Pages

Sabtu, 03 Agustus 2013

Kerajaan Banjar

PENDAHULUAN
Tulisan-tulisan yang membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu, dalam bab selanjutnya akan dibahas asal mula berdirinya kerajaan Banjar dan raja-raja Banjar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Berdirinya Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
Asal usul terbentuknya kerajaan Banjar sebagian bermula dari kedatangan rombongan imigran dari Kaling, India, yang mencari tanah air baru di kawasan ini. Negeri asal imigran ini ialah salah satu tempat Jawa Timur, yaitu sebuah negeri yang bernama Kalingga. Arus pengungsian itu kemungkinan sekali terjadi pada masa kekecewaan saat peralihan kepada kekuasaan Majapahit, jadi sekitar tahun 1300.[1]
Hikayat Banjar diawali dari cerita tentang saudagar bernama Empu Jatmika yang berasal dari Kaling, bersama dengan dua orang anaknya bernama Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana telah tiba di Hujung Tanah. Tanah di Hujung Tanah ketika dicium oleh Empu Jatmika berbau harum, sehingga ia yakin bahwa daerah itu cocok untuk membangun negeri. Kemudian Empu Jatmika mendirikan sebuah kerajaan bernama Dipa dengan ibu kotanya bernama Kuripan dan mengangkat dirinya untuk menjadi raja sementara di kerajaan itu di Hujung Tanah.[2]
Sebelum Empu Jatmika wafat, ia telah mengeluarkan wasiat kepada kedua anaknya untuk tidak menjadi raja di Nagara Dipa. Bahkan ia menyuruh salah seorang anaknya yang bernama Lambung Mangkurat untuk mencari raja yang sah sebagai pengganti dirinya. Setelah Empu Jatmika meninggal dunia, Lambung Mangkurat mengangkat putri Junjung Buih untuk menjadi raja di Nagara Dipa sebagai pengganti ayahnya. Kemudian, Lambung Mangkurat mengawinkan putri Junjung Buih dengan seorang pangeran dari Majapahit bernama Pangeran Suryanata.
Setelah putri Junjung Buih dan pangeran Suryanata wafat maka tahta kekuasaan Nagara Dipa dipegang oleh anaknya Suryaganggawangsa, kemudian Carang Calen, dan akhirnya Raden Sarikaburangan. Semasa Raden Sarikaburangan memerintah pusat kekuasaan dipindahkan ke Muara Hulak, sedangkan Muarabahan dipilih sebagai pelabuhannya dan nama kerajaan itu berubah menjadi Nagara Daha.
Raden Sarikaburangan kemudian diganti oleh anaknya bernama Raden Sukarama. Ketika Raden Sukarama memerintah Nagara Daha tanpa disadarinya bibit pertentangan kekuasaan telah tertanam dalam istana. Pertentangan ini diawali ketika Raden Sukarama mewasiatkan tahtanya kepada cucunya bernama Raden Samudra, tetapi wasiat itu ditentang oleh salah seorang anaknya bernama pangeran Temanggung. Pasca wafatnya Raden Sukarama, di Nagara Daha terjadi konflik interen yang bermotifkan perebutan tahta. Dalam konflik itu, pangeran Temanggung berhasil merampas tahta kekuasaan dari pewaris yang sah, yaitu Raden Samudra dan mengangkat dirinya menjadi raja di Nagara Daha.
Keberadaan kota Banjarmasin sebagai ibu kota kerajaan banjar tidak lepas dari dampak perebutan tahta di Nagara Daha, yaitu pangeran Temanggung dengan pewaris tahta yang sah yakni Raden Samudra. Dalam kemelut istana itu, Raden Samudra mengasingkan diri di hilir sungai Barito dan dilindungi oleh komunitas melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. Daerah hilir sungai Barito itu oleh orang Dayak Ngaju disebut sebagai Banjar oleh Masih atau kampung orang melayu yang saat ini dikenal dengan nama Banjarmasin.
Dalam pelarian politiknya Raden Samudra melihat bahwa Banjarmasin dengan sumber daya manusianya merupakan kekuatan potensial unuk mengadakan pelawanan terhadap kekuatan pusat, yaitu Nagara Daha di hulu sungai Barito. Kekuasaan potensial yang dimiliki oleh Banjarmasin pada akhirnya mendapat pengakuan formal, ketika Raden Samudra diangkat menjadi raja oleh kelompok melayu di wilayah itu.
Setelah menjadi raja di daerah itu, Raden Samudra dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta dukungan Demak dalam persiapannya melawan Nagara Daha. Permohonan meminta dukungan oleh Sultan Demak dikabulkan, tetapi dengan syarat bahwa Raden Samudra beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Bentuk dukungannya Sultan Demak adalah dengan mengirimkan rombongan yang dipimpin oleh Khatib Dayan kepada Raden Samudra. Rombongan yang dipimpin oleh Khatib Dayan itu lebih cenderung bukan ekspedisi militer melainkan rombongan dengan misi untuk menyiarkan dan mengajarkan agama Islam (Anis, 2000: 91)
Akhirnya setelah melalui suatu proses politik, Raden Samudra dan pengikutnya berhasil mengalahkan Nagara Daha. Kemenangan Raden Samudra atas pengeran Temanggung merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari kerajaan pedalaman agraris kepada kerajaan yang bersifat maritim dan Islam dijadikan agama Negara. Raden Samudra kemudian merubah namanya dan gelarnya dari maharaja menjadi Sultan Suryanallah. Adapun Banjarmasin dijadikan ibu kota merangkap Bandar dari kerajaan Banjar, yaitu sekitar abad ke-16. sedangkan rakyatnya dinamai orang Banjar. Bagi orang Banjar agama Islam dijadikan sebagai pendukung kewarganegaraan dan status daerahnya, disamping menjadi basis perspektif yang kritis pada kebijakan Negara.[3]
B.       Raja-raja Kerajaan Banjar
Sultan Suryanallah oleh putranya yang tertua bergelar Sultan Rahmatullah. Raja-raja Banjar selanjutnya adalah Sultan Hidayatullah (putranya) dan Marhum Panembahan yang dikenal dengan Sultan Musta’inullah. Pada masa Marhum Panembahan, ibu kota kerajaan dipindah beberapa kali, pertama di Amuntai, kemudian ke Tambangan dan Batang Banyu, dan akhirnya ke Amuntai kembali. Perpindahan ibu kota kerajaan itu terjadi akibat datangnya pihak Belanda ke Banjar dan menimbulkan huru-hara.[4]
Sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan saat lenyapnya kerajaan Banjar tahun 1905, terdapat lagi raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriyansyah (1526-1545). Raja pertama yang memeluk agama Islam, dan yang terakhir adalah Sultan Muhammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda di Menawing – Puruk Cahu – dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar runtuh sebagai akibat kalah perang Banjar (1859-1905) yang merupakan perang menghadapi kolonial Belanda. Sultan Suriansyah sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuin Utara, sekarang yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan raja terakhir Sultan Muhammad Seman berkeraton di Menawin – Puruk cahu – sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Raja-raja Banjar sejak berdrinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya secara terperinci adalah sebagai berikut:
1.        Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah)                    (1526-1545)
2.        Sultan Rahmatullah                                      (1545-1570)
3.        Sultan Hidayatullah                                     (1570-1595)
4.        Sultan Musta’inbillah                                               (1595-1620)
5.        Ratu Agung bin Marhum Panambahan                     (1620-1637)
6.        Sultan Saidullah                                                      (1637-1642)
7.        Adipati Halid                                                          (1642-1660)
8.        Amirullah Bagus Kesuma                                        (1660-1663)
9.        Pangeran Adipati Anum                                          (1663-1679)
10.     Amirullah Bagus Kesuma (Sultan Agung)     (1680-1700)
11.     Sultan Hamidullah                                       (1700-1734)
12.     Pangeran Tamjid                                                     (1734-1759)
13.     Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah    (1759-1761)
14.     Pangeran Nata Dilaga                                             (1761-1801)
15.     Sultan Saleman                                                       (1801-1825)
16.     Sultan Adam al-Wasik Billah                                   (1825-1857)
17.     Pangeran Tamjidillah                                               (1857-1859)
18.     Pangeran Antasari                                       (1859-1862)
19.     Sultan Muhammad Seman                           (1862-1905).[5]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Sultan Samudra dengan gelar Sultan Suryanallah atau Sultan Suriansyah yang memiliki gelar lain yaitu Panembahan Batu Habang yang memerintaha pada abad ke-16. Sultan Rahmat Ollah atau Sultan Rakmatullah disebut dengan Panembahan Batu Putih yang memerintah sekitar abad-16. 

DAFTAR PUSTAKA
●        Daut, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
●        Idham, M. Suriansyah. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007.
●        Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
●        Idham, M. Suriansyah. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2005.

[1] Alfani Daut, Islam dan Masyarakat Banjar, h. 26
[2] M. Suriansyah Idham, Sejarah Banjar, h. 54
[3] M. Suriyansyah Idham, Urang Banjar dan Kebudayaannya, h. 18-20
[4] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perssada, 2006), h. 221
[5] M. Suriyansyah Idham, op.cit., h. 38-39 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar