Senin, 20 Mei 2013

Hadits tentang Mahar dan Wali

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Karakteristik khusus dari Islam bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari’atnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya), dan hikmah yang dikandung dari perintah tersebut. Maka tidak ada satu perintah pun dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Maupun yang terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq, berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain yang tidak memiliki syari’at, dan hikmahnya.
Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syaria’atnya, dan hikmahnya.
Untuk itu pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengapa seorang muslim dan muslimin harus melaksanakan pernikahan di dalam hidupnya.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian nikah?
2.    Apa pengertian mahar dan bagaimana konsep mahar dalam Islam?
3.    Apa pengertian wali dan bagaimana kedudukan wali?
C.       Tujuan
1.    Mengetahui pengertian nikah
2.    Mengetahui pengertian mahar dan bagaimana konsep mahar dalam Islam
3.    Mengetahui pengertian wali dan bagaimana kedudukan wali

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Nikah
Nikah menurut etimologi yaitu mengumpulkan, sedangkan menurut terminologi yaitu akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukunnya serta syarat (yang telah ditentukan) untuk berkumpul. Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki seorang perempuan yang bukan mahram.[1]
Perkawinan di anggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib terpenuhi. Kalau tidak terpenuhi secara langsung maka perkawinan di anggap batal.[2]
Menurut penulis pernikahan adalah suatu ikatan sakral yang mana mengikat hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai sepasang suami istri dan dalam prosesnya terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi guna sahnya suatu pernikahan tersebut. Salah satu syarat pernikahan adalah wali dalam nikah, status wali dalam nikah memiliki beberapa perbedaan pendapat dari para Imam mazhab terutama Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan karena kedua imam tersebut mempunyai perbedaan penafsiran akan dasar hadis yang menjadi pedoman mereka dalam mengemukakan pendapat.
B.       Mahar
Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat . Di Indonesia sebutan mahar hanya terbatas pada pernikahan an sich.  Secara  bahasa mahar  diartikan  nama terhadap pemberian tersebab kuatnya akad , secara istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi).[3]
Fuqaha berpendapat bahwa memberikan mahar hukumnya wajib. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. dan sunnah Rasul-Nya. Adapun firman Allah yang dimaksud adalah:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’ : 4).
Imam Ibn Jarir at-Thabary dalam kitab tafsirnya menjelaskan sabab al nuzul ayat di atas. Bahwa sebelum ayat ini diturunkan, apabila ada seorang bapak menikahkan anak perempuannya, atau kakak laki-laki menikahkan adik perempuannya, maka mahar dari pernikahan tersebut diambil dan dimiliki oleh sang ayah atau kakak laki-laki tersebut, bukan oleh si perempuan yang dinikahi. Lalu Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat di atas.
Dalam hadis disebutkan tentang wajibnya mahar dalam pernikahan diantaranya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتْ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا فَقَالَ هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَجَدْتُ شَيْئًا قَالَ انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي قَالَ سَهْلٌ مَا لَهُ رِدَاءٌ فَلَهَا نِصْفُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى طَالَ مَجْلِسُهُ ثُمَّ قَامَ فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُوَلِّيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ مَاذَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدَّهَا قَالَ أَتَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
Terjemah Hadits:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya." Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (untuk dijadikan sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa?" beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi yang ada hanyalah kainku ini." Sahl berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya setengahnya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya: "Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia memakainya, maka kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk memanggilkannya. Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya, "Apakah kamu punya hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, "Apakah kami benar-benar menghafalnya?" ia menjawab, "Ya." Akhirnya beliau bersabda: "Kalau begitu, perigilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an."[4]
Kosa Kata:
seorang wanita
:
أَنَّ امْرَأَةً
Mendatangi
:
جَاءَتْ
untuk menyerahkan
لِأَهَبَ
Lalu memandangi
فَنَظَرَ
Berdiri
فَقَامَ
maka nikahkanlah aku dengannya
زَوِّجْنِيهَا
kamu punya
عِنْدَكَ
Pergilah
اذْهَبْ
Keluargamu
أَهْلِك
Lihatlah
فَانْظُرْ
Kembali
رَجَعَ
Kain
إِزَارِي
Setengahnya
نِصْفُهُ
Memanggil
طَالَ
kamu punya hafalan
مَعَكَ
Perigilah
اذْهَبْ
kau telah kunikahkan dengannya
فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا
Penjelasan Hadits:
Dari hadits diatas menunjukkan betapa bijaksananya ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Islam itu menghargai kaum hawa dan bukan bermaksud tidak menghargai kaum hawa dalam maharnya, namun mahar itu adalah kesanggupan dari pihak lelaki. Rasulullah SAW mengajarkan bukan hanya harta yang jadi patokan untuk memilih-pilih dalam pernikahan. Akan tetapi kewajiban calon suami yang harus menghargai dengan sebaik-baiknya kepada si calon istri, jangan memberikan kain sarung yang dipakai padanya untuk calon istrinya sehingga menjadikan 1 kain sarung untuk berdua, seperti hadits diatas.
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk menjalankannya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.  bersabda,
خيرهن أيسرهن صداقا
“Sebaik-baik perempuan adalah yang paling mudah (ringan) maskawinnya.” (HR. Ibn Hibban).
Mahar merupakan hak penuh mempelai perempuan. Hak tersebut tidak boleh diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali bila perempuan tersebut telah merelakannya. Namun, dalam budaya patriarkhi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli. Adanya pemahaman seperti ini diakui atau tidak telah memposisikan isteri dalam posisi yang lebih rendah daripada suaminya. Oleh karenanya sang suami merasa berkuasa atas diri, jiwa dan raga sang isteri, sehingga si isteri harus taat kepada suaminya secara mutlak dalam kondisi apapun. Hak-hak dasar si isteri pun terkadang menjadi terabaikan bahkan menjadi hilang, karena sang suami merasa bahwa dirinya sudah membeli isterinya dengan mahar yang ia berikan pada saat akad nikah. Pola pikir seperti ini merupakan pola pikir masa jahiliyah, dimana kaum perempuan tidak diakui eksistensinya, bahkan ia dianggap sebagai properti yang bisa diwariskan dan diperjualbelikan.
Mahar adalah pemberian wajib dari seorang calon suami kepada calon isterinya karena akad nikah baik itu berupa uang atau barang (harta benda) atau jasa[5], sebagaimana pemberian nafakah suami kepada isterinya. Persoalan yang sering muncul pada pemberian mahar dari calon suami kepada calon isterinya adalah batas minimal dan batas maksimal mahar itu diberikan.[6] sehingga ada ungkapan wanita yang baik adalah yang mudah maharnya. Sedangkan Pria yang baik adalah Calon suami yang memberikan mahar semaksimal mungkin atau   setinggi-tingginya.
Kebiasaan yang terjadi di Masyarakat tentang  pemberian mahar berupa seperangkat alat Sholat, bahwa mahar itu adalah harus dari barang perhiasan berupa emas sesuai dengan sebutan “mahar”, sering menjadi kontroversi. Sepertinya setiap daerah memiliki kekhasan sendiri dalam memberikan mahar seperti di Mesir dengan memberikan rumah  flat dan isinya.
Mahar adalah sebagai syarat sah nikah menurut ulama Syafi`iyah sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah atsar (kewajiban) yang timbul karena karena terjadinya akad nikah. Dan ulama sepakat bahwa mahar bukanlah sebagai rukun nikah. Menyebutkan mahar dalam akad nikah adalah perkara yang sunnah. Hal ini karena Nabi Saw selalu menyebutkan mahar dalam sebuah akad nikah. Menyebutkan mahar dalam akad nikah juga menghindari perselisihan yang terjadi di belakang hari karena penentuan mahar. Hal ini juga untuk menghindari agar tidak menyamai pernikahan Rasul Saw terhadap seorang istri beliau yang menghibahkan dirinya kepada Rasul Saw seperti yang dipaparkan dalam Al Qur`an surat Al Ahzab ayat 50. Oleh karena itu sah nikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad nikah menurut ijma` ulama. Dalilnya:
Al Qur`an Surat Al Baqarah ayat 236:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
"Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…"
Dari ayat ini jelas bahwa tidak berdosa untuk melakukan thalaq  terhadap istri sebelum menggaulinya setelajh terjadi akad nikah yang tidak disebutkan maharnya.
Ketika mahar belum disebutkan dan nikah batal bukan tersebab istri maka sang istri berhak mendapat mahar mitsil.
Mahar disyariatkan sebagai hadiah yang wajib dan pemberian yang telah ditentukan oleh Allah kepada para suami. Mahar berfungsi mendekatkan hati kedua pasangan agar terbina cinta dan kasih dalam mahligai rumahtangga. Mahar bukanlah sebagai bea ganti rugi dalam akad nikah atas kepemilikan kemaluan si istri, seperti upah dalam akad ijarah (sewa-menyewa) atau pembayaran dalam sebuah akad bai` (jual beli). Meskipun secara zhahir mahar yang dibayarkan adalah sebagai pembayaran dari pemberian manfaat atas kemaluan sang istri.
Namun perlu digaris bawahi bahwa yang menikmati manfaatnya bukanlah hanya kaum suami semata, tapi kedua belah pihak. Dalam beberapa statement ulama disebutkan bahwa perempuan lebih menikmati dibanding laki-laki. Dan perlu ditekankan juga Maksud yang diinginkan dari nikah itu jauh lebih mulia, yaitu untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan dalam semua aspek hidup. Sehingganya pernikahan mendatangkan kemaslahatan yang bersifat sosial. Memiliki banyak faedah yang akan kembali kepada sebuah masyarakat dambaan. Karena keluarga merupakan sebuah lembaga terkecil dari sebuah masyarakat. Ketika keluarga baik, maka sudah menjadi asset dan berkontribusi nyata dalam melakukan perbaikan struktur sebuah masyarakat terbesar bernama Negara.
Oleh karena itu Kamal bin Humam, salah seorang ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa mahar disyariatkan untuk menunjukkan kemuliaan akad nikah.
C.       Wali
Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria).[7]
Dari pengertian tentang wali penulis dapat menarik kesimpulan bahwa wali dalam nikah adalah seseorang yang yang diserahi pengurusan atas diri seseorang  terutama bagi wanita dalam proses pernikahan.
Menurut syafi’i dan hambali, perkawinan harus dilangsungkan dengan wali laki-laki muslim, balig, berakal dan adil. Maka perkawinan yang dilangsungkan tiada wali itu tidak sah.[8]
Sesuai dengan hadis yang berbunyi :
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Terjemah Hadits:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az Zuhri dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali."[9]
Kosa Kata:
Wanita manapun
:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
yang menikah
:
نَكَحَتْ
tanpa seizin walinya
:
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
maka nikahnya
:
فَنِكَاحُهَا
Batal
:
بَاطِلٌ
dia telah digauli
:
دَخَلَ بِهَا
maka dia berhak mendapatkan mahar
:
فَلَهَا الْمَهْرُ
Menghalalkan
:
اسْتَحَلَّ
Kemaluannya
:
فَرْجِهَا
terjadi pertengkaran
:
اشْتَجَرُوا
maka penguasalah
:
فَالسُّلْطَانُ
orang yang tidak punya wali
:
لَا وَلِيَّ لَهُ
Penjelasan Hadits:
Hadis diatas yang menjadi dasar pendapat mazhab syafi’i  menyatakan bahwa wali dalam nikah itu merupakan perkara wajib yang jika tidak ada keberadaannya akan membuat suatu pernikahan itu tidak sah.
Wali hakim (sulthan) dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah tidak ada. Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah yang ada menolak menikahkan dengan alasan yang tidak sesuai syariah.[10] Apabila wali yang terdekat pergi dalam jarak perjalanan qashar (dua marhalah), maka wali hakim boleh menjadi pengganti wali tersebut.
ولو ( غاب ) الولي ( الأقرب ) نسبا ، أو ولاء ( إلى مرحلتين ) ، أو أكثر ولم يحكم بموته وليس له وكيل حاضر في تزويج موليته زوج السلطان ) لا الأبعد وإن طالت غيبته وجهل محله وحياته لبقاء أهلية الغائب وأصل بقائه والأولى أن يأذن للأبعد ، أو يستأذنه خروجا من الخلاف
Artinya: Apabila wali nasab terdekat bepergian dalam jarak dua marhalah (qashar) atau lebih jauh dan tidak ada status kematiannya serta tidak ada wakilnya yang hadir dalam menikahkan perempuan di bawah perwaliannya maka Sultan (Wali Hakim) dapat menikahkan perempuan itu. Bukan wali jauh walaupun kepergiannya lama dan tidak diketahui tempat dan hidupnya. Hal itu karena tetapnya status kewalian wali yang sedang pergi. Namun yang lebih utama meminta ijin pada wali jauh untuk keluar dari khilaf ulama.[11]
Menurut pendapat Imam Abu hanifah, wali yang harus ada dalam akad nikah hanyalah apabila mempelai perempuan belum balig dan tidak sehat akal. Perempuan yang telah balig dan berakal sehat dibolehkan mengawinkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang disukai tanpa wali, dengan syarat kufu. Jika laki-laki tidak kufu, wali berhak minta kepada hakim untuk membatalkan perkawinan tersebut.[12] Sesuai dengan hadis yang berbunyi
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." Muttafaq Alaihi.[13]
Berdasarkan hadis tersebut menurut hanafi memberikan hak penuh kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain  (wali) dalam urusan pernikahan. Pertimbangan rasional logis oleh Hanafi tentang tidak wajibnya Wali Nikah bagi perempuan yang hendak menikah.[14]
Jadi, menurut penulis, Imam Hanafi memandang pernikahan itu dapat diwalikan kepada wanita itu sendiri berbeda dengan wanita yang belum balig atau wanita gila yang memerlukan wali dalam proses pernikahannya karena mereka tidak masuk dalam kategori wanita balig dan berakal. Sedangkan untuk janda maka tidak memerlukan wali cukup dengan berunding saja karena janda disamakan kedudukannya dengan wanita balig dan berakal.
Selain itu perkawinan itu tergantung pada persetujuan si gadis bukan pada izin walinya yang dalam kenyataannya, hanya berkewajiban melindunginya, maka pada akhirnya keinginanlah yang harus didahulukan menurut mazhab hanafi.[15]
Namun, jika kita kembalikan ke Negara kita Negara Republik Indonesia yang notabennya Negara hukum yang mempunyai tata aturan sendiri tentang perkawinan. Wali merupakan syarat sah dalam pernikahan. Hal ini sesuai dengan pasal 19 Bagian tiga tentang wali nikah dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.[16]
Selain itu juga, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 1/1974, PP Nomor 9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya.[17]
Menurut penulis jika dilihat dari uraian diatas tidak ada yang dapat disalahkan atau sebaliknya, karena pendapat-pendapat tersebut mempunyai dasar hadis yang sama hanya saja terdapat perbedaan dalam penafsiran mengenai hadis tentang status wali nikah tersebut. Namun pada akhirnya penulis lebih condong pada pendapat Imam Syafi’I karena menyesuaikan dengan tempat di mana pernikahan itu di langsungkan dan mengikuti peraturan apa yang diterapkan pada suatu Negara terutama Negara Indonesia yang mewajibkan sebagai syarat sah pernikahan bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam wali nikah merupakan rukun dalam pernikahan, agar suatu pernikahan itu dinyatakan sah menurut agama dan Negara.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Nikah menurut etimologi yaitu mengumpulkan, sedangkan menurut terminologi yaitu akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukunnya serta syarat (yang telah ditentukan) untuk berkumpul. Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki seorang perempuan yang bukan mahram.
Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat . Di Indonesia sebutan mahar hanya terbatas pada pernikahan an sich.  Secara  bahasa mahar  diartikan  nama terhadap pemberian tersebab kuatnya akad , secara istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi).
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat.
Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah itu merupakan perkara wajib yang jika tidak ada keberadaannya akan membuat suatu pernikahan itu tidak sah.
Wali hakim (sulthan) dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah tidak ada. Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah yang ada menolak menikahkan dengan alasan yang tidak sesuai syariah. Apabila wali yang terdekat pergi dalam jarak perjalanan qashar (dua marhalah), maka wali hakim boleh menjadi pengganti wali tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asqalani, Ibnu Hajar al-, 1992. Tarjamah Bulughul Maram, alih bahasa Drs. Moh Ismail. Surabaya: Putra Al-Ma’arif
Bakar, Imam Taqiyuddin Abu. 1993. Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Sholeh) bagian dua, terjemah. K.H. Syarifuddin Anwar & K.H. Mishbah. Surabaya: Bina Ilmu
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Hukum Perkawinan  Islam. Jakarta: UII press
Bukhari, Shahih Bukhari
Departemen Agama RI, 2003. Bahan Penyuluhan Hukum. Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Hassan, Ahmad. 1983. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung: CV. Diponegoro
Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab
Jaziri, Abdurrahman Al-, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah,
Rahman, Abdur. 1992. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta
Ramli, Muhammad bin Syihabuddin Ar-. Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj
Ramulyo, Mohd. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Saebani, Beni Ahmad. 2011. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
_________________. 2001. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi
Yunus, Mahmud. 1956. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: AL-Hidayah

[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia,2001), h. 9
[2] Ibid, h.107
[3] Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Sholeh) bagian dua, terjemah. K.H. Syarifuddin Anwar & K.H. Mishbah, (Surabaya, Bina Ilmu, 1993 ) Hlm. 128
[4] Bukhari, Kitab Keutamaan Al Qur`an, Bab Membaca Al-Qur'an dengan hafalan, No. Hadist : 4642
[5] Ahmad Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, ( Bandung, CV. Diponegoro, 1983), hlm. 513
[6] Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Op. Cit., h. 128
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka,1989), h.1007
[8] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: AL-Hidayah,1956), h. 21
[9] Tirmidzi, Kitab Nikah, Bab Tidak sah nikah tanpa wali, No. Hadist : 1021
[10] Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33
[11] Muhammad bin Syihabuddin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj
[12] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan  Islam, (Jakarta: UII press, 2000), h. 40
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tarjamah Bulughul Maram, alih bahasa Drs.Moh Ismail,(Surabaya:Putra Al-Ma’arif,1992), h.515
[14] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Bumi Aksara: Jakarta, 1996), h. 220
[15] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: rineka cipta, 1992), h.42
[16] Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: 2003), h.169
[17] Beni Ahmad Saebani, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 85

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites