BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Pengertian
Aqidah
Secara etimologi (lughatan), aqidah
berakar dari kata ‘aqada - ya’qidu - ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan,
perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.[1] Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat
dan mengandung perjanjian.
Secara
terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1. Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي
الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه
ريب ولايخالطه شك
“Aqidah
adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu,
mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan”[2]
2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي
مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان
قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح
أو يكون أبدا
“Aqidah
adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di
dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak
segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”[3]
Untuk
lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan
tambahan:
1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari.
Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri.
Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi memerlukan dalil
atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau
pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk
orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal
yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi adanya
dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada empat, tanpa
dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah.
Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil
pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran
itu tidak perlu pembuktian lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera
untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu
untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang
Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan
akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan
kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan
keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu
Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah
satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan), kemudian
Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih
kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin
(menerima salah satu dengan sepenuh hati karena sudah meyakini dalil
kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
3. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang
bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan
mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu yang
berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan
orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah
sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti
kelihatan.
4. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala
yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa
meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu
rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu rasanya
asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.
5. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya
terhadap dalil. Misalnya:
-
Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda
mendapatkan informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal
tidak pernah berbohong.
-
Keyakinan itu akan bertambah apabila anda
mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat
(dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
-
Bila anda melihat pengumuman beasiswa di
fakultas maka bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu
semakin kecil
-
Apabila anda diberi formulir pengajuan
beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang
bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian
anda sekalipun semua orang menolaknya
-
Ketika anda bolak balik mengurus segala yang
terkait dengan beasiswa maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda
tentang beasiswa yang diyakini tadi.
II. 3 Sumber Aqidah Islam
Sumber
aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan
oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah
dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).[4]
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber
aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah
kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh
suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan,
saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal
tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan
dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi seseorang untuk
meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah
bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak ada keraguan
sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada
keraguan padanya.
Dengan
kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah
pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita
memandang Al-Qur’an dari segi wurud, maka ia adalah pasti lagi
meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal
serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk
memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul perselisihan tentang
kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang.[5]
Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu
satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong
manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan perbuatan keji dan
mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar serta
menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan juga
menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya
hidayah Allah hanya diberikan kepada manusia yang hatinya telah dimasuki iman.[6]
Allah
berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. .
. ومن يؤمن بالله يهد قلبه . . .(التغابن 11)
“Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah
ibarat nur atau cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia
dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan
sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan
pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke
dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan
bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta
membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi
manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.
II.4. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka
ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah
(Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al
Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain
sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat Sam’i
(dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[7]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan
aqidah bisa juga mengikuti sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1. Iman Kepada Allah SWT.
2. Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis
dan Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5. Iman Kepada Hari Akhir.
6. Iman Kepada Takdir Allah.
II.5. Fungsi Aqidah
Aqidah
adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang
akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya
lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.[8]
Kalau
ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat,
atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat
aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling
terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan
ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik.
Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi
dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang
miskin, amal ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak
menerima ibadahnya karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
Seseorang
bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat,
tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan
orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan
Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak
bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang
seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup,
atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa
disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama
13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar
dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah.
Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih
besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari
kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna
apa-apa.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Yunahar
Ilyas, Lc., Kuliah Aqidah Islam,
Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad
Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Al-Jazairy, Abu
Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah,
1978.
Al-Banna Hasan,
Majmu’atu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa tahun.
mantap nih kontennya, trims
BalasHapus