Senin, 04 Februari 2013

Filsafat Pendidikan Matematika

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan penerapan-penerapan baru dalam kehidupan manusia menjadikan matematika semakin menonjol peranannya. Matematika diperlukan bukan hanya sebagai “bahasa”, akan tetapi matematika telah menjadi media atau alat yang penting dalam hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, industri, sosial, dan budaya (Suhendra, dkk, 2007: 7.1).
Menurut Paul Ernest (Martin, 2009) belajar adalah membangun pengetahuan melalui komunikasi, oleh karenanya pendidikan matematika harus membantu perkembangan konstruksi pengetahuan melalui keterkaitan aktif dan interaksi siswa. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berarti cinta pengetahuan atau kebenaran. Pemikiran-pemikiran dalam filsafat didasarkan atas pemikiran manusia dan hasilnya sangat tergantung pada pandangan filosof atau manusia yang bersangkutan (Jalaluddin, 2007: 17). Meskipun kesimpulan dalam filsafat bersifat hakiki, namun tetap saja masih relatif dan subjektif, hal ini adalah alamiah (kodrati). Jadi dapat dikatakan pula bahwa kebenaran filsafat juga bersifat relatif, artinya bahwa kebenaran tersebut masih bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan peradapan manusia.
Filsafat dibutuhkan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berebagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh, dan mendasar. Dalam bidang pendidikan diperlukan pula filsafat pendidikan yang menitikberatkan pada pelaksanan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan masalah atau persoalan-persoalan pendidikan secara praktis (Jalaluddin, 2009: 19).
Filsafat pendidikan matematika pada intinya dapat dikatakan sebagai sebuah maksud adan tujuan untuk pendidikan matematika, sebuah teori pembelajaran matematika, dan sebuah teori pengajaran matematika yang menerapkan teori pembelajaran dalam membangun tujuan tersebut (Martin, 2009: 3).
Penerapan filsafat pendidikan dalam pembelajaran matematika dapat membantu guru untuk memahami pentingnya konsep pendidikan matematika, praktik pembelajaran matematika, serta memahami bahasa matematika. Selanjutnya diharapkan akan terwujud pembelajaran matematika yang membawa siswa mampu mengembangkan diskusi mengenai bagaimana menemukan matematika, metodologi apa yang diterapkan, dan bagaimana pengetahuan matematika mencapai status sebagai imlu yang terjamin, bagaimana siswa mengembangkan pengalaman matematika mereka, apa nilai matematika, asal-usul siswa, tujuan pendidikan matematika, asal-usul siswa belajar matematika, asal-usul sumber belajar mengajar, dan asal-usul matematika sekolah (Marsigit, 2009).
Konsep pengajaran dan pembelajaran matematika lebih khusus mengenai maksud dan tujuan, silabus, buku teks, kurikulum, metode mengajar, prinsip didikan, teori belajar, penelitian pendidikan matematika, konsepsi guru mengenai matematika, dan pengajaran matematika yang sebaik persepsi siswa terhadap matematika, membawa bersama mereka atau bahkan berhenti pada pandangan filsafat dan epistimologi dari matematika (Marsigit, 2009).
Matematika termasuk pelajaran yang tidak disukai, banyak siswa yang takut akan pelajaran matematika, oleh karenanya guru matematika harus memahami karakteristik pelajaran matematika dan karakteristik siswa agar pelajaran matematika yang abstrak dapat mudah diterima siswa sehingga siswa akan senang belajar matematika (Suhendra, dkk, 2007: 7.1).
Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembelajaran matematika tentunya bukan hal yang mudah, atau dapat pula dikatakan bahwa mengajar matematika itu sulit, sebab siswa sulit belajar matematika (Marsigit, 2009).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikemukakan disini adalah:
1. Apa tujuan dan nilai pendidikan matematika?
2. Bagaimana teori belajar matematika?
3. Bagaimana teori mengajar matematika?

C. Tujuan
1. Mengetahui tujuan dan nilai pendidikan matematika?
2. Mengetahui bagaimana teori belajar matematika?
3. Mengetahui bagaimana teori mengajar matematika?


BAB II
PEMBAHASAN

Filsafat matematika mencakup ontologi dan epistemologi. Ontologi menyangkut hakekat matematika, apakah hakekat yang ada dibalik matematika, sedangkan secara epistemologi adalah berkaitan dengan bagaimana cara menjawab pertanyaan mengenai matematika, cara memperoleh dan menangkap permasalahan dalam matemaika. Filsafat pendidikan matematika mengacu pada masalah belajar dan mengajar. Filsafat matematika membentuk filsafat pendidikan matematika, artinya bahwa filsafat pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika (Martin, 2009: 63).
Menurut Ernest, matematika adalah pengetahuan yang dibangun (mathematical knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered). Matematika sebagai ilmu adalah matematika yang utuh dalam sistem maupun strukturnya yang deduktif aksiomatik. Artinya kebenaran matematika didapatkan dengan menggunakan penalaran deduktif kemudian disusun rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada kesimpulan akhir (Soemoenar, dkk., 2007: 1.19).
Filsafat matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran matematika tidak pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin (2009) menyatakan bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah yang diusulkan dari pengetahuan matematika adalah buktinya. Menekankan pada reduksi formal, menjadi proses yang dipusatkan pada pembuktian. Pembuktian adalah teks naratif, yang juga bagian dari percakapan atau dialog yang berkelanjutan, sebab mengasumsikan sebuah respon (Martin: 2009: 69).
Pada awal perkembangannya matematika merupakan alat untuk menyelesaikan masalah kesulitan hidup sehari-hari melalui objek-objek alam nyata yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian matematika berkembang melalui abstraksi dan idealisasi menjadi sebuah ilmu. Matematika sebagai ilmu yang dibangun lebih merupakan proses sosial dibandingkan proses individual. Hal ini dikarenakan:
1 Pemikiran individual mengenai kesulitan-kesulitan awal yang muncul akan dibentuk dengan komunikasi atau percakapan,
2 Seluruh pemikiran individual yang selanjutnya dibentuk oleh pemikiran sosial,
3 Fungsi-fungsi mental adalah kolektif (misalnya kelompok pemecahan masalah).
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa seluruh proses berfikir dan belajar dibentuk oleh pengalaman sosial yang dialami oleh setiap individu (Martin, 2009: 77). Untuk meningkatkan komunikasi sosial maka guru dapat memfasilitasi siswa dengan belajar secara berkelompok untuk mendiskusikan suatu permasalahan.
Menurut Bain (1988) dalam Marsigit (2009) dikatakan bahwa dengan berdiskusi, siswa dapat terlibat secara penuh dalam pembelajaran dengan diberikan kesempatan yang lebih banyak untuk berbicara, siswa akan lebih tergugah untuk mengembangkan jawaban mereka, siswa akan terlibat dalam pembelajaran sehingga mereka akan lebih berkonsentrasi terhadap apa yang sedang dipelajari, siswa yang pemalu akan mampu bicara dengan rasa takut yang lebih kecil, guru tetap dapat mengawasi, terlibat, menilai, atau berbicara dengan siswa secara individual, dan guru dapat mengingatkan siswa yang menyimpang tanpa harus menghentikan kerja mereka.
Pengetahuan matematika diperoleh melalui “memperpanjang partisipasi dan berbagai situasi percakapan sosial yang ada dalam konteks berbeda dengan orang yang berbeda”. Siswa membangun sistem percakapan sosial melalui permainan. Ketika siswa bermain mereka mengartikan benda dan perbuatan, membangun dan menginterpretasikan pengalaman. Hal ini dapat membantu siswa belajar dua konsep utama dalam matematika; yaitu menggunakan simbol atau tanda dan mengkreasikan kenyataan yang ada dalam angan-angan. Inilah yang dimaksud dengan membangun matematika melalui generalisasi dan abstraksi. Konsep baru dibentuk dengan cara mengabstraksikan konsep dari tingkat yang lebih rendah atau melalui refleksi dari pengalaman nyata atau kongkret (Martin, 2009: 78).
Filsafat pendidikan matematika menurut Ernest dalam Martin (2009: 81) mencakup tiga hal, yaitu:
4. Tujuan dan nilai pendidikan matematika
5. Teori belajar
6. Teori mengajar
Ketiga hal tersebut dijelaskan dalam keterangan di bawah ini.

A. Tujuan dan Nilai Pendidikan Matematika
Tujuan pendidikan matematika hendaknya mencakup keadilan sosial melalui pengembangan demokrasi pemikiran kritis dalam matematika. Siswa seharusnya mengembangkan kemampuan yang mereka miliki untuk menganalisis masalah matematika. Pendidikan matematika hendaknya dapat menguatkan siswa, hal ini berarti siswa berfikir matematika dalam kehidupan sehari-hari serta mampu menggunakannya sebagai praktik penerapan matematika. Menguatkan siswa dalam matematika memiliki tiga dimensi, yaitu:
1. Siswa memiliki kemampuan matematika,
2. Siswa memiliki kemampuan untuk menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan
3. Siswa percaya akan kemampuan mereka.
Kemampuan siswa yang ditumbuhkan dalam mempelajari matematika terutama matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu kepada perkembangan IPTEK (Soemoenar, dkk., 2007: 1.1). Bagian-bagian tersebut terdiri dari objek-objek pembelajaran matematika sekolah baik berupa objek langsung maupun objek tak langsung. Adapun objek langsung pembelajaran matematika sekolah terdiri atas empat hal, yaitu fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan. Dan objek tak langsungnya antara lain adalah disiplin diri, kemahiran matematika, apresiasi terhadap matematika, dan berpikir secara matematika, yaitu logis, rasional, dan eksak.
Kajian fakta memberikan kemampuan membedakan antara kebenaran sebagai semufakatan dan kebenaran yang didapat secara konsistensi. Karena fakta merupakan suatu semufakatan maka nilai kebenaran yang terkandung tidak perlu diperdebatkan. Menurut Ebbutt dan Straker (1995) dalam Marsigit fakta meliputi informasi, nama, istilah, dan konvensi. Kajian konsep mencakup hal-hal yang berkaitan dengan membangun struktur pengertian, peranan struktur pengertian, konservasi, himpunan, hubungan pola, urutan, model, operasi, dan algoritma (Ebbutt dan Straker, 1995, dalam Marsigit).
Konsep matematika menurut Shumway (1980: 245) terdiri dari empat level pemahaman siswa, yaitu:
1. level 1, kongkret (concrete) yaitu mengenal contoh dari pengalaman sebelumnya;
2. level 2, identifikasi (identify) yaitu sebagai tambahan dari level 1 mengenal contoh yang sebelumnya dihadapi meski contoh tersebut diperoleh dari perspektif yang berbeda;
3. level 3, mengelompokkan (classificatory) yaitu sebagai tambahan dari level 1 dan level 2 siswa dapat membedakan antara contoh dan bukan contoh;
4. level 4, formal, yaitu sebagai tambahan dari level 1, 2, dan 3 siswa dapat membangun sebuah definisi dari konsep.
Kajian prinsip berkaitan dengan pernyataan yang dikenal sebagai aksioma atau dalil. Prinsip merupakan sebuah hubungan yang melibatkan dua atau lebih konsep-konsep (Shumway, 1980: 246). Kajian mengenai keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan matematika, yaitu keterampilan menuliskan lambang matematika, mengaplikasikan fakta, konsep, dan prinsip matematika yang benar.
Menurut Gibb dalam Shumway (1980: 208) keterampilan matematika meliputi empat hal yaitu:
1. Pemahaman konsep matematika dan teknik perhitungan;
2. Keterampilan menggunakan pemahaman ini dalam perhitungan;
3. Keterampilan dalam pemecahan masalah, serta
4. Keterampilan dalam berpikir kreatif.
Menurut Ebbutt dan Straker (1995) dalam Marsigit keterampilan matematika terdiri dari empat hal yaitu:
1. Keterampilan penalaran, meliputi: memahami pengertian, berfikir logis, memahami contoh negatif, berpikir deduksi, berpikir sistematis, berpikir konsisten, menarik kesimpulan, menentukan metode, membuat alasan, dan menentukan strategi.
2. Keterampilan algoritmik, meliputi: mengikuti langkah yang dibuat orang lain, membuat langkah secara informal, menentukan langkah, menggunakan langkah, menjelaskan langkah, mendefinisikan langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan berbagai langkah, dan menyesuaikan langkah.
3. Keterampilan menyelesaikan masalah matematika (problem-solving) meliputi: memahami pokok persoalan, mendiskusikan alternatif pemecahannya, memecah persoalan utama menjadi bagian-bagian kecil, menyederhanakan persoalan, menggunakan pengalaman masa lampau dan menggunakan intuisi, untuk menemukan alternatif pemecahannya, mencoba berbagai cara, bekerja secara sistematis, mencatat apa yang terjadi, mengecek hasilnya dengan mengulang kembali langkah-langkahnya, dan mencoba memahami persoalan yang lain.
4. Keterampilan melakukan penyelidikan (investigation), meliputi: mengajukan pertanyaan dan menentukan bagaimana memperolehnya, membuat dan menguji hipotesis, menentukan informasi yang cocok dan memberi penjelasan mengapa suatu informasi diperlukan dan bagaimana mendapatkannya, mengumpulkan dan menyusun serta mengolah informasi secara sistematis, mengelompokkan criteria, mengurutkan dan membandingkan; mencoba metode alternatif, mengenali pola dan hubungan; dan menyimpulkan.
Salah satu objek tidak langsung dari pembelajaran matematika sekolah adalah kemampuan kemahiran matematika yang meliputi penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah. Penalaran adalah proses berpikir di dalam penarikan kesimpulan. Metode penalaran yang digunakan antara lain, pertama, penalaran dengan metode deduksi yang biasa disebut penalaran deduksi yaitu penalaran menarik kesimpulan dari pernyataan yang berlaku umum diberlakukan kepada keadaan khusus. Kedua, penalaran dengan metode induksi, yaitu penalaran menarik kesimpulan dari pernyataan khusus yang didapat dari beberapa kali pengamatan diberlakukan secara umum. Ketiga, penalaran dengan metode ilmiah, yaitu penalaran yang merupakan rangkaian berulang kali dari penalaran deduksi dan penalaran induksi.
Langkah-langkah dalam penalaran ilmiah adalah melakukan pengamatan gejala yang terjadi, melakukan studi pustaka atau teori-teori yang sudah ada dan membuat dugaan sementara atau hipotesis, uji coba lapangan, menguji hipotesis dan membuat kesimpulan. Komunikasi berkaitan dengan kemampuan yang diharapkan dari siswa untuk menyampaikan pendapat atau pengertian yang mereka miliki kepada orang lain, dengan benar dan jelas sehingga dapat diterima oleh orang lain dengan baik. Bagian kemahiran matematika yang lain adalah pemecahan masalah, pemecahan masalah adalah suatu situasi dimana seorang individu atau kelompok dihadapkan pada masalah yang tidak biasa dan algoritmanya juga belum ditetapkan secara pasti.

B. Teori Belajar
Teori belajar yang dimaksud disini menggambarkan bahwa siswa perlu secara aktif menggunakan matematika dengan tujuan untuk mempelajarinya. Konsep matematika saling berhubungan, dalam hal ini siswa perlu memahami sebuah konsep awal sebelum mempelajari topik selanjutnya. Oleh karenanya, dalam mempelajari matematika siswa harus memiliki pengalaman membangun dan menyerap konsep matematika dengan menemukan hubungan atau menguji ide dalam kontek yang baru. Dalam proses ini hal yang terpenting adalah komunikasi.
Bahasa merupakan alat dalam berpikir, sehingga dialog diperlukan untuk membangun pengetahuan matematika yang subjektif. Komunikasi dan interaksi juga membawa siswa untuk membandingkan ide dan menguji validitasnya. Karena matematika adalah pengetahuan yang dibangun, maka akan timbul perbedaan bangunan matematika antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Belajar juga dipengaruhi oleh lingkungan ruang kelas. Konteks ruang kelas ditentukan oleh beberapa komponen, termasuk maksud dan tujuan kelas, keterlibatan siswa dan hubungan mereka, percakapan dalam kelas, dan ketersediaan sumber materi. Maksud dan tujuan kelas mencakup hal yang berkaitan dengan guru, orang tua, TU, dewan pengurus sekolah dan lain sebagainya. Tujuan guru dan tekanan untuk memenuhi yang ada padanya mempengaruhi cara pandang guru terhadap tanggung jawab, bagaimana guru merencanakan kegiatan kelas dan aspek lain dalam kontek sosial.
Kontek sosial yang penting dalam percakapan di kelas dibentuk oleh interaksi personal dalam kelas tersebut, yang ditentukan oleh gaya guru dalam memanajemen kelas, gaya komunikasi antara guru dan siswa, konten matematika, dan tugas-tugas tertulis (Martin, 2009: 84). Teori belajar secara umum dibedakan atas dua aliran yaitu aliran psikologi tingkah laku dan aliran psikologi kognitif. Berikut ini merupakan beberapa teori belajar utama dalam pembelajaran matematika (Suhendra, dkk, 2007: 86).
1. Aliran Psikologi Tingkah Laku
a. Teori belajar Thorndike
Teori ini juga disebut Teori Belajar “Stimulus-Respon” yang dikemukakan oleh Edward L. Thorndike. Teori ini menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil jika respon anak terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau puas.
b. Teori belajar Skinner
B. F. Skinner berpendapat bahwa pemberian ganjaran atau penguatan mempunyai peranan penting dalam proses belajar. Penguatan ini dapat berupa penguatan positif yaitu stimulus yang menjadikan sebuah tindakan yang telah dilakukan kembali diulangi sehingga memperkuat tindakan tersebut, misalnya pujian atau imbalan. Demikian sebaliknya, penguatan negatif adalah stimulus yang menjadikan sebuah tindakan tidak dilakukan kembali, misalnya peringatan atau sanksi.
c. Teori belajar Ausubel
Ausubel melalui Theory of Meaningful Verbal Learning menyatakan bahwa materi ajar yang telah diperoleh seseorang seyogyanya dikembangkan dalam keadaan atau bentuk lain sehingga aktivitas belajarnya akan lebih dimengerti atau bermakna.
d. Teori belajar Gagne
Robert M. Gagne menyatakan bahwa hasil belajar lebih penting daripada proses belajar. Menurut Gagne dalam belajar matematika terdapat dua objek yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Gagne mengelompokkan tipe belajar menjadi delapan jenis, yaitu belajar isyarat (tipe belajar yang paling rendah tingkatannya karena bersifat spontan), stimulus respons, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah (tipe belajar yang paling tinggi tingkatannya karena bersifat kompleks).
e. Teori belajar Pavlov
Pavlov menyimpulkan bahwa conditioning (pengkondisian atau pembiasaan) pada kegiatan belajar memberikan dampak pada hasil belajar.
f. Teori belajar Baruda
Menurut Baruda, anak belajar sesungguhnya melalui proses meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
2. Aliran Psikologi Kognitif
a. Teori belajar Piaget
Jean Piaget melalui Theory of Intellectual Development menyatakan bahwa struktur kognitif bersifat sebagai skemata atau kumpulan skema-skema. Skemata berkembang terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungan. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah dibentuk sebelumnya dengan stimulus baru dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif dinamakan asimilasi, yaitu jenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Aspek kedua yang menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual adalah akomodasi, yaitu proses memodifikasi struktur kognitif. Setiap pengalaman seseorang melibatkan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dan akomodasi disebut sebagai invarians fungsional karena mereka terjadi di semua level perkembangan intelektual. Pengalaman sebelumnya cenderung melibatkan lebih banyak akomodasi ketimbang pengalaman yang kemudian karena semakin banyak hal-hal yang dialami akan berhubungan dengan struktur kognitif yang ada (Hergenhahn, 2008).
b. Teori belajar Guilford
J. P. Guilford dan beberapa kolega mengembangkan sebuah model tiga dimensi yang memuat 120 tipe berbeda berkaitan dengan abilitas atau kemampuan intelektual, model ini biasa disebut The Structure of Intellect Model. Model ini dikembangkan dengan menggunakan prosedur statistik, yang dinamakan analisis faktor, untuk mengidentifikasi keragaman abilitas atau kemampuan mental manusia. Struktur model intelektual tiga dimensi ini mencakup dimensi operasi, dimensi produk, dan dimensi isi yang masing-masing berfungsi dalam setiap perbuatan intelektual manusia (Suhendra, dkk., 2007: 8.11).
Dimensi operasi adalah tipe perbuatan intelektual yang mungkin terjadi selama berpikir. Tipe ini terdiri atas pengamatan, ingatan, produk konvergen, produk divergen, dan evaluasi. Dimensi isi terdiri dari isi gambaran, isi simbol, isi semantik, dan isis perbuatan. Setiap kali perbuatan yang termasuk dimensi operasi terjadi maka perbuatan tersebut dapat mengenai salah satu dimensi isi.
Dimensi produk adalah hasil belajar dari operasi mental yang berkaitan dengan dimensi isi. Setiap kali suatu operasi mental mengenai dimensi isi maka akan dihasilkan dimensi produk. Dimensi produk terdiri atas unit, kelas, relasi, sistem, transformasi, dan implikasi.
c. Teori belajar Bruner
Jerome S. Bruner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pembelajarannya diarahkan ada konsep dan struktur yang berada paad topik yang diajarkan. Ia meyakini bahwa metode dalam proses belajar adalah faktor penting yang menentukan dalam kegiatan pembelajaran bila dibandingkan dengan perolehan kemampuan sebagai hasil belajar. Metode belajar yang penting menurut Bruner adalah metode penemuan (discovery method).
d. Teori belajar Gestalt
Menurut John Dewey, pelaksanaan belajar mengajar harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
- Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa
- Pengaturan suasana kelas memungkinkan siswa siap untuk belajar
e. Teori belajar Brownell
William Brownell dengan teorinya Meaning Theory menyatakan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari, jika belajarnya secara permanen atau terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. f. Teori belajar Dienes Zoltan P. Dienes menyatakan bahwa dengan menggunakan berbagai sajian atau representasi tentang suatu konsep matematika, anak-anak akan lebih memahami konsep sebandingkan jika penyajian materi tersebut hanya menggunakan satu macam cara saja. Representasi yang dimaksud adalah berbagai pola, ukuran, jenis, dan lain sebagainya yang dapat memberikan pengertian lebih.
f. Teori belajar van Hiele
Teori belajar ini hanya khusus untuk cabang geometri, yaitu terdapat tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri, yaitu waktu, materi ajar dan metode pembelajara, yang semuanya dijabarkan dalam lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan taha akurasi.
g. Teori belajar Skemp
Richard Skemp seorang ahli matematika dan psikologi mengatakan bahwa belajar matematika melalui manipulasi benda-benda akan menjadikan dasar untuk belajar lebih lanjut dan menghayati ide-ide atau gagasan-gagasan yang dipelajari berikutnya atau tahap abstrak.

C. Teori Mengajar
Guru matematika seharusnya bekerja untuk mencapai dua tujuan yaitu mengajar matematika dan memajukan keadilan sosial. Guru seharusnya merencanakan kegiatan yang membangun konstruksi pengetahuan subjektif melalui percakapan serta menyediakan kelas yang demokratis dan menguatkan cara berpikir kritis serta keterlibatan sosial. Pada intinya guru matematika seharusnya menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa baik secara langsung atau tidak langsung dan juga menyelenggarakan penilaian (Martin, 2009: 89).
Dalam mengajar matematika guru dapat menggunakan pendekatan problem solvingi (pemecahan masalah), inkuiri, problem possing, open ended, di dalam kurikulum mengajarnya dan menggambarkan masalah atau topik dari kontek sosial yang relevan. Siswa dalam bekerja dapat dilakukan secara mandiri sekaligus secara berkelompok, artinya dengan bekerja mandiri siswa lebih menguatkan krativitas dan self-direction, dan yang berkelompok siswa dapat membangun kepercayaan diri serta terlibat dalam komunikasi dengan yang lain.
 Grouws dan Cooney (1988) dalam Marsigit (2009) menyebutkan bahwa mengajar matematika adalah berkaitan dengan memfasilitasi proses belajar siswa oleh karenanya, guru yang baik mensyaratkan sebuah kombinasi dari kompetensi mata pelajaran matematika, gaya dan strategi mengajar yang flesibel, dan memperhatikan emosional dan sosial yang sesuai dengan kebutuhan kognitif siswa. Lebih lanjut dia menyarankan bahwa hal ini juga mensyaratkan penggunaan gaya mengajar dan fokus pada konsepsi siswa dan cara bekerja sebagaimana yang sesuai dengan konten matematika.
Gaya dan strategi mengajar yang digunakan guru akan sangat bergantung pada kondisi guru, siswa, dan lingkungan belajar, serta pengalaman mereka, sehingga ada kemungkinan jika dalam kondisi atau suasana yang lain maka diperlukan gaya dan strategi mengajar yang lain pula. Pada intinya bahwa gaya dan strategi mengajar akan berbeda-beda bergantung pada kondisi guru, sekelompok siswa dan juga pengalaman-pengalaman belajar mereka.
Dalam penelitian yang lebih mendalam, filsafat pendidikan matematika mungkin menyimpulkan bahwa posisi filsafat yang berbeda akan berbeda secara signifikan terhadap implikasi pendidikan. Konsep mengajar dan belajar matematika -khususnya: maksud dan tujuan, silabus, buku teks, kurikulum, metode mengajar, prinsip mendidik, teori belajar, penelitian pendidikan matematika, konsepsi guru terhadap matematika, dan pengajaran matematika yang memahami persepsi siswa- akan terbawa dengan sendirinya dari pandangan filosofis dan epistemologis terhadap matematika.
Pandangan yang lebih umum mengenai filsafat pendidikan matematika memiliki tujuan untuk memperjelas dan menjawab pertanyaan tentang status dan pondasi (foundation) dari objek dan metode pendidikan matematika. Secara ontologi menjelaskan mengenai sifat dasar dari masing-masing komponen pendidikan matematika, secara epistimologi menjelaskan apakah semua penyataan yang berarti dalam pendidikan matematika mempunyai tujuan dan menentukan kebenaran (Marsigit, 2009).
Agar pembelajaran matematika dapat memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya, Ebbutt dan Straker (1995: 10-63) dalam Marsigit, mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika, sebagai berikut:
1. Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan Guru dalam pembelajaran di kelas diharapkan mampu:
Memberi kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan,
Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara,
Mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb,
Mendorong siswa menarik kesimpulan umum,
Membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.
2. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan Guru dalam pembelajaran di kelas diharapkan mampu:
Mendorong inisiatif dan memberikan kesempatan berpikir berbeda,
Mendorong rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan,
Menghargai penemuan yang diluar perkiraan sebagai hal bermanfaat daripada menganggapnya sebagai kesalahan,
Mendorong siswa menemukan struktur dan desain matematika,
Mendorong siswa menghargai penemuan siswa yang lainnya,
Mendorong siswa berfikir refleksif, dan
Tidak menyarankan hanya menggunakan satu metode saja.
3. Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving) Guru dalam pembelajaran di kelas diharapkan mampu:
Menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika,
Membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya sendiri,
Membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika,
Mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten, sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan,
Mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan persoalan,
Membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media pendidikan matematika seperti : jangka, kalkulator, dsb.
4. Matematika sebagai alat berkomunikasi Guru dalam pembelajaran di kelas diharapkan mampu:
Mendorong siswa mengenal sifat matematika,
Mendorong siswa membuat contoh sifat matematika,
Mendorong siswa menjelaskan sifat matematika,
Mendorong siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika,
Mendorong siswa membicarakan persoalan matematika,
Mendorong siswa membaca dan menulis matematika,
Menghargai bahasa ibu siswa dalam membicarakan matematika.
BAB III
KESIMPULAN

Filsafat tidak bisa lepas dari lingkup kehidupan, termasuk di dalam mempelajari bidang pendidikan matematika. Filsafat dibutuhkan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berebagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh, dan mendasar.
Filsafat pendidikan matematika mencakup tiga hal yaitu: tujuan dan nilai pendidikan matematika, teori belajar, teori mengajar. Tujuan pendidikan matematika hendaknya mencakup keadilan sosial melalui pengembangan demokrasi pemikiran kritis dalam matematika. Siswa seharusnya mengembangkan kemampuan yang mereka miliki untuk menganalisis masalah matematika.
Pendidikan matematika diharapkan mampu memberikan penguatan kepada siswa, hal ini berarti siswa berfikir matematika dalam kehidupan sehari-hari serta mampu menggunakannya sebagai praktik penerapan matematika. Penguatan kepada siswa dalam pendidikan matematika memiliki tiga dimensi, yaitu (1) siswa memiliki kemampuan matematika, (2) siswa memiliki kemampuan untuk menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) siswa percaya akan kemampuan mereka.
Teori belajar menggambarkan pentingnya siswa belajar secara aktif menggunakan matematika dengan tujuan untuk mempelajarinya. Konsep matematika saling berhubungan, dalam hal ini siswa perlu memahami sebuah konsep awal sebelum mempelajari topik selanjutnya.
Dalam teori mengajar, pertama, seorang guru matematika seharusnya merencanakan kegiatan yang membangun konstruksi pengetahuan subjektif melalui percakapan serta menyediakan kelas yang demokratis dan menguatkan cara berpikir kritis serta keterlibatan sosial. Kedua, seorang guru matematika mengajar dengan menggunakan pendekatan problem solvingi (pemecahan masalah), inkuiri, problem possing, open ended, di dalam kurikulum mengajarnya dan menggambarkan masalah atau topik dari kontek sosial yang relevan. Ketiga, mengajar matematika adalah berkaitan dengan memfasilitasi proses belajar siswa oleh karenanya, guru yang baik mensyaratkan sebuah kombinasi dari kompetensi mata pelajaran matematika, gaya dan strategi mengajar yang flesibel, dan memperhatikan emosional dan sosial yang sesuai dengan kebutuhan kognitif siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Djumransjah. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia.
Hergenhahn, B. R., & Matthew H. O. 2008. TheTheories of Learning. Edisi ke-tujuh. Alih bahasa oleh Tri Wibowo B. S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Marsigit. 2009. Philosopy of Mathematics Education. Modul Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Marsigit. 2010. Filsafat Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Modul Mata Kuliah Filsafat Ilmu Program S2 Pendidikan Matematika dan Pendidikan Sains Bilingual. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Marsigit. ----. Asumsi Dasar Karakteristik Matematika, Subyek Didik dan Belajar Matematika Sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Matematika Berbasis Kompetensi Di SMP. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist Philosophy of Mathematics Education. Disertasi University of Illinois at Urbana Champaign.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Soemoenar, Suyono, & Makmuri. 2007. Penerapan Matematika Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suhendra, dkk. 2007. Pengenbangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Shumway, Richard J. 1980. Research in Mathematics Education. Reston, VA.: The National Council of Teachers Mathematics, inc.
Walle, J. V. 2007. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. (Terjemahan, oleh: Suyono). Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites