Minggu, 20 April 2014

baik dan buruk dari berbagai aliran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Baik dan buruk adalah persoalan yang pertama kali muncul di kalangan para filsuf Yunani. Persoalan ini pula yang menjadi pembicaraan utama dalam kajian ilmu akhlak dan ilmu estetika. Sebelum membahas lebih dalam tentang baik dan buruk alangkah baiknya untuk memahami kedua istilah tersebut yaitu baik dan buruk. Istilah baik dan buruk merupakan dua kata yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Bahkan, setiap filsuf hampir mebicarakan persoalan ini, terutama para filsuf dari kalangan Marxisme. Di kalangan para teolog, persoalan ini memunculkan perdebatan yang sengit diantara aliran – aliran. Mu’tazilah, umpanya, berpendapat bahwa akal manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Ini berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wa Jamaah, diantaranya Asy’ariyyah. Mereka berpendapat bahwa penentu baik dan buruk mutlak merupakan otoritas wahyu, bukan domain akal.
Pembicaraan mengenai baik dan buruk penting karena dua alasan. Pertama, persoalan ini menjadi pembahasan utama ilmu akhlak sekaligus menjadi inti keberagaman seseorang. Kedua, mengetahui pandangan Islam tentang persoalan ini di tengah maraknya berbagai aliran yang memperbincangkan persoalan ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian baik dan buruk ?
2.      Apa saja aliran baik dan buruk ?
3.      Bagaimana sifat baik dan buruk ?
4.      Apa saja ruang lingkup baik dan buruk ?

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian baik dan buruk.
2.      Untuk mengetahui aliran baik dan buruk.
3.      Untuk mengetahui sifat baik dan buruk.
4.      Untuk mengetahui ruang lingkup baik dan buruk.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN BAIK DAN BURUK
Pengertian baik secara bahasa adalah terjemahan dari kata khoir dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma`luf dalam kitab Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan[1]. Selanjutnya, yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan. Yang baik itu juga sesuatu yang sesuai dengan keinginan.[2] Dan yang disebut baik itu adalah sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Adapula pendapat bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, apabila hal tersebut menuju kesempurnaan manusia. Sedangkan kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkrit.
Dari beberapa kutipan diatas, menggambarkan bahwa yang disebut baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Dengan mengetahui sesuatu yang baik, maka akan mempermudah dalam mengetahui yang buruk. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr. Dan diartikan dengan sesuatu yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, keji jahat, tidak bermoral dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat  yang berlaku. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik.
Definisi diatas, memberikan kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relatif sekali, karena tergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskan. Dengan demikian nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut bersifat relatif dan subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya.[3]

Dalam mendefinisikan baik buruk, setiap orang pasti berbeda- beda. Sebab sumber penentu baik dan benar, yaitu Tuhan dan manusia, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
B.     Beberapa Aliran Baik dan Buruk
Perkembangan pemikiran manusia selalu berubah, begitu juga patokan yang digunakan orang untuk menentukan baik dan buruk manusia. Keadaan yang demikian ini menurut Poedjawijatna terpengaruh oleh pandangan  filsafat tentang manusia yaitu antropologia metafisika. Beliau menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme, religiosisme dan humanisme.[4] Sedangkan Asmaran As. Menyebutkan ada empat aliran filsafat  yaitu adat kebiasan, hedonisme, intuisi, dan evolusi[5].
Beberapa kutipan tersebut diatas saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa diantara aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat istiadat, hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme. Dari berbagai kutipan tersebut diatas beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak dapat dikemukakan secara ringkas berikut ini.;
1.      Baik dan Buruk Menurut Aliran Adat Istiadat (Sosialisme)
Baik dan buruk menurut aliran ini ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegangi oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk dan mendapat hukuman secara adat. Adat istiadat selanjutnya dipandang sebagai pendapat umum. Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap bangsa atau daerah mempunyai adat tertentu mengenai baik dan buruk.[6]
Di masyarakat akan kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara yang demikian itulah yang dianggap orang baik, dan orang yang mengingkarinya adalah orang yang buruk. Kelompok yang menilai baik dan buruk menurut adat ini dalam pandangan filsafat di kenal dengan aliran sosialisme. Paham ini muncul dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka masyarakatlah yang menentukan nilai  baik dan buruk perbuatan manusia itu sendiri. Karena hakikat dari adat itu sendiri sebenarnya adalah produk budaya manusia yang sifatnya nisbi dan relatif, maka nilai baik dan buruk tersebut juga sangat relatif juga.
2.      Baik & Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Aliran ini adalah aliran filsafat yang bersumber pada pemikiran filsafat Yunani Kuno. Terutama pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), kemudian dikembangkan oleh Cyrenics, berikutnya dikembangkan oleh Freud.[7] Menurut paham ini, bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.
Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan atau kesengsaraan. Epicurus sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan semua manusia hidup didunia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Sedangkan akhlak adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan, kemulyaan, dan kebahagiaan. Keutamaan tidak mempunyai nilai tersendiri, melainkan nilainya terletak pada kelezatan yang mengiringinya.
Disini, Epicurus lebih mementingkan kelezatan akal dan rohani daripada kelezatan badan. Yang dapat merancang dan merencanakan kelezatan itu adalah akal dan jiwa (rohani). Oleh karena itu kelezatan akal dan jiwa lebih lama dan lebih kekal daripada kelezatan badan. Tahap berikutnya, paham Hedonisme ada dua corak, yaitu pertama individual, kedua, universal. Pertama, berpendapat bahwa yang dipentingkan terlebih dahulu adalah mencari kelezatan dan kepuasan sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri (individualistik). Kedua, memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah yang mementingkan kebahagiaan untuk kebutuhan sesama manusia atau orang banyak bahkan semua makhluk yang berperasaan. Sejalan dengan paham ini, maka perbuatan yang dianggap baik dan utama apabila perbuatan itu menghasilkan kebahagiaan bersama. Berlaku benar misalnya menjadi utama karena ia menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat dan kita dapat mempercayai orang lain, karena orang tersebut menunjukkan sikap yang benar.
3.      Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)
Intuisi adalah kekuatan batik yang dapat menetukan sesuatu baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan batin atau suara hati adalah merupakan potensi rohaniah yang secara fitrah telah ada pada diri manusia. Paham ini berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin kadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa, tempat dan lingkungan. Akan tetapi dasarnya tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Misal, apabila ia melihat suatu perbuatan, maka ia mendapat semacam ilham atau petunjuk yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh karena itu, manusia sepakat tentang keutamaan seperti benar, dermawan, berani. Mereka juga sepakat menilai buruk terhadap perbuatan yang salah, pendusta, dan pengecut.
Kekuatan batin adalah merupakan kekuatan yang telah ada dalam diri jiwa manusia. Kita telah diberi kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, sebagaimana kita diberi mata untuk melihat dan telingat untuk mendengar. Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani. Sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurami dipandang buruk. Paham ini dikenal dengan paham humanisme.[8]Penentuan baik dan buruk perbuatan melalui hatinurani yang dibimbing oleh ilham atau intuisi  ini banyak dianut dan dikembangkan  oleh para pemmikir akhlak dari kalangan Islam.

4.      Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Secara bahasa utilis berarti berguna. Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna. Kalau ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial. Paham ini mendapatkan perhatian dizaman sekarang. Di abad sekarang ini, kemajuan dibidang teknologi meningkat tajam, dan kegunaanlah yang menentukan segala sesuatunya. Kelemahannya paham ini adalah hanya melihat kegunaan dari sudut materialistik. Misal, orang tua jumpo semakin kurang mendapatkan penghargaan, karena secara material sudah tidak lagi kegunaannya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintai nasihat, doa dan pengalaman masa lalu yang sangat berharga.[9]
Paham ini juga menjelaskan arti kegunaan tidak hanya yang berhubungan dengan materi, melainkan melalui sifat rohani yang bisa diterima akal. Dan kegunaan bisa diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Disini Nabi juga menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain (HR. Bukhari)
5.      Baik dan Buruk Menurut Paham Vitalisme
Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik. Paham ini pernah dipraktekkan oleh para penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah, tertindas dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, ia dapat mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme dan diktator. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status sosial untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan aturan yang dikeluarkan menjadi pegangan masyarakat meskipun salah.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah banyak dikuasai oleh masyarakat, maka paham vitalisme tidak akan mendapatkan tempat lagi, kemudian beralih dengan sifat demokratis.
6.      Baik dan Buruk Menurut Paham Religiosisme
Paham ini berpendapat bahwa yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Paham ini, terhadap keyakinan teologis yaitu keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting. Karena tidak mungkin orang berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, apabila yang melakukan tidak beriman kepada-Nya.
Perlu diketahui, bahwa di dunia ini ada bermacam-macam  agama yang dianut, dan masing-masing agama menentukan baik buruk menurut ukurannya agama masing-masing. Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam, masing-masing agama tersebut memiliki pandangan dan tolok ukur tentang baik dan buruk antara yang satu dengan lainnya berbeda-beda dan juga ada persamaannya. terdapat [10]
7.      Baik dan Buruk Menurut Paham Evolusi
Paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya sampai pada kesempurnaan. Paham seperti ini tidak hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia dan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi juga berlaku pada benda yang tidak dapat dilihat dan diraba oleh indra, seperti moral dan akhlak.
Salah seorang ahli filsafat Inggris bernama Herbert Spencer (1820-1903) berpendapat bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur-angsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan kearah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik apabila dekat dengan cita-cita tersebut, dan buruk apabila jauh daripada cita-cita tersebut. Adapun tujuan manusia dalam hidup ini ialah untuk mencapai cita-cta tujuan atau mendekatinya.
Paham ini, bahwa cita-cita manusia dalam hidup adalah untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan disini berkembang menurut keadaan yang mengitarinya. Kalau perbuatan manusia sesuai dengan keadaan yang diharapkan yaitu lezat dan bahagia, maka hidupnya akan bahagia dan senang, begitu juga sebaliknya. Paham ini yang menjadikan ukuran perbuatan baik manusia adalah merubah diri sesuai dengan keadaan yang berlaku. Paham ini juga sesuai dengan pendapat Darwin (1809-1882). Dia menjelaskan bahwa perkembangan alam didasari oleh ketentuan alam, perjuangan hidup, dan kekal bagi yang lebih pantas.[11]
Herbert Spencer ( 1820-1903 ) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yabg dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.
            Cita-cita manusia dalam hidup ini – menurut paham ini – adalah untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya, maka hidupnya akan senang dan bahagia. Oleh karena itu menjadi keharusan untuk mengubah dirinya menurut keadaan yang ada di sekelilingnya, sehingga dengan demikian sampailah ia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan yang menjadi tujuannya.
            Tampaknya bahwa Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah mengubah diri sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan baik bila menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan keadaan di sekitarnya.
            Dalam sejarah paham evolusi, Darwin ( 1809-1882 ) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :
1)      Ketentuan alam ( selection of nature )
2)      Perjuangan hidup ( struggle for life )
3)      Kekal bagi yang lebih pantas ( survival for the fit test )
Yang dimaksud dengan ketentuan alam adalah bahwa ala mini menyaring segala yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang tidak pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.
            Berdasarkan cirri-ciri hokum alam yang terus berkembang ini dipergunakan untuk menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah dan berkembangnya ketentuan baik buruk  sesuai dengan perkembangan ala mini akan berakibat menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak sesuai dengan morma yang berlaku secara umum dan telah diakui kebenarannya.
8.      Deontologi
Menurut aliran ini, suatu tindakan dianggap baik bukan berdasarkan tujuan atau dampak perbuatan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, perbuatan tersebut bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu.

C.    Sifat Baik dan Buruk
Sifat baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yaitu berubah, relatif nisbi dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik buruk yang dihasilkan berdasarkan melalui pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi, yaitu dapat terus berubah. Sifat baik buruk tersebut yang dikemukakan sifatnya subyektif, lokal dan temporal. Oleh karena itu nilai baik buruk juga sifatnya relatif.
Perlu ada ketentuan batasan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-nilai universal, yaitu pandangan intuisisme. pendapat yang demikian itu tetap berguna yaitu untuk menjabarkan ketentuan baik buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam.

D.    Ruang Lingkup Baik dan Buruk dalam Islam
Ajaran Islam bersumber dari wahyu Allah SWT berupa al-Qur`an yang dalam penjabarannya dicontohkan oleh Sunah Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam mendapatkan perhatian besar. Istilah baik dan buruk menurut Islam harus didasarkan pada petunjuk al-Qur`an dan al-Hadis. Kalau kita perhatikan, istilah baik dan buruk dapat kita jumpai dalam Qur`an maupun Hadis, seperti al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, al-birr, dan azizah.[12]
Al-hasanah menurut al-Raghib al-Afahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Kemudian al-hasanah dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu, pertama; hasanah dari segi akal, kedua, hasanah dari segi hawa nafsu atau keinginan dan ketiga, hasanah dari segi pancaindra, sedangkan Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah . Yang termasuk al-hasanah adalah keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Adapun yang termasuk al-sayyiah seperti kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.
Adapun kata at-thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikam kelezatan kepada panca indra dan jiwa. Seperti makanan pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Adapun lawannya adalah al-qabihah yang artinya buruk[13]. Berikutnya, kata al-khoir digunakan untuk menunjukkan suatu yang baik oleh seluruh umat manusia. Seperti berakal, adil, keutamaan dan semua yang bermanfaat bagi manusia. Lawan dari al-khoir adalah as-syarr. Seperti pada ayat[14]QS.al-Baqarah, 2 : 158.
Adapun kata al-mahmudah dipakai untuk sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai Allah SWT. Kata mahmudah lebih cenderung pada arti yang bersifat bathin dan spiritual. Seperti ayat.[15]QS.al-Isra`,17:79.
Berikutnya, kata al-karimah digunakan untuk perbuatan dan akhlak terpuji yang dimunculkan dalam realitas kehidupan sehari-hari.[16] Kata al-karimah biasa digunakan untuk perbuatan yang terpuji dalam sekala besar. Seperti menafkahkan hartanya dijalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan lainnya.
Selanjutnya, adalah kata al-birr,[17] dipakai untuk menunjuk pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut bisa dipakai untuk sifat Allah dan bisa untuk sifat manusia. Kalau kata tersebut dipakai untuk sifat Allah, maka maksudnya bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar. Kemudian kalau dipakai untuk manusia,  maka yang dimaksud adalah untuk ketaatan dan ketundukan seorang hamba. Seperti pada ayat[18]QS. Al-Baqoroh, 2:177
Penjelasan al-birr dalam hadis juga disebutkan, yaitu ada salah seorang sahabat Nabi SAW bernama Wabishah bin Ma`bad berkunjung kepada Nabi SAW. Beliau menyapa dengan bersabda:
Engkau datang menanyakan tentang al-birr (kebaikan) ? ” Benar, wahai Rasul” jawab Wabishah, “Tanyailah hatimu!” al-birr adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tentram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.
 Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan al-birr dengan sabdanya:
Al-birr adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang beredar dihatimu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya. (HR. Ahmad)
Dalam hadis tersebut kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak terpuji, ini merupakan kebalikan dari dosa.[19] Jadi al-birr artinya akhlak yang mulia. Dari berbagai istilah kebaikan yang telah disebutkan dalam al-hadis maupun al-Qur`an adalah menunjukkan bahwa penjelasan tentang kebaikan menurut ajaran Islam lebih lengkap dibandingkan  dengan arti kebaikan yang disebutkan sebelumnya. Seperti firman Allah [20]QS. Al-Bayyinah, 98:5.
Dalam hadis juga disebutkan berikut ini,

Segala amal perbuatan akan sah kalau diserta dengan niat, dan semua perbuatan seorang itu dinilai sesuai dengan niatnya. (HR. Buhkari Muslim)
Perbuatan yang dinilai baik dalam Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Qur`an dan Sunnah. Seperti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik kepada kedua orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati  janji, menyayangi anak yatim, amanah, jujur, ikhlas, ridho dan sabar merupakan perbuatan yang baik. Sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Qur`an dan Sunnah. Seperti bersikap membangkang terhadap perintah agama, durhaka kepada ibu bapak, saling bertengkar, dendam, mengingkari janji, curang, khianat, riya, sombong, putus asa dan lain sebagainya[21].Namun demikian al-Quran dan al-Sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua sumber tadi bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal pikiran, adat istiadat dan sebagainya yang dibuat oleh manusia dengan catatan semua itu tetap sejalan dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai aliran sebagaimana disebutkan diatas, dan tertampung dalam istilah etika atau ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada istilah adat istiadat tetap dihargai dan diakui keberadaannya. Ketentuan baik buruk yang terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada dalam al-Qur’an.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik. Aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat istiadat, hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme.
Baik atau buruk itu relatif sekali, karena tergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskan. Dengan demikian nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut bersifat relatif dan subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya.
Ajaran Islam bersumber dari wahyu Allah SWT berupa al-Qur`an yang dalam penjabarannya dicontohkan oleh Sunah Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam mendapatkan perhatian besar. Istilah baik dan buruk menurut Islam harus didasarkan pada petunjuk al-Qur`an dan al-Hadis. Kalau kita perhatikan, istilah baik dan buruk dapat kita jumpai dalam Qur`an maupun Hadis, seperti al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, al-birr, dan azizah.


B.     SARAN
Dalam menjalani kehidupan sekarang ini pembaca disarankan dalam menentukan baik buruknya segala sesuatu berpegang pada Al – qur’an dan As- sunnah karena Al – Quran sebagai pedoman hidup yang berlaku sepanjang masa dan As- Sunnah sebagai penjelas dan penguat Al Qur’an.




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf.Bandung : Pustaka Setia.2010
Hidayat, Nur.Bahan Ajar Akhlak Tasawuf.Yogkarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Sunan Kalijaga.2012
Nur Hidayat.2011.http://arrifaiahmad.blogspot.com/2011/07/hand-out-akhlaq-tasawuf-oleh-nur.html. Diakses pada tanggal 1 November 2013.
Abdurrahman.2011.http://abdurrahmanteh.blogspot.com/2011/04/baik-dan-buruk-menurut-perspektif.html. Diakses pada tanggal 1 November 2013.
Rifki Isma Risma.2013.http://rifkiismarismailblog.wordpress.com/2013/01/20/mengurai-landasan-pengetahuan-filsafat-ontologi/. Diakses pada tanggal 1 November 2013.



[1] Louis Ma`luf, Munjid, al-Maktabah al-Katulikiyah, tt. Beirut, hlm. 198
[2]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.104
[3]   Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.106
[4] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 43
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.107
[6] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 87
[7] Ahmad Amin, Etika ….,  hlm. 92

[8]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.112
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.114
[10] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.116
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.119
[12]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.120
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.120
[14] Qur`an Digital
[15] Qur`an Digital
[16]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.121
[17]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.122
[18] Qur`an Digital
[19]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.12
[20] Qur`an Digital
[21]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf……….., hlm.126

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites