DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
Sekarang ini pergaulan bebas telah merasuk kedalam kehidupan kita, bayi yang tak berdosa berserakan di sana-sini. Ini merupakan pemandangan yang sangat tidak enak. Islam telah mengatur dengan aturan yang sangat sehat, indah dan mensejahterakan umatnya. Bahkan dengan aturan Islam orang yang bukan muslimpun juga merakan dampaknya.
Nikah merupakan jalan keluar yang sangat benar dan sehat. Kerena nikah mengandung hukum-hukum dan peraturan yang dapat membawa manusia kedalam kehidupan yang sejahtera.
Masalah lain dalam kehidupan ini yaitu pembagian harta pusaka yang ditinggalkan oleh si mayit kadang membawa malapetaka yang dapat menghancurkan tali kekerabatan diantara keluarga yang disebabkan oleh kekurangan ilmu pengetahuan terhadap hukum warisan.
Ilmu waris merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqih yang sangat penting dalam kehidupan. Sebab ilmu ini secara tidak langsung membina kerukunan antar keluarga. Dengan ilmu faraidh akan tercipta keluarga harmonis, jauh dari kekerasan, dan mencegah timbulnya kehancuran dalam keluarga.
Melihat kondisi seperti di atas pemakalah mencoba untuk mempelajari dan memahami tentang munakahat (pernikahan) dan faraidh (warisan) dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUNAKAHAT (NIKAH)
1. Pengertian Nikah
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.[1]
Dari segi istilah nikah/perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa nikah ialah suatu ikatan yang menghalalkan dua orang berlawanan jenis dan bukan mahram melakukan persetubuhan, dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya.[2]
2. Dasar Hukum Nikah
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisâ: 3)
...
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…” QS. An-Nûr: 32)
Rasulullah SAW bersabda:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; dan barangsiapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih)
Dalam hadits lain dinyatakan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم حَمِدَ الله وأثقف عليه فقال: لَكِنِّي أنا أصَلىِّ وأنامُ و أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (متفق عليه)
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. bahwasanya Nabi SAW memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau berkata: “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perempuaan; barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih).[3]
3. Hukum Nikah
a. Mubah atau boleh
Hukum asli pernikahan adalah mubah atau boleh. Artinya setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya, karena Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kebutuhan biologisnya. Dengan pernikahan, kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
b. Sunnah
Nikah hukumnya sunnah bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat pernikahan, dan berkeinginan untuk menikah, mempunyai kemampuan lahir (memberi nafkah) dan bathin (sehat mental dan rohaninya), serta memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga. Orang yang demikian itu, akan mendapat pahala dari pernikahannya sebab telah menjalankan perintah sunnah.
c. Wajib
Nikah bagi mereka yang telah mempunyai kemampuan lahir dan bathin, cukup umur, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina maka hukumnya wajib. Misalnya, seorang pemuda yang telah mempunyai penghasilan lumayan setiap bulannya, sehat lahir bathin, dan ia bergaul cukup bebas dengan pacarnya maka baginya wajib segera menikah. Sebab ditakutkan terjerumus kelembah perzinahan dan seks bebas yang mendatangkan dosa besar.
d. Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi mereka yang belum berkeinginan untuk menikah, belum mempunyai kemampuan yang cukup, dan dikhawatirkan setelah menikah tidak bertanggung jawab atas rumah tangga.
e. Haram
Nikah juga menjadi haram hukumnya, manakala pernikahan tersebut dimaksudkan untuk menyakiti atau balas dendam terhadap pasangannya, atau menikahi orang atau pasangan yang masih mahram.[4]
4. Rukun dan Syarat Nikah
a. Rukun Nikah
1. Pengantin laki-laki
2. Pengantin perempuan
3. Dua saksi
4. Wali dari pengantin perempuan, atau wali hakim
5. Shigat (ucapan ijab dan qabul).[5]
b. Syarat pengantin laki-laki
1. Tidak dipaksa/terpaksa
2. Tidak dalam ihram haji atau umrah
3. Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam)
c. Syarat-syarat pengantin perempuan
1. Bukan perempuan yang dalam ‘iddah
2. Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
3. Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim
4. Tidakdalam keadaan ihram haji dan umrah
5. Bukan perempuan musyrik.[6]
d. Syarat-syarat wali
1. Baligh
2. Berakal
3. Merdeka
4. Laki-laki
5. Islam.[7]
6. Bersifat adil
e. Macam-macam wali
Dilihat dari segi latar belakangnya, wali dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Wali Mujbir
Adalah wali yang berhak untuk menikahkan perempuan dengan tahap meminta izin terlebih dahulu. Perempuan yang berada dalam kekuasaan walinya adalah perempuan yang masih gadis, sedangkan janda berhak menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
2. Wali ‘adhal (enggan)
Adalah wali yang menolak untuk menikahkan seorang perempuan yang mencegah kewaliannya.
3. Wali hakim
Adalah seorang penguasa yang menjadi wali terhadap perempuan yang mempunyai wali tetapi ‘adhal, atau memang karena tidak mempunyai wali.
f. Tertib wali menurut pendapat Imam Syafi’i yang dianut oleh umat Islam Indonesia adalah:
1. Ayah
2. Kakek dan seterusnya ke atas
3. Saudara laki-laki kandung
4. Kemenakan laki-laki seayah
5. Paman kandung
6. Saudara sepepu
7. Paman seayah
8. Saudara sepupu laki-laki kandung
9. Saudara sepupu laki-laki seayah
10. Sultan/hakim
11. Orang yang ditunjuk oleh mempelai bersangkutan
g. Syarat-syarat saksi
1. Laki-laki
2. Beragama Islam
3. Akil baligh
4. Mendengar
5. Bisa berbicara dan melihat
6. Waras (berakal)
7. Adil.[8]
5. Mahar (Maskawin)
Mahar adalah suatu pemberian yan diwajibkan atas suami untuk istrinya dengan sebab aqad atau persetubuhan.[9] Maskawin hukumnya wajib, tapi menyebutkannya dalam nikah hukumnya sunat. Firman Allah SWT dalam al-Quran:
...
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib…” (QS. An-Nisa: 4).[10]
Ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Kalau istri menghendaki tunai, maka suami harus membayar setelah akad pernikahan dilaksanakan, tetapi jika ditangguhkan mahar harus dibayar ketika perceraian terjadi.
b. Mahar Mitsil
Mahar mitsil atau mahar sebanding adalah mahar yang besarnya tidak ditentukan, tetapi dibayar secara pantas oleh suami dengan kedudukan istri dan kemampuan serta kedudukan suami.[11]
6. Walimatul ‘Urs
Al-Walîmah berasal dari lafazh “walama” artinya berkumpul. Adapun walimatul ‘urs pengertiannya ialah menjamu para tamu yang diundang dalam upacara perkawinan seseorang.
Hadits Nabi yang memerintahkan untuk melaksanakan walimatul ‘urs antara lain, hadits Anas riwayat Bukhari dan Muslim:
ما أولم رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على شيْءٍ مِنْ نِسَآءِهِ, ما أوْلِمْ عَنْ زَيْنَبَ, أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Rasulullah SAW tidak pernah mengadakan walimah dalam perkawinan dengan istri-istrinya, beliau tidak melaksanakan walimah dengan istrinya Zainab (namun beliau bersabda): “Berwalimahlah walau hanya dengan seekor kambing.”[12]
a. Menghadiri walimatul ‘urs
Menghadiri undangan walimatul ‘urs, kalau kita sanggup, wajib hukumnya, dan kalau tidak sanggup juga lebih baik datang. Sabda Nabi SAW:
مَنْ دُعِئَ الَى وَلِيْمَةٍ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخارى)
Artinya: “Siapa yang diundang ke walimah maka datanglah!” (HR. Bukhari)
مَنْ لم يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Siapa yang tidak menghadiri walimatul ‘urs sungguh telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.(HR. Muslim)
Sedang menghadiri pesta yang lain (bukan pengantin) lebih baik datang. Wajib menghadiri undangan walimatul ‘urs dengan ketentuan:
1. Undangan itu umum, semua keluarga, tetangga, orang-orang yang kaya dan miskin turut serta diundang.
2. Pengundang datang sendiri atau wakilnya.
3. Kedatangannya tidak ada khawatir akan kezhaliman.
4. Ditempatkan dengan orang yang sejajar.
5. Dalam walimah itu tidak ada perbuatan munkar, seperti minuman-minuman keras.
6. Mengunjungi di hari yang pertama (andaikan walimah diadakan beberapa hari).
7. Yang mengundang harus orang Islam.[13]
b. Waktu walimah
Waktu mengadakan walimah amat bergantung kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu temapt pada suatu masa tertentu, walimah dapat diadakan pada waktu akad.
7. Al-Khitbah (Lamaran)
Al-Khitbah berasal dari lafazh khatiba, yakhtibu, khitbatun. Tejemahannya ialah lamaran atau pinangan.
Al-Khitbah ialah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya menurut cara-cara yang berlaku dikalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khitbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya.
Khitbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah:
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dari nash di atas tentang khitbah, mengandung hukum-hukum sebagai berikut:
a. Tidak boleh meminang wanita yang beriddah raj’i karena statusnya masih menjadi istri orang. Tetapi wanita yang beriddah ba’in boleh dipinang secara ta’ridh (sindiran) dan tidak boleh dipinang secara sharih (terang-terangan).
b. Tidaklah boleh meminang wanita yang dalam pinangan orang lain, kecuali kalau sudah pasti ditinggalkan peminang pertama atau sudah pasti ditolak oleh pihak wanita. Sebagian ahli fiqih membolehkan pinangan atas wanita yang sudah dipinang orang lain apabila peminang pertama adalah orang yang fasiq, karena hal itu dilakukan untuk menghindari wanita jatuh dalam genggaman laki-laki yang cacat akhlaknya.
c. Dalam meminang dibolehkan (dipensasi) melihat wanita secara bebas, yang secara umum dilarang, hal ini berdasarkan surah An-Nûr ayat 31:
...
Artinya: “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Menurut Madzhab Jumhur melihat wanita yang bakal dipinang adalah suatu anjuran dalam syara’ hingga batas muka dan telapak tangan, tetapi madzhab Auza’iy dibolehkan melihat seluruh badan.
Perselisihan pendapat ini disebabkan penafsiran umum dari hadits:
فَلْيَنْظُرْ مِنْهَا الى ما يَدْعُوْهُ الى نِكَحِهَا
Artinya: “Lihatlah wanita yang dilamar sampai batas yang mendorong untuk menikahinya.”
Menurut pengertian yang luas, kata-kata “lihatlah wanita itu” tidak hanya melihat dengan mata secara lahiriyah, tetapi mengandung makna meneliti keadaannya secara keseluruhan terutama agamanya dan kepribadiannya.[14]
Meminang itu ada 2 macam:
1. Shariih (terang-terangan) - (الصريح)
Meminang dengan memakai kata-kata yang jelas terang untuk maksud meminang disebut Shariih (terang-terangan)
Misalnya berkata: “Sungguh-sungguh aku ingin kawin dengan engkau” ((أريدُ أنْ اُنْكِحِك atau : “Sudikah engkau kawin denganku” dan sebagainya.
Wanita yang sedang ‘iddah (masa menunggu) karena ditinggal mati suaminya maka wanita tadi haram dipinang secara terang-teranagan.
Sebab dikhawatirkan wanita tadi berdusta tentang ‘iddahnya, belum habis ‘iddahnya tetapi mungkin lantas mengaku sudah habis ‘iddahnya karena tergesa-gesa ingin menikah.
Misalnya laki-laki berkata:
أريدُ أنْ اُنْكِحَك وإذا انْقَضَتْ عِدَّتُكِ نَكَحْتُكِ
Bagi wanita yang sedang beriddah kata-kata semacam itu dipandang kurang sopan juga.
2. Kinaayah atau Ta’ridh (dengan kata-kata sindiran) – (التعريض-الكناية)
Meminang dengan kata sindiran, (tidak jelas untuk maksud meminang) disebut Kinaayah (sindiran).
Misalnya seorang berkata: رُبََّّ رَاغِبٍ فِيْكِ
Banyak orang yang cinta padamu. Atau banyak orang yang ingin hidup bersama-samamu dalam satu rumah tangga. (Berarti saya termasuk orang yang banyak itu).
Atau berkata:
“Maukah engkau kujadikan teman hidupku yang sangat istimewa melebihi teman biasa” dan lain sebagainya.
Meminang dengan kata-kata sindiran ini:
HARAM – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Raj’i.
BOLEH – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Bain atau karena ditinggal mati oleh suami.
Jadi boleh meminang dengan jalan sindiran asal wanita tadi tidak dalam thalaq raj’i, karena dalam thalaq raj’i hak penuh ada pada suami, untuk memberi kesempatan kepada suaminya, mungkin ia meruju’ kembali kepada istrinya itu.
Oleh karena itu haram meminang wanita yang dalam ‘iddag daripada thalaq raj’i baik dengan terang-terangan maupun dengan sindiran.[15]
8. Macam-Macam Nikah Terlarang
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah (nikah mu’aqqat) yaitu pernikahan yang dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang, karena untuk melepaskan hawa nafsu saja. Pernikahan mut’ah disebut dengan nikah kontrak. Artinya pernikahan yang ditentukan masa (waktunya) pada saat akad. Apabila telah habis masanya, maka pernikahan tersebut selesai dengan sendirinya.
b. Nikah Tahlil
Menurut bahasa tahlil berarti penghalalan. Sedangkan menurut istilah pernikahan yang bertujuan untuk penghalalan, misalnya pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan dalam nikah dengan bekas suaminya, karena telah bertalaq tiga. Pernikahan seperti ini haram hukumnya.
c. Nikah Syighar
Secara bahasa syighar dapat berarti mengusir atau membuang. Sedangkan secara istilah nikah syighar adalah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tertentu diikuti dengan pernikahan antara bapak perempuan itu dengan anak perempuan laki-laki yang menikah dengan anak perempuannya.
d. Nikah antar pemeluk agama
Pernikahan yang terjadi anatara orang yang beragama Islam dengan orang yang tidak beragama Islam.
9. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Di dalam menguraikan anatar hak dan kewajibanseorang suami dan istri maka dapat dikaji melalui fungsi dan hakekat antara keduanya. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, sedagkan hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh seseorang. Anatar hak dan kewajiban sangat berhubungan erat. Untuk memperoleh gambaran tentang berbagai hak dan kewajiban seorang suami dan istri dapat diketahui melalui uraian berikut:
a. Kewajiban seorang suami
1. Memberi nafkah
2. Mempergauli istri secara ma’ruf (layak dan patut)
3. Memimpin keluarga
4. Mendidik keluarga
b. Kewajiban seorang istri
1. Mentaati suami
2. Menjaga kehormatan
3. Mengatur rumah tangga
4. Mendidik anak
10. Hikmah Perkawinan
Didalam mengadakan perkawinan bagi umat Islam akan dapat mendatangkan hikmah (manfaat) sebagai berikut:
a. Hikmah bagi yang melakukan
Bagi umat Islam yang mampu melakukan perkawinan akan mendapatkan hikmah atau manfaat sebagai berikut:
1. Dapat mententramkan jiwa
2. Dapat menghindarkan maksiat
3. Dapat melestarikan keturunan
b. Hikmah bagi masyarakat (umat manusia secara luas)
1. Dapat melahirkan generasi-generasi penerus masa depan yang sah dan berkualitas
2. Dapat menghindarkan maksiat
3. Dapat mewujudkan masyarakat yang tentram dan aman.
B. FARAIDH (WARIS)
1. Pengertian Faraidh
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan).[16] Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
2. Sumber Hukum Waris
a. al-Quran
Dalam ayat al-Quran ditegaskan secara definitif tentang ketentuan bagian ahli waris yang disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau bagian yang telah ditentukan, dan bagian sisa (ashabah), serta orang yang tidak termasuk ahli waris adalah Q.S An-Nisa ayat 11 dan 12.
b. As-Sunnah
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسلِمَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: "Orang muslim tak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tak berhak mewarisi orang muslim" (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Ijma
d. Ijtihad.[17]
3. Peninggalan (Tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang mati) secara muthlak. Menurut madzhab Maliki, syafi'i dan Hambali, peninggalan itu meliputi semua harta dan hak yang ditinggalkan oleh si mayit, baik harta benda maupun bukan harta benda.
4. Rukun Waris
a. Pewaris (al-waarits)
b. Orang yang mewariskan (al-muwarrits)
c. Harta yang diwariskan (al-mauruuts).[18]
5. Syarat-syarat Pewaris
a. Seorang meninggal secara hakiki atau secara hukum
b. Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meninggal
c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.[19]
6. Sebab-sebab Menerima Warisan
a. Hubungan Keluarga (Nasab Hakiki)
b. Hubungan Perkawinan (Persemendaan)
c. Hubungan Wala (Nasab Hukmi) yaitu hubungan sebab memerdekakan budak/hamba sahaya
d. Hubungan Agama.[20]
7. Halangan-halangan Pewarisan
a. Perbudakan (hamba sahaya)
b. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan
c. Berlainan agama
d. Murtad.[21]
8. Hak-hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Pembagian Waris
a. Biaya perawatan jenazah (wafâ al-janâzah)
b. Pelunasan hutang (wafâ al-duyun)
c. Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaya)
9. Ahli Waris dan Macam-macamnya
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a. Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b. Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
● Perkawinan yang sah (al-musabarah)
● Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
Apabila dilahat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
a. Ahli waris asbab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya yang telah ditentukan dalam al-Quran seperti 1/2, 1/3, atau 1/6.
b. Ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah warisan dibagikan kepada ahli waris asbab al-furudh.
c. Ahli waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sebenarnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut al-Quran, tidak berhak menerima bagian warisan.
Dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
a. Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau garis keturunannya yang menyebabkan dapat menghalangi ahli waris yang lain.
b. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang yang terhalang oleh waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Ahli waris berdasarkan nasabiyah yang tediri dari 25 orang, yaitu terdiri 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan, dapat dikelompokan menurut tingkatan atau kepada kekerabatanya:
1. Furu al-waris, yaitu kelompok anak keturunan al-muwarris
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan garis laki-laki
c. Anak laki-laki
d. Cucu laki-laki garis laki-laki
2. Ushul al-waris, yaitu ahli waris leluhur al-muwarris
a. Bapak
b. Ibu
c. Kakek garis bapak
d. Nenek garis ibu
3. Al-hawasyi, yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunannya.
a. Saudara perempuan sekandung
b. Saudara perempuan seayah
c. Saudara perempuan seibu
d. Saudara laki-laki sekandung
e. Saudara laki-laki seayah
f. Saudara laki-laki seibu
g. Anak laki-laki saudara sekandung
h. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i. Paman sekandung
j. Paman seayah
k. Anak paman sekandung
l. Anak paman seayah.
Apabila ke-15 orang dari pihak laki-laki semuanya ada maka yang berhak mendapat warisan, yaitu suami, ayah, dan anak laki-laki, dan apabila dari pihak perempuan ke-10 orangnya ada maka yang berhak mendapat warisan hanya: istri anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan saudara perempuan sekandung. Dan jika ke-25 orangnya ada maka yang berhak/yang tidak bisa gugur dalam kondisi apapun, yaitu:
a. Suami atau istri
b. Ayah
c. Ibu
d. Anak laki-laki
e. Anak perempuan.[22]
Ahli Waris dan Furudhul Muqaddarah
Furudhul muqaddarah adalah bagian berhak didapatkan ahli waris seuai ketentuan nash al-Quran dan as-Sunnah yaitu, 1/2, 1/3, 1/4, 2/3,1/6, 1/8 serta apabila ada sisa harta warisan dinamakan ashabah.
Adapun bagian-bagiannya sebagai berikut:
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:
● 1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.
● 2/3 jika jika dua orang atau lebih, tidak bersama anak laki-laki.
b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
● 1/2 jika seorang, atau tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjîb).
● 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan cucu laki-laki dan tidak mahjîb.
● 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjîb. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka dia tidak mendapatkan bagian.
c. Ibu, berhak menerima bagian:
● 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far'u wâris) atau saudara dua orang atau lebih;
● 1/6 jikla ada far'u wâris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
● 1/3 sisa, jika ada far'u wâris dalam masalah garawain, yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari: suami/ istri, ibu dan bapak.
d. Bapak berhak menerima bagian:
● 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
● 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki;
Jika bapak bersama ibu, maka;
● Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
● 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
● 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami dan atau istri.
e. Nenek, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
● 1/6 jika seorang;
● 1/6 dibagirata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f. Kakek, jika tidak mahjûb, berhak menerima bagian:
● 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
● 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki;
● 1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain;
● 1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara-saudara).
g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
● 1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
● 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
● 1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah;
● 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
● 1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap (takmilah li al- sulusain)
i. Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
● 1/6 jika seorang
● 1/3 jika dua orang atau lebih;
● Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan masalah musyârakah.
j. Suami berhak menerima bagian:
● 1/2 jika istrinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu;
● 1/4 jika istrinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
k. Istri berhak menerima bagian;
● 1/4 jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
● 1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.[23]
10. Hijab
Hijab menurut bahsa adalah halangan sedangkan menurut istilah ilmu mewaris hijab ialah halangan ahli waris untuk menerima warisankarena adanya sebab-sebab tertentu.[24] Hijab terbagi 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Hijab Hirman
Hijâb Hirmân, yaitu menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.
Ahli waris yang terhalang secara total oleh ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dapat dirinci sebagai berikut:
Hâjib-Mahjûb Hirmân
No
Ahli Waris
Bagian
Terhalang oleh
Menjadi
1
Kakek
1/6
Ayah
-
2
Nenek garis ibu
1/6
Ibu
-
3
Nenek garis ayah
1/6
Ayah dan ibu
-
4
Cucu laki2 grs laki2
'asabah
Anak laki-laki
-
5
Cucu pr. grs laki2
Cucu pr. grs laki2 2+
1/2
2/3
anak laki-laki
anak pr. 2 +
-
6
Saudara laki2 skdng
Saudara pr. skdng
Saudara pr. skdng 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki-laki, cucu laki-laki
dan ayah
-
7
saudara seayah laki2
saudara pr. seayah
saudara pr. seayah 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki2, cucu laki-laki, ayah, sdr. laki-laki skdng, saudar pr. sekandung. Bersama anak/cucu pr.
-
8
Saudara lk2/pr seibu
Saudara lk2/pr seibu 2+
1/6
1/3
anak lk. dan anak pr. Cucu lk dan cucu pr. Ayah dan kakek
-
9
Anak lk2 sdr lk2 skdng
'asabah
anak laki, cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, saudara pr. skndg atau seayah yang menerima’asabah ma’a al-ghair
-
10
Anak lk2 sdr. seayah
'asabah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
11
Paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
12
Paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung
-
13
Anak laki-laki paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah
-
14
Anak laki-laki paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah, dan anak laki-laki paman skndg.
-
b. Hijab Nuqshan
Adalah hijab yang menghalangi ahli waris sehingga bagiannya berkurang atau berganti/pindah statusnya.
Hâjib Mahjûb Nuqshân
No
Ahli Waris
Bagian
Terkurangi oleh
Menjadi
1
ibu
1/3
1/3
anak atau cucu
2 saudara atau lebih
1/6
1/6
2
bapak
'asabah
'asabah
anak laki-laki
anak perempuan
1/6
1/6 + 'asabah
3
isteri
1/4
anak atau cucu
1/8
4
suami
1/2
anak atau cucu
1/4
5
saudara pr.skd/ seayah
saudara pr.skd/ seayah
1/2
2/3
anak atau cucu perempuan
anak atau cucu perempuan
'amg
'amg
6
cucu pr. grs.laki-laki
1/2
seorang anak perempuan
1/6
7
saudara pr seayah
1/2
seorang saudara pr. sekandung
1/6[25]
11. 'Asabah
'Asabah adalah ahli waris yang mendapat bagian diluar ketentuan zawil furud. Adakalanya dapat mengambil seluruh warisan apabila mayit tidak mempunyai ahli waris dari zawil furud, atau mengambil seluruh sisa harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furud.
'Asabah terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. 'Asabah binnafsi
‘Asabah binnafsi ialah ahli waris yang menjadi ‘asabah karena diri mereka sendiri, yang berjumlah empat belas orang, yaitu:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki
3. Ayah
4. Kakek dari pihak ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Paman sekandung
10. Paman seayah
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Laki-laki yang memerdekakan hamba
14. Perempuan yang memerdekakan hamba
b. ‘Asabah bilghair
‘Asabah bilghair ialah perempuan-perempuan yang menjadi ‘asabah karena adanya laki-laki yang menjadi ‘asabah bersama-sama. Pembagian ‘asabah bilghair antara laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
Adapun yang termasuk ‘asabah bilghair hanya ada empat orang, yaitu:
1. Anak perempuan dengan adanya anak laki-laki;
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki;
3. Saudara perempuan sekandung dengan adanya saudara laki-laki sekandung;
4. Saudara perempuan seayah dengan adanya saudara laki-laki seayah.
c. ‘Asabah ma’a al-ghair
‘Asabah ma’a al-ghair ialah perempuan-perempuan yang dalam menerima ‘usubahnya memerlukan kepada orang lain, sedangkan orang itu tidak berserikat di dalam menerima ‘usubah tersebut.
‘Asabah ma’a al-ghair hanya ada dua kelompok yaitu:
1. Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih).
2. Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Contoh pembagian warisan:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris yaitu seorang istri, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang paman. Harta warisan sebanyak Rp. 48.000.000; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 24
Ahli Waris Furud Asal masalah Bagian Warisan
Istri 1/8 3 3/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
Ibu 1/6 4 4/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Anak laki-laki Asabah 17 Asabah (sisa harta) = Rp 34.000.000,00
Paman Mahjub
12. Permasalahan Dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan
a. Cara Al ‘Aul
Para ulama mawaris mendefinisikan ‘Aul yaitu jika jumlah bagian ahli waris lebih banyak daripada Asal Masalah. Misalnya di antara ahli waris ada yang mendapat bagian seperdua (1/2) seperti suami, seperenam (1/6) seperti ibu, dua pertiga (2/3) seperti dua saudara perempuan sekandung, maka jumlah dari 1/2 + 1/6 + 2/3 lebih banyak daripada Asal Masalah, yaitu 6.
Seorang wanita meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung. Harta warisan sejumlah Rp 7.000.000,00; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Furud Bilangan
Istri 1/2 3
2 saudara perempuan sekandugn 2/3 4
Jumlah - 7
Karena jumlah bagian ahli waris adalah 7, berarti lebih banyak daripada asal maslahnya yaitu 6, sehingga terjadilah masalah ‘Aul dari 6 ke 7, sehingga pembagiannnya sebagai berikut:
● Suami
3/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
● 2 saudara perempuan kandung:
4/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
b. Cara Ar-Rad
Menurut para ulama mawaris, Ar-Rad ialah mengembalikan sisa warisan kepada para ahli waris setelah pembagian warisan sesuai dengan furud mereka masing-masing. Hal itu dapat terjadi apabila jumlah bagian ahli waris lebih sedikit daripada Asal Masalah. Misalnya dari ahli waris ada yang mendapat bagian sepertiga seperti ibu, dan seperdua seperti saudara perempuan sekandung. Jumlah dari 1/2 + 1/3 = 5/6. Jumlah Asal Masalah 6, adalah lebih besar daripada jumlah bagian yang hanya 5. Karena jumlah bagian ahli waris lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-rad.
Contoh:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari ibu dan anak perempuan. Harta yang ditinggalkan berjumlah Rp 6.000.000,00. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris Furud Bilangan
Ibu 1/6 1
Anak Perempuan 1/2 3
Jumlah 4
Karena jumlah bagian lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-Rad. Jadi bagian masing-masing adalah:
● Ibu
1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
● Anak perempuan
3/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
Jumlah = Rp 4.000.000,00
● Sisa harta = Rp 2.000.000,00
Sisa harta tersebut dapat dibagikan kepada kedua ahli waris di atas, yakni ibu dan anak perempuan dengan menggunakan salah satu cara berikut ini:
● Ibu
1/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 500.000,00
● Anak perempuan
3/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
● Ibu
1/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
● Anak perempuan kandung
3/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
c. Masalah Garawain
Garawain adalah dua masalah yang sangat yang sangat terang. Garawain disebut juga Masalah Umariyah.
Masalah garawain dapat terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ibu dan ayah, atau istri, ibu dan ayah. Untuk lebih memahami dan dapat mempraktikkan masalah garawain, hendaknya diperhatikan contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorag meninggal dunia, dan ahli warisnya terdiri dari suami, ibu dan ayah. Harta warisan sebanyak Rp. 12.000.000,00; Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris Furud Bilangan
Suami 1/2 3
Ibu 1/3 2
Ayah Asabah 1
Jadi bagian masing-masing adalah:
● Suami : 3/6 x Rp 12.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
● Ibu : 1/3 x Rp 12.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
● Ayah : 1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Perhitungan tersebut sesuai ketentuan zawil furud.
d. Masalah Musyarakah
Musyarakah sering juga disebut musytarakah, hajariyah, dan himariyah, yang mengandung arti bergabung, bersekutu, atau berserikat. Musyarakah dapat terjadi apabila saudara kandung berserikat dengan saudara seibu. Untuk lebih jelas jelasnya, perhatikan contoh kasus musyarakah berikut ini:
Contoh:
Seorang meniggal dunia dengan ahli waris terdir dari suami, ibu, 1 saudara laki-laki sekandung, dan 2 saudara laki-laki seibu. Harta peniggalan sebesar Rp 9.000.000,00. pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris Furud Bilangan
Suami 1/2 3
Ibu 1/6 1
2 saudara lk. seibu 1/3 2
1 saudara lk. skndg Asabah -
Jadi pembagiannya adalah:
● Suami : 3/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
● Ibu : 1/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
● 2 saudara seibu : 1/3 x Rp 9.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
e. Masalah Akhdariyah
Akhdariyah menurut bahasa artinya menyusahkan, menyulitkan, atau mengeruhkan. Sedangkan menurut istilah ilmu mawaris, Akhdariyah ialah adanya kakek yang menyulitkan dalam pembagian waris terhadap saudara perempuan. Tanpa adanya kakek, saudara perempuan mendapat bagian seperdua, tapi dengan adanya kakek, bagian saudara perempuan gugur. (Lihat Hijab Hirman). Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari, suami, ibu, saudara perempuan sekandung dan kakek. Harta peninggalan berjumlah Rp. 18.000.000,00. Pembagiannya adalah:
● Suami
3/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
● Ibu
2/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
● Kakek dan saudara perempuan sekandung
4/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Pembagian kakek dan saudara perempuan sekandung adalah 2:1, sehingga menjadi
● Kakek
2/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 5.333.333,00
● Saudara perempuan kandung
1/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 2.666.666,00
13. Hikmah Pembagian Warisan
a. Mewujutkan keadilan berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, untuk mencapai kebahagian yang hakiki.
b. Menghindari terjadinya persengketaan masalah warisan diantara para ahli warisan.
c. Menjaga hubungan tali kekeluargaan diantara keluarga muslim.
d. Membentuk kepribadian yang jujur, adil, disiplin, dan bertanggung jawab.
e. Menghindarkan terjadinya fitnah diantara sesama ahli waris.
f. Melestarikan sunnah Rasulullah.[26]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a. Nikah Mut’ah
b. Nikah Syighar
c. Nikah Tahlil
d. Nikah antar pemeluk agama
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a. Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b. Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
● Perkawinan yang sah (al-musabarah)
● Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
'Asabah terbagi tiga:
a. 'Asabah binnafsi
b. ‘Asabah bilghair
c. ‘Asabah ma’a al-ghair
DAFTAR PUSTAKA
● Amir, Ustadz Ja’far, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th.
● Ash-Shabuni , Syekh Muh. Ali, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th.
● As’ad, Mahrus dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005.
● Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.
● Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984.
● Idris, H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
● Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.
● Munir, A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
● Rifa’i, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th..
● Rifai , H. Moh. dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001.
● Rofiq ,Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[1] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th. h. 9.
[2] Mahrus As’ad dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005. h. 48.
[3] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th. h. 434-455.
[4] Mahrus As’Ad dan A. Wahid SY, op.cit., h. 43.
[5] Ustadz Ja’far Amir, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th. h 252.
[6] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 456.
[7] A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. h. 263.
[8] Moh. Rifai’i, op.cit., h. 461.
[9] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984. h. 48.
[10] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 462.
[11] A. Munir dan Sudarsono, op.cit.,h. 277-278.
[12] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 46.
[13] H. Abdul Fatah Idris dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. h. 219-220.
[14] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 15-18.
[15] Ustadz Ja’far Amir, op.cit., h. 238-239.
[16] Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. h. 235.
[17] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. h. 22-27.
[18] Mudzakir, op.cit., h. 238-240
[19] Syekh Muh. Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th. h. 46
[20] H. Moh. Rifai dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001. h. 145.
[21] Sayyid Sabiq, op.cit., h. 241-242.
[22] Ahmad Rofiq, op.cit., h. 46-64.
[23] Ibid., h. 67-69
[24] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 47.
[25] Ahmad Rafiq, op.cit., h. 90-92.
[26] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 79-89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar