Sabtu, 06 Juli 2013

masaqqah tajlibut taysir

PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan kekuatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya.
Syari’ (pembuat hukum) Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bermaksud membuat kesukaran dengan taklif-taklif Nya, diantaranya tercermin dalam Firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannnya…” (QS. 2:286). Di dalam hadits Nabi SAW disebutkan: “Agama itu adalah mudah, agama yang paling disukai Allah ialah yang benar dan mudah” (HR. Bukhari), “Mudahkanlah dan jangan mempersukar” (HR. Bukhari).
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut terlihat  bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan ialah kemudahan dalam melaksanakan taklif-taklif Nya, sehingga timbullah kaidah fiqih: “Al-Masyaqqah Tajlib At-Taysîr” (kesukaran itu mendatangkan kemudahan). Kaidah ini mengandung pengertian bahwa kesukaran yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat dapat menyebabkan kemudahan demi tercapainya kemaslahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
Teks kaidahnya:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesukaran  itu menarik adanya kemudahan”
Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi.[1] 
Hal ini antara lain karena kemampuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Syathibi sebagai berikut:
1.        Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2.        Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan, karena hubungan tersebut dalam Islam bisa dikategorikan sebagai ibadah juga.
B.       Dasar-dasar Nash Kaidah
Firman Allah SWT:
       
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah:185)[2]
            Firman Allah SWT:
      
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj:78)
Hadits yang diterima dari Abu Hurairah:
الدِّيْنُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
بُعثْتُ بِالْحَنَفِيَّةِ السًّمْحَةِ (رواه أحمد عن ابن عباس)
“Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas)
C.       Klasifikasi Kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam dua kategori, yaitu:
a.  Kesulitan Mu’tadah
Adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah.
b. Kesulitan Ghairu Mu’tadah
Adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, serta dapat diukur oleh kriteria akal sehat. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah).
D.      Tingkatan Kesulitan dalam Ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam, yaitu:
a.  Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia. Kesulitan ini diharuskan adanya rukhsah secara pasti bagi manusia, karena memelihara jiwa dan anggota badan merupakan upaya untuk kemaslahatan dunia akhirat yang lebih dipentingkan dari ibadah.
b. Kesulitan Khafifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.
c.  Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilki rukhsah juga tidak dilarang memilihnya.
E.       Sebab-sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as-Suyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu:
a.  Safar (bepergian)
Menurut Imam Nawawi, kesulitan ini menjadikan 8 macam keringanan, yaitu diperbolehkan mengqashar shalat, berbuka puasa, memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan Juma’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan bertayamum.[3]
b. Marodh (sakit)
Karena sakit seseorang diperbolehkan bertayamum, duduk ketika shalat dan khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan shalat Jum’at, berbuka puasa dengan membayar fidyah, atau memberi makan orang miskin, berobat dengan najis, kebolehan melihat auratnya.
c.  Ikrah (terpaksa atau dipaksa)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram, mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. Firman Allah SWT:
           
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”. (QS. An-Nahl:106)
d. Nisyan (lupa)
Bila seseorang luapa maka ia terbebas dari dosa, misalnya makan minum waktu puasa Ramadhan, lupa mengerjakan shalat lalu ia teringat dan melakukannya di luar waktunya, lupa berbicara dalam shalat padahal belum melakukan salam. Sabda Nabi SAW:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ (رواه البيهقى)
“Sungguh Allah itu telah menggugurkan dosa ummatku karena salah, lupa, dan terpaksa”. (HR. Baihaqi)
e.  Jahl (bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan, diperbolehkan juga seseorang mengembalikan barang yang telah dibelinya, lantaran cacat  yang sewaktu mengadakan perikatan jual beli tidak diketahuinya.
f.   ‘Usrun dan Umumul Balwa (kesulitan)
Misalnya kebolehan istinja dengan batu, kebolehan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiyar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit dihilangkan.
g. Naqsh (kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak mengikuti Jum’at karena Jum’at membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi Jum’at itu datang bulan.
F.       Bentuk-bentuk Keringanan (takhfif) dalam Kesulitan
Keringanan-keringanan di dalam syara’ itu ada tujuh macam, yaitu:
a.        Takhfif isqath, yakni keringanan yang berupa pengguguran. Misalnya, gugurnya menjalankan kewajiban shalat Jum’at, menunaikan ibadah haji, jihad, dan lain sebagainya disebabkan udzur.
b.       Takhfif tanqish, yaitu suatu keinginan yang berupa pengurangan. Misalnya, mengqashar shalat 4 rakaat menjadi dua rakaat disebabkan dalam keadaan bepergian.
c.        Takhfif ibdal, yakni keringanan yang berupa penggantian. Misalnya, wudhu atau mandi dapat diganti dengan tayamum, dikarenakan sakit atau tidak memperoleh air.
d.       Takhfif taqdim, yakni keringanan yang berupa mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya. Misalnya, menjama’ (taqdim) shalat Ashar dengan shalat Zuhur pada waktu shalat Zuhur dan mendahulukan membayar zakat sebelum datang tahun wajib zakat.
e.        Takhfif ta’khir, yakni keringanan yang berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktunya. Misalnya, menjama’ (ta’khir) shalat Zuhur dengan shalat Ashar pada waktu shalat Ashar atau shalat Maghrib dengan shalat Isya pada waktu shalat Isya dan mengakhirkan puasa Ramadhan dihari-hari selain bulan Ramadhan bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya pada bulan tersebut karena suatu udzur, sakit, bepergian, atau yang lain.
f.         Takhfif tarkhish, yaitu keringanan yang berupa pemberian kemurahan. Misalnya, makan binatang yang diharamkan/barang najis untuk menolak kelaparan atau keperluan berobat.
g.       Takhfif taghyir, yakni keringanan yang berupa perubahan sesuatu yang telah diatur menurut aturan tertentu. Misalnya, berubahnya aturan-aturan sembahyang bagi orang yang dalam keadaan ketakutan terhadap sesuatu malapetaka yang bakal mengancamnya.
G.       Macam-macam Hukum Kemurahan (rukhshah)
Ditinjau dari segi hukum pelaksanaannya rukhsah itu ada 5 macam, yaitu:
a.        Rukhsah yang harus dikerjakan, misalnya memakan binatang yang tidak disembelih menurut syari’at bagi orang yang dalam keadaan mengkhawatirkan jiwanya dan membuka puasa bagi orang yang takut terganggu sekali kesehatannya lantaran lapar dan haus, sekalipun dia dalam keadaan sehat atau tidak dalam bepergian.[4]
b.       Sunnat untuk dikerjakan, misalnya mengqashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan, tidak puasa bagi orang yang mengalami kesulitan pada waktu bepergian atau dalam keadaan sakit.
c.        Mubah untuk dikerjakan atau ditinggalkan, misalnya jual beli dengan system salam, yakni jual beli dengan pembayaran lebih dahulu sedang barangnya dikirim kemudian menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.
d.       Lebih utama ditinggalkan, misalnya menjama’ kedua shalat, berbuka puasa bagi orang yang tidak mengalami kesukaran sedikitpun dan bertayamum bagi orang yang telah memperoleh air secara membeli dengan harga mahal, sekalipun ia mampu membelinya.
e.        Makruh untuk ditinggalkan, misalnya mengqashar shalat dalam bepergian yag jauh perjalanannya kurang dari 3 marhalah (± 84 km).
H.      Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan Kemurahan
1.        Kaidah pertama:
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ وَإِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”
Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh al-Ghazali dengan redaksi yang berbeda:
كُلُّ مَا تَجَاوَزَ حَدَّهُ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.
            Misalnya, pada dasarnya seorang saksi adalah laki-laki yang terpercaya, namun bila tiada laki-laki sama sekali maka boleh digantikan pada wanita atau bahkan anak kecil. Tetapi jika dalam kondisi memungkinkan saksi harus laki-laki, tidak boleh digantikan yang lain.
2.        Kaidah kedua:
الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Rukhshah-rukhshah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan”.[5]
Mengerjakan maksiat dilarang oleh syari’at. Tuntutan itu sedemikian kuatnya sehingga hampir tidak ada jalan untuk memperingankannya. Padahal keringanan itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu kelonggaran dalam menjalankan perintah syari’at. Maka, tidak logis kiranya dalam mengerjakan maksiat diberi kelonggaran demi tercapainya suatu kemaksiatan yang justru harus dihindarkan. Misalnya, orang yang sedang bepergian untuk merampok atau membajak kapal terbang, sekalipun jarak perjalanannya itu sudah memenuhi syarat diperkenankan rukhshah, maka tidak diperkenankan mempergunakan kemurahan-kemurahan seperti bertayamum, mengqashar dan menjama’ shalat dan meninggalkan puasa.
3.        Kaidah ketiga:
الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالشَّكِّ
“Rukhshah-rukhshah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan”.[6]
Misalnya, apabila seseorang ragu-ragu apakah ia diperkenankan menyapu sepatu (khuf), sebagai pengganti membasuh kaki bila telah dipenuhi syaratnya, atau tidak, maka ia wajib membasuh kaki.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Adapun kaidah fiqih: “Al-Masyaqqah Tajlib At-Taysîr” (kesukaran itu mendatangkan kemudahan) memiliki makna bahwa segala kesulitan dan kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberikan keringanan oleh Tuhan. Dimana tujuan pokok terciptanya kaidah tersebut adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam, agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan.
Dan disamping itu, kaidah ini menjadi sumber adanya bermacam-macam rukhshah (kemurahan) dalam melaksanakan tuntutan syari’at, sehingga suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudharatkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi. Serta dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Muhammadiyah, Drs, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta:Kalam Mulia, 1993).
D. Sirajuddin Ar, Drs, Ensiklopedi Hukum Islam 4, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999).
Usman, Mukhlis, Drs, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
Yahya, Mukhtar, Dr, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih-Islami, Cet.3, (Bandung:Al-Ma’arif, 1993).

[1]Syafi’i Rachmat, MA, Ilmu Uhul Fiqih, Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999, h. 284.
[2]Usman, Mukhlis, Drs. Kaidah-kaidahUshuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 123.
[3]Ibid,.h. 128
[4]Yahya, Mukhtar, Dr, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Cet.I, Bandung:Al-Ma’arif, 1993, h. 508.
[5]Ibid.
[6]Ibid,.h. 508.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites