Sabtu, 27 Juli 2013

Ritual dan Institusi

PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia. Sumber hukum Islam itu sendiri adalah dari al-Quran dan Sunnah Muhammad SAW yang juga merupakan pedoman bertingkah laku agar memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Islam adalah sebuah agama yang dikenal dengan adanya praktik ritual. Akan tetapi, ritual dalam agama Islam mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji.
Adapun selain ritual, agama Islam juga mempunyai institusi yang berkaitan erat dengan kehidupan umat Islam. Ritual dan institusi dapat dihubungkan melaui tujuan-tujuannya, yaitu adanya tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci (Tuhan) dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman melalui pelaksanaan ritual. Sedangkan institusi merupakan kegiatan untuk memenuhi segala kebutuhan  pokok manusia, baik bersifat keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
RITUAL DAN INSTITUSI
Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian, yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.
A.      RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral.[1] Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat men tal. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedangkan perilaku profan dilakukan secara bebas. (Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kece masan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan - meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan - dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Romans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut:
1.        Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan.
2.        Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3.        Ritual sebagai ideologis - mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4.        Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5.        Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.
B.       RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Mu hammad Saw (muludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji.
Contohnya: Di Desa Bojong Kulur, Gunung Putri, Bogor, terdapat sebuah tradisi tahlil haji, yaitu tahlil yang dilakukan pada hari keberangkatan anggota keluarga ke Mekah. Apabila seseorang berangkat dari rumah pada hari Sabtu, tahlil diselenggarakan pada setiap hari Sabtu (biasanya dilakukan setelah salat magrib) sampai yang melakukan ibadah haji kembali ke rumah.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridha Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Romans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelaksanaan i'adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci[2] telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemungkinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.
Unsur-unsur Ritual dalam Islam
Istilah fundamental untuk ritual Islam adalah "ibadah", penghambaan dari yang lebih rendah kepada yang maha agung, Tuhan. Semua kewajiban resmi dalam Islam terangkum dalam ibadah: Lima rukun menjadi kategori utama ritual Islam dan peristiwa-persitiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Qurban berakar dalam ibadah haji. Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ramadhan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana atau bencana alam bervariasi berdasarkan standar yang ditetapkan. Semuanya itu dilakukan secara teratur. Empat dari lima rukun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna, dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, malaikat, nabi dan kitab sucinya, hari akhir dan takdir. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka'bah di Mekkah. Salat, shaum, dan haji juga mempunyai waktu sehingga kita mempunyai serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci. Semua itu memiliki status yang tidak sama. Islam juga mengenal barang haram secara hakiki dan bukan karena lingkungan (seperti bangkai, babi, anjmg), sementara yang lainnya diharamkan hanya karena bersentuhan dengan yang haram. Jadi, dalam Islam kita mengenal adanya pemisahan atau suatu sistem pemisahan yang didasarkan tidak sekedar pada ruang dan waktu, tetapi juga kesucian dan keharaman.[3]
Menuju Analisis tentang Ritual dan Islam
Dengan munculnya Islam dalam sejarah dunia, cara hidup Arab jahiliyah telah ditinggalkan. Era baru telah dimulai dan titik nol diawali oleh hijrah Muhammad dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Kalender baru disusun tanpa interkalasi, terlepas tidak hanya dari tahun Arab kuno, tetapi khususnya seluruh penanggalan matahari yang secara tradisional berhubungan dengan struktur masyarakat dan agama agraris.
Ruang suci dalam Islam berbeda dengan ruang suci dalam tradisi-tradisi lain, khususnya agama-agama kuno yang berorientasi agraris di Timur Dekat Kuno. Theodore Gaster menjelaskan dalam Thespis sebuah fenomena yang ia sebut topocosme, suatu hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh. Komponen utama pola musim adalah ritual yang dibagi menjadi dua kategori, ritus kenosis, pengosongan, dan ritus plerosis, pengisian.
"Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya kehidupan dan vitalitas pada akhir setiap kesempatan (yakni pada bumi dan kekuatan reproduksinya) dan ditunjukan oleh periode lenten, puasa, ketegangan, dan ekspresi-ekspresi keaiban lainnya atau mati suri. Yang terakhir menggambarkan dan menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru dan ditunjukkan oleh ritu-ritus perkawinan massal, upacara penebusan dosa dan bahaya (baik fisik maupun moral) dan prosedur magis yang ditujukan untuk membangkitkan kesuburan, relume matahari, dan seterusnya".[4]
C.       INSTITUSI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang mengacu kepada pengertian institusi (lembaga), yaitu insntitute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1)
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987: 177) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk men jelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial, seperti dituturkan oleh Koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan sosial. la merupakan padanan dari istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social insti tution.
Pengertian-pengertian social institution yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut.
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antarmanusia dan antarkelompok manu sia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.
Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: pertama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. la merupakan aturan yang mengatur warga kelompok di masya rakat. Di samping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masya rakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang
menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendidikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum,
seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahir kan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. la merupa kan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola, perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-2)
D.      FUNGSI DAN UNSUR-UNSUR INSTTTUSI
Secara urnum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
1.        Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem tertentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2.        Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3.        Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi. la bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. la adalah kelompok-kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi kemasyarakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma tertentu yang dipergunakan oleh suatu association. la dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
E.       INSTITUSI lSLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. la merupakan pedoman bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi.
Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman yang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pi-dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan norma oleh masyarakat Muslim meru pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti institusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masyarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu, ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Umat Islam (PUI).[5]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Ritual dan Institusi Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Bagian pertama :
a.        ritual dalam persfektip sosiologi, dan
b.       ritual Islam
Bagian kedua :
a.        institusi
b.       fungsi dan unsur institusi
c.        institusi Islam
Tujuan ritual yaitu pemeliharaan dan pelestarian kesakralan, dan ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
Institusi dapat disimpulkan menjadi dua pengertian: pertama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan yang kedua, bangunan.
Tujuan institusi adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsinya antara lain:
1.        Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem tertentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2.        Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat
3.        Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
●        Martin, Ricard C. 2001. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
●        Hakim, Atang Abd. 2006. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

[1] Ajaran tentang yang sakral dengan yang profan (the sacred and the secular or the pro fane) dapat dibaca pada Bab 1 buku ini.
[1]
[2] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. h. 127-129
[3] Ricard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001. h. 92-93
[4] Ibid., h. 95, 97
[5] Metodologi Studi Islam, op.cit., h. 130-136 

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites