Senin, 04 Februari 2013

Perkembangan Budaya Akademik Di Kalangan Mahasiswa

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan dan arah pendidikan Tinggi di Indonesia seperti yang tertuang pada Bab II pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan No.232/U/2000 adalah menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya kasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian, serta menyebarluaskan dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan dan memperkaya kebudayaan nasional. Ini berarti kinerja akademik dituntut dilaksanakan secara kompetitif dengan kualitas unggul. Kinerja akademik yang tidak berorientasi pada kualitas unggul, tidak saja akan tertinggal dalam persaingan tetapi juga akan bergantung pada dunia luar yang lebih maju.
Perubahan lingkungan dan masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, membawa dampak pada perubahan di bidang pendidikan nasional pada umumnya dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Perkembangan masyarakat yang semakin komplek menuntut Perguruan tinggi memiliki dan mengembangkan budaya akademik yang dapat membentuk mahasiswa agar memiliki jatidiri dan kompetensi dibidangnya. Menurut Tylor, sebagai mana dikutip oleh Brown (1871), budaya adalah ”the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu). Dengan demikian budaya akademik berarti apa yang dipelajari oleh mahasiswa selama periode waktu tertentu dari Universitas, Fakultas atau Jurusannya. Pengembangan budaya akademik ini didasarkan atas dua tantangan yang selalu dihadapi oleh pendidikan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikannya yaitu tantangan yang bersifat internal dan eksternal.
Tantangan faktor internal menunjuk pada adanya perubahan sumberdaya manusia hasil didikan Perguruan Tinggi yang semata-mata tidak hanya berdasarkan pada persyaratan penguasaan ilmu dan ketrampilan, tetapi juga pada persyaratan sikap dan semangat belajar, pengenalan bidang lapangan pekerjaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikannya
serta adanya semangat otonomi sesuai dengan UU No.32 tahun 2004. Sedangkan tantangan yang bersifat eksternal menunjuk pada adanya persaingan tenaga kerja yang menglobal, tuntutan pendidikan tinggi yang humanis, internasionalisasi pendidikan yang bersifat lintas negara yang dalam era globalisasi disebut dengan istilah 'etnoscapes'.
Guna mencapai tujuan pendidikan, salah satu fator penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi harus didukung oleh sistem organisasi pendidikan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai (kualiatas SDM dan fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung proses belajar dan mengajar), juga dipengaruhi oleh fator kurikulum yang tepat.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian budaya akademik?
2. Bagaimana membangun budaya akademik?
3. Bagaimana konsep dan ciri-ciri perkembangan budaya akademik?
4. Seperti apa tradisi akademik itu?
5. Bagaimana kebebasan akademik itu?
6. Bagaimana kesadaran kritis dan budaya akademik itu?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian budaya akademik
2. Mengetahui bagaimana membangun budaya akademik
3. Mengetahui bagaimana konsep dan ciri-ciri perkembangan budaya akademik
4. Mengetahui seperti apa tradisi akademik itu
5. Mengetahui bagaimana kebebasan akademik itu
6. Mengetahui bagaimana kesadaran kritis dan budaya akademik itu

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BUDAYA AKADEMIK
1. Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
2. Definisi Akademik
Kata akademik berasal dari bahasa Yunani yakni academos yang berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Nama Academos adalah nama seorang pahlawan yang terbunuh pada saat perang legendaris Troya. Pada plasa inilah filosof Socrates berpidato dan membuka arena perdebatan tentang berbagai hal. Tempat ini juga menjadi tempat Plato melakukan dialog dan mengajarkan pikiran-pikiran filosofisnya kepada orang-orang yang datang. Sesudah itu, kata acadomos berubah menjadi akademik, yaitu semacam tempat perguruan. Para pengikut perguruan tersebut disebut academist, sedangkan perguruan semacam itu disebut academia (Fajar, 2002). Berdasarkan hal ini, inti dari pengertian akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka, dan leluasa.
3. Pengertian Budaya Akademik
Budaya akademik (Academic culture),  Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa (Fajar, 2002). Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.

B. MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK
Di tahun 1997 yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.
Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture). Milik yang paling berharga ini menyadarkan kita akan misi undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan PP nomor 61 tahun 1999 tentang pergruruan tinggi negeri sebagai badan hukum (BHMN). Landasan konstiutusional itu merupakan nilai yang harus dijaga, dibangun, dan dikembangkan secera terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam hal ini, perguruan tinggi mempunyai karakteristik yang khas dan harus menjadi panutan pihak luar.
Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya akademik ini.
Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya bagi individu-individu dalam masyarakat kampus. Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir.
Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya untuk melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu referensi mutakhir. Ia harus melakukan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan forum, dan lain-lain. Ia juga harus melakukan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut di depan forum namun tanpa proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu -- baik disadari maupun tidak disadari.
Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak sampai menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini dapat saja terjadi pada seorang akademisi, yang selamanya hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar akademik yang tidak jelas juntrungnya.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa PT berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam pengertian yang luas.
Sebagaimana tersurat dalam PP No. 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa PT sebagai subsistem pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ipteks; (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.
Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya seringkali dengan efektif diwujudkan melalui pengembangan contoh keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika.

C. KONSEP DAN CIRI-CIRI PERKEMBANGAN BUDAYA AKADEMIK
Budaya Akademik adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya:
1. Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;
2. Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
3. Kebiasaan membaca;
4. Penambahan ilmu dan wawasan;
5. Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;
6. Penulisan artikel, makalah, buku;
7. Diskusi ilmiah;
8. Proses belajar-mengajar, dan
9. Manajemen perguruan tinggi yang baik

D. TRADISI AKADEMIK
Tradisi Akademik adalah “Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik.”
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi (Kaelan, 2004). Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik, yang terdiri dari :
1. Kritis, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
2. Kreatif, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
3. Obyektif, yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
4. Analitis,  yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
5. Konstruktif, yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
6. Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
7. Dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya.
8. Menerima kritik, ciri ini sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
9. Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
10. Bebas dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
11. Menghargai waktu,  yang berarti masyarakat intelektual harus senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin,  terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
12. Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik harus benar-benar memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik.
13. Berorientasi ke masa depan,  artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
14. Kesejawatan/kemitraan, artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik.
Oleh karena itu budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai  tradisi almamater sebagai suatu tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.

E. KEBEBASAN AKADEMIK
Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik –tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di  era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas  dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat. Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
1. Penerbitan buku tertentu;
2. Pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
3. Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.

F. KESADARAN KRITIS DAN BUDAYA AKADEMIK
Merujuk pada  redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara  harfiah,    mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa    yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi  study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkandirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi  definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mende ngarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan inisiator perjuangan yang  respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai  Agent of social change  (Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form), sebab masih ada sebagian  madzhab  mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungankampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.
Inikah  mahasiswa? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi,  respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhi dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia  kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.

BAB III
SIMPULAN

Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian. Membangun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Di tahun 1997 yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.
Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya akademik ini.
Budaya Akademik adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik.”
Tradisi Akademik adalah “Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik.”
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus
senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi.
Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis.
Mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi,  respectdan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilaiketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia  kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Fajar. Mahasiswa dan Budaya Akademik. 2002. Bandung, Rineka.
http://maknaartikel.blogspot.com/2010/01/budaya-akademik/survei.html
http://blogkita.info/budaya-akademik-2/
Kaelan, M,S. Pendidikan Pancasila. Edisi 8. 2004. Yogyakarta: Paradigma
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi;
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Pendidikan Tinggi
Pengembangan Kurikulum Program S 1 FISIP UNP AD Tahun 2000 -2006

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites