Sabtu, 03 Agustus 2013

Ijma

BAB I
PENDAHULUAN
 
Pada zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar, umat Islam belum berpecah-pecah. Jumlah fuqaha pada masa itu belum banyak sedang kedua beliau itu adalah seorang kepala negara suka bermusyawarat, tidak berbuat sekehendak hatinya dan masing-masing fuqaha diminta pendapatnya di dalam suatu soal. Dengan mudah kita dapat menggambarkan terjadinya ijma’ pada masa keduanya.
Pada masa Abu Bakar dan Umar, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha sahabat berpindah ke negeri Islam yang baru dan telah muncul fuqaha Tabi’in yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan-pertentangan politik, dan sukar dibayangkan dapat terjadinya ijma’.
Kalau sampai pada masa Tabi’in saja, tidak mungkin terjadi ijma’, lebih-lebih lagi pada masa sekarang, dimana para umat Islam dan para ulamanya telah tersebar di seluruh dunia sebab rukunnya ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.          Pengertian ijma’
Menurut bahasa, definisi Ijma’ terbagi dalam dua arti:
1.        Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat: Yunus ayat 71:
                                   
“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)
 
Maksudnya semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh.[1] Dan hadits Rasulullah SAW  yang artinya “Barang siapa yang berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[2]
 
2.        Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan menerangkan keadaan saudara Yusuf a.s.:
                    
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi." (QS. Yusuf: 15)
 
Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun perbedaan kedua arti di atas adalah: yang pertamaboleh dilakukan oleh satu orang tau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.[3]
Dalam istilah ushuliyin:
هو اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى العصر من العصور سعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة
Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.[4]
 
B.           Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Para ulama beselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid  adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid dengan istilah ulama ijma’.[5]
Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
            Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak , meskipun sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.[6]
            Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
            Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan Ahl al-Halli wa al-Aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim berakal dan telah baligh.[7]
            Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
            Ijma’ itu tidak tejadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.[8]
            Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
            Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.[9]
 
C.           Rukun-Rukun Ijma’
1.      أن يوحد فى عصر وقوع الحادثة عدد من المجتهدين
“Hendaklah ada pada masa terjadinya suatu kejadian sejumlah mujtahid”
2.      أن يتفق على الحكم الشرعي فى الواقعة, جميع المجتهدين من المسلمين فى وقت وقوعها بصرف النظر عن بلدهم أو جنسهم أو طائفتهم
“Hendaklah para mujtahid muslimin bersepakat atas hukum Syar’i yang terjadi ketika kejadian dengan melihat keadaan negeri mereka, suku mereka, atau kelompok mereka.”
3.      أن يكون اتفاقهم بإبداء كل واحد منهم رأية صريحا فى الواقعة
“Hendaklaha kesepakatan para mujtahid dimulai oleh salah satu diantara mereka dengan mengemukakan pendapat yang sharih (jelas) diwaktu kejadian.”
4.      أن يتححق الإتفاق من جميع المجتهدين على الحكم
“Hendaklah para mujtahid benar-benar sepakat atas hukum itu.”[10]
 
D.           Macam-Macam Ijma’
            Ijma’ umat tersebut dibagi dua:
1.        Ijma’ Qauli: Yaitu suatu ijma’, dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain dimasanya.
2.        Ijma Sukuti: Yaitu ijma, dimana para ahli ijtihad diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam disini dianggap menyetujui.
Menurut golongan Hanafiah kedua macam ijma’ tersebut adalah ijma’ yang sebenarnya. Menurut imam Syafi’i hanya ijma yang pertama saja yang disebut ijma’ yang sebenarnya.
Disamping ijma’ umat tersebut, masih ada macam-macam ijma’ yang lain, yaitu:
1.        Ijma’ sahabat.
2.        Ijma’ Khalifah yang empat
3.        Ijma’ Abu Bakar dan Umar
4.        Ijma’ ulama Madinah
5.        Ijam’ ulama Kufah dan Basrah
6.        Ijam itrah (ahli bait = golongan Syiah)
Selain ijma’ sahabat, ijma’-ijma’ tersebut tidak menjadi hujjah.
 
E.            Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa dalam urusan agama tanpa sandaran adalah salah. Sandaran tersebut adakalanya berupa dalil qat'i, yaitu Qur'an dan hadis mutawatir, adakalanya berupa dalil zhanni yaitu hadis ahad dan qiyas. Apabila sandaran ijma' itu hadis ahad, maka hadis ahad ini bertambah kekuatannya atau nilainya.
Tentang qiyas masih menjadi perselisihan, apakah bisa menjadi sandaran ijma' atau tidak?
Alasan yang membolehkan :
1.        Qiyas adalah salah satu jalan menetapkan hukum syara'. Karena itu, qiyas dapat dijadikan sandaran ijma' sebagaimana dalil-dalil yang lain.
2.        Terjadi ijma' atas haramnya lemak babi karena diqiyaskan dengan dagingnya.
3.        Terjadi ijma' atas kekhilafatan Abu Dakar karena diqiyaskan dengan keimanannya dalam shalat (dijadikan imam shalat oleh Nabi).
 
Alasan yang tidak membolehkan :
1.        Kalau terjadi ijma' berdasar Qiyas, tentulah seseorang mujtahid dapat menyanggahnya, sebab qiyas bisa disanggah. Menyanggah pokok, yaitu qiyas, berarti pula menyanggah cabangnya, yaitu ijma'.
2.        Para ulama tidak sepakat pendapatnya tentang kehujjahan qiyas. Keadaan demikian menimbulkan perbedaan tentang kehujjahan ijma'. Seseorang yang tidak mengakui kehujjahan qiyas, tidak akan mengakui kehujjahan ijma'.
 
 
 
F.            Kehujjahan Ijma’
Apabila sudah terjadi ijma', maka ijma' itu menjadi hujjah yang qat'i. Kebulatan pendapat segala mujtahid atas sesuatu hukum yang tertentu, meskipun berbeda lingkungan dan alirannya tanpa diragukan lagi menunjukkan adanya satu kebenaran yang telah membawa kebulatan pendapat mereka. Kebenaran tersebut ialah karena cocoknya hukum itu dengan jiwa syari'at dan dasar-dasarnya yang umum.
Kehujjahan ijma' tersebut ditunjukkan oleh Qur'an dan hadis.
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisâ: 59)
 
            Sudah disepakati yang dimaksud dengan Ulil ‘Amri, ialah para Ulama. Masing-masing bertugas dalam lapangannya sendiri-sendiri.
لاَ تَجْمَعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَإٍ
“Umatku tidak bersepakat atas kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Timidzi).[11]
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
Simpulan
Definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1.        Bermaksud atau berniat,
2.        Kesepakatan terhadap sesuatu
 
Syarat-Syarat Ijma’
1.                    Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
2.                    Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
3.                    Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
4.                    Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
5.                    mereka harus berhubungan dengan syari’at
6.                    Kesepakatan
 
Macam-Macam Ijma’: Ijma Sukuti dan Ijma’ Qauli.
Rukun-Rukun Ijma’:
1.      أن يوحد فى عصر وقوع الحادثة عدد من المجتهدين
2.      أن يتفق على الحكم الشرعي فى الواقعة, جميع المجتهدين من المسلمين فى وقت وقوعها بصرف النظر عن بلدهم أو جنسهم أو طائفتهم
3.      أن يكون اتفاقهم بإبداء كل واحد منهم رأية صريحا فى الواقعة
4.      أن يتححق الإتفاق من جميع المجتهدين على الحكم
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
●        Syafi’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
●        Hakim, Abdul Hamid. al-Bayân. Jakarta: Sa’diah Putra, t.th.
●        Wahab Khalaf, Abdul. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Dâr al-Qalam.
●        Hanafie, Ahmad. Ushuul Fiqh. Jakarta: Widjaya, 1987.
 

[1] Dr. H. Rahmat Syafi’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 68.
[2] Abdul Hamid Hakim, al-Bayân, (Jakarta: Sa’diah Putra, t.th), h. 105.
[3] Rahmat Syafi’i, op.cit., h. 69.
[4]  Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Dâr al-Qalam). h. 45.
[5] Rahmat Syafi’i, op.cit., h. 70.
[6] Ibid., h. 70.
[7] Ibid., h. 71.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h. 45-46.
[11] A. Hanafie, M.A. Ushuul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987), h. 125-127.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites