Sabtu, 03 Agustus 2013

Filsafat Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
 
            Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran[1]
            Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi.
            Namun dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistimologis karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistimologi. Teori yang menjelaskan epistimologi akan kita bahas pada halaman berikutnya.
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
            Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah yaitu:
1.        Teori Korespondensi (Correspondence Theory)
Teori pertama adalah teori korespondensi, the correspondence theory of truth yang kadang disebut the accordance theory of truth. Menurut teori ini kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesulitan (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan/pendapat. Pengetahuan itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta yang selaras dengan realitas, yang serasi (correspondence) dengan situasi aktual.
Dengan demikian, kebenaran dapat di definisikan sebagai realitas objektif. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual, antara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.
Teori kerespondensi ini pada umumnya dianut oleh para penganut realisme. Diantara pelopor teori kerespondensi ini adalah Plato, Aristoteles, Indore, Russel, Ramseg dan Tarsva. Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970).
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut :
Kita mengenal dua hal, yaitu pertama pernyataan dan kedua kenyataan. Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Dalam dunia sains, teori ini sangat penting sekali digunakan guna mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang[2]
 
 
 
2.        Teori Koherensi (Coherence Theory)
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan persesuaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian antara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan kita yang dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan idealis. Seperti filosof Britania F.M Bradley (1864-1924). Dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan (judgement) yang baru itu dengan putusan–putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu.
Golongan idealis cenderung untuk memperluas system konsistensi ini dengan memasukkan semua pengalaman yang bersifat konsisten dalam dirinya. kaum idealisme berpegang, kebenaran itu tergantung pada orng yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa melihat keadaan real. Manusia adalah ukuran segala–galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran yang telah dirumuskan oleh kaum idealis.
Beberapa kritik diberikan pada teori ini, diantaranya: pertama, kita tidak dapat membangun system keterpaduan (coherent system) yang salah. Tiori ini tidak dapat membedakan antara kebenaran yang konsisten dengan kekeliruan yang konsisten. Kedua, teori ini bersifat rasionalis dan intelektualis, dan hanya mementingkan hubungan–hubungan logis antara dalil–dalil. Sebagai akibatnya teori ini gagal melengkapi tas/pengujian yang memadai terhadap pikiran dari pengalaman sehari-hari.teori ini tidak hanya cocok untuk matematika murni.[3]
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan “Truth is a systematic coherence” kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis “Truth is consistency” kebenaran adalah konsistensi atau kecocokan.
Mengenai teori konsistensi ini dapatlah kita simpulkan sebagai berikut :
Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui.
Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (Justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (Justifikasi) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.[4]
 
3.        Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)
Kata pragmatisme diambil dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Americana, 15: 683). Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914) filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat (stroh, 1968).[5]
Menurut teori pragmatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut pragmatisme, teore koherensi adalah formal dan rasional. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas.
Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti kita memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah adalah pernyataan yang tidak berguna.
Menurut pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat,dan hipotesis dikatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.
Menurut para pendukung pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat atau hipotesis dikatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.
Para pendukung pragmatisme cenderung memberikan tekanan pada tiga pendekatan, yaitu :
a.        Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan manusia. Kepercayaan kebenaran bukan hanya memberikan kepuasan bagi seluruh sifat dasar manusia, melainkan juga memberi kepuasan pada jangka waktu tertentu.
b.       Bahwa sesuatu itu benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara eksperimen. Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat dan praktik sains modern, baik dalam laboratorium maupun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu suatu kebenaran atau ketidak benaran muncul, maka kita hendaknya mencoba dan mengadakan pembuktiannya.
c.        Bahwa sesuatu itu benar apabila membantu dalam perjuangan hidup bagi eksistensi manusia. Instrumentalisme Dewey menekankan fungsi bagi kehidupan dari ajaran serta ide-idenya.
Untuk mencari kebenaran kaum pragmatis berpaling pada metode sains (ilmiah). Sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alam. Kriteria pragmatisme banyak digunakan oleh ilmuan untuk menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena seperti yang telah dikemukakan di atas, bagi pragmatisme tidak ada kebenaran mutlaq dan abadi.[6]
 
 
BAB III
PENUTUP
 
Simpulan
            Kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi objeknya. Ada beberapa teori yang dapat dijadikan arah untuk menetukan apakah pengetahuan itu salah atau benar yaitu:
1.        Teori korespondensi (Correspondence Theory)
Kebeneran merupakan persesuaian  antara fakta dan situasi nyata
2.        Teori Koheransi (Coherence Theory)
Kebenaran bukan persesuaian antara fakta dengan kenyataan melainkan kesesuaian antara pendapat dan pengetahuan
3.        Teori Progmatis (Progmatism Theory)
Kebenaran tidak dapat bersesuaian dengan kenyataan.
 
 
           
DAFTAR PUSTAKA
 
●        Gazalba, Sidi. Sistematika filsafat. Jakarta: Bulan Bintang 1973.
●        Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003.
●        Sadullah, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2007.
●        Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.

[1] Sidi Gazalba, Sistematika filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang 1973) h. 126.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) h. 112.
[3] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007) h. 33.
[4] Amsal Bakhtiar, loc.cit, hal. 116.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) h. 190.
[6] Uyoh Sadullah, loc.cit., hal. 36.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites