Sabtu, 06 Juli 2013

Ilmu Qiraat

BAB I
ILMU QIRA’AT
 
A.      Pengertian Qira’at
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata Qira’ah, yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al-Zarqani mengemukakan qira’at sebagai:
مَذْهَبٌ يَذْهّبُ إِلَيْه إِماَمٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَاءٌ أَكَانَتْ هَذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِى نُطْقِ هَيْئَاتِهَا
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dari pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.
  Definisi ini mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1.        Qira’at yang dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Cara membaca al-Quran berbeda dari satu imam dengan imam yang lainnya.
2.        Cara baca yang dianut dalam suatu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad.
3.        Perbedaan antara qira’at-qira’at bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaannya.
Disamping itu, Ibnu Al-Jazari membuat definisi bahwa “qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Quran dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”.
 
B.       Latar Belakang Adanya Qira’at
Pada masa Rasulullah SAW umat Islam memperoleh ayat-ayat al-Quran dengan mendengarkan, membaca dan menghafalkan secara lisan dari mulut ke mulut, al-Quran belum dibukukan. Pada masa sahabat sudah dibukukan dalam satu mushhaf. Pembukuan al-Quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar r.a. atas inisiatif Umar bin Khattab r.a.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan r.a. mushhaf al-Quran itu disalin dan dibuat banyak, dan dikirim ke daerah-daerah Islam. Hal itu dilakukan Khalifah Usman, karena pada waktu itu ada perselisihan diantara kaum muslimin mengenai bacaan al-Quran, mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat al-Quran karena Nabi mengajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud dan tujuan Nabi, lalu meraka menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah. Sehingga mengakibatkan perselisihan.
Inilah pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah timbulnya ilmu qira’ah.
Mushhaf-mushhaf yang ditulis atas perintah Khalifah Usman tidak berbaris dan bertitik, sehingga mushhaf-mushhaf itu dapat dibaca dengan berbagai qira’ah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ اُُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَاُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan) maka bacalah (menurut) mana yang engkau anggap mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara baca al-Quran, sebagian mengambil satu cara baca al-Quran dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan lainnya mengambil lebih sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat ini berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca tersebut menjadi populer di kota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan baca al-Quran dari satu kota ke kota lain. Kemudian para tabi’in menerima cara baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’i al-tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian timbullah berbagai qira’ah yang semuanya berdasarkan riwayat, hanya saja sebagian menjadi populer dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawatir dan yang lain tidak.
 
C.       Syarat-syarat Qira’at dan Jenisnya
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan al-Quran diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at, dan perbedaan antara satu qira’at dan lainnya bertambah besar sehingga riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan.
Untuk menyangkal penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah) para ulama membuat tiga syarat baagi qira’at yang benar, yaitu:
1.        Qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan.
2.        Qira’at itu sesuai dengan salah satu mushhaf –mushhaf Utsmani sekalipun secara potensial.
3.        Sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka.
Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah qira’at yang benar, yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat tersebut, disebut qira’at yang lemah atau aneh atau batal.
As-Sayuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam.
1.        Mutawatir
Yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula, sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam setiap angkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur Ulama, qira’at yang tujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathani, para ulama al-Quran dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagia al-Quran. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan di luar shalat. Qira’at ini dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapakan hukum.
 
 
2.        Masyhur
Yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang saja tak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushhaf Utsmani. Qira’at ini populer dikalangan ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai qira’at yang salah atau aneh. Menurut Ibnu Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan waib meyakininya serta tidak mengingkari sedikitpun daripadanya.
3.        Ahad
Yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi qira’at ini meyalahi tulisan mushhaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran qira’at diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai al-Quran dan tidak wajib meyakininya. Contohnya seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dari Abu Bakrah, bahwasanya Nabi SAW membaca:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَّعَبَاقَرِيٍّ حِساَنٍ
Sementara Hafsah membaca:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَّعَبْقَرِيٍّ حِساَنٍ
4.        Syaz
Yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih atau cacat dan tidak bersambung sampai Rasulullah SAW. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk al-Quran.
5.        Maudhu
Yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’I dan menisbatkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya: 
إِنَّمَا يَخْشَ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
Dengan rafa’ (dhammah) kata الله dan nasb (fathah) kata العلماء padahal qira’at yang benar adalah sebaliknya. Qira’at jenis ini tidak boleh didalam dan diuar shalat bahkan harus ditolak dan diingkari keberadaannya.
6.        Mudraj
Yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat al-Quran, seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqas dengan tambahan kata مِنْ اُُمًٍّ pada ayat  وَلَهُ اَخٌ اََوْ اُُخْتٌ مِنْ اُُمٍّ
Qira’at terakhir jelas tidak termasuk al-Quran dan tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan.
 
D.      Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbath Hukum
Perbedaaan antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbathkan kepadanya. Al-Zarkasyi berkata:
اَنَّ بِاخْتِلاَفِ الْقِرَاءتِ يَظْهَرُ الْاِخْتِلاَفُ فِى الاَحْكاَمِ وَلِهَذَا بَنَى الْفُقَهَاءُ نَقْضَ وُضُوْءِ الْمَلْمُوْسِ وَعَدَمَهُ عَلَى اخْتِلاَفِ الْقِرَاءتِ فِى (لَمَسْتُمْ) وَ (لاَمَسْتُمْ) وَكَذَلِكَ جَوَازٌ وَطَاءِ الْحِائِظِ عِنْدَ الْاِنْقِطَاعِ وَعَدَمَهُ اِلَى الْغُسْلِ عَلَى اخْتِلاَفِهِمْ فِى (حَتَّى يَطْهُرْنَ)
“Bahwa dengan perbedaan qira’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqih membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kau sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian pula hukum perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mendalam: “hingga mereka suci”.
 
Menurut qira’at Nafi dan Abu Amr dibaca        : حَتَّى يَطْهُرْنَ
dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kisai         : حَتَّى يَطَّهَّرْنَ
Qira’at pertama dengan sukun ta dan dhammah ha menunjukkan larangan menggauli perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terputusnya haid walaupun sebelum mandi, inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid (suara ganda) ta dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadi dirinya bersih. Perbuatan itu adalah mandi sehingga يَطَّهَّرْنَ ditafsirkan dengan يَغْتَسِلْنَ (mandi). Berdasarkan antara qira’at-qira’at Hamzah dan Al-Kisai, Jumhur Ulama menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
Perbedaan antara qira’at لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan  لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ juga mempengaruhi istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, hanya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu, sebab menurut Hanafi, kata: لاَمَسْتُمُ disini berarti jima’ (hubungan kelamin). Dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu, sedangkan menurut mazhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.
Dari sudut qira’at, perbedaan qira’at dalam ayat ini juga menimbulkan perbedaan pengertian. Qira’at pertama: mengandung unsur interaksi antara pihak yang disentuh dan yang menyentuh, baik interaksinya sampai kepada jima’, sebagaimana yang dipahami mazhab Hanafi maupun hanya sampai kepada perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab, kata لاَمَسَ termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu, qira’at: لَمَسَ adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’at pertama mendukung pendapat mazhab Syafi’i.
Sebagian ulama memandang qira’at syazzah (aneh) sebagai pembantu untuk mengetahui kebenaran suatu takwil, seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash
 وَلَهُ اَخٌ اََوْ اُُخْتٌ مِنْ اُُمٍّ , menjelaskan qira’ar Hafsah yang tanpa kalimat مِنْ اُُمّ tentang jenis saudara dalam masalah warisan.
Qira’at besar pengaruhnya terhadapnya penetapan hukum. Sebagian qira’at berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at yang lain, atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya. Bahkan tidak jarang, perbedaan qira’at menimbulkan perbedaan penetapan hukum dikalangan ulama. Jadi pengetahuan tentang qira’at sangat perlu bagi seseorang yang hendak mengistinbathkan hukum dari ayat-ayat al-Quran.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PENUTUP
 
Simpulan
●        Qira’at adalah cara membaca al-Quran.
●        Cara baca al-Quran yang dianut dalam suatu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat.
●        Syarat qira’at yang benar ada tiga, yaitu:
1.        Qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan.
2.        Qira’at itu sesuia dengan salah satu mushhaf-mushhaf Utsmani.
3.        Sahih sanadnya.
●        Qiraa’at dikelompokkan menjadi: mutawatir, masyhur, ahad, syaz, maudhu’ dan mudraj.
●        Perbedaan qira’at sangat berpengaruh terhadap istinbath hukum.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Syadili, Ahmad. Ulum Quran. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1994.
Akaha, Abduh Zulfidar. Al-Quran dan Qira’at. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996.
Djalal, Abdul. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Wahid, Ramli. Ulum Quran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
 
 
 

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites