Pages

Senin, 18 Maret 2013

Aqidah Islam


BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Aqidah
Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada - ya’qidu - ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.[1] Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
            Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1.    Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولايخالطه شك
            “Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”[2]
2.      Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أو يكون أبدا
            “Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”[3]
            Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan tambahan:
1.      Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu pembuktian lagi.
2.      Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3.  Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan), kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati karena sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
3.      Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
4.      Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.
5.      Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:
-         Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah berbohong.
-         Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat (dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
-         Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
-         Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian anda sekalipun semua orang menolaknya
-         Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini tadi.
II. 3 Sumber Aqidah Islam
            Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).[4]
            Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
            Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang.[5] Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
            Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada manusia yang hatinya telah dimasuki iman.[6]
            Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . ومن يؤمن بالله يهد قلبه . . .(التغابن 11)
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.
II.4. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1.      Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
2.      Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3.      Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4.      Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[7]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1.      Iman Kepada Allah SWT.
2.      Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3.      Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4.      Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5.      Iman Kepada Hari Akhir.
6.      Iman Kepada Takdir Allah.
II.5. Fungsi Aqidah
            Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.[8]
            Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
            Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

  

BAB III
KESIMPULAN







DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Yunahar Ilyas,  Lc., Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978.
Al-Banna Hasan, Majmu’atu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa tahun.


[1] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 1
[2] Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail,(Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun), h. 465
[3] Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin, (Cairo: 1978), h. 21
[4] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 6
[5] Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: 1997), h. 23
[6] Ibid, h. 25
[7] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 5
[8] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 9

1 komentar: