Jumat, 14 Juni 2013

Jual Beli Dalam Islam

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad jual beli untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam hal ini implementasi jual beli dalam kehidupan sehari-hari sangatlah perlu spesifikasi melihat beragamnya car bertransaksi.  Dalam pembahasan makalah kami kali ini akan dijelaskan tentang hokum jual beli dalam islam yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan jual beli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Jual Beli?
2. Bagaimana Hukum Jual Beli?
3. Bagaimana Akad Jual Beli?
4. Bagaimana Syarat Sah Jual Beli?
5. Bagaimana Hikmah dan Manfaat Jual Beli?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Apa Pengertian Jual Beli
2. Mengetahui Bagaimana Hukum Jual Beli
3. Mengetahui Bagaimana Akad Jual Beli
4. Mengetahui Bagaimana Syarat Sah Jual Beli
5. Mengetahui Bagaimana Hikmah dan Manfaat Jual Beli


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli
Secara bahasa, al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.

B. Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas. Allah Ta'ala berfirman :
•     
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan cacat dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya" (HR. Bukhari)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
Adapun mengenai hukum jual beli sebagai berikut:
Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli,
Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga Qodli menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang
Sunah, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkannya.
1. Khiyar
Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli) . Di adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Macam-macam Khiyar.
a. Khiyar Majelis
Khiyar majelis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara 2 perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Sabda Rasulullah SAW ; ” Dua orang yang berjual beli boleh memilih ( akan meneruskan jual beli mereka tau tidak). Selama keduanya  belum bercerai dari tempat akad ( HR. Bukhori dan Muslim)
b. Khiyar Syarat
Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, ” Saya menjual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam 3 hari atau kurang dari 3 hari”. Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya 3 hari 3 malam , terhitung dari waktu ajad. Sabda Rasulullah SAW:” Engkau boleh khiyar dalam segala barng yang telah engkau beli selam 3 hari 3 malam”.( HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
c. Khiyar ’Aibi ( cacat)
Khiyar ’Aibi artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu atau terjadi sesudah akad yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah Ijma yang disepakati oleh ulama mujtahid.
Aisyah telah meriwayatkan, “Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada catatnya lalu ia adukan perkaranya kepada Rasulullah SAW. Keputusan dari beliau budak itu dikembalikan kepada si penjual ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizi ).
Adapun apabila sudah terjadi akad antara penjual dan pembeli namun barang tersebut masih dalam tanggungan si penjual, dan ketika si pembeli menerima barang tersebut dan di dapatinya barang tersebut cacat maka boleh baginya untuk mengembalikan barang tersebut dan meminta uangnya kembali.
2. Jual Beli yang Sah, tetapi Dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, di sini akan di uraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah: 1) menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain, 2). Menyempitkan gerakan pasaran, 3) Merusak ketentraman umum.
Adapun mengenai jual beli yang sah tapi dilarang, sebagai berikut:
a. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan ia tidak menginginkan membeli barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu .
b. Membeli barang yang sudah di beli oleh orang lain yang masih dalam masa khiyar. Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain (sepakat ahli hadis)
c. Mencegat orang-orang yang datang dari desa ke luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar. Rasulullah SAW pernah bersabda : Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar ( sepakat ahli hadits).
d. Membeli barang untuk di tahan agar dapat di jual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum. Rasulullah SAW bersabda :”Tidak ada orang yang menahan arang kecuali orang yang durhaka ( salah) ( HR. Muslim)
e. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya. Allah telah melarang hal ini melalui firmanNya dalam QS. Al Maidah ayat 2 : ”Dan tolong – menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
f. Jual beli yang disertai tipuan. Ini mencakup tipuan yang dilakukan oleh penjual ataupun pembeli, pada barang, ukuran ataupun timbangannya.
Rasulullah SAW bersabda :”Dari Abu Hurairah ,’Bahwasanya Rasulullah SAW pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal di jual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata ”Apakah ini?” jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah , Beliau bersabda,”Mengapa tidak engkau taruh di bagian ats supaya dapat di lihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku” (HR.Muslim)

C. Akad Jual Beli
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "
Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan). Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus.
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah: jual beli Muathoh ada beberapa gambaran.
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

D. Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :
Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.
Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil.
Bagi (Barang) yang di aqad
1. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
2. Yang diaqad baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri..
3. Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "


E. Hikmah dan Manfaat Jual Beli
Banyak manfaaat dan hikmah jual beli, diantaranya :
1. Dapat menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2. Dapat memenuhi kebutuhan atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3. Masing-masing pihak merasa puas.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram(batil).
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
7. Melaksanakan Jual Beli yang benar dalam kehidupan.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta’awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.
Akan tetapi lain halnya apabila di dalam jual beli itu terdapat unsure kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi takaran, dan lainnya. Maka tidak lagi bernilai ibadah, tetapi sebaliknya yaitu perbuatan dosa. Untuk menjadi pedagang yang jujur itu sangat berat, tetapi harus disadari bahwa kecurangan dan kebohongan itu tidak ada gunanya. Jadi usaha yang baik dan jujur itulah yang paling menyenangkan yang nantinya akan mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan dan sekaligus Ridha Allah.

Firman Allah:
     ••              
“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (QS. Al-A’raf: 85)

             
“Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Huud: 84)

     •      
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra: 35)



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Secara bahasa, al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.
Adapun mengenai hukum jual beli sebagai berikut:
Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli,
Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga Qodli menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang
Sunah, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkannya.
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan: Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "; Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan). Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus.
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta”awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membuuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT.RajaGrafindo persada.
Amir, Syarifuddin. 2003. Garis Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana
Djawaini, Dimyauddin. 2007. Pengantar Fiqih Muamalat. Yogyakarta
Khar, Mashur. 1992. Bulughul Maram Buku Pertama. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nawawiah. 1994. Fiqih Islam. Jakarta: Duta Pahala
Sunarto, Achmad. 1991. Fathul qarib. Surabaya: Al-Hidayah
Syafe’i, Rahmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syamsuri. 2005. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI Jakarta: Erlangga
Wahbah Al-Juhaili. 1989. Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Dar Al-Fikr : Rambe

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites