Sabtu, 03 Agustus 2013

Ushul Fiqih Al Hakim

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Al-Hakim (pembuat hukum/Allah SWT) merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, apakah ada yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dan apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat jahat dikenakan sanksi.
Adapu mengenai kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam. Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, yakni Rasul.
Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagaimana yang akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama yaitu:
وَاضِعُ الأحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
الذِى يُدْرِكُ الأحْكَامُ وَيُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”[1]
Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal, ‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
لَاحُكْمَ إلَّا ِللهِ
Artinya: “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”
1.        Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.[2]
2.        Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya haram. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih (buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.
B.       Tahsin dan Taqbih
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih.
1.        Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qabih adalah segala sesuatuu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
2.        Al-Husnu diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaliknya, qabih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan dalam diri seseorang, seperti bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
3.        Al-Husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
4.        Al-Husnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.[3]
Ulama Asy’ariyah (Ahlussunnah wal jamaah) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dalam pengertian ketiga dan keempat di atas bersifat syar’i (secara syara’) dan harus ditentukan oleh syara’ karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara’. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada dzatnya, melainkan pada sesuatu yang bersifat nisbi (relatif).
Ulama Mu’tazilah (aliran teologi Islam yang rasional dan liberal) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu tanpa harus diberitahu oleh syara’. Menurut mereka, sebagian baik dan buruk terletak pada zatnya, dan sebagian yang lain terletak antara manfaat dan mudharatnya.[4]
C.       Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal unutk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:
1.        Menurut Ahlussunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunya syari’at. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT surah al-Isra: 15
        
Artinya: “Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (Rasul) yang membawa risalah ilahi. Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa: 165
…        …
Artinya: “Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa: 165)
Dengan mengemukakan nash di atas, menurut ahlussunah wal jama'ah, akal tidak bisa dijadikan sebagai standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandang buruk oleh akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan segala perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung mamfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudaratan.[5]
Akal sangat besar peranannya sebagai alat umtuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu mwemberi pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berpikir, dan jika sampai kesuatu daerah (masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu memberitahukannya kepada akal. Dengan adanya bantuan wahyu itu akal tidak lagi tinggal dalam kegelapan mengenai masalah yang diluar kemampuannya, seperti masalah-masalah gaib, cara-cara mengerjakan upacara keagamaan, ketentual halal dan haram, dan beberapa ketentuan hukum lainya dalam al-Quran dan Hadits.[6]
Dalam masalah yang seperti ini agama Islam masih memberi kesempatan kepada akal untuk berpikir dan berusaha untuk mencari 'illat dan hikmah terhadap ketetapan-ketetapan syara' seperti yang tersebut di atas.
Dilihat dari segi hokum, usaha menemukan 'illat dan hikmat itu besar sekali artinya untuk pengembangan hukum Islam, terutama dalam mengahadapi masalah-masalah baru yang belum terdapat di masa Rasulullah dan sahabat. Atau tidak terdapat di negeri Arab tetapi terdapat di sini dan di negeri lainya. Itulah lapangan kerja qiyâs atau ra'yu, kadang-kadang ada juga yang menyebutnya dengan ijtihad.[7]
1.        Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah SWT tersebut sebelum syari'at datang. Akal manusia dapat menentukan sesuatu itu baik dan buruk tanpa perantaraan kitab samawi dan rasul. Sesuatu dikatakan baik dan buruknya terletak pada dzatnya. Oleh karena itu baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal. Alas an mereka adalah surat al-Isra (17) ayat 15 yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kata "Rasul" dalam ayat itu berarti akal. Oleh karena itu, makna ayat tersebut bagi mereka adalah "Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal kepada mereka". Menurut mereka secara logika sebagian perbuatan atau perkataan baik, seperti iman dan bersikap benar, merupakan hal yang seharusnya diperbuat manusia.
Dalam persoalan ini, kaum mu'tazilah mempunyai prinsip bahwa al-hasan dan al-qabih merupakan produk akal, bukan berdasarkan pada syara'. Akibat dari prisip dan pendapat ini adalah bahwa orang-orang yang belum sampai kepadanya syari'at dan Rasul dikenalkan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka diberi imbalan oleh Allah SWT. Di samping itu, mereka juga dituntut untruk meninggalkan perbuatan yang dinilai buruk oleh akal mereka dan apabila mereka kerjakan, maka mereka akan mendapat hukuman dari Allah SWT.
Kaum mu'tazilah lebih lanjut berpendapat, hukum yang ditetapkan Allah SWT. Bagi manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh akal karena pada perbuatan itu terdapat mamfaat atau mudharat. Terhadap perbuatan atau perkataan ini, Allah SWT menetapkan hukum bagi manusia, yaitu perintah untuk melaksanakannya apabila baik dan meniggalkannya apabila buruk. Dengan demikian, yang baik menurut pendapat akal dituntut oleh syara' untk mengerjakannya, dan yang mengerjakannya diberi pahala. Sebaliknya, yang buruk dalam pandangan akal dituntut oleh syara' untuk meninggalkannya, dan yang mengerjakannya akan diberi hukuman.[8]
2.        Aliran Maturidiyah
Aliran Maturudiyah (aliran yang termasuk dalam kelompok Ahlusunah waljama'ah) berupaya menengahi kedua pendapat di atas. Menurut mereka, ada perbuatan atau perkataan yang pada dzatnya baik dan ada pula yang buruk. Allah SWT tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada dzatnya adalah baruk, sebagaimana juga Allah SWT tidak melarang suatu perbuatan yang pada dzatnya adalah baik. Terhadap perkataan dan perbuatan lain yang kebaikan dan keburukannya tidak terletak pada dzat perbuatan atau perperkataan itu sendiri syara' mempunyai wewenang untuk menetapkannya. Sampai disini pendapat Maturidiyah sama dengan pendapat Mu'tazilah.
Walaupun demikian, Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan atau tidak wajib ditinggalkan, dan orang yang mengerjakannya dan yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan imbalan semata-mata melalui akal menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh akal semata, tetapi harus berdasarkan pada nash (ayat atau hadis). Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang buruk dan siksa yang ditimpakan atas pelakukanya tidak dapat ditentukan melalui akal saja, tetapi harus didasarkan pada nash. Mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu kewajiban.[9]
Adanya ketentuan norma baik buruk itu untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Maksud didatangkan syari'at supaya terlepas mukallaf dari berbuat sesuatu dari unsur hawa nafsu pribadinya supaya menjadi hamba Allah yang sadar berbuat sesuatu karena Allah. Allah berfirman:
                  
Artinya: “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,  Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nâzi’ât: 40-41)
        
Artinya: “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya rusak binasa.” (QS. Al-Mu’minun: 71).[10]
Menurut pengalaman sejarah, bagwa kemaslahatan keduniaan dan keagamaan tidak dapat dicapai jika masing-masing mengikuti kehendaknya karena dianggapnya baik. Malahan yang terjadi adalah berbagai gejolak fitnah, keonaran, penghancuran, permusuhan, semua itu bertolak belakang dengan kemaslahatan manusia. Karena itu pendapat yang disepakati bahwa memperturutkan kehendak sendiri adalah sifat yang tercela; dan menahan diri untuk menegakkan kemaslahatan duniawi adalah lebih sesuai dengan alasan aqli dan naqli.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bahwasanya secara etimologis AL-HAKIM adalah pembuat, yang menetapkan sumber hukum, dan yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum.
Adapun sumber hukum secara hakikat adalah Allah SWT baik hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu maupun hasil ijtihad sunnah maupun ijmak.
Di kalangan para ulama ushul fiqh, dikenal istilah At-Tahsin wa at-taqbih (menyatakan sesuatu itu baik atau buruk). Sesungguhnya pokok-pokok keutamaan (kebaikan) itu dapat dijangkau oleh akal, karena sesuatu yang ada di dalam suatu kejelekan itu berupa mudharat, sekalipun syara' tidak mengemukakan hal ini.
Perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan pengaruh kecuali dengan menisbahkan (menghubungkan) pada orang yang tidak sampai kepadanya syari'at para Rasul. Sedangkan orang yang sampai kepadanya syari'at para Rasul, maka ukuran baik dan jelek perbuatan itu, dengan menisbahkan kepada mereka, apa yang datang dalam syari'at mereka, bukan apa yang terjangkau oleh akal mereka secara mufakat. Maka apa yang diperintahkan oleh syar'i, ia adalah baik dan dituntut untuk mengerjakan, dan diberi pahala orang yang mengerjakannya. Sedang apa yang dilarang oleh syar'i, ia adalah jelek dan dituntut untuk untuk ditinggalkan, dan disiksa bagi yang mengerjakannya.
Sehingga pada dasarnya seluruh produk fiqih saat ini tidak habis-habisnya, tetapi nalar yang dipergunakan manusia tersebut harus senantiasa bersandar kepada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash.
DAFTAR PUSTAKA
●        Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet I, Jakarta: 1996.
●        Muhammad, Syah Ismail Haji, dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara, cet 2, Jakarta: 1992.
●        Syafe'i Rachmat Dr. MA. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia, cet 3, Bandung: 2007.
●        Wahhab, Khallaf Abdul Dr. Kaidah-kaidah Hukum Islam. CV. Rajawali Pers, cet 2, Jakarta: 1991.
●        Wahhab, Khallaf Syekh, Ilmu Ushul Fiqh. PT. Rineka Cifta, cet 3, Jakarta: 1995.

[1] Prof. Dr. Rachmat Stafe’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 345. 
[2] Ibid., h. 349
[3] Ibid., h. 350. 
[4] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 504.
[5] Rachmat Syafe’i, op.cit., h. 351.  . 
[6] Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah, SH. dkk, Filsafat Hukum Islam,cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) h. 127.
[7] Ibid. 
[8] Abdul Azis Dahlan, op.cit., h.505.
[9] Ibid., h. 505.
[10] Ismail Muhammad Syah, op.cit., h. 128.
[11]11 Ibid.,h. 129.
DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

3 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites