Sabtu, 06 Juli 2013

Sewa Menyewa (Ijarah)

PENDAHULUAN

Ijarah menurut syara' adalah perjanjian atau perikatan mengenai pemakaian dan pemungutan hasil dari manusia, benda atau binatang. Dalam bahasa arab ijarah adalah sewa-menyewa.
Ijarah merupakan perjanjian yang bersifat kosensual, mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung, setiap yang dapat di ambil manfaatnya serta setiap keadaannya adalah sah untuk di persewakan.
Dalam kehidupan sehari-hari yang demikian ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam melakukan hal tersebut yang secara muthlak persewaan itu adalah bayar dimuka, kecuali disyaratkan bayar belakang. Dan dalam peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan di sebut dengan "pemberi gadai" dan yang menerima gadai dinamakan "penerima atau pemegang gadai" maka dari itu pengertian gadai yang ada dalam syari'at Islam agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif kita sekarang ini, sebab pengertian gadai dalam hukum positif kita sekarang ini, cenderung dengan pengertian yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata).













A. SEWA-MENYEWA DAN UPAH (IJARAH)

a. Pengertian
Sebelum dijelaskan arti sewa-menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih Syafi'i[1] berpendapat bahwa ijarah adalah upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, yaitu mu'jir dan musta'jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq[2] menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dengan upah ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digukan untuk benda, seperti "seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah", sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti "para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa Arab upah dan sewa di sebut ijarah.
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasa ialah al-'iwadh yang arti bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain sebagai berikut:
1.        Menurut Hanafiyah bahwa ijarah ialah:
عُقْدٌ يُفِيْدُ تَمِلْيكُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ الْعَيْنِ اْلمُسْتَاْجِرَةِ بِِعَوْضٍٍ
"Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan di sengaja dari suatu yang disewa dengan imbalan".
2.        Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah:
تَسْيِةُ التَعَاقُدِعَلَى مَنْفَعَةِ اْلآدَمِىّ وَبِعْضِ الْمَنْقُوْلاَنِ  
”Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”
3.        Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَاحَةِ بِعِوَضٍ وَضْعًا
"Akad atas manfaat yang di ketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu".
4.        Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah adalah:

تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعَوْضٍ بِشُُرُوْطِ
"Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat".[3]
5.        Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian".
6.        Menurut Hasbi ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:

عَقْدٌ مَوْضُوْعَةِ اْلمُبَادَلَةِ عَلَى مَنْفَعَةِالشَّيْءِ بِمُدَّةِ مَحْدُوْدَةٍ أى تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْغُ اْلمَنَافِعِ
"Akad yang obyeknya ialah yang penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat."
7.        Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah mengupah, sewa-menyewa adalah:

بَيْعُ الْمَنَافِعِ
"menjual manfaat"
Dan upah mengupah adalah:
بَيْعُ اْلقُوَّةِ
"menjual tenaga atau kekuatan"
Menurut H. Moh. Anwar menerangkan bahwa : Ijarah, ialah perakadan (perikatan) pemberian kemanfaatan (jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai 'iwadh (penggantian/balas jasa) dengan berupa uang atau barang yang ditentukan.
Didalam istilah hukum Islam orang yang menyewakan disebut dengan "Mu'ajjir", sedangkan orang menyewa disebut dengan Musta'jir", benda yang disewakan diistilahkan dengan "Ma'jur" dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut dengan "Ajaran atau Ujrah".
Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-quran dan Hadits. Antara lain sebagaina di bawah ini.

….                             
 Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (al-Baqarah: 233)
ْ                            
   Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.  (Al-Zukhruf:32).  

عن ابن عباس قال : إحتجم رسول الله ص.م. واعطى الذى حجمه اجره (رواه البخارى)
”Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwasanya Rasulullah SAW pernah berbekam, kemudian beliau memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya ”[4]

عن ابن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله اعطوا الأجير أجره قبل ان يجف عرقه (رواه ابن ماجه)
”Diriwayatkan dari Umar ra. bahwasanya Nab Muhammad SAW bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya ”[5]

b. Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah al-Quran, al-Sunnah dan al-Ijma’.
Dasar hukum ijarah dalam al-Quran adalah:
     
Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Al-Thalaq:6)
             
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Al-Qashash: 26).
Dasar hukum ijarah dari Al-Hadits adalah:

أُعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عُرُقُهُ (رواه ابن ماجه)
”Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).

احْتَجِمْ وَاعْطِ الحُجَّامَ أَجْرَهُ (رواه البخارى ومسلم)
”Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلىَ السَّوَافِى مِنَ الزَرَعِ فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص.م. ذلِكَ وَأَمَرَنَا بِذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ (رواه احمد وابوداود)
”Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[6]

Landasan Qur’aninya
1. Allah berfirman:
                              
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Al-Zukhruf:32).

Landasan Sunnahnya
1.        Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Nabi SAW, pernah menyewa seseorang dari Bani Ad Diil[7] bernama Abdullah bin Al-Uraiqith. Orang ini penunjuk jalan yang professional.
2.        Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi SAW, bersabda :

أُعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عُرُقُهُ (رواه ابن ماجه)
”Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).
3.        Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash r.a., berkata:

كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلىَ السَّوَافِى مِنَ الزَرَعِ فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص.م. ذلِكَ وَأَمَرَنَا بِذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ (رواه احمد وابوداود)
”Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

c. Unsur-unsur Ijarah
            Ijarah menjadi sah dengan ijab kabul lafaz sewa atau kuli dan yang berhubungan dengannya, serta lafaz (ungkapan) apa saja yang dapat menunjukkan hal tersebut.
Persyaratan orang yang berakad :
            Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka akad menjadi tidak sah.
            Mazhab Imam Asy-Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi, yaitu baligh. Menurut mereka akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.





B.GADAI
a. Pengertian
Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merungguhkan  رَهَنَ- يَرْهَنُ- رَهَنًا atau jaminan (borg).[8] Sementara menurut istilah adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan/penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku waktu itu).[9] Dan menurut Drs.H.Moh.Rifa’i, gadai adalah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan, dan akan dijadikan pembayaran jika utang itu tidak dapat dibayar.[10]
Drs. Masyfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail Fiqhiyah menjelaskan definisi gadai sebagai berikut : ”gadai ialah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang”.[11]
Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkna dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu”. Secara etimologis (artinya kata) rahn berarti ”tetap atau lestari” sedangkan ”al-habsu” berarti ”penahanan”.
Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut ”menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 139)”.
Istilah yang digunakan fiqih untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin.
Pandangan fuqaha tentang kebolehan akad gadai didasarkan pada keterangan al-Quran dan al-Hadits, antara lain sebagai berikut ini:
                         
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah: 283).

ان النبي ص.م. اشترى طعاما يهودى إلى اجل ورهنه درعا من حديد.
”Rasulullah SAW membeli suatu makanan dari seorang Yahudi secara tidak tunai dan beliau meminjamkan baju besinya”.

            b. Dasar Hukumnya
            Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syari’at Islam dihukumkan sebagai perbuatan jaiz atau yang dibolehkan, baik menurut ketentuan al-Quran, Sunah maupun Ijma’ Ulama.
            Dasar hukum tentang kebolehan ini dapat dilihat dalam ketentuan al-Quran Al-Baqarah ayat 283 yang artinya berbunyi sebagai berikut:
”Jika kamu berada dalam perjalanan, dan tiada mendapatkan seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (H.B. Jassin, 1991 : 631).
Dari kalimat ‘hendaklah ada barang tanggungan’ dapat diartikan sebagai ”gadai”.
Sedangkan dalam Sunah Rasulullah SAW dapat diketemukan dalam ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a, berkata:
”Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”. (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 140).
            Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka (jumhur ulama tersebut) tidak pernah berselisih/bertentangan pendapat.
c. Unsur-unsur Gadai
            Adapun yang menjadi rukun gadai ini adalah:
1.        Adanya lafaz, yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.
2.        Adanya pemberi gadai dan penerima gadai.
3.        Adanya barang yang digadaikan.
4.        Adanya utang.

d. Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
            Menyangkut pemanfaatan barang gadaian menurut ketentuan hukum Islam tetap merupakan hak si penggadai, termasuk hasil barang gadaian tersebut, seperti, anaknya, buahnya, bulunya.
Sebab perjanjian dilaksanakan hanyalah untuk menjamin utang bukan untuk mengambil suatu keuntungan, dan perbuatan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian adalah merupakan perbuatan (qirad ialah harta yang diberikan kepada seseorang, kemudian dia mengembalikannya setelah ia mampu) yang melahirkan kemanfaatan, dan setiap jenis qirad yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai riba.
Namun demikian apabila jenis barang gadaian tersebut berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau diperah susunya, maka si penerima gadai dibolehkan untuk menggunakan atau memerah susunya, hal ini dimaksudkan sebagai imbalan jerih payah sipenerima gadai memelihara dan memberi makan binatang gadaian tersebut, sebab orang yang menunggangi atau memerah susu binatang mempunyai kewajiban untuk memberi makan binatang itu.
Dasar hukum pembolehan ini dapat diperhatikan dalam ketentuan sunah Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jama’at kecuali Muslim dan An-Nasa’i yang artinya berbunyi sebagai berikut:
”Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Boleh menunggangi binatang gadaian yang ia beri makan, begitu juga boleh mengambil susu binatang gadaian jika ia memberi makan. Kewajiban yang menunggangi dan mengambil susu memberi makan”. (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 142-143).  

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Al-Ijarah berasal dari kata Al-Ajru  yang berarti Al-Iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats-Tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).
Menurut pengertian syara’ : al-Ijarah ialah ”sutau jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian ”.
Gadai dalam istilah bahasa Arab disebut juga dengan ”rahn” atau ”al-habsu” yang berarti sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan. Suatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. Dalam peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan disebut dengan pemberi gadai dan yang diberi gadai dinamakan penerima gadai



















DAFTAR PUSTAKA

Suhrawardi Pasaribu, Chairuman, 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta:Sinar Grafika.

Sodarsono, 1993. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta:Rineka Cipta.

Suhendi, hendi, 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Sabiq, Sayid, 1997. Fiqih Sunnah. Bandung:PT  Al-Ma’arif.

Bakry, Nazar, 1994. Problematika Pelaksanaan Fiqih Islam. Padang.

Mas’adi, Ghufron, 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual. Semarang.

[1]Lihat, hlm. 139.
[2]Lihat Fiqh al-Sunnah. Hlm. 1.
[3]Al-Khatib, Al-Iqna,hlm. 70.
[4]Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, baca Subulus Salam, Juz III, hlm. 80.
[5]Ibid., hlm. 81.
[6]Lihat Fiqih al-Sunnah, hlm. 18.
[7]Suatu cabang dari kabilah ‘Abdu Qais
[8]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Penerbit Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir al-Quran, Jakarta tahun 1973 hlm. 188.
[9]H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Penerbit At-Tahiriyah Jakarta, tahun 1973 hlm.295.
[10]Drs. H. Moh. Rifa’I,  Fiqih Islam Lengkap, Penerbit Pustaka Indonesia, Jakarta, tahun 1978 hlm.423.
[11]Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a baca hadits al-Bukhari, dalam kitab al-buyu’, nomor 1926. 

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites