Sabtu, 03 Agustus 2013

Tafsir Ilmi

PENDAHULUAN
Al-Quran al-Karim adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan hidayat hukum, syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan itu di dalamnya terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan berbagai kenyataan ilmiah, sehingga memberikan dorongan kepada manusia guna mempelajarinya, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin telah berupaya menciptakan seerat-eratnya antara al-Quran dan Ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat ayat al-Quran: usaha seperti itu ternyata di kemudian hari semakin luas dan tidak dapat disingkat lagi memang telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya dari perkembangan dan corak-corak tafsir yang banyak sekali jumlahnya, satu satunya yaitu tafsir ilmi yang akan kami jelaskan lebih luas dalam isi makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertia Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah tafsir yang penulisnya hendak mengembalikan statement-statement al-Quran pada teori-teori dan terminology-terminologi ilmiah. Penulisnya berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggali berbagai masalah sains dan pandangan pandangan filsafat dari statement statement al-Quran tersebut.[1] Menurut definisi yang lain tafsir ilmi (al-tafsir al-ilmi) ialah penafsiran al-Quran yang pembahasannya menggunakan pendekatan istiah-istilah (trem-trem) ilmiah dalam mengungkapkan al-Quran dan seberapa dapat melahirkan berbagai cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran pemikiran filsafat.[2]
Tafsir ilmu sering disebut dengan tafsir ashori, yaitu tafsir al-Quran yang beraliran ilmiah atau modern. Tafsir ini banyak difokuskan pada bidang ilmu pengetahuan umum. Menurut pendapat mereka al-Quran itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh akal manusia, bahkan lebih dari itu al-Quran mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang yang akan terjadi. Di dalam al-Quran terdapat kaidah kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang dapat kita saksikan fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai suatu yang baru.[3]
B.       Sikap ulama kontemporer terhadap tafsir ilmi
Ulama yang menolak berpendapat bahwa mengaitkan al-Quran dengan teori-teori ilmiah merupaan tidakan yang keliru. Alasan Allah menurunkan al-qur’an bukan untuk menjelaskan teori teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin ilmu dan macam macam pengetahuan mengaitkan al-Qur’an dengan teori teori ilmiah hanya akan mendorong para pendukunya untuk menakwilkan al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah, hal ini tentu saja dapat mereduksi Kemu’jizatan al-Quran, seandainya al-Quran sesuai dengan temuan-temuan ilmiah, dikhawatirkan justru al-Quranlah yang disesuaikan dengan temuan-temuan Ilmiah itu, bukan sebaliknya.[4]
Di antara para ulama yang menolak perkembangan tafsir ilmi adalah:
1.        As-Syatibi (W. 790 H/388 M) dalam buku beliau al- Muwaffaqaat fi ushuli Al-syari’ati.
2.        Ibn Taymiyyah (661-782 H/1262-1327 M)
3.        M.Rasyid Ridha (1282-1354/1865-1935 M)
4.        Mahmud Syaltut (1311-1355 H/1893-1936 M) Tafsir al-Qurani al- Kariimi al-Ajzaa’la ‘Asyarah al- Uula karya beliau.
Ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ilmi berpendapat model penafsiran semacam ini memberi kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah ada dan akan dibentuk dalam diri al-Quran. Al-Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat i’tiqadiah (keyakinan) dan amaliah (perbuatan) akan tetapi juga meliputi semua ilmu-ilmu keduanian (al-‘Ulum al-Dunya) yang beraneka macam jenis bilangannya dan diantara ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ilmu ialah:
1.        Imam Ghazali (450-505 H/1057-1111 M) dalam kitabnya Ihya Ulumuddin dan Jawahir al-Quran.
2.        Imam Jalal al-Din al Syayuti (W 911 H/1505 M) dalam kitabnya al-Itqan fi ulumi al-Quran, juga dalam kitabnya al-Iku’il fi istimbati at-Tanzil, serta kitab Mu’tarakul al-Aqraani fi I’jaazi al- Quran.
3.        Imam Tharthawi jauhari (1287-1358 H/1870-1939 M) dalam kitab al-Jawaahir fii tafsiri al-Qurani al-Karim.
4.        Imam Muhammad Abduh (1265-1323 H/849-1905 M) al-Kitab al-Mubin
5.        imam Fakhru ar-Razi (W. 606 M) dalam kitab tafsir Mifaatuhu al-Ghaibi yang kemudian lebih populer dengan nama al-Tafsiru al-Kabiru.[5]
Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya sikap tidak para ulama terhadap tafsir ilmi. Di antara faktor yang terpentingnya dalam pandangan Hanafi Ahmad adalah keyakinan mereka bahwa al-Quran merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus berkaitan dengan ilmu ilmu alam.[6]
Al-Quran bukanlah kitab kedokteran, arsitektur, atau astronomi namun justru dia kadang membuktikan sunatullah dengan tetap menunjukan pada ilmu pengetahuan tersebut meskipun ilmu itu belum pernah dikenal, ketika al-Quran diturunkan. Dalam konteks firman Allah SWT: “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (Q.S. Al- Alaq: 2) ini ia mengemukakan hewan yang ada dalam sperma dengan alaq. Padahal hewan hewan tersebut tidak akan pernah dilihat kecuali dengan menggunakan mikroskop. Maka ayat semacam ini belum pernah diturunkan pada saat ayat itu diturunkan, juga beratus-ratus tahun setelahnya, sampai ditemukannya mikroskop.[7]
C.       Buku buku tafsir yang berkembang
Lepas dari perbedaan pendirian mufassirin merespon tafsir ilmi, yang pasti tafsir dalam corak pendekatan ilmiah ini belakangan terus berkembang. Di antara buku buku yang mengkhususkan pembahasan pada ayat-ayat ilmu pengetahuan ialah:
1.        Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran (Berbagai Mutiara dalam menafsirkan al-Qur’an) karya Thanthawi Jawhari (1287-1358 H yang terdiri atas 13 jilid, 26 juz, dan 6355 halaman).
2.        Al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Quran (Penafsiran Ilmiah bagi Ayat-ayat Kawniyah dalam al-Quran) karya Hanafi Ahmad, Mishr: Dar Al-fikr.
3.        Tafsir al-Ayat al-Kawniyah (Tafsir Ayat-ayat Kawniyah), sunan Dr. Abdullah syahatah yang diterbitkan di al-Qahirah mishr: Dar al-I’tishom, 1400 H/1980 M.
4.        Al-Isyarat al-Ilmiyyah di al-Quran al-Karim (Sinyal-sinyal ilmiah dalam al-Quran al-Karim) karangan Dr. Muhammad Syawqi al-Fanjari [t.k]: Maktabah Gharib. 1413 H/1992 M.
5.        Al-Quran ilmu pengetahuan dan teknologi, karya Ahmad Bayquni yang diterbitkan oleh penerbit Pana Bakhti Wakaf, 1994.
6.        Kompendium: Himpunan Ayat ayat al-Quran yang berkaitan dengan biologi dan kedokteran, yang di himpun oleh Dr. Mukhtar Na’im, terbitan Gema Insani Press Jakarta, 1996.[8]

BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Bahwa menafsirkan al-Quran dengan menggunakan tafsir ilmiah sangat penting karena al-Quran itu menghimpun ilmu ilmu agama dan pengetahuan umum, yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh akal manusia, bahkan lebih dari itu. Tapi dengan adanya tafsir inipun ada beberapa ulama yang menolaknya, dan ada beberapa ulama juga yang menerimanya dengan alasan mereka masing masing.
            Ada salah satu faktor yang melatarbelakangi sikap tidak simpatik para ulama terhadap tafsir ilmi, bahwa al-Quran merupakan sebuah risalah petunjuk yang tidak harus dikaitkan dengan ilmu-ilmu alam. Dan diantara para ulama yang tidak simpatik dengan tafsir ilmiah adalah as-Syayuti, Ibn Taymiyyah, M. Rasyid Ridha, dan Muhammad Syaltut. Dan diantara para ulama yang menerima dan mengembangkan tafsir ini ialah Imam al-Ghazali, Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, Imam Thanthawi Jauhari, Imam Muhammad Abdullah dan Imam Fakhru ar-Razi dan ulama.

DAFTAR PUSTAKA
●        Abdussalam, Abdul Majid al-Muhtashib. 1982. Tafsir al-Qur’an Kontemprer. Beirut: PT. Dar al- Bayariq
●        Amin Suma, H. Muh. 2001. Study Ilmu-ilmu al- Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.
●        Syaidali, Ahmad. H Dan Rofi Ahmad. 1997. Ulumul Quran II. Bandung: Pustaka Setia.
●        Anwar, Rosihan. 2001. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka setia.

[1] Abdul Majid Abdussalam Al Muhtasib, Tafsir al-Quran Kontemporer, (Beirut:  Dar Al–Bayariq, 1982) h. 258.
[2] H. Muh Amin Suma, MA, SH. Study Ilmu Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 135.
[3] H. Ahmad Syaidali dan H. Ahmad Rofi, Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka setia, 2001) h. 68-69.
[4] Rosihan Anwar. M.Ag. Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) h. 171.
[5] H. Muh Amin, op.cit., h. 135.
[6] Rosihan Anwar, op.cit., h. 172.
[7] Abdul Majid, op.cit., h. 306.
[8] H. Muh. Amin, op.cit., h. 136-137.
DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites