Senin, 20 Mei 2013

Ibadah Shalat yang Wajib dan yang Sunat

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Shalat merupakan rukun Islam kedua dan sangatlah penting. Karena sangat pentingnya ibadah shalat ini maka tidak boleh sekali pun ditinggalkan oleh hamba-hamba Allah. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap diwajibkan atas orang islam untuk mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah) agar dapat tetap mendirikan shalat dalam kondisi apa pun.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian shalat?
2.    Apa manfaat gerakan sholat bagi kesehatan tubuh?
3.    Bagaimana shalat pada awal waktu?
4.    Bagaimana shalat berjamaah?
5.    Bagaimana shalat qashar?
6.    Bagaimana shalat jamak?

C.       Tujuan
1.    Mengetahui pengertian shalat
2.    Mengtahui manfaat gerakan sholat bagi kesehatan tubuh
3.    Mengetahui bagaimana shalat pada awal waktu
4.    Mengetahui bagaimana shalat berjamaah
5.    Mengetahui bagaimana shalat qashar
6.    Mengetahui bagaimana shalat jamak


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology / istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan.[1] Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “menahirkan hajat dan keperluan kita kepadaAllah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya”.[2] Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.[3] Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”.Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangkai badah dan memohon ridho-Nya.

B.       Manfaat Gerakan Sholat Bagi Kesehatan Tubuh
Melaksanakan sholat sebagai salah satu rukun Islam bukan saja menjaga tegaknya agama tetapi secara medis sholat adalah gerakan paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Gerakan sholat memberi dampak yang sangat positif bagi kesehatan dan obat terhadap berbagai macam penyakit. Ibadah shalat merupakan ibadah yang paling tepat untuk metabolisme dan tekstur tubuh manusia. Setiap gerakan di dalam shalat mempunyai manfaat masing-masing.
Setiap gerakan shalat merupakan bagian dari olahraga otot-otot dan persendian tubuh. Sholat dapat membantu menjaga vitalitas dan kebugaran tubuh tetapi dengan syarat semua gerakan sholat dilakukan dengan benar, perlahan dan tidak terburu-buru serta istiqomah atau konsisten. Begitu banyak manfaat gerakan shalat bagi kesehatan tubuh manusia. Semakin sering kita sholat dengan benar, semakin banyak manfaat yangg kita peroleh untuk kesehatan diri kita.
Beberapa manfaat gerakan sholat bagi tubuh:
1.    Berdiri tegak dalam sholat
Wajibnya sholat adalah berdiri bagi yang mampu, ternyata berdiri pada waktu sholat mengandung hikmah yangg luar biasa yaitu dapat melatih keseimbangan tubuh dan konsentrasi pikiran. Berdiri tegak pada waktu sholat membuat seluruh saraf menjadi satu titik pusat pada otak, jantung, paru-paru, pinggang, dan tulang pungggung lurus dan bekerja secara normal, kedua kaki yang tegak lurus pada posisi akupuntur, sangat bermanfaat bagi kesehatan seluruh tubuh.
2.    Takbiratul Ihram
Takbir dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu dan dilakukan ketika hendak rukuk dan bangkit dari rukuk. Pada saat kita mengangkat tangan sejajar bahu, otomatis kita membuka dada, dan otot bahu meregang sehingga membuat aliran darah menjadi lancar dan kaya akan oksigen. Darah yang kaya akan oksigen ini dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
Kedua tangan yang didekapkan di depan perut atau dada bagian bawah adalah sikap untuk menghindarkan diri dari berbagai gangguan persendian, khususnya pada tubuh bagian atas.
3.    Rukuk
Ruku’ yang sempurna ditandai dengan tulang belakang yang lurus sehingga bila diletakkan segelas air di atas punggung, air tersebut tak akan tumpah. Posisi kepala lurus dengan tulang belakang.
Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan optimal bermanfaat untuk menjaga kesempurnaan posisi serta fungsi tulang belakang (corpus vertebrae) sebagai penyangga tubuh dan pusat saraf. Posisi jantung yang sejajar dengan otak saat membungkuk tersebut menjadikan aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di punggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran saraf, memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk.
Tangan yang bertumpu di lutut berfungsi untuk merelaksasikan otot-otot bahu hingga ke bawah. Selain itu, rukuk adalah sarana latihan bagi kemihsehingga gangguan prostate dapat dicegah.
4.    I’tidal (Bangun dari Rukuk)
Saat berdiri dari rukuk dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga sistem saraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah terjadinya pingsan secara tiba-tiba.
Gerakan ini  juga bermanfaat sebagai latihan yang baik bagi organ-organ pencernaan. Pada saat I’tidal dilakukan, organ-organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian.
5.    Sujud
Posisi sujud  yang menungging dengan meletakkan kedua tangan di lantai di sebelah kanan dan kiri telinga, dengan lutut, ujung kaki, dan dahi juga di atas lantai berguna untuk memompa getah bening ke bagian leher dan ketiak. Posisi jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir orang yang melakukan sholat. Oleh karena itu, sebaiknya sujud dilakukan dengan tuma’ninah, tidak tergesa-gesa agar darah mencukupi kapasitasnya di otak. Posisi seperti ini menghindarkan seseorang dari gangguan wasir.
Khusus bagi wanita, baik ruku’ maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan organ kewanitaan.
Gerakan sujud tergolong unik. Sujud memiliki falsafah bahwa manusia menundukkan diri serendah-rendahnya, Bahkan lebih rendah dari pantatnya sendiri. Dari sudut pandang ilmu psikoneuroimunologi (ilmu mengenai kekebalan tubuh dari sudut pandang psikologis) yang di dalami Prof. Dr. Muhammad Soleh, gerakan ini mengantarkan manusia pada derajat setinggi-tingginya. Mengapa?
Dengan melakukan gerakan sujud secara rutin, pembuluh darah di otak terlatih untuk menerima banyak pasokan oksigen. Pada saat sujud, posisi jantung berada di atas kepala yang memungkinkan darah mengalir maksimal ke otak. Artinya, otak mendapatkan pasokan darah kaya oksigen yang memacu kerja sel-selnya. Dengan kata lain, sujud yang tuma’ninah dan kontinu dapat memicu peningkatan kecerdasan seseorang.
Setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara normal. Darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak melainkan ketika seseorang sujud dalam sholat. Urat saraf tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini berarti, darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikuti waktu shalat, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam Islam.
Riset di atas telah mendapat pengakuan dari Harvard University, Amerika Serikat. Bahkan seorang dokter berkebangsaan Amerika yang tak dikenalnya menyatakan diri masuk Islam setelah diam-diam melakukan riset pengembangan khusus mengenai gerakan sujud.
Di samping itu, gerakan-gerakan dalam shalat sekilas mirip gerakan yoga ataupun peregangan (stretching). Intinya, berguna untuk melenturkan tubuh dan melancarkan peredaran darah. Keunggulan sholat dibandingkan gerakan lainnya adalah di dalam shalat kita lebih banyak menggerakkan anggota tubuh, termasuk jari-jari kaki dan tangan.
Sujud juga merupakan latihan kekuatan otot tertentu, termasuk otot dada. Saat sujud, beban tubuh bagian atas ditumpukan pada lengan hingga telapak tangan. Saat inilah kontraksi terjadi pada otot dada, bagian tubuh yang menjadi kebanggaan wanita. Payudara tak hanya menjadi lebih indah bentuknya tetapi juga memperbaiki fungsi kelenjar air susu di dalamnya.
Masih dalam posisi sujud, manfaat lain yang bisa dinikmati kaum hawa adalah otot-otot perut (rectus abdominis dan obliqus abdominis externus) berkontraksi penuh saat pinggul serta pinggang terangkat melampaui kepala dan dada. Kondisi ini melatih organ di sekitar perut untuk mengejan lebih dalam dan lebih lama yang membantu dalam proses persalinan. Karena di dalam persalinan dibutuhkan pernapasan yang baik dan kemampuan mengejan yang mencukupi. Bila otot perut telah berkembang menjadi lebih besar dan kuat, maka secara alami, otot ini justru menjadi elastis. Kebiasaan sujud menyebabkan tubuh dapat mengembalikan dan mempertahankan organ-organ perut pada tempatnya kembali (fiksasi).
6.    Duduk antara Dua Sujud & Duduk Iftirosy (Tasyahud awal)
Setelah melakukan sujud, kita melakukan duduk. Dalam shalat terdapat dua jenis duduk: iftirosy (tahiyat awal) dan tawaru’ (tahiyat akhir). Hal terpenting adalah turut berkontraksinya otot-otot daerah perineum. Bagi wanita, di daerah ini terdapat tiga liang yaitu liang persenggamaan, dubur untuk melepas kotoran, dan saluran kemih.
Pada saat iftirosy, tubuh bertumpu pada pangkal paha yang terhubung dengan syaraf nervus Ischiadius. Posisi ini mampu menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan. Selain itu, gerakan ini dapat menjaga kelenturan saraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Kelenturan saraf ini dapat mencegah penyakit prostat, diabetes, sulit buang air kecil dan hernia.
7.    Duduk Tawarru’ (Tasyahud Akhir)
Duduk tasyahud akhir atau tawaru’ adalah salah satu anugerah Allah yang patut kita syukuri, karena sikap itu merupakan penyembuhan penyakit tanpa obat dan tanpa operasi. Posisi duduk dengan mengangkat kaki kanan dan menghadap jari-jari ke arah kiblat ini, secara otomatis memijat pusat-pusat daerah otak, ruas tulang punggung teratas, mata, otot-otot bahu, dan banyak lagi terdapat pada ujung kaki. Untuk laki-laki sikap duduk ini luar biasa manfaatnya, terutama untuk kesehatan dan kekuatan organ seks. Bagi wanita posisi ini bermanfaat untuk memperbaiki organ reproduksi di daerah perineum.
Variasi posisi telapak kaki pada iftirosy dan tawarru’ menyebabkan seluruh otot tungkai turut meregang dan kemudian relaks kembali. Gerak dan tekanan harmonis inilah yang menjaga kelenturan dan kekuatan organ-organ gerak kita.


8.    Salam
Bahkan, gerakan salam akhir, berpaling ke kanan dan ke kiri pun, bermanfaat membantu  menguatkan otot-otot leher dan kepala serta menyempurnakan aliran darah di kepala sehingga mencegah sakit kepala serta menjaga kekencangan kulit wajah.
Apabila kita menjalankan sholat dengan benar.  Tubuh akan terasa lebih segar, sendi-sendi dan otot akan terasa lebih kendur, dan otak juga mempu kembali berfikir dengan terang. Hanya saja, manfaat itu ada yang bisa merasakannya dengan sadar, ada juga yang tak disadari. Tapi harus diingat, sholat adalah ibadah agama bukan olahraga.[4]

C.       Shalat Pada Awal Waktu
Hadits Nabi Muhammad saw dari Abu Walid Hisyam:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ أَخْبَرَنِي قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid Hisyam bin 'Abdul Malik berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata, telah mengabarkan kepadaku Al Walid bin Al 'Aizar berkata, Aku mendengar Abu 'Amru Asy Syaibani berkata, "Pemilik rumah ini menceritakan kepada kami -seraya menunjuk rumah Abdullah- ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?" Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya." 'Abdullah bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Kemudian berbakti kepada kedua orangtua." 'Abdullah bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Jihad fi sabilillah." 'Abdullah berkata, "Beliau sampaikan semua itu, sekiranya aku minta tambah, niscaya beliau akan menambahkannya untukku."[5]
Kosa Kata:
Aku pernah bertanya
:
سَأَلْتُ
Amal apakah
:
أَيُّ الْعَمَلِ
paling dicintai
:
أَحَبُّ
pada waktunya
:
عَلَى وَقْتِهَا
berbakti kepada kedua orangtua
:
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
Jihad
:
الْجِهَادُ
Menambahkannya
:
اسْتَزَدْتُهُ
Penjelasan:
Perawi awal hadits ini adalah Abdullah ibn Mas’ud ra, nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Mas’ud ibn Ghafil Ibn Hubaib, beliau lebih dikenal dengan Abu Abdurrahman dan bergelar Abu Umm Abd, beliau wafat di Madinah tahun 32 H. Dan perawi akhirnya adalah al-Bukhary.[6]
Shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu shalat termasuk ibadah muwaqqat (ibadah yang telah ditentukan waktu-waktunya). Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan:
#sŒÎ*sù ÞOçFøŠŸÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4’n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sŒÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. ’n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. Annisa: 103)
Konsekuensi logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti ketentuan. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa shalat merupakan kewajiban formal yang paling penting dalam keagamaan Islam dan merupakan kewajiban ‘berwaktu’. Walaupun al-quran tidak menjelaskan waktu-waktu secara terinci dan definitif, namun waktu-waktu shalat telah dijelaskan terperinci dalam hadis-hadis nabi.
Shalat pada awal waktu merupakan keutamaan amal (afdlalul a`mal), hadits nabi saw
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الصَّلاَةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا
Rasulullah saw. bersabda: “Seutama-utamanya amal adalah shalat pada awal waktunya”. (HR Tirmidzi dan Hakim asalnya dari Bukhari dan Muslim)
Batas Waktu Shalat Fardhu:
1.         Shalat Dzuhur
Waktunya: ketika matahari mulai condong ke arah Barat hingga bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda tersebut.
2.         Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari.
3.         Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat hingga hilangnya mega merah di langit.
4.         Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya mega merah di langit hingga terbit fajar.
5.         Shalat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya fajar (shodiq) hingga terbit matahari.

D.      Shalat Berjamaah
Shalat jamaah sangat dianjurkan oleh agama, pahala yang didapat dua puluh tujuh derajat lebih besar dari pada shalat seorang diri. Hadits Nabi saw:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat berjamakah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat."[7]
Kosa Kata:
Shalat berjamakah
:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ
lebih utama
:
تَفْضُلُ
shalat sendirian
:
صَلَاةَ الْفَذِّ
dengan dua puluh tujuh
:
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Derajat
:
دَرَجَةً
Penjelasan:
Shalat berjamaah merujuk pada aktivitas shalat yang dilakukan secara bersama-sama. Shalat ini dilakukan oleh minimal dua orang dengan salah seorang menjadi imam (pemimpin) dan yang lainnya menjadi makmum.
Berikut adalah landasan hukum yang terdapat dalam Al Qur'an maupun Hadits mengenai shalat berjamakah:
•       Dalam Al Qur'an Allah SWT berfirman: "Dan apabila kamu berada bersama mereka lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata,..." (QS. 4:102).
•       Rasulullah SAW bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Maka saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjamakah, lantas aku bakar rumah-rumah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA).
Adapun keutamaan shalat berjamakah dapat diuraikan sebagai berikut:
•       Berjamakah lebih utama dari pada shalat sendirian.
•       Dari setiap langkahnya diangkat kedudukannya satu derajat dan dihapuskan baginya satu dosa serta senantiasa dido'akan oleh para malaikat.
•       Terbebas dari pengaruh/penguasaan setan.
•       Memancarkan cahaya yang sempurna di hari kiamat.
•       Mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
•       Sarana penyatuan hati dan fisik, saling mengenal dan saling mendukung satu sama lain.
•       Membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin.
•       Merupakan pantulan kebaikan dan ketaqwaan.
Hadits berikut menunjukkan keumuman shalat jamaah, baik jamaah pertama atau kedua atau yang lainnya, Hadits Abu Sa’id Al Khudri:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian, lalu berkata,“Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu sholat bersamanya?” [HR Abu Daud dan Ahmad].

Dalam riwayat lainnya:
جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Datang seseorang setelah Rasulullah usai shalat, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Adakah orang yang ingin mengambil keuntungan darinya?” Lalu ada seorang yang bangkit dan shalat bersamanya. [HR At Tirmidzi dan Ahmad][8]
Al Hakim menyatakan, hadits ini sebagai dasar dibolehkannya dilakukan dua kali jamaah dalam satu masjid.[9]
Hadits ini menunjukkan bolehnya mendirikan jamaah kedua setelah selesai jamaah pertama, walaupun di masjid yang memiliki imam rawatib (tetap). Sebab pada waktu itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan imam tetap di masjid tersebut. Sehingga Imam Al Baghawi menyatakan, hadits ini menunjukkan bolehnya bagi orang yang berjamaah untuk mengerjakan jamaah kedua setelah yang pertama. Juga menunjukkan bolehnya diadakan dua kali jamaah dalam satu masjid. Inilah pendapat banyak sahabat dan tabi’in.[10]
Demikian juga Imam Muhammad Adzimabadi, penulis kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud menyatakan, “Hadits ini menunjukkan dibolehkannya mengerjakan shalat berjamaah pada masjid yang telah selesai shalat jamaah (pertama)nya.”[11]
Syaikh Shalih As Sadlan menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam merajihkan pendapat ini. Beliau menyatakan, “Pendapat yang rajih ialah pendapat kedua, yaitu dibolehkannya secara mutlak, tanpa membedakan antara masjid tiga (Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha) dengan yang lainnya, karena keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya?” Jelaslah, ini dilakukan di masjid Nabawi. Juga secara makna menunjukkan, bahwa keutamaan shalat jamaah didapatkan padanya sebagaimana didapatkan pada yang lainnya.”[12]
Atsar dari Sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq dalam Shahihnya yang berbunyi:
جَاءَ أَنَسُ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جمَاعَةً
Anas datang ke satu masjid yang telah selesai shalat, lalu beliau adzan dan iqamat serta shalat berjamaah. Hadits ini diriwayatkan secara bersambung melalui jalan periwayatan Imam Bukhari dalam kitab Taghliq Ta’liq, karya Ibnu Hajar , lalu Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan,“Sanadnya ini shahih namun mauquf .”[13]
Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, “Orang yang mampu berjamaah disunnahkan berjamaah, sebagaimana ada di masjid yang dijadikan sebagai tempat shalat orang yang lewat.[14]

E.       Shalat Qashar
Hadits nabi saw dari Abu Ma'mar:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ قُلْتُ أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا قَالَ أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا
Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Ishaq berkata; Aku mendengar Anas radliallahu 'anhu berkata: "Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari kota Madinah menuju kota Makkah, selama kepergian itu Beliau melaksanakan shalat dua raka'at dua raka'at hingga kami kembali ke Madinah. Aku tanyakan: 'Berapa lama kalian menetap di Makkah?" Dia menjawab: "Kami menetap disana selama sepuluh hari".[15]
Kosa Kata:
Kami pernah bepergian
:
خَرَجْنَا
Beliau melaksanakan shalat
:
يُصَلِّي
dua raka'at
:
رَكْعَتَيْنِ
hingga kami kembali
:
حَتَّى رَجَعْنَا
kalian menetap
:
أَقَمْتُمْ
sepuluh hari
:
عَشْرًا
Penjelasan:
Selama berpergian, orang Islam disyariatkan dan dibolehkan untuk mengqashar shalat. Hal ini ditetapkan berdasarkan dalil Al-Quran:
Allah SWT berfirman:
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ ’Îû ÇÚö‘F{$# }§øŠn=sù ö/ä3ø‹n=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx.
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa: 101)
Ya’la bin Umayyah bercerita: Aku pernah bertanya pada Umar mengenai ayat yang artinya, “maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu), jika kamu takut di serang orang-orang kafir” sementara sekarang ini orang-orang berada dalam keadaan aman?” Umar menjawab, “ Aku dahulu juga heran sebagaimana keheranan dirimu, kemudian aku tanyakan kepada Rasullullah dan beliau menjawab: “itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya.”[16]
Untuk boleh mengqashar shalat, jarak perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak tertentu yang membolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat. Namun, berdasarkan penelitian, tidak ada dalil shahih dari Nabi SAW mengenai pembatasan jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat.[17]
Ibnu Mundzir dan ulama menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini. Salah satu pendapat yang lebih kuat, yaitu : Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Baihaiqi merirwayatkan dari Yahya bin Yazid katanya :
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ أَنْسُ؛ كَانَ النَّبِىُّ ص،م إِذَاخَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَتِ أَمْيَالٍ أَوْفَرَاسِخَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ
Saya bertanya pada Anas bin Malik perihal mengqashar shalat. Ujarnya: “Rasulullah SAW shalat dua rakaat kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga fasakh”.
Hadits ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Al-Fath bahwa inilah hadits yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak bepergian yang dibolehkan mengqashar itu.[18]

F.        Shalat Jamak
Menjamak dua shalat ketika berpergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Al Mufadhdhal bin Fadhalah dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila berangkat bepergian sebelum matahari condong, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan pelaksanaan shalat zhuhur hingga waktu shalat 'Ashar, lantas beliau singgah lalu menggabungkan (jamak) keduanya. Dan bila matahari condong sebelum berangkat, Beliau laksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat".[19]
Kosa Kata:
bila berangkat bepergian
:
إِذَا ارْتَحَلَ
matahari condong
:
أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ
Mengakhirkan
:
أَخَّرَ
Singgah
:
نَزَلَ
menggabungkan (jamak) keduanya
:
فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
Berangkat
:
رَكِبَ
Penjelasan:
Shalat jamak adalah shalat yang digabungkan, maksudnya menggabungkan dua shalat fardu yang dilaksanakan pada satu waktu. Misalnya menggabungkan shalat Duhur dan Asar dikerjakan pada waktu Duhur atau pada waktu Asar. Atau menggabungkan shalat magrib dan ‘Isya dikerjakan pada waktu magrib atau pada waktu ‘Isya. Sedangkan shalat Subuh tetap pada waktunya tidak boleh digabungkan dengan shalat lain.
Hukum mengerjakan shalat Jamak adalah mubah (boleh) bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan.
Rasulullah pernah menjamak shalat karena ada suatu sebab yaitu bepergian. Hal menunjukkan bahwa menggabungkan dua shalat diperbolehkan dalam Islam namun harus ada sebab tertentu.
Shalat jamak boleh dilaksanakan karna beberapa alasan (halangan) berikut:
-         Dalam perjalanan jauh minimal 81 km (menurut kesepakatan sebagian besar imam madhab)
-         Perjalanan itu tidak bertujuan untuk maksiat.
Menjamak shalat tidak hanya dikhususkan pada saat bepergian saja. Shalat jamak lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjamak shalat bukan hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan oleh orang yang mukim.
Terdapat beberapa riwayat yang membolehkan jamak dalam keadaan tidak safar (mukim) antara lain sebagai berikut:
1.    Menjamak shalat karena turun hujan
Boleh menjamak shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ pada saat bermukim karena hujan. Hanya saja imam Malik menhkhususkan kebolehannya pada saat malam hari.
Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini:
a.    Hadis Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW menjamak shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ di madinah tanpa adanya rasa takut dan tanpa ada hujan. (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ ، قَالَ : قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ : وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. (احمد: 1: 283(
"Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertannya; Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya".
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang menjamak shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjamak shalat karena hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadis di atas hujan di jadikan sebab yang membolehkan untuk menjamak.[20]
b.    Dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ayahnya urwah bersama sa’id bin musayyab dan Abu Bakr bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin mughirah al-makhzumi, menjamak antara maghrib dan isya’ ketika hujan turun pada malam hari, ketika mereka menjamak shalat, tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu. (HR. Al-Baihaqi)
2.    Menjamak karena ada keperluan dan karena sakit.
Dalam riwayat Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertanya: Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya. (HR.Muslim)
Imam Nawawi mengomentari hadis ini mengatakan, mayoritas ulama membolehkan menjamakkan shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan).[21] Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, Ishaq Almarwazi dan Ibnu Mindzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengar hadits Nabi di atas, “beliau tidak ingin memberatkan umatnya sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir.
Syaikhul Islam berkata: “para buruh dan petani, jika pada waktu tertentu memberatkan mereka, misalnya air jauh dari tempat shalat. Jika mereka pergi kesana untuk bersuci, terbengkalailah pekerjaan yang di butuhkan, maka mereka boleh mengerjakan shalat pada satu waktu dengan menjamak di antara dua shalat.[22]
Kemudian bagi Orang yang sakit boleh menjamak shalatnya yaitu orang yang merasa kesulitan mengerjakan tiap-tiap shalat tepat pada waktunya. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang telah lalu. Pendapat ini yang dipegangi oleh Imam Malik dan Ahmad begitu pula Syaikhul Islam.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology / istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan.
Melaksanakan sholat sebagai salah satu rukun Islam bukan saja menjaga tegaknya agama tetapi secara medis sholat adalah gerakan paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Gerakan sholat memberi dampak yang sangat positif bagi kesehatan dan obat terhadap berbagai macam penyakit. Ibadah shalat merupakan ibadah yang paling tepat untuk metabolisme dan tekstur tubuh manusia. Setiap gerakan di dalam shalat mempunyai manfaat masing-masing.
Shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu shalat termasuk ibadah muwaqqat (ibadah yang telah ditentukan waktu-waktunya).
Shalat jamaah sangat dianjurkan oleh agama, pahala yang didapat dua puluh tujuh derajat lebih besar dari pada shalat seorang diri.
Untuk boleh mengqashar shalat, jarak perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak tertentu yang membolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat. Namun, berdasarkan penelitian, tidak ada dalil shahih dari Nabi SAW mengenai pembatasan jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat.
Shalat jamak adalah shalat yang digabungkan, maksudnya menggabungkan dua shalat fardu yang dilaksanakan pada satu waktu. Hukum mengerjakan shalat Jamak adalah mubah (boleh) bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan. Rasulullah pernah menjamak shalat karena ada suatu sebab yaitu bepergian.



DAFTAR PUSTAKA

Adzimabadi, Muhammad. Aunul Ma’bud
Al Baghawi. Syarhu Sunnah
Al Baniy, Irwa’
Al Hakim. Al Mustadrak
Assuyuti, Imam Basori. 1998. Bimbingan Shalat Lengkap. Jakarta: Mitra Umat
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah
Bukhari, Shahih Bukhari
Gazalba, Sidi. 1975. Asas Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang
http://islamdiaries.tumblr.com/post/14438421354/keutamaan-dan-hikmah-sholat
Ibnu Qudamah, Al Mughni
Ja’far, Abidin, Fuady, M. Noor. 2006. Hadits Nabawi. Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin
Madjid, Nurcholish. 1995. Shalat. Jakarta: Paramadina.
Majmu’ Fatawa
Nawawi,  Imam. Syarah Muslim
Sabiq, Sayyid. 1996. fiqh Sunnah jilid 2. Bandung: PT. Al-ma’arif
Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha
Syidiqi, Hasbi Asy. 1976. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang

FOOTNOTE
[1] Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 88
[2] Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 59
[3] Imam Basori Assuyuti, Bimbingan Shalat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998), h. 30
[4] http://islamdiaries.tumblr.com/post/14438421354/keutamaan-dan-hikmah-sholat
[5] Bukhari, Kitab Waktu-waktu shalat, Bab Keutamaan shalat pada waktunya, No. Hadist : 496
[6] Drs. Abidin Ja’far, Lc. MA, Fuady. M. Noor, M.Ag. Hadits Nabawi. (IAIN Antasari. Banjarmasin, 2006), h.20-21
[7] Bukhari, Kitab Adzan, Bab Keutamaan shalat berjama'ah, No. Hadist : 609
[8] Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/11
[9] Al Hakim, Al Mustadrak, 1/209
[10] Al Baghawi, Syarhu Sunnah, 3/437
[11] Muhammad Adzimabadi, Aunul Ma’bud, 1/225
[12] Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 101
[13] Ibnu Qudamah, Op. Cit., 3/11
[14] I’lamul ‘Abid, hal. 79-80 menukil dari kaset rekaman beliau berjudul Masail Tahumu Al Muslim.
[15] Bukhari, Kitab Jum'at, Bab Tentang Shalat Qashar dan Lama Waktu Yang Diperbolehkan Mengqashar Shalat, No. Hadist : 1019
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 288
[17] Ibid.
[18] Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah jilid 2, (Bandung, PT. Al-ma’arif, 1996), h. 214
[19] Bukhari, Kitab Jum'at, Bab Apabila Berangkat Bepergian Setelah Matahari Condong ke Barat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam Shalat Zhuhur Terlebih Dahulu, No. Hadist : 1045
[20] Al-Baniy, Irwa’, III/40
[21] Imam Nawawi, Syarah Muslim, V/215
[22] Majmu’ Fatawa, XX/458

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites