Pages

Jumat, 01 Maret 2013

Wacana Bahasa Indonesia

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Dalam pengajaran bahasa ada suatu hierarki atau tingkatan disiplin ilmu yang dipelajari. Kebanyakan masyarakat berasumsi bahwa tingkatan itu adalah sesuatu yang mutlak dan keputusan akhir (Final decision). Adapun tingkatan itu adalah morfem-kata-kalimat-paragraf-wacana. Dalam tingkatan ini wacana mendapat tingkat yang tertinggi. Seperti yang diketahui, bila ditinjau dari segi ukuran, urutan tersebut adalah dari kecil ke ukuran paling besar. Secara tidak langsung bisa diambil kesimpulan bahwa wacana adalah satuan yang paling besar.
Untuk mengenal wacana ini lebih dekat maka perlu diketahui jenis-jenis atau klasifikasi wacana ini, sehingga dari hal itu akan tergambar jelas apa sebenarnya yang disebut dengan wacana. Sebagai suatu disiplin ilmu, wacana tentu mempunyai ruang lingkup yang sangat besar. Wacana bisa terbagi lagi dalam kelompok-kelompok kecil yang akan menambah khazanah pengetahuan masyarakat tentang wacana itu sendiri.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengertian wacana dan bagaimana kriteria wacana yang baik itu?
2.         Bagaimana referensi dan inferensi serta kohesi dan koherensi wacana bahasa Indonesia?
3.         Bagaimana memahami jenis-jenis wacana bahasa Indonesia?
4.         Bagaimana menganalisis wacana?
5.         Bagaimana contoh wacana bahasa Indonesia?
C.       Tujuan
1.      Mengetahui pengertian wacana dan kriteria wacana yang baik
2.      Memahami referensi dan inferensi serta kohesi dan koherensi wacana bahasa Indonesia
3.      Memahami jenis-jenis wacana bahasa Indonesia
4.      Mengetahui bagaimana menganalisis wacana
5.      Mengetahui bagaimana contoh wacana bahasa Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Makna Wacana dan Kriteria Wacana yang Baik
Bila kita pelajari sejarah perkembangan ketatabahasaan pada umumnya sampai abad 19 sangat lambat perkembangannya. Pada saat itu pemerintah bahas bertitik tolak pada ajaran morfologi tradisional. Teori morfologi tradisional ini di ciptakan oleh Aristoteles dan Plato ahli filsafat yunani. Karena itu, pengetahuan tata bahasa banyak berkisar pada penggolongan jenis kata berdasarkan filsapat.
Pada tahun 1880 Herman Paul dalam bukunya “Prinzipien dar Sprachgeschichte” mencela ajaran morfologi tradisional ini dengan alasan, bahwa ajaran morfologi didasarkan atas tiga macam criteria, yang tidak berhubungan, yaitu kriteria arti kata, kriteria fungsi kata, dan kriteria bentuk kata, Akibat dari criteria tersebut maka satu kata dapat masuk dalam beberapa golongan/jenis kata.
1.         Makna Wacana
Wacana adalah (1) Rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; (2) Kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis[1].
Brown dan Yule menyebutkan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan[2]. Menurut Kinneavy wacana pada umumnya adalah teks yang lengkap yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan yang tersusun oleh kalimat yang berkaitan, tidak harus selalu menampilkan isi yang koheren secara rasional.[3] Wacana dapat diarahkan ke satu tujuan bahasa atau mengacu sejenis kenyataan.
Pendapat lain dari Chaer mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.[4] Menurut Edmonson wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistic yang lainnya[5].
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia halaman 1005 kita dapat membaca Keterangan sebagai berikut:
Wacana:   1.  Ucapan, perkataan, tutur
                 2. Keseluruhan tuturan, yang merupakan kesatuan
                 3. Satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel.
Dari bahasan di atas dapat kita ambil sari patinya, bahwa wacana itu adalah satuan bahasa terlengkap, dalam wujud lisan dapat berupa tuturan, dan dalam wujud tulisan dapat berupa karangan sastra dan ilmiah.
Dardjowidjojo menerangkan bahwa kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum)[6]. Dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah suatu satuan bahasa yang kompleks.
Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud satuan kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk menjadi susunan wacana yang lebih besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung[7].
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan bagian wacana, tetapi tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana itu terdiri atas implikatur, praanggapan, referensi, dan konteks.[8]
2.         Wacana yang Baik
Sebuah wacana dapat digolongkan pada wacana yang baik apabila wacana tersebut memenuhi criteria wacana yang baik. Dalam wacana tersebut harus mengandung beberapa diantaranya:
a.       Topic dan tujuan pada wacana monolog
Topik atau pokok pembicaraan merupakan landasan untuk mencapai tujuan dalam pembicaraan.
b.      Wacana harus Kohesi dan Koherensi
Wacana yang baik adalah wacana yang mengandung kohesif dan koherensi. Arti kata kohesif adalah hubungan yang erat atau padu. Pengertian wacana kohesif adalah wacana yang berhubungan di antara unsur-unsurnya sangat erat atau padu sehingga terjalin keserasian yang baik. Koherasi berarti terusannya uraian atau pandangan sehingga unsur-unsurnya berkaitan satu sama lain.
c.       Wacana harus mempunyai pembuka dan penutup
Wacana yang baik adalah wacana yang mempunyai pembuka dan penutup. Wacana ideal memang demikian seharusnya. Bagian awal adalah bagian yang membuka dan menghantarkan pokok pikiran dalam wacana itu. Sering mengarang atau penutur mulai dengan beberapa kalimat yang merangkum seluruh cerita. Bagian penutup yaitu kalimat-kalimat atau alinea yang dimaksud untuk mengakhiri wacana.

B.       Referensi dan Inferensi serta Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia[9]
1.         Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa Indonesia
Referensi dalam analisis wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian sintaksis dan semantik. Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan, baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks nonlinguistik. Dalam menafsirkan acuan perlu diperhatikan:
a)      Adanya acuan yang bergeser,
b)      Ungkapan berbeda tetapi acuannya sama, dan
c)      Ungkapan yang sama mengacu pada hal yang berbeda.
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
2.         Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting dari kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat kohesi ada tiga, yaitu substitusi, konjungsi, dan leksikal.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun.

C.       Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia
1.      Wacana Lisan dan Tulis
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-predikat.

2.    Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang dihasilkan disebut polilog.
3.    Wacana Narasi, Deskripsi, Eksposisi, Argumentatif, dan Persuasi
Berdasarkan bentuk atau jenisnya, wacana dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentatif, dan persuasi.[10] Narasi adalah cerita yang didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Narasi bisa juga berisi cerita khayal/fiksi atau rekaan seperti yang biasanya terdapat pada cerita novel atau cerpen. Narasi ini disebut dengan narasi imajinatif.
Kata deskripsi berasal dari bahasa latin discribere yang berarti gambaran, perincian, atau pembeberan. Deskripsi adalah karangan yang menggambarkan suatu objek berdasarkan hasil pengamatan, perasaan dan pengalaman penulisnya. Tujuannya adalah pembaca memperoleh kesan atau citraan sesuai dengan pengamatan, perasaan, dan pengalaman penulis sehingga seolah-olah pembaca yang melihat, merasakan, dan mengalami sendiri objek tersebut. Untuk mencapai kesan yang sempurna, penulis deskripsi merinci objek dengan kesan, fakta, dan citraan.
Kita eksposisi berasal dari bahasa Latin exponere yang berarti: memamerkan, menjelaskan, atau menguraikan. Karangan eksposisi adalah karangan yang memaparkan atau menjelaskan secara terperinci (memaparkan) sesuatu dengan tujuan memberikan informasi dan memperluas pengetahuan kepada pembacanya. Karangan eksposisi biasanya digunakan pada karya-karya ilmiah seperti artikel ilmiah, makalah-makalah untuk seminar, simposium, atau penataran.
Karangan argumentasi ialah karangan yang berisi pendapat, sikap, atau penilaian terhadap suatu hal yang disertai dengan alasan, bukti-bukti, dan pernyataan-pernyataan yang logis. Tujuan karangan argumentasi adalah berusaha meyakinkan pembaca akan kebenaran pendapat pengarang. Karangan argumentasi dapat juga berisi tanggapan atau sanggahan terhadap suatu pendapat dengan memaparkan alasan-alasan yang rasional dan logis.
Wacana persuasi adalah wacana yang memang diciptakan untuk decoder (pembaca atau pendengar). Tujuannya adalah untuk mempengaruhi.[11]
Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana dekripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi.[12] Wacana deskripsi bertujuan membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Aspek kejiwaan yang dapat mencerna wacana narasi adalah emosi. Sedangkan wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi diperlukan proses berpikir. Wacana argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logika maupun emosional. Untuk mempertahankan argumen diperlukan bukti yang mendukung. Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan. Untuk mernpengaruhi ini, digunakan segala upaya yang memungkinkan penerima pesan terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu, unsur-unsur yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu, pelaku, dan peristiwa.



D.      Analisis Wacana
Arti analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia dengan menyelidikkan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis[13]. Pengertian analisis wacana adalah penguraian wacana dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, tentang wacana, mengetahui berbagai bagiannya, serta hubungan antarbagian, sehingga kita memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat tentang wacana. Aspek analisis ini akan berkaitan dengan kriteria wacana yang baik seperti yang telah anda pelajari pada bagian awal makalah ini, ditambah dengan aspek lainnya. aspek-aspek tersebut adalah: Kohesi dan koherensi Topik Pengacuan dan perujukan (referensi dan inferensi) Konteks.
Lukmana, Aziz dan Kosasih mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana[14]. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Fairlough dan Wodak berpendapat bahwa analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial[15]. Wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi.
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan.

E.       Contoh Wacana Bahasa Indonesia
1.      Narasi
Piknik yang Berkesan[16]
Aku dan teman-temanku memulai perjalanan kami pada hari minggu ini dengan sangat suka cita. Rombongan kami semuanya berjumlah delapan orang sehingga tidak kesulitan mencari kendaraan karena pada kami terdapat empat buah sepeda motor. Kami memulai perjalanan kami dari rumah teman kami di depan kampus I Universitas Flores kurang lebih pukul 07.00 pagi selepas misa pertama. Berdua-dua, kami meliwati jalan Sam Ratulangi lalu menyusuri jalan Wirajaya, terus masuk ke jalan Pahlawan lalu untuk sementara mengucapkan selamat tinggal kota Ende setelah sepeda Motor kami melaju pelan di jalan Umum Ndao.
Tujuan perjalanan kami hari ini adalah tempat wisata Nangalala. Kami tiba di sana kira-kira pukul 07.30 pagi dan kebetulan sekali setibanya di sana kami adalah orang yang pertama sehingga kami dapat memilih tempat yang lebih bagus untuk kami dirikan kemah darurat dan menyimpan semua perlengkapan kami. Sebuah rencana yang sangat matang telah kami susun. Acara rekreasinya kami kemas sedikit lebih lain dari biasanya.
Setelah kemah darurat kami buat, kami harus membuat sharing Emaus, yang berarti berdua-dua menceritakan keadaan batin kami masing-masing kepada teman yang boleh dipilih secara acak dari antara kami. Sharing Emaus ini meniru kisah Kitab Kitab Suci tentang Dua Murid yang berjalan ke Emaus. Selanjutnya sharing yang berjalan selama satu jam kami plenokan di kemah darurat kami. Masing-masing menceritakan apa yang sudah diceritakan oleh teman-temannya, menunjukan masalah-masalahnya dan selanjutnya kami pecahkan secara bersama-sama jika memang ada masalah yang belum terpecahkan dalam Sharing Emaus itu.
Setelah semua acara sharing dan bertukar pengelaman selesai maka selanjutnya adalah kami beramai-ramai menceburkan diri ke laut. Panas matahari rasanya terobati dengan merendam di dalam laut yang dangkal. Kami begitu merasa lepas dari beban masing-masing setelah sharing tadi sehingga saatnya sekarang kami bermain sepuas-puasnya.
Tanpa terasa matahari makin ke Barat. Jam telah menunjukan pukul 03.00 sore. Kami segera mengemas perlengkapan kami masing-masing. Saatnya kami harus pulang dan ketika matahari sudah benar-benar pergi ke peraduannya, kami sudah berada di kos kami masing-masing sambil membayangkan saat bahagia yang sudah dilewati.

2.      Deskripsi
Kamar Kos[17]
Siang itu aku sedang duduk santai pada bangku kayu di dalam kamar kosku yang baru saja direhap sambil menghembuskan asap rokok Filter kesukaanku. Kamar kos yang seperti ini merupakan impianku sejak baru pertama kali aku menjadi mahasiswa pada Universitas Flores. Sekarang aku memandang puas pada hasil kerjaku. Aku bisa lebih betah sekarang berada di dalam kamar sambil belajar dan melahap buku-buku bacaan. Kos yang kelihatan lebih luas. Pada dinding kamar aku gantungkan foto-fotoku semasa SMA dulu. Kelihatan makin menarik apalagi setelah foto-foto itu aku tempatkan sesuai dengan ukurannya masing-masing, dari atas ke bawah mulai dari yang paling besar.
 Pandanganku kemudian tertuju pada rak buku di pojok kamar yang berisi buku-buku bacaan ilmiah yang ku beli dengan uang sisa pembayaran SKS-ku setiap semester pada Toko Buku Nusa Indah. Ku ambil satu buku yang disampulnya tertulis Berpikir dan Berjiwa Besar dari penerbit Binarupa Aksara. Setelah ku pandangi aku tersenyum dan mengembalikannya ke tempat semula. Aku memandang lagi secara keseluruhan kamar kosku, Sebuah tempat tidur tak berkasur, hanya beralaskan sehelai tikar plastik tetapi cukup nyaman. Atap yang terlampau dekat lantas aku batasi dengan kardus bekas yang aku minta dari kios-kios terdekat untuk dijadikan plafon sederhana. Memang kelihatan sangat simpel namun menarik sebab plafon yang dari kardus sudah ditutupi dengan kertas putih sampai seluruh dindingnya.
Aku merasa begitu puas sekarang, apalagi saat kupandang lantai kamarku. Seperti lebih bersih dan licin. Di atasnya aku bentangkan karpet plastik yangn aku beli semeter seharga Rp. 12.000. Lantai kamar yang persis disusun dari keramik-keramik berwarna. Sebuah tape recorder tua merk Primo, aku letakkan di atas meja panjang dari tripleks di dekat pintu masuk sedangkan speakernya aku posisikan di bawah tempat tidurku. Agar kelihatan lebih menarik dan supaya terkesan bahwa aku juga selalu mendengarkan musik, maka pada dua buah speakerku itu ku tempelkan stiker bertuliskan “full musik’.
Aku telah mengakhiri semua tugasku dengan gemilang. Yang terakhir yang baru saja kuselesaikan adalah menempel sebuah tulisan pada daun pintu kamarku “welcome”
3.      Argumentasi
Siap Berpacaran[18]
Hasrat untuk berduaan dengan orang yang istimewa yang juga menganggap kita istimewa bisa kuat sekali bahkan di saat usia kita masih sangat muda. Sebenarnya berpacaran adalah kegiatan apapun antarteman yang di dalamnya minat romantisme kita terpusat pada satu orang dan minat orang itu terfokus pada kita. Entah melalui telepon atau bertemu langsung, entah terang-terangan atau diam-diam, jika kita dan teman lawan jenis kita saling memiliki perasaan romantis dan berkomunikasi secara rutin itu namanya berpacaran.
Dalam banyak kebudayaan, berpacaran dianggap sebagai sebuah cara untuk saling mengenal, tetapi, berpacaran sebetulnya harus memiliki tujuan yang terhormat, membantu seorang laki-laki dan perempuan menentukan apakah seorang ingin menjadi suami istri. Memang sebagian orang menganggap berpacaran itu tidak serius, tanpa berniat untuk menikah atau mungkin ada yang beranggapan bahwa berpacaran itu adalah sebuah tahap perkenalan di mana belajar untuk memahami sifat masing-masing dan jika sulit untuk saling memahami maka bisa memutuskan untuk bubar. Hubungan yang semacam itu memang tidak bertahan lama. Yang jelas bahwa jika kita ingin berpacaran dengan seseorang maka pastikan motivasi dan niat kita terhormat. Dalam berpacaran tidak ada yang disebut main-main sebab dalam berpacaran tentunya melibatkan perasaan. Apakah mungkin perasaan disamakan dengan mainan yang kalau suka dipungut dan kalau bosan dibuang?
Melihat kemungkinan bahwa berpacaran tidak sekedar menjadi hanya sebagai mainan semata maka usia juga sangat menentukan layak atau tidak seseorang berpacaran. Usia yang matang akan mempengaruhi seseorang sanggup memilah mana yang baik dan tidak atau mana yang pantas dan tidak pantas. Biasanya orang akan sangat terdorong untuk berpacaran ketika berada pada usia-usia pubertas. Satu alasan bahwa masa ini adalah masa yang sangat berbahaya di mana kita akan berada dalam periode yang bisa mengobarkan nafsu untuk mengarah ke prilaku yang salah. Pacaran akan dilihat sebagai ketertarikan fisik, dorongan seksual tanpa ada motivasi untuk bisa saling menjaga dan memiliki untuk seterusnya berlanjut ke pernikahan. Pacaran yang semacam ini bisa saja membawa kepada kehancuran seperti putus sekolah, hamil di luar nikah, menjadi orang tua sebelum waktunya dan bapak dan mama tanpa tahu bagaimana harus mengurus anak-anaknya.



4.      Eksposisi
Pahlawan[19]
Jika melihat kejadian beberapa hari kebelakang, banyak peristiwa yang membuat bulu kuduk kita merinding dan hati pun bergetar, tanpa terasa air mata kesedihan pun bercucuran. Kita pun sedih an menangis, begitu bahyak bencana yang terjadi di bumi nusantara yang kita cintai. Kejadian ini bukan hanya disaksikan di layar atau mendengar dalam radio bahkan kita melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Di mulai dari bencana yang diakibatkan kecelakaan pesawat yang mengakibatkan ratusan korban jiwa ditambah dengan kerugian materil yang sangat luar biasa besar.
Sementara itu, pemerintah menaikkan harga BBM yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang sangat fantastis 120% kenaikannya.Kenaikan BBM ini juga bertepatan dengan umat Islam yang mayoritas pendudukan Indonesia memasuki bulan Ramadhan yang biasanya diikuti oleh harga-harga kebutuhan pokok akan meningkat tajam.
Genaplah sudah penderitaan masyarakat. Sekali lagi air mata kesedihan semakin bercengkrama dengan mesra, dan seolah-olah tidak mau lepas dari kehidupan rakyat Indonesia ini.
Biasanya saya hanya terdiam, sebab memang tidak ada alasan yang terlalu jelas, tambahnya.
Yang dirasakannya, adalah memang hanya sebuah kenyataan bahwa negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit.
Kendati demikian, menurut pendapatnya, krisis dan bencana yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini tidak perlu ditakuti dan dirisaukan, sebab itu adalah takdir semua bangsa.
Hal yang sangat memiriskan hati adalah bahwa pada saat krisis dan bencana besar ini terjadi, justru negeri kita mengalami kelangkaan pahlawan.

5.      Persuasi
Sari Jahe Taka Tunga[20]
Pernahkah anda mencoba minum sari jahe Taka Tunga? sungguh sangat disayangkan jika anda melalui hidup anda tanpa sedikitpun mencoba minuman tradisional berkhasiat ini. Minuman ini adalah minuman berkhasiat tinggi. Diproduksi secara natural dari bahan alamiah, yaitu jahe-jahe pilihan dari kampung Taka Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada dan dikemas menjadi sebuah produk yang sangat bermutu.
Entah anda mau yakin atau tidak, tetapi saya hanya mau mengatakan bahwa akan sangat disayangkan jika anda tidak pernah mau mencobanya. Saya sendiri pernah mencobanya dan rasanya tidak seperti meminum sari-sari jahe biasa. Ketika itu saya sedang masuk angin akibat kehujanan saat mengendarai motor dari Mauponggo ke Bajawa. Saya singgah sebentar di kampung Taka untuk membeli sebungkus sari jahe. Saya meminta segelas air hangat kepada seorang ibu di kampung itu lalu melarutkan sari jahe ke dalam gelas air dan langsung diminum. Alhasil, perut saya menjadi lebih baik dan masuk angin langsung hilang.
Di samping khasiatnya untuk menyebuhkan masuk angin, juga sari jahe Taka Tunga juga dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti mag, lambung, sesak napas, brongkitis, asma, sariawan, radang paru-paru, sakit kepala dan juga batuk tidak berdahak. Kenyataan ini sudah dibuktikan oleh sebagian orang yang sudah mengkonsumsi minuman ini dan menjadi sembuh dari penyakitnya akibat meminum minuman ini.
Sebagai sebuah minuman yang diproduksi secara alamiah oleh tangan-tangan trampil masyarakat Taka Tunga, anda tidak perlu harus berpikir tentang efek samping dari minuman ini. Minuman ini dikemas tanpa ada polusi kimiawi ataupun tanpa adanya bahan pengawet. Minuman ini sudah menjadi pilihan banyak orang karena disamping sebagai obat juga dapat digunakan sebagai minuman pengganti kopi pada pagi hari ataupun sore hari. Sudah sejak tahun 2002 sari jahe Taka Tunga sudah Go Internastional dan dan laris dikonsumsi di Cina, Kanada, Amerika Serikat dan Bangkok.
Kalau anda sempat lewat, anda bisa membeli minuman ini di kios-kios yang ada di kampung Taka Tunga atau mungkin ada yang berminat, anda dapat menghubungi langsung ke Nomor Telepon: 085253237046. Silahkan mencoba dan anda akan langsung merasakan sendiri khasiatnya.



BAB III
PENUTUP

A.       Simpulan
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam wujud lisan dapat berupa tuturan, dan dalam wujud tulisan dapat berupa karangan sastra dan ilmiah. Wacana pada umumnya merupakan teks yang lengkap yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan yang tersusun oleh kalimat yang berkaitan, tidak harus selalu menampilkan isi yang koheren secara rasional.
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Dan Berdasarkan bentuk atau jenisnya dan dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, wacana dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentatif, dan persuasi.
Analisis wacana adalah penguraian wacana dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, tentang wacana, mengetahui berbagai bagiannya, serta hubungan antarbagian, sehingga kita memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat tentang wacana.

B.       Saran
1.         Wacana harus memperhatikan kohesif dan koherens di dalam sebuah wacana. Karena tanpa kohesif dan koherens kita tidak dapat memahami maksud atau tujuan yang ada di dalam sebuah wacana tersebut.
2.         Kita harus memperhatikan kaidah penulisan yang ada di dalam sebuah wacana.
3.         Dalam pembuatan wacana diharapkan tidak terdapat penyimpangan kata ataupun kalimat.



DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian, George Yule. Analisis Wacana (diterjemahkan oleh I. Soetiko). Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1983
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta. 2003
Contoh Wacana Bahasa Indonesia. 03/04/2012. http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html
Contoh Wacana Ekspositorik. 03/04/2012. http://unsilster.com/2010/02/contoh-wacana-ekspositorik/
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta. LKIS. 2001
Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indoesia. 03/04/2012. http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacana-bahasa-indonesia.html
Juita, Novia. Wacana Bahasa Indonesia. Padang. DIP Universitas Negeri Padang. 1999
Listiawati, Wiwik. Wacana Bahasa Indonesia. 03/04/2012. http://wiwiklistiawati.blogspot.com/2011/06/wacana-bahasa-indonesia.html
Lukmana, dkk. Linguistik Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2006
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta. Tiara Wacana. 2005
Paina. Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik. Disertasi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. 2010
Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia. 03/04/2012. http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
Supardo, Susilo. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta. P2LPTK. 1988

FOOTNOTE

[1] Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 2
[2] Brown, Gillian dan George Yule, Analisis Wacana (diterjemahkan oleh I. Soetiko). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), h. 1
[3] Susilo Supardo, Bahasa Indonesia Dalam Konteks. (Jakarta: P2LPTK, 1988), h. 54
[4] Abdul Chaer, Linguistik Umum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 267
[5] Novia Juita, Wacana Bahasa Indonesia. (Padang: DIP Universitas Negeri Padang, 1999), h. 3
[6] Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 1
[7] Ibid. h. 9
[8] Paina, Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik. Disertasi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2010), h. 54
[9] Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012, http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
[10]Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012, http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacana-bahasa-indonesia.html
[11]Novia Juita, Op. Cit., h. 50
[12]Sofa, Kajian Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012, http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
[13] Eriyanto, Op. Cit. h. 4
[14] Lukmana, dkk, Linguistik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 12
[15] Ibid. h. 7
[16] Contoh Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012, http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Contoh Wacana Ekspositorik, 03/04/2012, http://unsilster.com/2010/02/contoh-wacana-ekspositorik/
[20] Contoh Wacana Bahasa Indonesia, 03/04/2012, http://somerpes-mosadaki.blogspot.com/2011/06/contoh-wacana-bahasa-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar