DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pengajaran bahasa ada suatu hierarki atau tingkatan disiplin ilmu
yang dipelajari. Kebanyakan masyarakat berasumsi bahwa tingkatan itu adalah
sesuatu yang mutlak dan keputusan akhir (Final decision). Adapun tingkatan itu
adalah morfem-kata-kalimat-paragraf-wacana. Dalam tingkatan ini wacana mendapat
tingkat yang tertinggi. Seperti yang diketahui, bila ditinjau dari segi ukuran,
urutan tersebut adalah dari kecil ke ukuran paling besar. Secara tidak langsung
bisa diambil kesimpulan bahwa wacana adalah satuan yang paling besar.
Untuk mengenal wacana ini lebih dekat maka perlu diketahui jenis-jenis atau
klasifikasi wacana ini, sehingga dari hal itu akan tergambar jelas apa
sebenarnya yang disebut dengan wacana. Sebagai suatu disiplin ilmu, wacana
tentu mempunyai ruang lingkup yang sangat besar. Wacana bisa terbagi lagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang akan menambah khazanah pengetahuan masyarakat
tentang wacana itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian wacana
dan bagaimana kriteria wacana yang baik itu?
2.
Bagaimana referensi dan
inferensi serta kohesi dan koherensi wacana bahasa Indonesia?
3.
Bagaimana memahami jenis-jenis
wacana bahasa Indonesia?
4.
Bagaimana menganalisis wacana?
5.
Bagaimana contoh wacana bahasa
Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian wacana dan
kriteria wacana yang baik
2.
Memahami referensi dan
inferensi serta kohesi dan koherensi wacana bahasa Indonesia
3.
Memahami jenis-jenis wacana bahasa
Indonesia
4.
Mengetahui bagaimana
menganalisis wacana
5.
Mengetahui bagaimana contoh
wacana bahasa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Wacana
dan Kriteria Wacana yang Baik
Bila kita pelajari
sejarah perkembangan ketatabahasaan pada umumnya sampai abad 19 sangat lambat
perkembangannya. Pada saat itu pemerintah bahas bertitik tolak pada ajaran
morfologi tradisional. Teori morfologi tradisional ini di ciptakan oleh Aristoteles
dan Plato ahli filsafat yunani. Karena itu, pengetahuan tata bahasa banyak berkisar
pada penggolongan jenis kata berdasarkan filsapat.
Pada tahun 1880 Herman
Paul dalam bukunya “Prinzipien dar Sprachgeschichte” mencela ajaran morfologi
tradisional ini dengan alasan, bahwa ajaran morfologi didasarkan atas tiga
macam criteria, yang tidak berhubungan, yaitu kriteria arti kata, kriteria fungsi
kata, dan kriteria bentuk kata, Akibat dari criteria tersebut maka satu kata
dapat masuk dalam beberapa golongan/jenis kata.
1.
Makna Wacana
Wacana adalah (1)
Rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi yang satu dengan
preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna
yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; (2) Kesatuan bahasa yang terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir
yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis[1].
Brown dan Yule
menyebutkan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan[2]. Menurut Kinneavy wacana
pada umumnya adalah teks yang lengkap yang disampaikan baik secara lisan maupun
tulisan yang tersusun oleh kalimat yang berkaitan, tidak harus selalu
menampilkan isi yang koheren secara rasional.[3] Wacana dapat diarahkan ke
satu tujuan bahasa atau mengacu sejenis kenyataan.
Pendapat lain dari Chaer
mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.[4] Menurut Edmonson wacana
adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistic
yang lainnya[5].
Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia halaman 1005 kita dapat membaca Keterangan sebagai berikut:
Wacana: 1. Ucapan, perkataan, tutur
2.
Keseluruhan tuturan, yang merupakan kesatuan
3. Satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang
utuh, seperti novel, buku, atau artikel.
Dari bahasan di atas
dapat kita ambil sari patinya, bahwa wacana itu adalah satuan bahasa
terlengkap, dalam wujud lisan dapat berupa tuturan, dan dalam wujud tulisan
dapat berupa karangan sastra dan ilmiah.
Dardjowidjojo
menerangkan bahwa kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan
manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal
ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan
bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum)[6]. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa wacana adalah suatu satuan bahasa yang kompleks.
Unsur internal wacana
terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud satuan kata ialah tuturan
yang berwujud satu kata. Untuk menjadi susunan wacana yang lebih besar, satuan
kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung[7].
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan bagian wacana,
tetapi tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan lingual wacana.
Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal
wacana itu terdiri atas implikatur, praanggapan, referensi, dan konteks.[8]
2.
Wacana yang Baik
Sebuah wacana dapat
digolongkan pada wacana yang baik apabila wacana tersebut memenuhi criteria
wacana yang baik. Dalam wacana tersebut harus mengandung beberapa diantaranya:
a. Topic dan
tujuan pada wacana monolog
Topik atau pokok
pembicaraan merupakan landasan untuk mencapai tujuan dalam pembicaraan.
b. Wacana harus Kohesi
dan Koherensi
Wacana yang baik adalah
wacana yang mengandung kohesif dan koherensi. Arti kata kohesif adalah hubungan
yang erat atau padu. Pengertian wacana kohesif adalah wacana yang berhubungan
di antara unsur-unsurnya sangat erat atau padu sehingga terjalin keserasian
yang baik. Koherasi berarti terusannya uraian atau pandangan sehingga
unsur-unsurnya berkaitan satu sama lain.
c. Wacana harus
mempunyai pembuka dan penutup
Wacana yang baik adalah
wacana yang mempunyai pembuka dan penutup. Wacana ideal memang demikian
seharusnya. Bagian awal adalah bagian yang membuka dan menghantarkan pokok
pikiran dalam wacana itu. Sering mengarang atau penutur mulai dengan beberapa
kalimat yang merangkum seluruh cerita. Bagian penutup yaitu kalimat-kalimat atau
alinea yang dimaksud untuk mengakhiri wacana.
B. Referensi
dan Inferensi serta Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia[9]
1.
Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa Indonesia
Referensi dalam analisis
wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian sintaksis dan semantik.
Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai
seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan, baik
dalam konteks linguistik maupun dalam konteks nonlinguistik. Dalam menafsirkan
acuan perlu diperhatikan:
a) Adanya acuan
yang bergeser,
b) Ungkapan
berbeda tetapi acuannya sama, dan
c) Ungkapan yang
sama mengacu pada hal yang berbeda.
Inferensi adalah membuat
simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat
inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak
langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur).
2.
Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia
Istilah kohesi mengacu
pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur
bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk
koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting dari
kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat kohesi ada tiga,
yaitu substitusi, konjungsi, dan leksikal.
Koherensi adalah
kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara
untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang
mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis).
Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau
gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan
koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun.
C. Jenis-Jenis
Wacana Bahasa
Indonesia
1. Wacana Lisan
dan Tulis
Berdasarkan saluran yang
digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana
lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang
terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang
menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan
berstruktur topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung gramatikal, penataan
subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan
berstruktur subjek-predikat.
2. Wacana
Monolog, Dialog, dan Polilog
Berdasarkan jumlah
peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana,
yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya
ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka
wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak
berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang
dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau
sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam
komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang
dihasilkan disebut polilog.
3. Wacana
Narasi, Deskripsi, Eksposisi, Argumentatif, dan Persuasi
Berdasarkan bentuk atau
jenisnya, wacana dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi,
argumentatif, dan persuasi.[10] Narasi adalah cerita yang
didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Narasi bisa juga
berisi cerita khayal/fiksi atau rekaan seperti yang biasanya terdapat pada
cerita novel atau cerpen. Narasi ini disebut dengan narasi imajinatif.
Kata deskripsi berasal
dari bahasa latin discribere yang berarti gambaran, perincian, atau
pembeberan. Deskripsi adalah karangan yang menggambarkan suatu objek
berdasarkan hasil pengamatan, perasaan dan pengalaman penulisnya. Tujuannya
adalah pembaca memperoleh kesan atau citraan sesuai dengan pengamatan,
perasaan, dan pengalaman penulis sehingga seolah-olah pembaca yang melihat,
merasakan, dan mengalami sendiri objek tersebut. Untuk mencapai kesan yang
sempurna, penulis deskripsi merinci objek dengan kesan, fakta, dan citraan.
Kita eksposisi berasal
dari bahasa Latin exponere yang berarti: memamerkan, menjelaskan, atau
menguraikan. Karangan eksposisi adalah karangan yang memaparkan atau
menjelaskan secara terperinci (memaparkan) sesuatu dengan tujuan memberikan
informasi dan memperluas pengetahuan kepada pembacanya. Karangan eksposisi biasanya
digunakan pada karya-karya ilmiah seperti artikel ilmiah, makalah-makalah untuk
seminar, simposium, atau penataran.
Karangan argumentasi
ialah karangan yang berisi pendapat, sikap, atau penilaian terhadap suatu hal
yang disertai dengan alasan, bukti-bukti, dan pernyataan-pernyataan yang logis.
Tujuan karangan argumentasi adalah berusaha meyakinkan pembaca akan kebenaran
pendapat pengarang. Karangan argumentasi dapat juga berisi tanggapan atau
sanggahan terhadap suatu pendapat dengan memaparkan alasan-alasan yang rasional
dan logis.
Wacana persuasi adalah
wacana yang memang diciptakan untuk decoder (pembaca atau pendengar). Tujuannya
adalah untuk mempengaruhi.[11]
Dilihat dari sudut
pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana dekripsi, eksposisi,
argumentasi, persuasi, dan narasi.[12] Wacana deskripsi
bertujuan membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima
pesan. Aspek kejiwaan yang dapat mencerna wacana narasi adalah emosi. Sedangkan
wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar
yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan
logika yang harus diikuti oleh penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami
wacana eksposisi diperlukan proses berpikir. Wacana argumentasi bertujuan
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logika maupun emosional.
Untuk mempertahankan argumen diperlukan bukti yang mendukung. Wacana persuasi
bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan tindakan sesuai yang
diharapkan penyampai pesan. Untuk mernpengaruhi ini, digunakan segala upaya
yang memungkinkan penerima pesan terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut,
wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Wacana narasi
merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu, unsur-unsur
yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu, pelaku, dan peristiwa.
D. Analisis
Wacana
Arti analisis Kamus Umum
Bahasa Indonesia dengan menyelidikkan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan
dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Istilah analisis wacana
adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan
berbagai pengertian. Titik singgung analisis wacana adalah studi yang
berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam ada tiga paradigma
analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris;
kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis[13]. Pengertian analisis
wacana adalah penguraian wacana dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya, tentang wacana, mengetahui berbagai bagiannya, serta hubungan antarbagian,
sehingga kita memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat tentang wacana.
Aspek analisis ini akan berkaitan dengan kriteria wacana yang baik seperti yang
telah anda pelajari pada bagian awal makalah ini, ditambah dengan aspek
lainnya. aspek-aspek tersebut adalah: Kohesi dan koherensi Topik Pengacuan dan
perujukan (referensi dan inferensi) Konteks.
Lukmana, Aziz dan
Kosasih mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis)
mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”,
yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana[14]. Analisis wacana kritis
(Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali
alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya
akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup
dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis)
juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang
komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog
cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial
meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Fairlough dan Wodak
berpendapat bahwa analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam
tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial[15]. Wacana sebagai praktik
sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif
tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi.
Dengan demikian,
analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang
hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk
menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik
dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa
menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki
beberapa karakteristik dan pendekatan.
E. Contoh
Wacana Bahasa Indonesia
1. Narasi
Piknik yang Berkesan[16]
Aku dan teman-temanku
memulai perjalanan kami pada hari minggu ini dengan sangat suka cita. Rombongan
kami semuanya berjumlah delapan orang sehingga tidak kesulitan mencari
kendaraan karena pada kami terdapat empat buah sepeda motor. Kami memulai
perjalanan kami dari rumah teman kami di depan kampus I Universitas Flores
kurang lebih pukul 07.00 pagi selepas misa pertama. Berdua-dua, kami meliwati
jalan Sam Ratulangi lalu menyusuri jalan Wirajaya, terus masuk ke jalan
Pahlawan lalu untuk sementara mengucapkan selamat tinggal kota Ende setelah
sepeda Motor kami melaju pelan di jalan Umum Ndao.
Tujuan perjalanan kami
hari ini adalah tempat wisata Nangalala. Kami tiba di sana kira-kira pukul
07.30 pagi dan kebetulan sekali setibanya di sana kami adalah orang yang
pertama sehingga kami dapat memilih tempat yang lebih bagus untuk kami dirikan
kemah darurat dan menyimpan semua perlengkapan kami. Sebuah rencana yang sangat
matang telah kami susun. Acara rekreasinya kami kemas sedikit lebih lain dari
biasanya.
Setelah kemah darurat
kami buat, kami harus membuat sharing Emaus, yang berarti berdua-dua
menceritakan keadaan batin kami masing-masing kepada teman yang boleh dipilih
secara acak dari antara kami. Sharing Emaus ini meniru kisah Kitab Kitab Suci
tentang Dua Murid yang berjalan ke Emaus. Selanjutnya sharing yang berjalan
selama satu jam kami plenokan di kemah darurat kami. Masing-masing menceritakan
apa yang sudah diceritakan oleh teman-temannya, menunjukan masalah-masalahnya
dan selanjutnya kami pecahkan secara bersama-sama jika memang ada masalah yang
belum terpecahkan dalam Sharing Emaus itu.
Setelah semua acara
sharing dan bertukar pengelaman selesai maka selanjutnya adalah kami
beramai-ramai menceburkan diri ke laut. Panas matahari rasanya terobati dengan
merendam di dalam laut yang dangkal. Kami begitu merasa lepas dari beban
masing-masing setelah sharing tadi sehingga saatnya sekarang kami bermain
sepuas-puasnya.
Tanpa terasa matahari
makin ke Barat. Jam telah menunjukan pukul 03.00 sore. Kami segera mengemas
perlengkapan kami masing-masing. Saatnya kami harus pulang dan ketika matahari
sudah benar-benar pergi ke peraduannya, kami sudah berada di kos kami
masing-masing sambil membayangkan saat bahagia yang sudah dilewati.
2. Deskripsi
Kamar Kos[17]
Siang itu aku sedang
duduk santai pada bangku kayu di dalam kamar kosku yang baru saja direhap
sambil menghembuskan asap rokok Filter kesukaanku. Kamar kos yang seperti ini
merupakan impianku sejak baru pertama kali aku menjadi mahasiswa pada
Universitas Flores. Sekarang aku memandang puas pada hasil kerjaku. Aku bisa
lebih betah sekarang berada di dalam kamar sambil belajar dan melahap buku-buku
bacaan. Kos yang kelihatan lebih luas. Pada dinding kamar aku gantungkan
foto-fotoku semasa SMA dulu. Kelihatan makin menarik apalagi setelah foto-foto
itu aku tempatkan sesuai dengan ukurannya masing-masing, dari atas ke bawah
mulai dari yang paling besar.
Pandanganku kemudian tertuju pada rak buku di
pojok kamar yang berisi buku-buku bacaan ilmiah yang ku beli dengan uang sisa
pembayaran SKS-ku setiap semester pada Toko Buku Nusa Indah. Ku ambil satu buku
yang disampulnya tertulis Berpikir dan Berjiwa Besar dari penerbit Binarupa
Aksara. Setelah ku pandangi aku tersenyum dan mengembalikannya ke tempat
semula. Aku memandang lagi secara keseluruhan kamar kosku, Sebuah tempat tidur
tak berkasur, hanya beralaskan sehelai tikar plastik tetapi cukup nyaman. Atap
yang terlampau dekat lantas aku batasi dengan kardus bekas yang aku minta dari
kios-kios terdekat untuk dijadikan plafon sederhana. Memang kelihatan sangat
simpel namun menarik sebab plafon yang dari kardus sudah ditutupi dengan kertas
putih sampai seluruh dindingnya.
Aku merasa begitu puas sekarang,
apalagi saat kupandang lantai kamarku. Seperti lebih bersih dan licin. Di
atasnya aku bentangkan karpet plastik yangn aku beli semeter seharga Rp.
12.000. Lantai kamar yang persis disusun dari keramik-keramik berwarna. Sebuah
tape recorder tua merk Primo, aku letakkan di atas meja panjang dari tripleks
di dekat pintu masuk sedangkan speakernya aku posisikan di bawah tempat
tidurku. Agar kelihatan lebih menarik dan supaya terkesan bahwa aku juga selalu
mendengarkan musik, maka pada dua buah speakerku itu ku tempelkan stiker
bertuliskan “full musik’.
Aku telah mengakhiri
semua tugasku dengan gemilang. Yang terakhir yang baru saja kuselesaikan adalah
menempel sebuah tulisan pada daun pintu kamarku “welcome”
3. Argumentasi
Siap Berpacaran[18]
Hasrat untuk berduaan
dengan orang yang istimewa yang juga menganggap kita istimewa bisa kuat sekali
bahkan di saat usia kita masih sangat muda. Sebenarnya berpacaran adalah
kegiatan apapun antarteman yang di dalamnya minat romantisme kita terpusat pada
satu orang dan minat orang itu terfokus pada kita. Entah melalui telepon atau
bertemu langsung, entah terang-terangan atau diam-diam, jika kita dan teman
lawan jenis kita saling memiliki perasaan romantis dan berkomunikasi secara
rutin itu namanya berpacaran.
Dalam banyak kebudayaan,
berpacaran dianggap sebagai sebuah cara untuk saling mengenal, tetapi,
berpacaran sebetulnya harus memiliki tujuan yang terhormat, membantu seorang
laki-laki dan perempuan menentukan apakah seorang ingin menjadi suami istri.
Memang sebagian orang menganggap berpacaran itu tidak serius, tanpa berniat
untuk menikah atau mungkin ada yang beranggapan bahwa berpacaran itu adalah
sebuah tahap perkenalan di mana belajar untuk memahami sifat masing-masing dan
jika sulit untuk saling memahami maka bisa memutuskan untuk bubar. Hubungan
yang semacam itu memang tidak bertahan lama. Yang jelas bahwa jika kita ingin
berpacaran dengan seseorang maka pastikan motivasi dan niat kita terhormat.
Dalam berpacaran tidak ada yang disebut main-main sebab dalam berpacaran
tentunya melibatkan perasaan. Apakah mungkin perasaan disamakan dengan mainan
yang kalau suka dipungut dan kalau bosan dibuang?
Melihat kemungkinan
bahwa berpacaran tidak sekedar menjadi hanya sebagai mainan semata maka usia
juga sangat menentukan layak atau tidak seseorang berpacaran. Usia yang matang
akan mempengaruhi seseorang sanggup memilah mana yang baik dan tidak atau mana
yang pantas dan tidak pantas. Biasanya orang akan sangat terdorong untuk
berpacaran ketika berada pada usia-usia pubertas. Satu alasan bahwa masa ini
adalah masa yang sangat berbahaya di mana kita akan berada dalam periode yang
bisa mengobarkan nafsu untuk mengarah ke prilaku yang salah. Pacaran akan
dilihat sebagai ketertarikan fisik, dorongan seksual tanpa ada motivasi untuk
bisa saling menjaga dan memiliki untuk seterusnya berlanjut ke pernikahan.
Pacaran yang semacam ini bisa saja membawa kepada kehancuran seperti putus
sekolah, hamil di luar nikah, menjadi orang tua sebelum waktunya dan bapak dan
mama tanpa tahu bagaimana harus mengurus anak-anaknya.
4. Eksposisi
Pahlawan[19]
Jika melihat kejadian
beberapa hari kebelakang, banyak peristiwa yang membuat bulu kuduk kita
merinding dan hati pun bergetar, tanpa terasa air mata kesedihan pun
bercucuran. Kita pun sedih an menangis, begitu bahyak bencana yang terjadi di
bumi nusantara yang kita cintai. Kejadian ini bukan hanya disaksikan di layar
atau mendengar dalam radio bahkan kita melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Di mulai dari bencana
yang diakibatkan kecelakaan pesawat yang mengakibatkan ratusan korban jiwa
ditambah dengan kerugian materil yang sangat luar biasa besar.
Sementara itu,
pemerintah menaikkan harga BBM yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dengan
harga yang sangat fantastis 120% kenaikannya.Kenaikan BBM ini juga bertepatan
dengan umat Islam yang mayoritas pendudukan Indonesia memasuki bulan Ramadhan
yang biasanya diikuti oleh harga-harga kebutuhan pokok akan meningkat tajam.
Genaplah sudah penderitaan
masyarakat. Sekali lagi air mata kesedihan semakin bercengkrama dengan mesra,
dan seolah-olah tidak mau lepas dari kehidupan rakyat Indonesia ini.
Biasanya saya hanya
terdiam, sebab memang tidak ada alasan yang terlalu jelas, tambahnya.
Yang dirasakannya,
adalah memang hanya sebuah kenyataan bahwa negeri ini sedang melintasi sebuah
persimpangan sejarah yang rumit.
Kendati demikian,
menurut pendapatnya, krisis dan bencana yang melilit setiap sudut kehidupan
negeri ini tidak perlu ditakuti dan dirisaukan, sebab itu adalah takdir semua
bangsa.
Hal yang sangat
memiriskan hati adalah bahwa pada saat krisis dan bencana besar ini terjadi,
justru negeri kita mengalami kelangkaan pahlawan.
5. Persuasi
Sari Jahe Taka Tunga[20]
Pernahkah anda mencoba
minum sari jahe Taka Tunga? sungguh sangat disayangkan jika anda melalui hidup
anda tanpa sedikitpun mencoba minuman tradisional berkhasiat ini. Minuman ini
adalah minuman berkhasiat tinggi. Diproduksi secara natural dari bahan alamiah,
yaitu jahe-jahe pilihan dari kampung Taka Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada dan
dikemas menjadi sebuah produk yang sangat bermutu.
Entah anda mau yakin
atau tidak, tetapi saya hanya mau mengatakan bahwa akan sangat disayangkan jika
anda tidak pernah mau mencobanya. Saya sendiri pernah mencobanya dan rasanya
tidak seperti meminum sari-sari jahe biasa. Ketika itu saya sedang masuk angin
akibat kehujanan saat mengendarai motor dari Mauponggo ke Bajawa. Saya singgah
sebentar di kampung Taka untuk membeli sebungkus sari jahe. Saya meminta
segelas air hangat kepada seorang ibu di kampung itu lalu melarutkan sari jahe
ke dalam gelas air dan langsung diminum. Alhasil, perut saya menjadi lebih baik
dan masuk angin langsung hilang.
Di samping khasiatnya
untuk menyebuhkan masuk angin, juga sari jahe Taka Tunga juga dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti mag, lambung, sesak napas,
brongkitis, asma, sariawan, radang paru-paru, sakit kepala dan juga batuk tidak
berdahak. Kenyataan ini sudah dibuktikan oleh sebagian orang yang sudah
mengkonsumsi minuman ini dan menjadi sembuh dari penyakitnya akibat meminum
minuman ini.
Sebagai sebuah minuman
yang diproduksi secara alamiah oleh tangan-tangan trampil masyarakat Taka
Tunga, anda tidak perlu harus berpikir tentang efek samping dari minuman ini.
Minuman ini dikemas tanpa ada polusi kimiawi ataupun tanpa adanya bahan
pengawet. Minuman ini sudah menjadi pilihan banyak orang karena disamping
sebagai obat juga dapat digunakan sebagai minuman pengganti kopi pada pagi hari
ataupun sore hari. Sudah sejak tahun 2002 sari jahe Taka Tunga sudah Go
Internastional dan dan laris dikonsumsi di Cina, Kanada, Amerika Serikat dan
Bangkok.
Kalau anda sempat lewat,
anda bisa membeli minuman ini di kios-kios yang ada di kampung Taka Tunga atau
mungkin ada yang berminat, anda dapat menghubungi langsung ke Nomor Telepon:
085253237046. Silahkan mencoba dan anda akan langsung merasakan sendiri khasiatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Wacana adalah satuan
bahasa terlengkap, dalam wujud lisan dapat berupa tuturan, dan dalam wujud
tulisan dapat berupa karangan sastra dan ilmiah. Wacana pada umumnya merupakan
teks yang lengkap yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan yang
tersusun oleh kalimat yang berkaitan, tidak harus selalu menampilkan isi yang koheren
secara rasional.
Berdasarkan saluran yang
digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana
lisan. Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi,
ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Dan
Berdasarkan bentuk atau jenisnya dan dilihat dari sudut pandang tujuan
berkomunikasi, wacana dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi,
argumentatif, dan persuasi.
Analisis wacana adalah
penguraian wacana dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya,
tentang wacana, mengetahui berbagai bagiannya, serta hubungan antarbagian,
sehingga kita memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat tentang wacana.
B. Saran
1.
Wacana harus memperhatikan kohesif dan koherens
di dalam sebuah wacana. Karena tanpa kohesif dan koherens kita tidak dapat
memahami maksud atau tujuan yang ada di dalam sebuah wacana tersebut.
2.
Kita harus memperhatikan kaidah penulisan yang
ada di dalam sebuah wacana.
3.
Dalam pembuatan wacana diharapkan tidak
terdapat penyimpangan kata ataupun kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian, George Yule. Analisis Wacana
(diterjemahkan oleh I. Soetiko). Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1983
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta.
Rineka Cipta. 2003
Contoh Wacana Bahasa Indonesia. 03/04/2012.
http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html
Contoh Wacana Ekspositorik. 03/04/2012.
http://unsilster.com/2010/02/contoh-wacana-ekspositorik/
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar
Analisis Teks Media. Yogyakarta. LKIS. 2001
Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indoesia. 03/04/2012.
http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacana-bahasa-indonesia.html
Juita, Novia. Wacana Bahasa Indonesia.
Padang. DIP Universitas Negeri Padang. 1999
Listiawati, Wiwik. Wacana Bahasa Indonesia.
03/04/2012.
http://wiwiklistiawati.blogspot.com/2011/06/wacana-bahasa-indonesia.html
Lukmana, dkk. Linguistik Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia. 2006
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode dan
Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta. Tiara Wacana. 2005
Paina. Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa:
Kajian Sosiopragmatik. Disertasi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. 2010
Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia.
03/04/2012.
http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
Supardo, Susilo. Bahasa Indonesia dalam
Konteks. Jakarta. P2LPTK. 1988
FOOTNOTE
[2] Brown,
Gillian dan George Yule, Analisis
Wacana (diterjemahkan oleh I. Soetiko). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), h. 1
[6]
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 1
[8]
Paina,
Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik.
Disertasi, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2010), h. 54
[9] Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia,
03/04/2012, http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
[10]Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012,
http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacana-bahasa-indonesia.html
[12]Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia,
03/04/2012, http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
[13] Eriyanto, Op. Cit. h. 4
[16] Contoh
Wacana Bahasa Indonesia,
03/04/2012, http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html
[19] Contoh
Wacana Ekspositorik,
03/04/2012, http://unsilster.com/2010/02/contoh-wacana-ekspositorik/
[20] Contoh
Wacana Bahasa Indonesia,
03/04/2012, http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar