Sabtu, 10 Mei 2014

RAHASIA JABATAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dunia kesehatan,terdapat banyak prosedur dan tindakan   kesehatan yang harus diberikan kepada pasien untuk meningkatan derajat kesehatannya. Sebagian besar tindakan kesehatan tersebut kemungkinan menimbulkan beberapa resiko bagi pasien, antara lain perubahan dalam kondisi biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual (Komalawati, 2002).
Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sumber daya manusia, dan lajunya arus informasi serta kondisi akan mahalnya biaya  pelayanan kesehatan, ikut mendorong berubahnya sifat pelayanan kesehatan yang semula bersifat paternalistik (Komalawati, 2002 ).
Oleh karena itu,berdasarkan pada pola konsumerisme, klien berhak mengetahui segala macam tindakan pengobatan dan perawatan atas dirinya, sehingga dalam dunia kesehatan terdapat istilah informed consent.
B.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Memenuhi tugas mata ajar Keperawatan Profesional
2.      Memberikan gambaran tentang informed consent
3.      Mengetahui bagaimana proses dalam informed consent.
C.    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif dan studi literatur.
D.    Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, saya hanya membahas tentang pengeertian rahasia jabatan dan informed consent, tujuan peleksanaan informed consent , fungsi informed consent, prinsip informed consent, dan aspek hokum informed consent

E.     Sistematika Penulisan
Makalah  ini disusun secara sistematika yang terdiri dari 3 Bab yaitu sebagia berikut :
BAB I             : Pendahuluan, yang terdiri atas latar be;lakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II            : Landasan teoritis terdiri dari pengertian, bentuk, tujuan pelaksanaan, fungsi, prinsip-prinsip, dan aspek hukum.
BAB III          : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


 BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Rahasia Jabatan dan Informed consent
1.      Pengertian Rahasia Jabatan
Rahasia kerja dan rahasia jabatan dokter merupakan dua hal yang hampir sama pada intinya yaitu: memegang suatu rahasia . Rahasia pekerjaan adalah sesuatu yang dan harus dirahasiakan berdasarkan lafal janji yang di ucapkan setelah menyelesaikan pendidikan. contoh: dalam lafal sumpah dokter: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”
 Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabat structural, misal sebagai Pegawai Negeri Sipil yang disingkat (PNS). Contoh : dalam lafal sumpah pegawai negeri."Saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifat atau perintah harus saya rahasiakan".
Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter. Bahwa tidak ada batasan yang jelas dan pasti kapan seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit dan kapan ia dapat memberikan keterangan pada pihak yang membutuhkan. Pedoman penentuan sikap dalam mengatasi problem seperti ini yang harus tetap di sadari dan di tanamkan adalah pengertian bahwa rahasia jabatan dokter terutama adalah kewajiban moraLDalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan bidang profesinya dokter selain di ikat oleh lafal sumpahnya sebagai dokter, juga oleh KODEKI. Selain sebagai manusia secara individual dan sebagai anggota masyarakat dalam satu sistem sosial dokter juga di ikat oleh norma-norma dalam perilaku masyarakat, diantaranya norma perilaku berdasarkan norma kebiasaan.

v  Perjanjian Kerja
Hubungan hukum melakukan pekerjaan, secara garis besar ada 2 kelompok, yakni hubungan hokum melakukan pekerjaan -- dalam hubungan kerja (“DHK”) berdasarkan perjanjian kerja (yang ditandai dengan adanya upah tertentu dan adanya “hubungan diperatas” atau dienstverhoudings) dan hubungan hukum di luar hubungan kerja (“TKLHK”). Yang di luar hubungan kerja, ada yang dilakukan berdasarkan perjanjian melakukan jasa-jasa dan ada yang dilakukan atas dasar pemborongan pekerjaan. Demikian juga dalam perkembangannya, ada yang dilakukan dengan hubungan kemitraan (partnership), dan ada yang dilakukan berdasarkan suatu anggaran dasar.
Praktek atau penerapan hubungan hukum antara dokter dan perawat (istilah UU Kesehatan: tenaga kesehatan) dengan manajemen suatu yayasan pelayanan kesehatan sangat bervariasi, bergantung pada kebutuhan dan kondisi serta kesepakatan di antara para pihak. Ada yang didasarkan perjanjian kerja (DHK), ada yang berdasarkan perjanjian (kontrak) melakukan jasa-jasa, dan ada juga yang atas dasar bagi hasil, serta bentuk hubungan hukum lainnya. Di samping itu, ada juga yang mengombinasikan ketiganya; sebagian tenaga kesehatan tersebut didasarkan perjanjian kerja, dan sebagian lainnya dengan sistem bagi hasil, sebagian lagi kontrak pelayanan kesehatan dalam jangka waktu tertentu (tapi bukan perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT). Walaupun khusus untuk tenaga kesehatan perawat (para medis) pada umumnya dilakukan dengan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja.
Apabila dokter atau perawat bekerja berdasarkan perjanjian kerja, maka dokter/perawat yang bersangkutan disebut pekerja (yakni tenaga kerja yang bekerja berdasarkan hubungan kerja pada tingkat skilled labour). Padanan dari kata pekerja tersebut, adalah buruh (yakni tenaga kerja dalam hubungan kerja pada tingkat unskilled labour). Dengan demikian, karena dokter dan juga perawat adalah suatu profesi yang memerlukan keahlian dan kecakapan tertentu (ada yang menyebut dengan istilah white collar), maka dokter atau perawat itu tidak lazim disebut buruh (blue collar).
2.      Pengertian Informed Consent
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan Consent berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau informasi, sedangkan consent berarti persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi (Guwandi, 2003).
Informed Consent dapat berarti juga persetujuan oleh seseorang untuk mengizinkan sesuatu tindakan seperti (pembedahan) yang diberikan didasarkan pada informasi yang lengkap tentang data yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu keputusan yang meliputi pengetahuan akan resiko, altenatif atau konsekuensi pada penolakan (Potter & Perry, 1993).
Seseorang akan mempunyai kapasitas legal untuk memberikan Consent jika pada situasi yang dapat memberikan pilihan bebas, tanpa intervensi, paksaan, kecurangan/penipuan, kebohongan, diluar jangkauan atau bentuk paksaan tersembunyi lainnya dan akan mempunyai cukup pengetahuan dan pemahaman terhadap eleman pada subyek persoalan yang terlihat yang memungkinkan ia membuat pengertian dan keputusan (Levine, 1986).

B.     Bentuk Informed Consent
Diantara bentuk-bentuk Informed Consent antara lain persetujuan efektif yang mencakup:
a.       Persetujuan ekspresif, yaitu apabila secara factual pasien mau menjalani suatu prosedur secara medis dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya.
b.      Persetujuan non ekpresif, yaitu apabila berdasarkan sikap dan tindakan pasien dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien yang bersangkutan memberikan persetujuannya.
Menurut Amir (1997) menjelaskan bahwa persetujuan tindakan medic ada dua bentuk, yaitu
a.       Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebur dari isyarat yang dilakukan (diberikan pasien). Misalnya bila dokter mengatakan akan menginjeksi pasien, pasien menyingsingkan lengan baju atau menurunkan celananya. Tapi ada Implied Consent bentuk lain yaitu bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak dapat memberikan persetujuan sedangkan keluarganya pun tidak dapat memberikan persetujuan serta tidak ditempat.
b.      Ekspress Consent (Dinyatakan)
Dinyatakan secara lisan dan dapat dinyatakan secara tertulis.

C.    Tujuan Penatalaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”,  bertujuan :
Ø  Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.
Ø  Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya


D.    Fungsi Informed Consent
a.       Fungsi Informed Consent bagi pasien adalah sebagai berikut :
1)      Sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (Consent) yang akan ia berikan kepada dokter.
2)      Perlindungan atas hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri.
3)      Melindungi dan menjamin pelaksanaan hak pasien yaitu untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya yang dianggap lebih penting daripada pemulihan.
b.      Fungsi Informasi bagi dokter
1)      Membantu lancarnya tindakan kedokteran.
2)      Mengurangi akibat timbulnya samping dan komplikasi.
3)      Mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan penyakit.
4)      Meningkatkan mutu pelayanan.
5)      Melindungi dokter dari kemungkinan tindakan hukum.

E.     Kewajiban Memberikan Informasi
Pada dasarnya informasi tentang penyakit /hal-hal lain yang bersifat medis disampaikan oleh dokter yang menangani pasien. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu tugas menyampaikan informasi itu dapat disampaikan dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bertanggung jawab. Pendekatan itu sebatas pada tindakan-tindakan yang bukan bedah (operasi) dan bukan tindakan infasi lainnya, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang melakukan operasi itu sendiri (vide pasal 6 Permenkes 585/1989).
Tentang hal-hal yang bersifat medis berhubungan dengan masalah penyakit yang menjadi kewenangan dokter untuk menyampaikan, maka perawat tidak boleh menjawab dan menjelaskan pada pasien. Namun perawat yang bersangkutan wajib menyampaikan pernyataan pasien itu kepada dokter yang bersangkutan, untuk selanjutnya dokter itulah yang akan menyampaikan penjelasan kepada pasien yang bersangutan.
Sedangkan bila pernyataan itu berhubungan dengan masalah keperawatan yang memang sudah menjadi kewenagan seorang perawat dan ia memang menguasai, maka bolehlah perawat itu menjawabnya. Namun demikian menurut Permenkes No. 585/1989 pasal 4 (3) menyatakan bahwa perawat dapat menyampaikan informasi medis dengan ketentuan bahwa dokter yang memberi delegasi kepada perawat itu harus yakin akan kemampuan pihak yang diberi delegasi untuk menyampaikan informasi kepada pasien.
Perawat penerima delegasi harus yakin bahwa dirinya mempunyai kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan apa-apa yang didelegasikan itu. Pendelegasian itu tidak boleh mengenai penyampaian informasi akan diagnosa dan tetapi karena sifatnya sangat medis dan kompleks.
F.     Prinsip – Prinsip dalam Informed Consent
Pada prinsipnya iformed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1.      Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2.      Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3.      Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4.      Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5.      Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien

G.    Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek hukum dalam Informed Consent ada 2 :
1.      Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
2.      Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
H.    Tanggung jawab pelaksanaan Informed Consent
a.       Tanggung jawab dokter
Dihubungkan dengan masalah Informed Consent, maka tanggung jawab dokter maupun perawat dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
1)      Tanggung jawab etik
Landasan etik yang terkuat dalam hal Informed Consent adalah keharusan bagi dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasien.
2)      Tanggung jawab hukum
Secara eksplisit telah ditegakkan dalam Permenkes No. 585/Menkes/IT/1989 pasal 12 (1) yang menyatakan bahwa dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. Dan yang memungkinkan terjadinya pendelegasian apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : delegasi tidak boleh diberikan sepanjang mengenai diagnose, indikasi medik dan terapi. Dokter harus mempunyai keyakinan tentang kemampuan dari orang yang menerima delegasi darinya.



b.      Tanggung jawab perawat
Peran perawat cukup besar dalam pelaksanaan Informed Consent. Untuk persoalan tanggung jawab dapat dibedakan atas :
1)      Perawat yang bekerja untuk mendapatkan gaji dari dokter.
2)      Perawat yang bekerja untuk dan digaji oleh rumah sakit dan membantu dokter
Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter maka pada umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang ia melakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1367 KUHP, akan tetapi apabila perawat melakukan suatu tindakan medik yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki perawat itu sendiri harus bertanggung jawab.
Seorang dokter juga dapat melepaskan diri dari apa yang dilakukan oleh perawat, apabila ia dapat membuktikan terjadinya hal itu bukan karena kesalahannya, tetapi karena kesalahan dari perawat itu sendiri. Hal ini menunjukkan kemandirian perawat untuk bertanggung jawab.
Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan digaji untuk rumah sakit dan membantu dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan perawat seperti tercantun dalam pasal 1367 KUHP Perdata.
I.       Manfaat Penjelasan Informed Consent
Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan mengatakan manfaat penjelasan informed consent adalah memberikan keyakinan kepada pasien bahwa supaya pasien tahu prosedurnya membahayakan atau tidak.Partisipan mengemukakan bahwa manfaat penjelasan informed consent adalah mendapatkan informasi tentang penyakitnya. Partisipan lainnya mengemukakan manfaat penjelasan informed consent adalah mengetahui hal - hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi. Partisipan menyatakan bahwa manfaat informed consent adalah supaya pasien tahu prosedur penanganan penyakitnya bisa membahayakan atau tidak, serta mendapatkan informasi tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi. Hal ini agak berbeda dengan tinjauan teori yang menjelaskan tujuan informed consent adalah untuk memberikan perlindungan pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya dan juga untuk memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern tidak tanpa resiko dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (inherent risk). (J. Guwandi, 2004)
J.      Peran Perawat Dalam Pemberian Informed Consent
a.      Peran sebagai Advocate
Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan berpendapat bahwa perannya sebagai advocate adalah melindungi pasien terhadap tindakan malpraktik dokter. Partisipan lain berpendapat bahwa peran perawat sebagai advocate adalah sebagai pembela dan pelindung terhadap hak-hak pasien. Peran advokasi dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarga dalam menginterpretasi berbagai informasi dari pemberi layanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan terhadap pasien juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak oleh pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. (M. Dwidiyanti, 2007)
b.      Peran sebagai Counsellor
Partisipan berpendapat bahwa perannya sebagai counsellor adalah mengatasi tekanan psikologis dengan mencari penyebab kecemasannya, memberikan keyakinan dalam mengurangi kecemasan pasien. Konseling adalah proses membantu pasien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial, untuk membangun hubungan interpersonal yang baik, dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang dimana didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009) Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan partisipan melalui perannya sebagai counsellor sebagaimana yang terungkap diatas. Partisipan lainnya berpendapat bahwa peran perawat sebagai advocate adalah menggali respon pasien dan mengklarifikasi informasi yang pasien belum mengerti serta memberikan motivasi dalam mengambil keputusan.
c.       Peran sebagai consultant
Hasil penelitian menunjukkan partisipan memperhatikan hak pasien dalam menentukan alternatif baginya dalam memilih tindakan yang tepat dan terbaik serta memposisikan dirinya sebagai tempat berkonsultasi untuk memecahkan suatu permasalahan. Perawat berperan sebagai tempat konsultasi bagi pasien terhadap masalah yang dialami atau mendiskusikan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009)


 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut persepsi perawat tentang pengertian informed consent adalah suatu surat atau lembar persetujuan yang diberikan pada saat sebelum operasi dan ditanda tangani oleh pasien atau keluarga yang merupakan pengesahan dari mereka untuk dilakukan tindakan medik kepadanya. Penanggung jawabnya adalah dokter, sebagai operator yang melakukan tindakan medic atau operasi. Sedangkan yang menjadi hak – hak pasien yang berkaitan dengan informed consent adalah mendapat informasi, menerima ganti rugi bila merasa dirugikan, memilih dokter dan perawat, mendapatkan pengobatan, serta menolak persetujuan tindakan. Pernyataan perawat tentang informed consent tersebut menggambarkan bahwa informed consent sudah dikenal dan diketahui oleh perawat. Sikap perawat dalam melaksanakan peran advocate, counsellor dan consultant dalam pengajuan informed consent belum sepenuhnya sesuai dengan kewenangan perawat.


1 comments:

The Sportsbook at Borgata Hotel Casino & Spa - JTA Hub
The Borgata Hotel Casino & Spa is operated by Borgata 당진 출장마사지 Group and 부천 출장샵 runs 거제 출장안마 by Borgata 충청북도 출장마사지 Group Limited. The property features luxurious 경산 출장안마 accommodations

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites