan sains adalah menjelaskan secara benar dunia pengalaman kita, dan terhadap hasil Observasi dan Eksperimen. Kritisisme paling kuat dari sebuah teori yang bertujuan untuk menjelaskan sesuatu terletak dalam pertentangannya dengan apa yang kita alami atau hasil Eksperimen kita. Karena kritisisme yang sistematis dan kuat dari dugaan kita ini memiliki arti penting, maka para ilmuan harus selalu berusaha meletakan teori mereka dalam sebuah bentuk yang dapat di uji.
Popper (1968: 49-54) mencirikan teori metode ilmiahnya sebagai berikut : “ Teori metode selama berjalan di luar analisi logis tentang hubungan di antara pernyataan-pernyataan ilmiah, berkaitan dengan pilihan metode… jelas, kaidah-kaidah (Metadologis) sangatlah berbeda dari kaidah-kaidah yang biasanya disebut “Logis”. Meskipun logika mungkin menetapkan kriteria untuk memutuskan apakah sebuah pernyataan dapat dibuktikan, Hal ini tidak berkaitan dengan persoalan apakah seseorang mendesakan dirinya untuk membuktikan pernyataan itu. Kaidah-kaidah Metodologis disini dipandang sebagai konvensi. Kaidah-kaidah Metodologis mungkin digambarkan sebagai aturan sebuah permainan sain empiris. Kaidah-kaidah logis berbeda dari aturan logika murni baiknya aturan main catur, yang beberapa oarang akan memandangnya sebagai bagian dari logika murni…..Hasil dari sebuah penyelidikan tentang aturan permainan sains-yakni, aturan penemuan ilmiah mungkin berwujud logika penemuan ilmiah (The Logic Of Scientific Discovery) ….saya akan mencoba akan menetapkan aturan, atau norma jika anda menginginkan yang akan menjadi pembimbing bagi ilmuwan yang tengah dalam penyelidikan atau penemuan, didalam arti sama seperti yang di pahami disini.
Menurut Popper, pada akhirnya kita akan menilai sebuah sistem aturan metodologis dengan mempertanyakan apakah sistem aturan itu dapat di terapkan tanpa menimbulkan inkonsistensi, apakah sistem aturan itu akan membantu kita; apakah kita benar-benar membutuhkannya. Tetapi setelah kita memandang aturan-aturan metodologis sebagai petunjuk praktis yang dapat di nilai dari kegunaannya, Maka hukum alam (termasuk alam manusia) menjadi relevan untuk di nilai mana metode yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, sebuah aturan yang merekomendasikan prosedur yang mustahil secara fisik dan psikologis bukanlah aturan yang berguna. Secara khusus merekomendasikan induksi yang hati-hati tidaklah membantu jika kita tidak melakukan observasi murni untuk kemudian membuat induksi dari observasi ini. Menganjurkan kombinasi antara dugaan-dugaan yang berani dan kritisisme yang tajam akan berguna jika kita benar-benar belajar dengan menduga dan menolak.
Popper juga mengembangkan teori pengetahuan yang mendasari sikap positif kearah penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama adalah pelarangan untuk menghindari penolakan yang kedua adalah rekomendasi untuk belajar sebanyak mungkin dari penolakan. Dengan belajar dari penolakan kita akan berusaha mendalami permasalahan yang di tolak itu. Sebagai mana pepatah mengatakan bahwa” Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Untuk itu belajar dari kesalahan merupakan langkah awal menuju kebaikan.
Dalam kegiatan ilmiah Popper mengatakan langkah-langkah sebagai berikut:
“Kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar (hanya) selama pernyataan itu membuktikan teori-teori; selama menimbulkan pertanyaan selidik tentang teori-teori, untuk di jawab dengan menerima pernyataanpernyataan dasar. Maka, situasi rillsangat berbeda dari situasi yang di visualisasikan oleh seorang empiris naif., atau orang yang percaya pada logika induktif. Ia berpikir bahwa kita mulai dengan mengumpulkan dan menyusun pengalaman kita, dan karena itu turun ke tangga sains… tetapi jika saya di perintah untuk merekam apa yang saya alami sekarang, saya hanpir tidak dapat mengetahui bagaimana menaati aturan yang ambigu ini…. Dan meskipun aturan itu dapat di taati … aturan itu tidak pernah berarti sebagai sebuah sains. Sain membutuhkan sudut pandang dan persoalan teoritis”.
Popper mengontruksikan argumen yang menghubungkan teorinya tentang eksperimen dengan kriteria demokrasi. Ia memulainya dengan menjelaskan bahwa penerimaan terhadap pernyataan-pernyataan dasar bisa di lakukan sesuai dengan aturan. Kemudian Popper menyatakan bahwa “ Arti khusus dari pernyataan-pernyataan dasar ini adalah aturan yang mengatakan pada kita bahwa kita tidak boleh menerima pernyataan-pernyataan dasar yang tersesat, yakni pernyataan yang tidak terkait secara logis, tetapi kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar selama mereka mampu membuktikan teori.
Popper (1968-279) menggambarkan teori sebagai “dugaan yang berani dan sangat imajinatif” yang “secara hati-hati dan bijaksana di kontrol oleh pembuktian, “dan ia terus berkata:
“Metode penelitian kami tidak di tujukan untuk mempertahankan (teori-teori ini) agar dapat membuktikan betapa benar pandangan kami. Sebaliknya, kami mencoba meruntuhkan. Dengan menggunakan semua senjata logis, matematis dan teknis, kami mencoba membuktikan bahwa (teori-teori kami) adalah salah – agar dapat mengemukakan (teori-teori yang lain) sebagai gantinya …. Kemajuan sains tidaklah di karenakan fakta semakin banyak pengalaman perseptual yang terkumulasi dalam perjalanan waktu ide-ide berani, antisifasi yang tidak di justifikasi, dan pikiran spekulatif. Semua ini adalah alat kami untuk menafsirkan hakekat : hanya dengan argumen, instrukmen kami, untuk memahaminya. Dan kami harus mencobanya untuk memenangkan hadiah yang layak kami peroleh ….
Dengan mencita-citakan kepastian (termasuk tingkat-tingkat kepastian atau kemungkinan yang tidak sempurna), maka akan runtuhlah salah satu pertahanan obskurantisme yang merintangi jalan kemajuan ilmiah, yang mengawasi keberanian pertanyaan kami; yang merongrong kekakuan dan integritas pengujian kami. Pandangan yang salah tentang sains akan terjatuh ke dalam keinginan untuk menjadi benar; bukan penguasaan atas pengetahuan, kebenaran yang tak terbantahkan, yang membuat seseorang menjadi manusia berilmu, tetapi pencarinya yang kritis akan kebenaran yang terus menerus dan tanpa henti.
Dari kutipan di atas jelas, bahwa menurut Popper inti metode ilmiah terletak pada penyelidikan yang mengombinasikan teori-teori yang berani dengan kritisisme tajam dari teori-teori iti. Kita tidak boleh menerima atau menolak suatu teori dengan begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat.
C. Metode Ilmiah Thomas Kuhn
Kuhn adalah salah seorang filosof sains yang menekankan pentingnya sejarah sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah sains, ilmuwan akan memahami kenyataan sains dan aktivitas sains yang sesunggnya. Namun demikian, ia tidak sependapat dengan pandangan yang mengemukakan bahwa perkembangan sains bersifat evolusioner dalam mendekat kebenaran dalam arti perkembangan sains itu bersifiat akumulatif. Hal ini terjadi karena bagi Kuhn perkembangan itu bersifat tidak sinambung dan tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya. Sebaliknya Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains tersebut bersifat revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan perkeinbangan sains ditandai dengan loinpatan lompatan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.
Revolusi Ilmiali terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan paradignia yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semula ilmu menggunakan paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan masalah alamiah. Pada saat ini ilmuwan menjadikan paracligma tersebut sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas ilmiahnya. Namun clemikian dalam perkembangannya, mereka menemukan anomali anomali sehingga timbul krisis kepercayaan ilmuwan terhadap validitas paradigma yang dipercaya. Karena itu, para ilmuwan mencari paradigma baru yang dapat membantu aktivitas yang lebih memadai dari paradigma sebelumnya. Setelah melalui kompetisi berbagai paradigma, kemudian diperoleh satu paradigma sebagai kesepakatan ilmuwan untuk dipakai dalarn kerja ilmialinya. Proses revolusi intelektual dan hubungannya diantara unsur/tahap perkembangan ilmu digambarkan seabagai berikut :
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa (1) perkembangan sains menurut Kuhn bersifat revolusioner, (2) revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama keparadigma baru dalam diri para ilmuwan, dan (3) proses terjadinya revolusi ilmiah bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam masa sains normal. Kemudian dalarn kenyataan terdapat anomali yang merupakan kesenjangan antara paradigma yang berlaku dengan fenomena. Dengan menumpuknya anomali kemudian timbul krisis yang mengakibatkan para ilmuwan meninggalkan paradigma lama dan menggunakan paradigma baru yang disepakati para ilmuwan.
D. Standar dalam menilai teori-teori ilmiah
Untuk membuktikan bahwa pandangan Popper tentang metode ilmiah lebih unggul di bandingkan metode aliran induktivis dan konvensionalis, Popper perlu memberi solusi terhadap persoalan yang menjadi perhatian sentral kedua aliran ini : Menunjukan cara yang lebih baik bagi teori-teori ilmiah mutahir dalam menghadapi bukti observasi dan eksperimen di bandingkan apa yang di lakukan oleh teori-teori di masa lalu atau teori yang berada di luar sains. Bagi Popper, sebuah teori di katakan lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang pembelajaran : bahwa induksi tidak terjadi, dan bahwa semua observasi merupakan teori yang terembisi ( Theory – impregnated ) sehingga memiliki kemungkinan salah.
Menurut Popper bahwa teori-teori ilmiah mutahir secara prinsif dapat di salahkan dan bertahan di hadapan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah. Sebaliknya teori-teori yang bertentangan telah tertolak dengan bukti. Maka, dalam standar sains Popper, sebuah teori dapat masuk ke dalam wacana ilmiah ( yang di pertimbangkan secara serius ) jika dapat di buktikan; akan di buang jika telah tertolak; akan di terima sementara jika dapat lulus secara ujian. Menurut Popper, satu-satunya faktor yang membatasi adalah bukti yang berpotensi di tolak masih mungkin untuk di perbaiki, karena hasil dari sebuah observasi atau eksperimen bisa saja salah. Dengan adanya potensi pengamatan yang salah, kapan dan mengapa kita harus menerima laporan observasi dan menolak sebuah teori, bukan sebaliknya ?
Agar dapat menyediakan alternatif yang lebih baik bagi filsafat induksi dan konvensionalis, Popper harus mengemukakan sebuah teori penerimaan laporan observasi yang tidak akan bergantung pada induksi ataupun dogmatisme, dan tidak terbuka terhadap tuduhan kemunduran tak terbatas yang skeptis. Popper benar-benar telah menyediakan teori semacam itu.
Dalam pandangan Popper, menerima pernyataan dasar tidak boleh berdasarkan paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas peneliti ilmiah. Secara khusus para ilmuwan mencoba untuk menemukan hasil-hasil observasi dan eksperimen yang tidak di buktikan dengan mudah misalnya, dengan mengulangi eksperimen. Sebagaimana di tekankan Popper, usaha untuk bersepakat dan menganggapbenar (sementara) hasil partikuler dapat di sebut dengan konvensi. Tetapi, konpensi semacam ini di pakai oleh ilmuwan karena konvensi ini mendorong penemuan kebenaran ilmiah. Popper membandingkan keputusan ini dengan keputusan juri : persetujuan juri bukan bukti kebenaran, tetapi merupakan keputusan berdasarkan prosedur yang di rancang untuk mendorong penemuan kebenaran.
Menurut Popper (1968:104) kita perlu bersepakat menyangkut pernyataan-pernyataan dasar : “Setiap pengujian sebuah teori, apakah menghasilkan bukti-bukti yang menguatkan atau memalsukan, harus berhenti pada suatu pernyataan dasar yang kita putuskan untuk di terima. Jika kita tidak sampai pada keputusan dan tidak menerima suatu pernyataan dasar, maka pembuktian itu tidak akan membawa pada kemajuan apapun . Tetapi jika di pertahankan dari sudut pandang logika, situasinya tidak pernah memaksa kita untuk berhenti pada suatu pernyataan dasar, atau meninggalkan pembuktian sama sekali kerena setiap pernyataan dasar pada gilirannya dapat kembali di buktikan, dengan menggunakan salah satu pernyataan dasar sebagai batu pijakannya, yang deduksi dengan bantuan suatu teori yang sedang dalam pembuktian. Prosedur ini tidak memiliki keberakhiran alami jika pembuktian akan mengarahkan kita pada suatu tempat dan ini berarti untuk sementara kita terpuaskan.
Cukup mudah untuk di lihat bahwa kita hanya sampai pada keadaan ini melalui sebuah prosedur yang akan membuat kita berhenti pada suatu jenis pernyataan yang sangat mudah di buktikan. Dengan ini, maka berarti kita berhenti pada pernyataan menerima atau menolak berbagai penelitian yang memungkinkan kita mencapai kesepakatan. Dan jika pernyataan-pernyataan itu tidak bisa sampai pada kesepakatan, maka akan di teruskan dengan pembuktian, atau di ulang dari awal. Jika ini juga tidak membawa hasil, maka kita mungkin mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidak dapat di buktikan secara intersubjek, atau bahwa kita sama sekali tidak sedang menangani peristiwa-peristiwa yang sedang di amati. Jika suatu hari nanti para pengamat ilmiah tidak bisa lagi mencapai kesepakatan tentang pernyataan dasar, maka ini sama dengan kegagalan bahasa sebagai alat komunikasi universal.
Konsep dasar dari menerima laporan pengamatan atau pernyataan-pernyataan dasar, akan menyesampingkan setiap asumsi bahwa para ilmuwan mengambil kesimpulan dengan induksi. Tentu, Popper, dengan pandangannya tentang psikologi belajar, akan mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi, meskipun ia mendukung bahwa pengalaman subyektif dari ilmuwan memainkan peran dalam pernyataan awal dan penerimaan yang perlahan-lahan terhadap sebuah laporan.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa : pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan, perumusan hipotesis, pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran informasi.
Ada dua asas yang mendasari teori metode ilmiah, yaitu : Pertama, penyelidikan harus fokus pada satu persoalan; Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam. Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang hakeket belajar, terutama hakekat berpikir yang kreatif.
Sikap positif terhadap penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama, adalah pelarangan untuk menghindari penolakan yang Kedua, adalah rekomendasi untuk belajar sebanyak mungkin dari penolakan.
Dalam kegiatan ilmiah Popper merekomendasikan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu : Pertama-tama kita harus fokuskan pada masalah, mengembangkan teori alternatif untuk memecahkannya, dan baru kemudian mengembangkan eksperimen untuk membuktikan mana teori yang lebih baik.
Sedangkan paradigma yaitu pandangan yang mendasar para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajasri oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline). Paradigma membantu para ilmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawabnya, bagaimana seharusnya menjawabnya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan, memberi makna atas informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.
Dalam hal standar menilai teori-teori ilmiah Popper menyatakan, bahwa sebuah teori di katakan lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang pembelajaran; sebuah teori dapat masuk kedalam wacana ilmiah jika dapat di buktikan; selanjutnya dalam menerima pernyataan dasar tidak boleh berdasarkan paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas peneliti ilmiah.
B. Rekomendasi
Belajar dari kritisisme yang di kembangkan oleh Popper dan revolusi ilmiah dari Thomas Kuhn, sikap positif terhadap penolakan dan belajar sebanyak mungkin dari penolakan, kita selayaknya terutama yang bergerak dalam bidang penelitian, pendidikan, dan akademisi harus siap di kritik dan juga siap mengkritik. Selain itu belajar dari penolakan pun bukan sesuatu yang jelek, tetapi justru akan memacu kita untuk menghasilkan yang lebih baik.
Disini kita akan di uji “ Apabila kita siap untuk berbeda pendapat “. Perbadaan pendapat bukan sesuatu yang di haramkan, tetapi justru merupakan suatu rahmat. Kata sebuah pepatah, benturan pendapat itu akan memercikan kebenaran, asalkan tujuannya tidak sekedar berbeda pendapat, melainkan untuk bersama-sama mencari kebenaran.
DAFTAR FUSTAKA
Anna Poedjiadi, 2001, Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik, Bandung: Yayasan Cendrawasih.
George Ritzer, 2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Popper, R. Karl, 1961, The Logic of Scientific Discovery, New York: Science Editions. Inc.
Kumpulan Sari Kuliah Filsafat Ilmu, 2003. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
M, Arief Achmad, 2001, Revolusi Intelektual dan Dampaknya, Bandung: Makalah.
Thomas Kuhn. 1970, The Studture of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press.
Uyoh Sadulloh, 2003, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar