Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Ushul Fiqih Al Hakim

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Al-Hakim (pembuat hukum/Allah SWT) merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, apakah ada yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dan apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat jahat dikenakan sanksi.
Adapu mengenai kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam. Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, yakni Rasul.
Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagaimana yang akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama yaitu:
وَاضِعُ الأحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
الذِى يُدْرِكُ الأحْكَامُ وَيُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”[1]
Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal, ‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
لَاحُكْمَ إلَّا ِللهِ
Artinya: “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”
1.        Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.[2]
2.        Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya haram. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih (buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.
B.       Tahsin dan Taqbih
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih.
1.        Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qabih adalah segala sesuatuu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
2.        Al-Husnu diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaliknya, qabih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan dalam diri seseorang, seperti bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
3.        Al-Husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
4.        Al-Husnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.[3]
Ulama Asy’ariyah (Ahlussunnah wal jamaah) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dalam pengertian ketiga dan keempat di atas bersifat syar’i (secara syara’) dan harus ditentukan oleh syara’ karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara’. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada dzatnya, melainkan pada sesuatu yang bersifat nisbi (relatif).
Ulama Mu’tazilah (aliran teologi Islam yang rasional dan liberal) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu tanpa harus diberitahu oleh syara’. Menurut mereka, sebagian baik dan buruk terletak pada zatnya, dan sebagian yang lain terletak antara manfaat dan mudharatnya.[4]
C.       Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal unutk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:
1.        Menurut Ahlussunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunya syari’at. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT surah al-Isra: 15
        
Artinya: “Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (Rasul) yang membawa risalah ilahi. Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa: 165
…        …
Artinya: “Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa: 165)
Dengan mengemukakan nash di atas, menurut ahlussunah wal jama'ah, akal tidak bisa dijadikan sebagai standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandang buruk oleh akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan segala perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung mamfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudaratan.[5]
Akal sangat besar peranannya sebagai alat umtuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu mwemberi pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berpikir, dan jika sampai kesuatu daerah (masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu memberitahukannya kepada akal. Dengan adanya bantuan wahyu itu akal tidak lagi tinggal dalam kegelapan mengenai masalah yang diluar kemampuannya, seperti masalah-masalah gaib, cara-cara mengerjakan upacara keagamaan, ketentual halal dan haram, dan beberapa ketentuan hukum lainya dalam al-Quran dan Hadits.[6]
Dalam masalah yang seperti ini agama Islam masih memberi kesempatan kepada akal untuk berpikir dan berusaha untuk mencari 'illat dan hikmah terhadap ketetapan-ketetapan syara' seperti yang tersebut di atas.
Dilihat dari segi hokum, usaha menemukan 'illat dan hikmat itu besar sekali artinya untuk pengembangan hukum Islam, terutama dalam mengahadapi masalah-masalah baru yang belum terdapat di masa Rasulullah dan sahabat. Atau tidak terdapat di negeri Arab tetapi terdapat di sini dan di negeri lainya. Itulah lapangan kerja qiyâs atau ra'yu, kadang-kadang ada juga yang menyebutnya dengan ijtihad.[7]
1.        Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah SWT tersebut sebelum syari'at datang. Akal manusia dapat menentukan sesuatu itu baik dan buruk tanpa perantaraan kitab samawi dan rasul. Sesuatu dikatakan baik dan buruknya terletak pada dzatnya. Oleh karena itu baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal. Alas an mereka adalah surat al-Isra (17) ayat 15 yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kata "Rasul" dalam ayat itu berarti akal. Oleh karena itu, makna ayat tersebut bagi mereka adalah "Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal kepada mereka". Menurut mereka secara logika sebagian perbuatan atau perkataan baik, seperti iman dan bersikap benar, merupakan hal yang seharusnya diperbuat manusia.
Dalam persoalan ini, kaum mu'tazilah mempunyai prinsip bahwa al-hasan dan al-qabih merupakan produk akal, bukan berdasarkan pada syara'. Akibat dari prisip dan pendapat ini adalah bahwa orang-orang yang belum sampai kepadanya syari'at dan Rasul dikenalkan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka diberi imbalan oleh Allah SWT. Di samping itu, mereka juga dituntut untruk meninggalkan perbuatan yang dinilai buruk oleh akal mereka dan apabila mereka kerjakan, maka mereka akan mendapat hukuman dari Allah SWT.
Kaum mu'tazilah lebih lanjut berpendapat, hukum yang ditetapkan Allah SWT. Bagi manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh akal karena pada perbuatan itu terdapat mamfaat atau mudharat. Terhadap perbuatan atau perkataan ini, Allah SWT menetapkan hukum bagi manusia, yaitu perintah untuk melaksanakannya apabila baik dan meniggalkannya apabila buruk. Dengan demikian, yang baik menurut pendapat akal dituntut oleh syara' untk mengerjakannya, dan yang mengerjakannya diberi pahala. Sebaliknya, yang buruk dalam pandangan akal dituntut oleh syara' untuk meninggalkannya, dan yang mengerjakannya akan diberi hukuman.[8]
2.        Aliran Maturidiyah
Aliran Maturudiyah (aliran yang termasuk dalam kelompok Ahlusunah waljama'ah) berupaya menengahi kedua pendapat di atas. Menurut mereka, ada perbuatan atau perkataan yang pada dzatnya baik dan ada pula yang buruk. Allah SWT tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada dzatnya adalah baruk, sebagaimana juga Allah SWT tidak melarang suatu perbuatan yang pada dzatnya adalah baik. Terhadap perkataan dan perbuatan lain yang kebaikan dan keburukannya tidak terletak pada dzat perbuatan atau perperkataan itu sendiri syara' mempunyai wewenang untuk menetapkannya. Sampai disini pendapat Maturidiyah sama dengan pendapat Mu'tazilah.
Walaupun demikian, Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan atau tidak wajib ditinggalkan, dan orang yang mengerjakannya dan yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan imbalan semata-mata melalui akal menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh akal semata, tetapi harus berdasarkan pada nash (ayat atau hadis). Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang buruk dan siksa yang ditimpakan atas pelakukanya tidak dapat ditentukan melalui akal saja, tetapi harus didasarkan pada nash. Mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu kewajiban.[9]
Adanya ketentuan norma baik buruk itu untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Maksud didatangkan syari'at supaya terlepas mukallaf dari berbuat sesuatu dari unsur hawa nafsu pribadinya supaya menjadi hamba Allah yang sadar berbuat sesuatu karena Allah. Allah berfirman:
                  
Artinya: “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,  Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nâzi’ât: 40-41)
        
Artinya: “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya rusak binasa.” (QS. Al-Mu’minun: 71).[10]
Menurut pengalaman sejarah, bagwa kemaslahatan keduniaan dan keagamaan tidak dapat dicapai jika masing-masing mengikuti kehendaknya karena dianggapnya baik. Malahan yang terjadi adalah berbagai gejolak fitnah, keonaran, penghancuran, permusuhan, semua itu bertolak belakang dengan kemaslahatan manusia. Karena itu pendapat yang disepakati bahwa memperturutkan kehendak sendiri adalah sifat yang tercela; dan menahan diri untuk menegakkan kemaslahatan duniawi adalah lebih sesuai dengan alasan aqli dan naqli.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bahwasanya secara etimologis AL-HAKIM adalah pembuat, yang menetapkan sumber hukum, dan yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum.
Adapun sumber hukum secara hakikat adalah Allah SWT baik hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu maupun hasil ijtihad sunnah maupun ijmak.
Di kalangan para ulama ushul fiqh, dikenal istilah At-Tahsin wa at-taqbih (menyatakan sesuatu itu baik atau buruk). Sesungguhnya pokok-pokok keutamaan (kebaikan) itu dapat dijangkau oleh akal, karena sesuatu yang ada di dalam suatu kejelekan itu berupa mudharat, sekalipun syara' tidak mengemukakan hal ini.
Perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan pengaruh kecuali dengan menisbahkan (menghubungkan) pada orang yang tidak sampai kepadanya syari'at para Rasul. Sedangkan orang yang sampai kepadanya syari'at para Rasul, maka ukuran baik dan jelek perbuatan itu, dengan menisbahkan kepada mereka, apa yang datang dalam syari'at mereka, bukan apa yang terjangkau oleh akal mereka secara mufakat. Maka apa yang diperintahkan oleh syar'i, ia adalah baik dan dituntut untuk mengerjakan, dan diberi pahala orang yang mengerjakannya. Sedang apa yang dilarang oleh syar'i, ia adalah jelek dan dituntut untuk untuk ditinggalkan, dan disiksa bagi yang mengerjakannya.
Sehingga pada dasarnya seluruh produk fiqih saat ini tidak habis-habisnya, tetapi nalar yang dipergunakan manusia tersebut harus senantiasa bersandar kepada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash.
DAFTAR PUSTAKA
●        Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet I, Jakarta: 1996.
●        Muhammad, Syah Ismail Haji, dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara, cet 2, Jakarta: 1992.
●        Syafe'i Rachmat Dr. MA. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia, cet 3, Bandung: 2007.
●        Wahhab, Khallaf Abdul Dr. Kaidah-kaidah Hukum Islam. CV. Rajawali Pers, cet 2, Jakarta: 1991.
●        Wahhab, Khallaf Syekh, Ilmu Ushul Fiqh. PT. Rineka Cifta, cet 3, Jakarta: 1995.

[1] Prof. Dr. Rachmat Stafe’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 345. 
[2] Ibid., h. 349
[3] Ibid., h. 350. 
[4] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 504.
[5] Rachmat Syafe’i, op.cit., h. 351.  . 
[6] Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah, SH. dkk, Filsafat Hukum Islam,cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) h. 127.
[7] Ibid. 
[8] Abdul Azis Dahlan, op.cit., h.505.
[9] Ibid., h. 505.
[10] Ismail Muhammad Syah, op.cit., h. 128.
[11]11 Ibid.,h. 129.
DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

Strategi Pengajaran dan CBSA

PENDAHULUAN
Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan strategi cara belajar siswa aktif merupakan suatu fenomena, terlepas dari besar kecilnya kadar keaktifan siswa dalam belajar tersebut. Cara belajar siswa aktif perlu dikembangkan, karena cara belajar aktif secara faktual, dapat meningkatkan kadar keaktifan siswa, merupakan suatu kenyataan yang baru muncul dalam belajar mengajar memerlukan suatu penanganan khusus terutama terhadap sifat konservatif para guru  pada umumnya.
Ada beberapa prinsip belajar yang dapat tumbuhnya CBSA, yakni: stimulasi belajar, perhatian dan motivasi,  respon  yang dipelajari, penguatan dan umpan balik, serta pemakaian pemindahan. Berikut ini akan kami jelaskan BAB pembahasan secara umum tentang secara umum tetntang strategi pengajaran dalam strategi CBSA.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Strategi Pengajaran dan CBSA
Istilah strategi sering digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang tidak selalu sama. Dalam konteks pengajaran dengan strategi bisa diaktualkan sebagai suatu pola umum tindakan guru-peserta didik dalam manifestasi aktivitas pengajaran. Kemudian menurut Nana Sudjana (1998) mengatakan: bahwa strategi mengajar (pengajaran) adalah "taktik" yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) tujuan pengajaran (TIK) secara lebih efektif dan efisien. Jadi menurut Nana Sudjana, strategi mengajar pengajaran ada pada pelaksanaan, sebagai tindakan nyata atau perbuatan guru itu sendiri pada saat mengajar berdasarkan pada rambu-rambu pada satuan pelajaran. Dengan kata lain, ia memandang strategi pengajarannya sebagai realisasi desain pengajaran.1[1]
Apakah Cara Belajar Siswa Aktif itu? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperlukan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Nana Sudjana (1998), mengatakan bahwa CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subyek didik terlibat secara intelektual dan emosional sehingga subyek didik betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar.
Menurut Misbah Partika (1987) dikatakan "Cara Belajar Siswa Aktif" adalah proses belajar mengajar yang menggunakan berbagai metode yang menitikberatkan kepada keaktifan yang bersifat fisik, mental, emosional, maupun intelektual untuk mencapai tujuan pendidikan yang berhubungan dengan wawasan kognitif, afektif dan psikomotor secara optimal". 
Menurut A. Kosasih Djahiri (1980) dikatakan, bahwa "CBSA" adalah suatu proses interaksi aktif seluruh potensi manusiawi siswa (emosinal, feeling, pikiran, nilai, moral) secara fungsional dalam mempersonalisasikan suatu tujuan pelajaran yang diinginkan".
Bertitik tolak dari beberapa definisi tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa CBSA merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam proses belajar mengajar dengan menekankan pada keterlibatan kemampuan peserta didik, baik secara fisik, mental, intelektual maupun emosionalnya sehingga diperoleh hasil belajar yang yang berupa keterpaduan antara aspek kognitif, efektif dan psikomotor dalam kesatuan pribadi peserta didik yang utuh seperti yang di inginkan dalam tujuan pendidikan nasional.2[2]
B.       Pengelompokan Strategi Pengajaran
Dalam hal ini ada dua pengelompokan yaitu pengelompokan dari Gagne dan Briggs dengan pengelompokan menurut Yoyce dan Marsya Weil.
1.        Pengelompokan  Gagne dan Briggs:
Kedua pakar ini mengelompokan strategi pengajaran menurut dasarnya ada lima macam/segi:
a.        Pengaturan guru dan peserta didik.
Dari segi pengaturan guru dapat di bedakan; pengajaran oleh seorang guru atau oleh suatu tim pengajar. Dapat pula di bedakan apakah hubungan guru-peserta didik terjadi; tatap muka atau dengan perantara media (cetak atau audivisual).
b.       Struktur efent pengajaran
Struktur event pengajaran ini dapat bersifat "introvent" atau tertutup.
c.        Peranan guru-peserta didik dalam mengolah pesan.
Setiap event pengajaran bertujuan untuk mencapai suatu tujuan ingin menyampaikan sesuatu "pesan" yang dapat berupa pengetahuan, wawasan, skill atau "isi" pengajaran lainya.
Dalam rangka ini ada 2 jenis strategi, yaitu:
●        Pengajaran ekspositorik; pengajaran yang menyampaikan pesan dalam keadaan telah siap.
●        Pengajaran heuristik atau hipotetik; pengajaran yang mengharuskan pengelohan oleh peserta didik sendiri. Dalam strategi pengajaran heuristik meliputi dua sub strategi:
1.        Discovery/penemuan, yaitu para peserta didik diharuskan menemukan prinsip atau hubungan yang sebelumnya tidak diketahuinya yang merupakan akibat dari pengalamn belajarnya yang telah "diatur" secara cermat dan seksama oleh guru.
2.        Inquiry/inkuiri. Dalam sub strategi ini struktur event pengajaran/belajar bersifat extrovert/terbuka sepenuhnya.
1.        Pengelompokan Bruce Joyce dan Marsha Weil.
Penegelompokan ini lebih komprehensip dibanding dengan pengelompokan Gagne dan Briggs sebagai yang diuraikan di depan.
Bruce Joyce dan Marsha Weil mengemukakan empat klarifikasi model-model pengajaran/ mengajar:
a.        Klasifikasi Model-model Interaksi Sosial.
Asumsi yang mendasari adalah: masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial.
Model-model interaksi sosial ini terdiri:
1.        Modal Jurisprodensial
2.        Kerja kelompok.
3.        Inkuirisosial.
4.        Metode laboratorium.
b.       Klasifikasi Model-model Pengulahan Informasi.
Klasifikasi ini berangkat dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia: bagaimana ia menangani stimulasi dari lingkungan, mengolah data, mendeteksi masalah, menyusun konsep, memecahlah masalah dan menggunakan simbol-simbol.
Model-model ini antara lain:
1.        Mengajar Induktip.
2.        Latihan Inkuiri.
3.        Inkuiri dalam IPA.
4.        Pembentukan Konsep.
5.        Model Developmental.
6.        Advance Organizer.
c.        Klasifikasi Model-model Personal-Humanistik.
Klasifikasi model-model ini menempatkan nilai tertinggi pada perkembnagan individu dalam memandang dan membangun realitas, yang memandang manusia terutama sebagai "meeting maker" atau pembuat makna.
Yang termasuk model-model humanistik:
1.        Pengajaran Non-Derektif.
2.        Pertemuan Kelas.
3.        Model Sinetik.
4.        Moel Sistem Konseptual.[3]
A.      CBSA Sebuah Strategi Pembelajaran
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai istilah yang sama maknanya dengan “Student Active Learning (SAL). “CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu merubah dirinya (tingkah laku, cara berpikir dan bersikap) secara lebih efektif dan efesiens.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran CBSA sebagai hal baru. Malahan, dalam teori CBSA merupakan konsekuensi logis dari pengajaran yang semestinya. Dan, untuk memenuhi prinsip-prinsip pengajaran, aktivitas, individualitas, kebebasan, kerjasama dan prinsip pengajaran lainnya, kehadiran strategi CBSA merupakan jawaban tepat dan wajar.[4]
Kadar Cara Belajar Siswa Aktif
Kadar CBSA ditandai oleh semakin banyaknya dan bervariasinya keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Semakin banyak dan semakin beragamnya keaktifan dan keterlibatan siswa, maka semakin tinggi pula kadar ke-CBSA-annya. Sebaliknya, semakin sedikit keaktifan dan semakin sedikitnya keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, maka berarti semakin rendahnya kadar CBSA tersebut.
Kadar CBSA itu dalam rangka sistem belajar mengajar menunjukan ciri-ciri, sebagai berikut:
1.        Pada tingkat masukan, ditandai oleh:
a.        Adanya keterlibatan siswa dala merumuskan kebutuhan pembelajaran sesuai dengan kemampuan, minat, pengalaman, motivasi, aspirasi yang telah dimilikinya sebagai bahan masukan untuk melakukan  kegiatan belajar.  
b.       Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun rancangan belajar dan pembelajaran, yang menjadi acuan baik bagi siswa maupun bagi guru.
2.        Pada tingkat proses, kadar CBSA ditandai oleh:
a.        Adanya keterlibatan siswa secara fisik, mental, emosional, intelektual, dan personal dalam proses belajar.
b.       Adanya berbagai keaktifan siswa mengenal, memahami, menganalisis, berbuat, memutuskan, dan berbagai kegiatan belajar lainya yang mengandung unsur kemandirian yang cukup tinggi.
3.        Pada tingkat produk, kadar CBSA ditandai oleh:
a.        Keterlibatan siswa dalam menilai diri sendiri, menilai teman sekelas.
b.       Keterlibatan siswa secara mandiri mengerjakan tugas, menjawab test, dan mengisi instrument penilaian lainnya yang diajukan oleh guru.
A.      Kebaikan dan Kelemahan CBSA
1.        Kebaikan Cara belajar Siswa Aktitf (CBSA)
Kebaikan-kebaikan Cara belajar Siswa Aktif sebagaimana dikemukakan oleh T. Raka Joni, bahwa:
a.        Prakarta siswa/mahasiswa dalam kegiatan belajar, yang ditujukan melalui keberanian memberikan urung pendapat tanpa secara ekslusif diminta misalnya di dalam diskusi-diskusi, mengemukakan usul dan saran di dalam pendekatan tujuan atau cara kerja kegiatan belajar, kesediaan mencari alat atau sumber dan lain sebagainya.
b.       Keterlibatan mental siswa/mahasiswa di dalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditujukan dengan peningkatan diri kepada tugas kegiatan. Baik secara intelektual maupun secara emosional yang dapat diamati dalam bentuk perhatian serta pikiran siswa/mahasiswa dengan tugas yang telah dihadapi serta komitmennya untuk menyelesaikan tugas tugas tersebut dengan sebaik-bainya.
c.        Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator merupakan sisi lain daripada kadar tinggi prakarsa serta tanggung jawab siswa/mahasiswa di dalam kegiatan belajar sebagaimana di dalam butir satu dan dua.
Jadi kebaikannya pada CBSA adalah kadar kegiatannya lebih diperbanyak. Untuk mendorong siswa belajar mempraktikkan proses-proses intelektual seperti dikemukakan oleh Penulis.
“…mengorganisasi data, mempertanyakan persoalan dan memikirkan secara kritis hubungan di dalam antara gagasan perorangan dengan gagasan orang lain dengan kenyataan situasi”.
2.        Kelemahan CBSA
            Hakekat pendidikan adalah proses kemanusiaan yang hanya dilakukan oleh manusia. Ini berarti bahwa prakarsa dan atnggung jawab belajar ada pada subjek didik.
            Beberapa kelemahan dari CBSA, CBSA ini memiliki beberapa kelemahan antara lain menurut Oemar Hamalik:
a.        Tidak menjamin dalam melaksanakan keputusan. Kendatipun telah tercapai persetujuan atau konsensus, namun keputusan-keputusan ini belum tentu dapat dilaksanakannya.
b.       Diskusi tidak dapat diramalkan, pada mulanya diskusi diorganisasi secara baik tetapi selanjutnya mungkin saja mengarah ketujuan lain, sehingga terjadi (Free Foryal) terutama jika kepemimpinan diskusi tidak produkif.
c.        Memasyarakatkan agar semua siswa memiliki keterampilan berdiskusi yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif.
d.       Membentuk pengaturan fisik (seperti kursi dan meja) dan jadwal kegiatan secara luwes.
Anwar Yasin mengemukakan:
Tidak semua guru di Indonesia ini didukung oleh literature yang cukup kuat dan tidak semua guru mampu menafsirkan dan mengolah informasi Cara Belajar Siswa Aktif dan tepat sesuai dengan misi hakikat Cara Belajar Siswa Aktif yang dimaksud.[5]
BAB III
PENUTUP
Ikhtisar
Strategi pengajaran menurut Dr. Nana Sudjana mengatakan bahwa strategi mengajar (pengajaran) adalah “sebuah taktik” yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar (pengajaran) tujuan pengajaran secara lebih efektif dan efsien. Sedangkan CBSA menurut Misbah Partika bahwa “Cara Belajar Siswa Aktif adalah proses belajar mengajar yang menggunakan berbagai metode yang menitik beratkan kepada keaktifan yang bersifat fisik, mental, emosional, maupun entelektual untuk mencapai tujuan pendidikan yang berhubungan dengan wawasan cognitif, afektif dan psikomotorik.
            Pengelompokan strategi pengajaran disini dibagi menjadi pengelompokkan Gagne and Briggs dan pengelompokkan menurut Yoyce dan Marsya weil
1.        Pengelompokkan Gagne dan Briggs
a.        Pengaturan Gagne dan Briggs
b.       Struktur event pengajaran
c.        Peranan guru-peserta didik dalam mengolah pesan
2.        Pengelompokkan Bruce dan Joyce dan Marsha Weil
a.        Klasifikasi model-model intetraksi sosial
b.       Klasifikasi model-model pengolahan  informasi
c.        Klasifikasi model-model personel-humanistik
CBSA sebagai strategi pengajaran menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subjek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu mengubah dirinya secara lebih efektif dan efesiensi.
Kebaikan CBSA diantaranya adalah bahwa peranan guru lebih banyak sebagai fasilitator merupakan sisi lain daripada kadar tinggi prakarsa serta tnaggungjawab siswa/mahasiswa di dalam kegiatan belajar.
Kekurangan dari CBSA adalah seperti yang dikemukakan Anwar Yasin bahwa idak semua guru di Indonesia ini didukung oleh literature yang cukup kuat dan tidak semua guru mampu menafsirkan dan mengolah informasi Cara Belajar Siswa Aktif dan tepat sesuai dengan misi hakikat Cara Belajar Siswa Aktif yang dimaksud

DAFTAR PUSTAKA
●        Hamalik, Oemar. 1995. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
●        Rohani, Ahmad. 1995. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
●        Subandijah. 1993. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
●        Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar CBSA. Jakarta: Rineka Cipta.

[1] Ahmad Rohani. etc,  Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995) h. 31.
[2] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) h. 112.
[3] Ahmad Rohani. etc, op.cit., h. 34. 
[4] Ibid., h. 57.
[5] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksari, 1995) h. 142.

DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

Tafsir Ilmi

PENDAHULUAN
Al-Quran al-Karim adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan hidayat hukum, syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan itu di dalamnya terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan berbagai kenyataan ilmiah, sehingga memberikan dorongan kepada manusia guna mempelajarinya, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin telah berupaya menciptakan seerat-eratnya antara al-Quran dan Ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat ayat al-Quran: usaha seperti itu ternyata di kemudian hari semakin luas dan tidak dapat disingkat lagi memang telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya dari perkembangan dan corak-corak tafsir yang banyak sekali jumlahnya, satu satunya yaitu tafsir ilmi yang akan kami jelaskan lebih luas dalam isi makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertia Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah tafsir yang penulisnya hendak mengembalikan statement-statement al-Quran pada teori-teori dan terminology-terminologi ilmiah. Penulisnya berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggali berbagai masalah sains dan pandangan pandangan filsafat dari statement statement al-Quran tersebut.[1] Menurut definisi yang lain tafsir ilmi (al-tafsir al-ilmi) ialah penafsiran al-Quran yang pembahasannya menggunakan pendekatan istiah-istilah (trem-trem) ilmiah dalam mengungkapkan al-Quran dan seberapa dapat melahirkan berbagai cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran pemikiran filsafat.[2]
Tafsir ilmu sering disebut dengan tafsir ashori, yaitu tafsir al-Quran yang beraliran ilmiah atau modern. Tafsir ini banyak difokuskan pada bidang ilmu pengetahuan umum. Menurut pendapat mereka al-Quran itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh akal manusia, bahkan lebih dari itu al-Quran mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang yang akan terjadi. Di dalam al-Quran terdapat kaidah kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang dapat kita saksikan fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai suatu yang baru.[3]
B.       Sikap ulama kontemporer terhadap tafsir ilmi
Ulama yang menolak berpendapat bahwa mengaitkan al-Quran dengan teori-teori ilmiah merupaan tidakan yang keliru. Alasan Allah menurunkan al-qur’an bukan untuk menjelaskan teori teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin ilmu dan macam macam pengetahuan mengaitkan al-Qur’an dengan teori teori ilmiah hanya akan mendorong para pendukunya untuk menakwilkan al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah, hal ini tentu saja dapat mereduksi Kemu’jizatan al-Quran, seandainya al-Quran sesuai dengan temuan-temuan ilmiah, dikhawatirkan justru al-Quranlah yang disesuaikan dengan temuan-temuan Ilmiah itu, bukan sebaliknya.[4]
Di antara para ulama yang menolak perkembangan tafsir ilmi adalah:
1.        As-Syatibi (W. 790 H/388 M) dalam buku beliau al- Muwaffaqaat fi ushuli Al-syari’ati.
2.        Ibn Taymiyyah (661-782 H/1262-1327 M)
3.        M.Rasyid Ridha (1282-1354/1865-1935 M)
4.        Mahmud Syaltut (1311-1355 H/1893-1936 M) Tafsir al-Qurani al- Kariimi al-Ajzaa’la ‘Asyarah al- Uula karya beliau.
Ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ilmi berpendapat model penafsiran semacam ini memberi kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah ada dan akan dibentuk dalam diri al-Quran. Al-Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat i’tiqadiah (keyakinan) dan amaliah (perbuatan) akan tetapi juga meliputi semua ilmu-ilmu keduanian (al-‘Ulum al-Dunya) yang beraneka macam jenis bilangannya dan diantara ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ilmu ialah:
1.        Imam Ghazali (450-505 H/1057-1111 M) dalam kitabnya Ihya Ulumuddin dan Jawahir al-Quran.
2.        Imam Jalal al-Din al Syayuti (W 911 H/1505 M) dalam kitabnya al-Itqan fi ulumi al-Quran, juga dalam kitabnya al-Iku’il fi istimbati at-Tanzil, serta kitab Mu’tarakul al-Aqraani fi I’jaazi al- Quran.
3.        Imam Tharthawi jauhari (1287-1358 H/1870-1939 M) dalam kitab al-Jawaahir fii tafsiri al-Qurani al-Karim.
4.        Imam Muhammad Abduh (1265-1323 H/849-1905 M) al-Kitab al-Mubin
5.        imam Fakhru ar-Razi (W. 606 M) dalam kitab tafsir Mifaatuhu al-Ghaibi yang kemudian lebih populer dengan nama al-Tafsiru al-Kabiru.[5]
Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya sikap tidak para ulama terhadap tafsir ilmi. Di antara faktor yang terpentingnya dalam pandangan Hanafi Ahmad adalah keyakinan mereka bahwa al-Quran merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus berkaitan dengan ilmu ilmu alam.[6]
Al-Quran bukanlah kitab kedokteran, arsitektur, atau astronomi namun justru dia kadang membuktikan sunatullah dengan tetap menunjukan pada ilmu pengetahuan tersebut meskipun ilmu itu belum pernah dikenal, ketika al-Quran diturunkan. Dalam konteks firman Allah SWT: “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (Q.S. Al- Alaq: 2) ini ia mengemukakan hewan yang ada dalam sperma dengan alaq. Padahal hewan hewan tersebut tidak akan pernah dilihat kecuali dengan menggunakan mikroskop. Maka ayat semacam ini belum pernah diturunkan pada saat ayat itu diturunkan, juga beratus-ratus tahun setelahnya, sampai ditemukannya mikroskop.[7]
C.       Buku buku tafsir yang berkembang
Lepas dari perbedaan pendirian mufassirin merespon tafsir ilmi, yang pasti tafsir dalam corak pendekatan ilmiah ini belakangan terus berkembang. Di antara buku buku yang mengkhususkan pembahasan pada ayat-ayat ilmu pengetahuan ialah:
1.        Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran (Berbagai Mutiara dalam menafsirkan al-Qur’an) karya Thanthawi Jawhari (1287-1358 H yang terdiri atas 13 jilid, 26 juz, dan 6355 halaman).
2.        Al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Quran (Penafsiran Ilmiah bagi Ayat-ayat Kawniyah dalam al-Quran) karya Hanafi Ahmad, Mishr: Dar Al-fikr.
3.        Tafsir al-Ayat al-Kawniyah (Tafsir Ayat-ayat Kawniyah), sunan Dr. Abdullah syahatah yang diterbitkan di al-Qahirah mishr: Dar al-I’tishom, 1400 H/1980 M.
4.        Al-Isyarat al-Ilmiyyah di al-Quran al-Karim (Sinyal-sinyal ilmiah dalam al-Quran al-Karim) karangan Dr. Muhammad Syawqi al-Fanjari [t.k]: Maktabah Gharib. 1413 H/1992 M.
5.        Al-Quran ilmu pengetahuan dan teknologi, karya Ahmad Bayquni yang diterbitkan oleh penerbit Pana Bakhti Wakaf, 1994.
6.        Kompendium: Himpunan Ayat ayat al-Quran yang berkaitan dengan biologi dan kedokteran, yang di himpun oleh Dr. Mukhtar Na’im, terbitan Gema Insani Press Jakarta, 1996.[8]

BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Bahwa menafsirkan al-Quran dengan menggunakan tafsir ilmiah sangat penting karena al-Quran itu menghimpun ilmu ilmu agama dan pengetahuan umum, yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh akal manusia, bahkan lebih dari itu. Tapi dengan adanya tafsir inipun ada beberapa ulama yang menolaknya, dan ada beberapa ulama juga yang menerimanya dengan alasan mereka masing masing.
            Ada salah satu faktor yang melatarbelakangi sikap tidak simpatik para ulama terhadap tafsir ilmi, bahwa al-Quran merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus dikaitkan dengan ilmu-ilmu alam. Dan diantara para ulama yang tidak simpatik dengan tafsir ilmiah adalah as-Syayuti, Ibn Taymiyyah, M. Rasyid Ridha, dan Muhammad Syaltut. Dan diantara para ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ini ialah Imam al-Ghazali, Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, Imam Thanthawi Jauhari, Imam Muhammad Abdullah dan Imam Fakhru ar-Razi dan ulama.

DAFTAR PUSTAKA
●        Abdussalam, Abdul Majid al-Muhtashib. 1982. Tafsir al-Qur’an Kontemprer. Beirut: PT. Dar al- Bayariq
●        Amin Suma, H. Muh. 2001. Study Ilmu-ilmu al- Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.
●        Syaidali, Ahmad. H Dan Rofi Ahmad. 1997. Ulumul Quran II. Bandung: Pustaka Setia.
●        Anwar, Rosihan. 2001. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka setia.

[1] Abdul Majid Abdussalam Al Muhtasib, Tafsir al-Quran Kontemporer, (Beirut:  Dar Al–Bayariq, 1982) h. 258.
[2] H. Muh Amin Suma, MA, SH. Study Ilmu Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 135.
[3] H. Ahmad Syaidali dan H. Ahmad Rofi, Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka setia, 2001) h. 68-69.
[4] Rosihan Anwar. M.Ag. Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) h. 171.
[5] H. Muh Amin, op.cit., h. 135.
[6] Rosihan Anwar, op.cit., h. 172.
[7] Abdul Majid, op.cit., h. 306.
[8] H. Muh. Amin, op.cit., h. 136-137.
DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

Munakahat dan Waris

PENDAHULUAN
Sekarang ini pergaulan bebas telah merasuk kedalam kehidupan kita, bayi yang tak berdosa berserakan di sana-sini. Ini merupakan pemandangan yang sangat tidak enak. Islam telah mengatur dengan aturan yang sangat sehat, indah dan mensejahterakan umatnya. Bahkan dengan aturan Islam orang yang bukan muslimpun juga merakan dampaknya.
Nikah merupakan jalan keluar yang sangat benar dan sehat. Kerena nikah mengandung hukum-hukum dan peraturan yang dapat membawa manusia kedalam kehidupan yang sejahtera.
Masalah lain dalam kehidupan ini yaitu pembagian harta pusaka yang ditinggalkan oleh si mayit kadang membawa malapetaka yang dapat menghancurkan tali kekerabatan diantara keluarga yang disebabkan oleh kekurangan ilmu pengetahuan terhadap hukum warisan.
Ilmu waris merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqih yang sangat penting dalam kehidupan. Sebab ilmu ini secara tidak langsung membina kerukunan antar keluarga. Dengan ilmu faraidh akan tercipta keluarga harmonis, jauh dari kekerasan, dan mencegah timbulnya kehancuran dalam keluarga.
Melihat kondisi seperti di atas pemakalah mencoba untuk mempelajari dan memahami tentang munakahat (pernikahan) dan faraidh (warisan) dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      MUNAKAHAT (NIKAH)
1.        Pengertian Nikah
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.[1]
Dari segi istilah nikah/perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa nikah ialah suatu ikatan yang menghalalkan dua orang berlawanan jenis dan bukan mahram melakukan persetubuhan, dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya.[2]
2.        Dasar Hukum Nikah
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’, sebagaimana firman Allah SWT:
                          
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisâ: 3)
       ...   
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…” QS. An-Nûr: 32)
Rasulullah SAW bersabda:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; dan barangsiapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih)
Dalam hadits lain dinyatakan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم حَمِدَ الله وأثقف عليه فقال: لَكِنِّي أنا أصَلىِّ وأنامُ و أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (متفق عليه)
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. bahwasanya Nabi SAW memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau berkata: “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perempuaan; barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih).[3]
3.        Hukum Nikah
a.        Mubah atau boleh
Hukum asli pernikahan adalah mubah atau boleh. Artinya setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya, karena Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kebutuhan biologisnya. Dengan pernikahan, kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
b.       Sunnah
Nikah hukumnya sunnah bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat pernikahan, dan berkeinginan untuk menikah, mempunyai kemampuan lahir (memberi nafkah) dan bathin (sehat mental dan rohaninya), serta memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga. Orang yang demikian itu, akan mendapat pahala dari pernikahannya sebab telah menjalankan perintah sunnah.
c.        Wajib
Nikah bagi mereka yang telah mempunyai kemampuan lahir dan bathin, cukup umur, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina maka hukumnya wajib. Misalnya, seorang pemuda yang telah mempunyai penghasilan lumayan setiap bulannya, sehat lahir bathin, dan ia bergaul cukup bebas dengan pacarnya maka baginya wajib segera menikah. Sebab ditakutkan terjerumus kelembah perzinahan dan seks bebas yang mendatangkan dosa besar.
d.       Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi mereka yang belum berkeinginan untuk menikah, belum mempunyai kemampuan yang cukup, dan dikhawatirkan setelah menikah tidak bertanggung jawab atas rumah tangga.
e.        Haram
Nikah juga menjadi haram hukumnya, manakala pernikahan tersebut dimaksudkan untuk menyakiti atau balas dendam terhadap pasangannya, atau menikahi orang atau pasangan yang masih mahram.[4]
4.        Rukun dan Syarat Nikah
a.        Rukun Nikah
1.        Pengantin laki-laki
2.        Pengantin perempuan
3.        Dua saksi
4.        Wali dari pengantin perempuan, atau wali hakim
5.        Shigat (ucapan ijab dan qabul).[5]
b.       Syarat pengantin laki-laki
1.        Tidak dipaksa/terpaksa
2.        Tidak dalam ihram haji atau umrah
3.        Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam)
c.        Syarat-syarat pengantin perempuan
1.        Bukan perempuan yang dalam ‘iddah
2.        Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
3.        Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim
4.        Tidakdalam keadaan ihram haji dan umrah
5.        Bukan perempuan musyrik.[6]
d.       Syarat-syarat wali
1.        Baligh
2.        Berakal
3.        Merdeka
4.        Laki-laki
5.        Islam.[7]
6.        Bersifat adil
e.        Macam-macam wali
Dilihat dari segi latar belakangnya, wali dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.        Wali Mujbir
Adalah wali yang berhak untuk menikahkan perempuan dengan tahap meminta izin terlebih dahulu. Perempuan yang berada dalam kekuasaan walinya adalah perempuan yang masih gadis, sedangkan janda berhak menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
2.        Wali ‘adhal (enggan)
Adalah wali yang menolak untuk menikahkan seorang perempuan yang mencegah kewaliannya.
3.        Wali hakim
Adalah seorang penguasa yang menjadi wali terhadap perempuan yang mempunyai wali tetapi ‘adhal, atau memang karena tidak mempunyai wali.
f.         Tertib wali menurut pendapat Imam Syafi’i yang dianut oleh umat Islam Indonesia adalah:
1.        Ayah
2.        Kakek dan seterusnya ke atas
3.        Saudara laki-laki kandung
4.        Kemenakan laki-laki seayah
5.        Paman kandung
6.        Saudara sepepu
7.        Paman seayah
8.        Saudara sepupu laki-laki kandung
9.        Saudara sepupu laki-laki seayah
10.     Sultan/hakim
11.     Orang yang ditunjuk oleh mempelai bersangkutan
g.       Syarat-syarat saksi
1.        Laki-laki
2.        Beragama Islam
3.        Akil baligh
4.        Mendengar
5.        Bisa berbicara dan melihat
6.        Waras (berakal)
7.        Adil.[8]
5.        Mahar (Maskawin)
Mahar adalah suatu pemberian yan diwajibkan atas suami untuk istrinya dengan sebab aqad atau persetubuhan.[9] Maskawin hukumnya wajib, tapi menyebutkannya dalam nikah hukumnya sunat. Firman Allah SWT dalam al-Quran:
    ...   
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib…” (QS. An-Nisa: 4).[10]
Ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu:
a.        Mahar Musamma
Mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Kalau istri menghendaki tunai, maka suami harus membayar setelah akad pernikahan dilaksanakan, tetapi jika ditangguhkan mahar harus dibayar ketika perceraian terjadi.
b.       Mahar Mitsil
Mahar mitsil atau mahar sebanding adalah mahar yang besarnya tidak ditentukan, tetapi dibayar secara pantas oleh suami dengan kedudukan istri dan kemampuan serta kedudukan suami.[11]
6.        Walimatul ‘Urs
Al-Walîmah berasal dari lafazh “walama” artinya berkumpul. Adapun walimatul ‘urs pengertiannya ialah menjamu para tamu yang diundang dalam upacara perkawinan seseorang.
Hadits Nabi yang memerintahkan untuk melaksanakan walimatul ‘urs antara lain, hadits Anas riwayat Bukhari dan Muslim:
ما أولم رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على شيْءٍ مِنْ نِسَآءِهِ, ما أوْلِمْ عَنْ زَيْنَبَ, أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Rasulullah SAW tidak pernah mengadakan walimah dalam perkawinan dengan istri-istrinya, beliau tidak melaksanakan walimah dengan istrinya Zainab (namun beliau bersabda): “Berwalimahlah walau hanya dengan seekor kambing.”[12]
a.        Menghadiri walimatul ‘urs
Menghadiri undangan walimatul ‘urs, kalau kita sanggup, wajib hukumnya, dan kalau tidak sanggup juga lebih baik datang. Sabda Nabi SAW:
مَنْ دُعِئَ الَى وَلِيْمَةٍ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخارى)
Artinya: “Siapa yang diundang ke walimah maka datanglah!” (HR. Bukhari)
مَنْ لم يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Siapa yang tidak menghadiri walimatul ‘urs sungguh telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.(HR. Muslim)
Sedang menghadiri pesta yang lain (bukan pengantin) lebih baik datang. Wajib menghadiri undangan walimatul ‘urs dengan ketentuan:
1.        Undangan itu umum, semua keluarga, tetangga, orang-orang yang kaya dan miskin turut serta diundang.
2.        Pengundang datang sendiri atau wakilnya.
3.        Kedatangannya tidak ada khawatir akan kezhaliman.
4.        Ditempatkan dengan orang yang sejajar.
5.        Dalam walimah itu tidak ada perbuatan munkar, seperti minuman-minuman keras.
6.        Mengunjungi di hari yang pertama (andaikan walimah diadakan beberapa hari).
7.        Yang mengundang harus orang Islam.[13]
b.       Waktu walimah
Waktu mengadakan walimah amat bergantung kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu temapt pada suatu masa tertentu, walimah dapat diadakan pada waktu akad.
7.        Al-Khitbah (Lamaran)
Al-Khitbah berasal dari lafazh khatiba, yakhtibu, khitbatun. Tejemahannya ialah lamaran atau pinangan.
Al-Khitbah ialah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya menurut cara-cara yang berlaku dikalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khitbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya.
Khitbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah:
                                                     
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dari nash di atas tentang khitbah, mengandung hukum-hukum sebagai berikut:
a.        Tidak boleh meminang wanita yang beriddah raj’i karena statusnya masih menjadi istri orang. Tetapi wanita yang beriddah ba’in boleh dipinang secara ta’ridh (sindiran) dan tidak boleh dipinang secara sharih (terang-terangan).
b.       Tidaklah boleh meminang wanita yang dalam pinangan orang lain, kecuali kalau sudah pasti ditinggalkan peminang pertama atau sudah pasti ditolak oleh pihak wanita. Sebagian ahli fiqih membolehkan pinangan atas wanita yang sudah dipinang orang lain apabila peminang pertama adalah orang yang fasiq, karena hal itu dilakukan untuk menghindari wanita jatuh dalam genggaman laki-laki yang cacat akhlaknya.
c.        Dalam meminang dibolehkan (dipensasi) melihat wanita secara bebas, yang secara umum dilarang, hal ini berdasarkan surah An-Nûr ayat 31:
     ...   
Artinya: “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Menurut Madzhab Jumhur melihat wanita yang bakal dipinang adalah suatu anjuran dalam syara’ hingga batas muka dan telapak tangan, tetapi madzhab Auza’iy dibolehkan melihat seluruh badan.
Perselisihan pendapat ini disebabkan penafsiran umum dari hadits:
فَلْيَنْظُرْ مِنْهَا الى ما يَدْعُوْهُ الى نِكَحِهَا
Artinya: “Lihatlah wanita yang dilamar sampai batas yang mendorong untuk menikahinya.”
Menurut pengertian yang luas, kata-kata “lihatlah wanita itu” tidak hanya melihat dengan mata secara lahiriyah, tetapi mengandung makna meneliti keadaannya secara keseluruhan terutama agamanya dan kepribadiannya.[14]
Meminang itu ada 2 macam:
1.        Shariih (terang-terangan) - (الصريح)
Meminang dengan memakai kata-kata yang jelas terang untuk maksud meminang disebut Shariih (terang-terangan)
Misalnya berkata: “Sungguh-sungguh aku ingin kawin dengan engkau” ((أريدُ أنْ اُنْكِحِك  atau : “Sudikah engkau kawin denganku” dan sebagainya.
Wanita yang sedang ‘iddah (masa menunggu) karena ditinggal mati suaminya maka wanita tadi haram dipinang secara terang-teranagan.
Sebab dikhawatirkan wanita tadi berdusta tentang ‘iddahnya, belum habis ‘iddahnya tetapi mungkin lantas mengaku sudah habis ‘iddahnya karena tergesa-gesa ingin menikah.
Misalnya laki-laki berkata:
أريدُ أنْ اُنْكِحَك وإذا انْقَضَتْ عِدَّتُكِ نَكَحْتُكِ
Bagi wanita yang sedang beriddah kata-kata semacam itu dipandang kurang sopan juga.
2.        Kinaayah atau Ta’ridh (dengan kata-kata sindiran) – (التعريض-الكناية)
Meminang dengan kata sindiran, (tidak jelas untuk maksud meminang) disebut Kinaayah (sindiran).
Misalnya seorang berkata: رُبََّّ رَاغِبٍ فِيْكِ
Banyak orang yang cinta padamu. Atau banyak orang yang ingin hidup bersama-samamu dalam satu rumah tangga. (Berarti saya termasuk orang yang banyak itu).
Atau berkata:
“Maukah engkau kujadikan teman hidupku yang sangat istimewa melebihi teman biasa” dan lain sebagainya.
Meminang dengan kata-kata sindiran ini:
HARAM       – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Raj’i.
BOLEH        – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Bain atau karena ditinggal mati oleh suami.
Jadi boleh meminang dengan jalan sindiran asal wanita tadi tidak dalam thalaq raj’i, karena dalam thalaq raj’i hak penuh ada pada suami, untuk memberi kesempatan kepada suaminya, mungkin ia meruju’ kembali kepada istrinya itu.
Oleh karena itu haram meminang wanita yang dalam ‘iddag daripada thalaq raj’i baik dengan terang-terangan maupun dengan sindiran.[15]
8.        Macam-Macam Nikah Terlarang
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a.        Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah (nikah mu’aqqat) yaitu pernikahan yang dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang, karena untuk melepaskan hawa nafsu saja. Pernikahan mut’ah disebut dengan nikah kontrak. Artinya pernikahan yang ditentukan masa (waktunya) pada saat akad. Apabila telah habis masanya, maka pernikahan tersebut selesai dengan sendirinya.
b.       Nikah Tahlil
Menurut bahasa tahlil berarti penghalalan. Sedangkan menurut istilah pernikahan yang bertujuan untuk penghalalan, misalnya pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan dalam nikah dengan bekas suaminya, karena telah bertalaq tiga. Pernikahan seperti ini haram hukumnya.
c.        Nikah Syighar
Secara bahasa syighar dapat berarti mengusir atau membuang. Sedangkan secara istilah nikah syighar adalah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tertentu diikuti dengan pernikahan antara bapak perempuan itu dengan anak perempuan laki-laki yang menikah dengan anak perempuannya.
d.       Nikah antar pemeluk agama
Pernikahan yang terjadi anatara orang yang beragama Islam dengan orang yang tidak beragama Islam.
9.        Hak dan Kewajiban Suami Istri
Di dalam menguraikan anatar hak dan kewajibanseorang suami dan istri maka dapat dikaji melalui fungsi dan hakekat antara keduanya. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, sedagkan hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh seseorang. Anatar hak dan kewajiban sangat berhubungan erat. Untuk memperoleh gambaran tentang berbagai hak dan kewajiban seorang suami dan istri dapat diketahui melalui uraian berikut:
a.        Kewajiban seorang suami
1.        Memberi nafkah
2.        Mempergauli istri secara ma’ruf (layak dan patut)
3.        Memimpin keluarga
4.        Mendidik keluarga
b.       Kewajiban seorang istri
1.        Mentaati suami
2.        Menjaga kehormatan
3.        Mengatur rumah tangga
4.        Mendidik anak
10.     Hikmah Perkawinan
Didalam mengadakan perkawinan bagi umat Islam akan dapat mendatangkan hikmah (manfaat) sebagai berikut:
a.        Hikmah bagi yang melakukan
Bagi umat Islam yang mampu melakukan perkawinan akan mendapatkan hikmah atau manfaat sebagai berikut:
1.        Dapat mententramkan jiwa
2.        Dapat menghindarkan maksiat
3.        Dapat melestarikan keturunan
b.       Hikmah bagi masyarakat (umat manusia secara luas)
1.        Dapat melahirkan generasi-generasi penerus masa depan yang sah dan berkualitas
2.        Dapat menghindarkan maksiat
3.        Dapat mewujudkan masyarakat yang tentram dan aman.
B.       FARAIDH (WARIS)
1.        Pengertian Faraidh
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan).[16] Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
2.        Sumber Hukum Waris
a.        al-Quran
Dalam ayat al-Quran ditegaskan secara definitif tentang ketentuan bagian ahli waris yang disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau bagian yang telah ditentukan, dan bagian sisa (ashabah), serta orang yang tidak termasuk ahli waris adalah Q.S An-Nisa ayat 11 dan 12.
b.       As-Sunnah
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسلِمَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: "Orang muslim tak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tak berhak mewarisi orang muslim" (HR. Bukhari dan Muslim).
c.        Ijma
d.       Ijtihad.[17]
3.        Peninggalan (Tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang mati) secara muthlak. Menurut madzhab Maliki, syafi'i dan Hambali, peninggalan itu meliputi semua harta dan hak yang ditinggalkan oleh si mayit, baik harta benda maupun bukan harta benda.
4.        Rukun Waris
a.        Pewaris (al-waarits)
b.       Orang yang mewariskan (al-muwarrits)
c.        Harta yang diwariskan (al-mauruuts).[18]
5.        Syarat-syarat Pewaris
a.        Seorang meninggal secara hakiki atau secara hukum
b.       Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meninggal
c.        Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.[19]
6.        Sebab-sebab Menerima Warisan
a.        Hubungan Keluarga (Nasab Hakiki)
b.       Hubungan Perkawinan (Persemendaan)
c.        Hubungan Wala (Nasab Hukmi) yaitu hubungan sebab memerdekakan budak/hamba sahaya
d.       Hubungan Agama.[20]
7.        Halangan-halangan Pewarisan
a.        Perbudakan (hamba sahaya)
b.       Pembunuhan  dengan sengaja yang diharamkan
c.        Berlainan agama
d.       Murtad.[21]
8.        Hak-hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Pembagian Waris
a.        Biaya perawatan jenazah (wafâ al-janâzah)
b.       Pelunasan hutang (wafâ al-duyun)
c.        Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaya)
9.        Ahli Waris dan Macam-macamnya
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a.        Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.       Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
●        Perkawinan yang sah (al-musabarah)
●        Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
Apabila dilahat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
a.        Ahli waris asbab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya yang telah ditentukan dalam al-Quran seperti 1/2, 1/3, atau 1/6.
b.       Ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah warisan dibagikan kepada ahli waris asbab al-furudh.
c.        Ahli waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sebenarnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut al-Quran, tidak berhak menerima bagian warisan.
Dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
a.        Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau garis keturunannya yang menyebabkan dapat menghalangi ahli waris yang lain.
b.       Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang yang terhalang oleh waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Ahli waris berdasarkan nasabiyah yang tediri dari 25 orang, yaitu terdiri 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan, dapat dikelompokan menurut tingkatan atau kepada kekerabatanya:
1.        Furu al-waris, yaitu kelompok anak keturunan al-muwarris
a.        Anak perempuan
b.       Cucu perempuan garis laki-laki
c.        Anak laki-laki
d.       Cucu laki-laki garis laki-laki
2.        Ushul al-waris, yaitu ahli waris leluhur al-muwarris
a.        Bapak
b.       Ibu
c.        Kakek garis bapak
d.       Nenek garis ibu
3.        Al-hawasyi, yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunannya.
a.        Saudara perempuan sekandung
b.       Saudara perempuan seayah
c.        Saudara perempuan seibu
d.       Saudara laki-laki sekandung
e.        Saudara laki-laki seayah
f.         Saudara laki-laki seibu
g.       Anak laki-laki saudara sekandung
h.       Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i.         Paman sekandung
j.         Paman seayah
k.        Anak paman sekandung
l.         Anak paman seayah.
Apabila ke-15 orang dari pihak laki-laki semuanya ada maka yang berhak mendapat warisan, yaitu suami, ayah, dan anak laki-laki, dan apabila dari pihak perempuan ke-10 orangnya ada maka yang berhak mendapat warisan hanya: istri anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan saudara perempuan sekandung. Dan jika ke-25 orangnya ada maka yang berhak/yang tidak bisa gugur dalam kondisi apapun, yaitu:
a.        Suami atau istri
b.       Ayah
c.        Ibu
d.       Anak laki-laki
e.        Anak perempuan.[22]
Ahli Waris dan Furudhul Muqaddarah
Furudhul muqaddarah adalah bagian berhak didapatkan ahli waris seuai ketentuan nash al-Quran dan as-Sunnah yaitu, 1/2, 1/3, 1/4, 2/3,1/6, 1/8 serta apabila ada sisa harta warisan dinamakan ashabah.
Adapun bagian-bagiannya sebagai berikut:
a.        Anak perempuan, berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.
●        2/3 jika jika dua orang atau lebih, tidak bersama anak laki-laki.
b.       Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, atau tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjîb).
●        2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan cucu laki-laki dan tidak mahjîb.
●        1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjîb. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka dia tidak mendapatkan bagian.
c.        Ibu, berhak menerima bagian:
●        1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far'u wâris) atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/6 jikla ada far'u wâris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
●        1/3 sisa, jika ada far'u wâris dalam masalah garawain, yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari: suami/ istri, ibu dan bapak.
d.       Bapak berhak menerima bagian:
●        1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
●        1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki;
Jika bapak bersama ibu, maka;
●        Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami dan atau istri.
e.        Nenek, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
●        1/6 jika seorang;
●        1/6 dibagirata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.         Kakek, jika tidak mahjûb, berhak menerima bagian:
●        1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
●        1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki;
●        1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain;
●        1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara-saudara).
g.       Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
●        2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
h.       Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah;
●        2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
●        1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap (takmilah li al- sulusain)
i.         Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
●        1/6 jika seorang
●        1/3 jika dua orang atau lebih;
●        Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan masalah musyârakah.
j.         Suami berhak menerima bagian:
●        1/2 jika istrinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu;
●        1/4 jika istrinya yang  meninggal mempunyai anak atau cucu.
k.        Istri berhak menerima bagian;
●        1/4 jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
●        1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.[23]
10.     Hijab
Hijab menurut bahsa adalah halangan sedangkan menurut istilah ilmu mewaris hijab ialah halangan ahli waris untuk menerima warisankarena adanya sebab-sebab tertentu.[24] Hijab terbagi 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a.        Hijab Hirman
Hijâb Hirmân, yaitu menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.
Ahli waris yang terhalang secara total oleh ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dapat dirinci sebagai berikut:
Hâjib-Mahjûb Hirmân
No
Ahli Waris
Bagian
Terhalang oleh
Menjadi
1
Kakek
1/6
Ayah
-
2
Nenek garis ibu
1/6
Ibu
-
3
Nenek garis ayah
1/6
Ayah dan ibu
-
4
Cucu laki2 grs laki2
'asabah
Anak laki-laki
-
5
Cucu pr. grs laki2
Cucu pr. grs laki2 2+
1/2
2/3
anak laki-laki
anak pr. 2 +
-
6
Saudara laki2 skdng
Saudara pr. skdng
Saudara pr.  skdng 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki-laki, cucu laki-laki
dan ayah
-
7
saudara seayah laki2
saudara pr. seayah
saudara pr. seayah 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki2, cucu laki-laki, ayah, sdr. laki-laki skdng, saudar pr. sekandung. Bersama anak/cucu pr.
-
8
Saudara lk2/pr seibu
Saudara lk2/pr seibu 2+
1/6
1/3
anak lk. dan anak pr. Cucu lk dan cucu pr. Ayah dan kakek
-
9
Anak lk2 sdr lk2 skdng
'asabah
anak laki, cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, saudara pr. skndg atau seayah yang menerima’asabah ma’a al-ghair
-
10
Anak lk2 sdr. seayah
'asabah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
11
Paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
12
Paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung
-
13
Anak laki-laki paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah
-
14
Anak laki-laki paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah, dan anak laki-laki paman skndg.
-
b.       Hijab Nuqshan
Adalah hijab yang menghalangi ahli waris sehingga bagiannya berkurang atau berganti/pindah statusnya.
Hâjib Mahjûb Nuqshân
No
Ahli Waris
Bagian
Terkurangi oleh
Menjadi
1
ibu
1/3
1/3
anak atau cucu
2 saudara atau lebih
1/6
1/6
2
bapak
'asabah
'asabah
anak laki-laki
anak perempuan
1/6
1/6 + 'asabah
3
isteri
1/4
anak atau cucu
1/8
4
suami
1/2
anak atau cucu
1/4
5
saudara pr.skd/ seayah
saudara pr.skd/ seayah
1/2
2/3
anak atau cucu perempuan
anak atau cucu perempuan
'amg
'amg
6
cucu pr. grs.laki-laki
1/2
seorang anak perempuan
1/6
7
saudara pr seayah
1/2
seorang saudara pr. sekandung
1/6[25]
11.     'Asabah
'Asabah adalah ahli waris yang mendapat bagian diluar ketentuan zawil furud. Adakalanya dapat mengambil seluruh warisan apabila mayit tidak mempunyai ahli waris dari zawil furud, atau mengambil seluruh sisa harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furud.
'Asabah terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a.        'Asabah binnafsi
‘Asabah binnafsi ialah ahli waris yang menjadi ‘asabah karena diri mereka sendiri, yang berjumlah empat belas orang, yaitu:
1.        Anak laki-laki
2.        Cucu laki-laki dari anak laki
3.        Ayah
4.        Kakek dari pihak ayah
5.        Saudara laki-laki sekandung
6.        Saudara laki-laki seayah
7.        Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8.        Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9.        Paman sekandung
10.     Paman seayah
11.     Anak laki-laki paman sekandung
12.     Anak laki-laki paman seayah
13.     Laki-laki yang memerdekakan hamba
14.     Perempuan yang memerdekakan hamba
b.       ‘Asabah bilghair
‘Asabah bilghair ialah perempuan-perempuan yang menjadi ‘asabah karena adanya laki-laki yang menjadi ‘asabah bersama-sama. Pembagian ‘asabah bilghair antara laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Berdasarkan firman Allah:
           
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
Adapun yang termasuk ‘asabah bilghair hanya ada empat orang, yaitu:
1.        Anak perempuan dengan adanya anak laki-laki;
2.        Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki;
3.        Saudara perempuan sekandung dengan adanya saudara laki-laki sekandung;
4.        Saudara perempuan seayah dengan adanya saudara laki-laki seayah.
c.        ‘Asabah ma’a al-ghair
‘Asabah ma’a al-ghair ialah perempuan-perempuan yang dalam menerima ‘usubahnya memerlukan kepada orang lain, sedangkan orang itu tidak berserikat di dalam menerima ‘usubah tersebut.
‘Asabah ma’a al-ghair hanya ada dua kelompok yaitu:
1.        Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih).
2.        Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Contoh pembagian warisan:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris yaitu seorang istri, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang paman. Harta warisan sebanyak Rp. 48.000.000; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 24
Ahli Waris      Furud     Asal masalah                      Bagian Warisan
Istri                     1/8                3                 3/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
Ibu                      1/6                4                 4/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Anak laki-laki   Asabah            17                     Asabah (sisa harta) = Rp 34.000.000,00
Paman              Mahjub
12.     Permasalahan Dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan
a.        Cara Al ‘Aul
Para ulama mawaris mendefinisikan ‘Aul yaitu jika jumlah bagian ahli waris lebih banyak daripada Asal Masalah. Misalnya di antara ahli waris ada yang mendapat bagian seperdua (1/2) seperti suami, seperenam (1/6) seperti ibu, dua pertiga (2/3) seperti dua saudara perempuan sekandung, maka jumlah dari 1/2 + 1/6 + 2/3 lebih banyak daripada Asal Masalah, yaitu 6.
Seorang wanita meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung. Harta warisan sejumlah Rp 7.000.000,00; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris                                                Furud              Bilangan
Istri                                                               1/2                      3
2 saudara perempuan sekandugn                    2/3                      4
Jumlah                                                             -                        7
Karena jumlah bagian ahli waris adalah 7, berarti lebih banyak daripada asal maslahnya yaitu 6, sehingga terjadilah masalah ‘Aul dari 6 ke 7, sehingga pembagiannnya sebagai berikut:
●        Suami
3/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
●        2 saudara perempuan kandung:
4/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
b.       Cara Ar-Rad
Menurut para ulama mawaris, Ar-Rad ialah mengembalikan sisa warisan kepada para ahli waris setelah pembagian warisan sesuai dengan furud mereka masing-masing. Hal itu dapat terjadi apabila jumlah bagian ahli waris lebih sedikit daripada Asal Masalah. Misalnya dari ahli waris ada yang mendapat bagian sepertiga seperti ibu, dan seperdua seperti saudara perempuan sekandung. Jumlah dari 1/2  + 1/3 = 5/6. Jumlah Asal Masalah 6, adalah lebih besar daripada jumlah bagian yang hanya 5. Karena jumlah bagian ahli waris lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-rad.
Contoh:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari ibu dan anak perempuan. Harta yang ditinggalkan berjumlah Rp 6.000.000,00. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Ibu                                     1/6                               1
Anak Perempuan                1/2                               3
Jumlah                                                                    4
Karena jumlah bagian lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-Rad. Jadi bagian masing-masing adalah:
●        Ibu
1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
●        Anak perempuan
3/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
Jumlah                          = Rp 4.000.000,00
●        Sisa harta                     = Rp 2.000.000,00
Sisa harta tersebut dapat dibagikan kepada kedua ahli waris di atas, yakni ibu dan anak perempuan dengan menggunakan salah satu cara berikut ini:
●        Ibu
            1/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 500.000,00
●        Anak perempuan
            3/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        Ibu
            1/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        Anak perempuan kandung
            3/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
c.        Masalah Garawain
Garawain adalah dua masalah yang sangat yang sangat terang. Garawain disebut juga Masalah Umariyah.
Masalah garawain dapat terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ibu dan ayah, atau istri, ibu dan ayah. Untuk lebih memahami dan dapat mempraktikkan masalah garawain, hendaknya diperhatikan contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorag meninggal dunia, dan ahli warisnya terdiri dari suami, ibu dan ayah. Harta warisan sebanyak Rp. 12.000.000,00; Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Suami                                 1/2                               3
Ibu                                     1/3                               2
Ayah                                  Asabah                         1
Jadi bagian masing-masing adalah:
●        Suami                           : 3/6 x Rp 12.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
●        Ibu                               : 1/3 x Rp 12.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
●        Ayah                            : 1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Perhitungan tersebut sesuai ketentuan zawil furud.
d.       Masalah Musyarakah
Musyarakah sering juga disebut musytarakah, hajariyah, dan himariyah, yang mengandung arti bergabung, bersekutu, atau berserikat. Musyarakah dapat terjadi apabila saudara kandung berserikat dengan saudara seibu. Untuk lebih jelas jelasnya, perhatikan contoh kasus musyarakah berikut ini:
Contoh:
Seorang meniggal dunia dengan ahli waris terdir dari suami, ibu, 1 saudara laki-laki sekandung, dan 2 saudara laki-laki seibu. Harta peniggalan sebesar Rp 9.000.000,00. pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Suami                                 1/2                               3
Ibu                                     1/6                               1
2 saudara lk. seibu              1/3                               2
1 saudara lk. skndg Asabah                         -
Jadi pembagiannya adalah:
●        Suami   : 3/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
●        Ibu                               : 1/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        2 saudara seibu             : 1/3 x Rp 9.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
e.        Masalah Akhdariyah
                  Akhdariyah menurut bahasa artinya menyusahkan, menyulitkan, atau mengeruhkan. Sedangkan menurut istilah ilmu mawaris, Akhdariyah ialah adanya kakek yang menyulitkan dalam pembagian waris terhadap saudara perempuan. Tanpa adanya kakek, saudara perempuan mendapat bagian seperdua, tapi dengan adanya kakek, bagian saudara perempuan gugur. (Lihat Hijab Hirman). Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari, suami, ibu, saudara perempuan sekandung dan kakek. Harta peninggalan berjumlah Rp. 18.000.000,00. Pembagiannya adalah:
●        Suami
      3/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
●        Ibu
      2/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
●        Kakek dan saudara perempuan sekandung
      4/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Pembagian kakek dan saudara perempuan sekandung adalah 2:1, sehingga menjadi
●        Kakek
      2/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 5.333.333,00
●        Saudara perempuan kandung
      1/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 2.666.666,00
13.     Hikmah Pembagian Warisan
a.        Mewujutkan keadilan berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, untuk mencapai kebahagian yang hakiki.
b.       Menghindari terjadinya persengketaan masalah warisan diantara para ahli warisan.
c.        Menjaga hubungan tali kekeluargaan diantara keluarga muslim.
d.       Membentuk kepribadian yang jujur, adil, disiplin, dan bertanggung jawab.
e.        Menghindarkan terjadinya fitnah diantara sesama ahli waris.
f.         Melestarikan sunnah Rasulullah.[26]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a.        Nikah Mut’ah
b.       Nikah Syighar
c.        Nikah Tahlil
d.       Nikah antar pemeluk agama
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a.        Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.       Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
●        Perkawinan yang sah (al-musabarah)
●        Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
'Asabah terbagi tiga:
a.        'Asabah binnafsi
b.       ‘Asabah bilghair
c.        ‘Asabah ma’a al-ghair
DAFTAR PUSTAKA
●        Amir, Ustadz Ja’far, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th.
●        Ash-Shabuni , Syekh Muh. Ali, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th.
●        As’ad, Mahrus  dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005.
●        Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.
●        Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984.
●        Idris, H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
●        Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.
●        Munir, A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
●        Rifa’i, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th..
●        Rifai , H. Moh. dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001.
●        Rofiq ,Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

[1] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th. h. 9.
[2] Mahrus As’ad dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005. h. 48.
[3] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th. h. 434-455.
[4] Mahrus As’Ad dan A. Wahid SY, op.cit., h. 43.
[5] Ustadz Ja’far Amir, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th. h 252.
[6] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 456.
[7] A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. h. 263.
[8] Moh. Rifai’i, op.cit., h. 461. 
[9] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984. h. 48.
[10] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 462.
[11] A. Munir dan Sudarsono, op.cit.,h. 277-278.
[12] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 46.
[13] H. Abdul Fatah Idris dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. h. 219-220.
[14] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 15-18.
[15] Ustadz Ja’far Amir, op.cit., h. 238-239.
[16] Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. h. 235.
[17] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. h. 22-27.
[18] Mudzakir, op.cit., h. 238-240
[19] Syekh Muh. Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th. h. 46
[20] H. Moh. Rifai dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001. h. 145.
[21] Sayyid Sabiq, op.cit., h. 241-242.
[22] Ahmad Rofiq, op.cit., h. 46-64.
[23] Ibid., h. 67-69
[24] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 47.
[25] Ahmad Rafiq, op.cit., h. 90-92.
[26] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 79-89. 

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites