Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Tampilkan postingan dengan label Civic Education. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Civic Education. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Mei 2013

Demokrasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian demokrasi?
2.      Apa landasan-landasan demokrasi?
3.      Bagaimana sejarah dan perkembangan demokrasi?
4.      Apa ciri-ciri pemerintahan demokrasi?
5.      Apa bentuk demokrasi dalam pengertian sistem pemerintahan negara?
6.      Bagaimana penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari?

C.       Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian demokrasi
2.      Mengetahui landasan-landasan demokrasi
3.      Mengetahui sejarah dan perkembangan demokrasi
4.      Mengetahui ciri-ciri pemerintahan demokrasi
5.      Mengetahui bentuk demokrasi dalam pengertian sistem pemerintahan negara
6.      Mengetahui cara penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” berarti rakyat dan “kratos” atau “kratein” berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).  Istilah demokrasi secara singkat diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menurut Internasional Commission of Jurits, Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.
Menurut Lincoln, Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).
Menurut C.F Strong, Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara diartikan bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam menentukan kehidupan rakyat.
Jadi, Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehidupan dan kemauan rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi, hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin. Oleh karena itu, istilah demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat walaupun secara operasional implikasinnya di berbagai Negara tidak selalu sama.

B.       Landasan-landasan Demokrasi
1.    Pembukaan UUD 1945
a.    Alinea pertama
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
b.    Alinea kedua
Mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
c.    Alinea ketiga
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaaan yang bebas.
d.    Alinea keempat
Melindungi segenap bangsa.
2.    Batang Tubuh UUD 1945
a.    Pasal 1 ayat 2
Kedaulatan adalah di tangan rakyat.
b.    Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c.    Pasal 6
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
d.    Pasal 24 dan Pasal 25
Peradilan yang merdeka.
e.    Pasal 27 ayat 1
Persamaan kedudukan di dalam hukum.
f.      Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
3.    Lain-lain
a.    Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi
b.    UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

C.       Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara antara abad 4 SM - 6 M. pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Di Yunani Kuno, demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi. Sedangkan penduduk yang terdiri dari budak, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi.
Gagasan demokrasi yunani Kuno lenyap Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Walaupun begitu, ada sesuatu yang penting yang menjadi tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan, yaitu lahirnya Magna Charta. Dari piagam tersebut, ada dua prinsip dasar: Pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi; Kedua, HAM lebih penting daripada kedaulatan Raja.
Ada dua peristiwa penting yang mendorong timbulnya kembali “demokrasi” yang sempat tenggelam pada abad pertengahan, yaitu terjadinya Raissance dan Reformasi. Raissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, dasarnya adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang membatasi dengan ikatan-ikatan. Sedangkan Reformasi yang terjadi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat abad 16.
Dari dua peristiwa penting di atas, Eropa kemudian masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Rasionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) yang pada gilirannya kebebasan berpikir ini menimbulkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik.
Dua filsuf besar yaitu John Locke (Inggris) dan Montesquieu (Perancis) telah menyumbangkan gagasan mengenai pemerintahan demokrasi. Menurut John Locke (1632-1704), hak-hak poitik rakyat mencakup hak hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal, property). Sedangkan Montesquieu (1689-1955) menjamin hak-hak politik menurut “Trias Politika”, yaitu suatu system pemisahan kekuasaan dalam Negara ke dalam kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang organisasi sendiri yang merdeka. Akibat pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan, muncullah kembali ide demokrasi.

D.      Ciri-Ciri Pemerintahan Demokrasi
1.    Kedaulatan rakyat
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Dalam negara demokrasi, pemilik kedaulatan adalah rakyat, bukan penguasa. Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa berasal dari rakyat.
2.    Pemerintahan berdasarkan pada persetujuan rakyat.
Prinsip ini menghendaki adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam hal ini, penguasa negara tidak bisa dan tidak boleh menjalankan kehidupan negara berdasarkan kemauannya sendiri. Persetujuan rakyat itulah dasar kekuasaan penguasa.
3.    Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas.
Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam pembuatan keputusan. Keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan kehendak rakyat.
4.    Jaminan hak-hak manusia
Prinsip ini menghendaki adanya jaminan hak-hak asasi. Jaminan tersebut dinyatakan secara tegas dalam konstitusi. Jaminan hak asasi itu sekurang-kurangnya meliputi hak-hak asasi dasar.
5.    Pemilu yang bebas dan adil
Prinsip ini menghendaki adanya pergantian pimpinan pemerintahan secara damai dan teratur. Hal ini penting untuk menjaga agar kedaulatan rakyat tidak diselewengkan. Untuk itu, diselenggarakan pemilihan umum ( pemilu ).
6.    Persamaan di depan hukum
Prinsip ini menghendaki adanya persamaan politik. Maksudnya, secara hukum setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik.
7.    Perlindungan hukum
Prinsip ini menghendaki adanya perlindungan hukum warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Setiap warga negara tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh negara.
8.    Pemerintahan dibatasi oleh konstitusi
Prinsip ini menghendaki adanya pembatasan kekuasaan pemerintah melalui hukum. Pembatasan itu dituangkan dalam konstitusi. Selanjutnya konstitusi itu menjadi dasar penyelenggaraan negara yang harus dipatuhi oleh pemerintah.
9.    Penghargaan pada keberagaman
Prinsip ini menghendaki agar tiap-tiap kelompok sosial-budaya, ekonomi ataupun politik diakui dan dijamin keberadaannya. Masing-masing kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan negara.
10.     Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi
Prinsip ini menghendaki agar kehidupan negara senantiasa diwarnai oleh toleransi, kemanfaatan, kerja sama dan konsensus.

E.       Bentuk Demokrasi dalam Pengertian Sistem Pemerintahan Negara
1.    Bentuk Demokrasi
Setiap  Negara mempunyai cirri khas dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah Negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya. Ada berbagai bentuk demokrasi dalam system pemerintahan Negara, antara lain :
a.    Pemerintahan Monarki : monarki mutlak (absolut), monarki konstitusional, dan monarki parlementer.
-       Monarki konstitusional : yaitu penguasa monarki yang dibatasi kekuasaanya oleh konstitusi
-       Monarki parlementer : bentuk pemerintahan suatu Negara yang dikepalai oleh seorang raja dengan system parlemen (DPR) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
b.    Pemerintahan Republik :  berasal dari bahasa Latin Res yang berarti pemerintahan dan Publica yang berarti rakyat. Dengan demikian Pemerintahan Republik dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak (rakyat).
2.    Kekuasaan dalam Pemerintahan
Kekuasaan pemerintahan dalam Negara dipisahkan menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan legislative (kekuasaan untuk membuat undang-undang yang dijalankan oleh parlemen); kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang yang dijalankan oleh pemerintah; dan kekuasaan yudikatif (mengadili) merupakan kekuasaan eksekutif. (Teori Trias Politica oleh John Locke)
Kemudian Montesque menyatakan bahwa kekuasaan negra harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga orang atau badan yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya. Masing-masing badan ini berdiri sendiri (independen) tanpa dipengaruhi oleh badan yang lainnya. Ketiganya adalah : badan legislatif yang memegang kekuasaan untuk membuat undang-undang; badan eksekutif yang memegang kekuasaan untuk menjalankan undang-undang ; dan badan yudikatif yang memegang kekuasaan untuk mengadili jalannya pelaksanaan undang-undang.
3.    Pemahaman Demokrasi di Indonesia
c.    Dalam system Kepartaian dikenal adanya tiga system kepartaian , yaitu system multi partai (poly party system), system dua parti (bi party system) dan system dua partai (mono party system).
d.    Sistem pengisian jabatan pemegang kekuasaan Negara.
e.    Hubungan antar pemegang kekuasaan Negara, terutama antara eksekutif dan legislatif.
Mengenai Model system-system pemerintahan negara, ada empat macam system-system pemerintahan Negara, yaitu system pemerintahan dictator (dictator borjuis dan proletar); system pemerintahan parlementer; system pemerintahan presidential; dan system pemerintahan campuran.

F.        Penerapan Budaya Demokrasi Dalam Kehidupan Sehari-hari
1.    Di Lingkungan Keluarga
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
-       Kesediaan untuk menerima kehadiran sanak saudara;
-       Menghargai pendapat anggota keluarga lainya;
-       Senantiasa musyawarah untuk pembagian kerja;
-       Terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi bersama.
2.    Di Lingkungan Masyarakat
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
-       Bersedia mengakui kesalahan yang telah dibuatnya;
-       Kesediaan hidup bersama dengan warga masyarakat tanpa diskriminasi;
-       Menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya;
-       Menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kompromi;
-       Tidak terasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain.
3.    Di Lingkungan Kehidupan Bernegara
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
-       Bersedia menerima kesalahan atau kekalahan secara dewasa dan ikhlas;
-       Kesediaan para pemimpin untuk senantiasa mendengar dan menghargai pendapat warganya;
-       Memiliki kejujuran dan integritas;
-       Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik;
-       Menghargai hak-hak kaum minoritas;
-       Menghargai perbedaan yang ada pada rakyat;
-       Mengutamakan musyawarah untuk kesepakatan bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.



BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A.       Simpulan
Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” berarti rakyat dan “kratos” atau “kratein” berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi dberarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).  Istilah demokrasi secara singkat diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Landasan-landasan Demokrasi antara lain : Pembukaan UUD 1945 alenia 1 s.d 4; Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 1 ayat 2, Pasal 2, Pasal 6, Pasal 24 dan Pasal 25, Pasal 27 ayat 1, dan Pasal 28; dan Lainnya, diantaranya: Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara antara abad 4 SM - 6 M. pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Ciri-ciri Pemerintahan Demokrasi
1.    Kedaulatan rakyat
2.    Pemerintahan berdasarkan pada persetujuan rakyat.
3.    Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas.
4.    Jaminan hak-hak manusia
5.    Pemilu yang bebas dan adil
6.    Persamaan di depan hukum
7.    Perlindungan hukum
8.    Pemerintahan dibatasi oleh konstitusi
9.    Penghargaan pada keberagaman
10.     Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi
Setiap  Negara mempunyai cirri khas dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah Negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya.
Penerapan Budaya Demokrasi Dalam Kehidupan Sehari-hari
1.    Di Lingkungan Keluarga
2.    Di Lingkungan Masyarakat
3.    Di Lingkungan Kehidupan Bernegara

B.       Saran
Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:
1.    Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
2.    Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari ke hari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Aim, Drs, M.Pd. 2004. Kewarganegaraan untuk SMP Kelas II Jilid 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Garamedia. Jakarta.
Dahlan, Saronji, Drs. Dan H. Asy’ari, S.Pd, M.Pd. 2004. Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
http://dondsor.blogster.com/demokrasi_dan_Konstitusi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/konsep-demokrasi/
http://www.gudangmateri.com/2011/04/konsep-dan-asas-kewarganegaraan.html
Rais Amien. 1986. Demokrasi dan Proses Politik. Pengantar Untuk Buku Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: Seri Prisma.
Saptono. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Phibeta
Sundawa, Dadang. 2008. Pendidikan Kewarganegaran. Jakarta: Intimedia
Suparlan, P. 2003. Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72.
Tim Abdi Guru. 2007. IPS Terpadu. Jakarta: Erlangga
Wijianti, S.Pd. dan Aminah Y., Siti, S.Pd. 2005. Kewarganegaraan (Citizenship). Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

Sabtu, 16 Maret 2013

Otonomi Daerah

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jadi, apabila suatu daerah tidak memiliki kemandirian maka daerah tersebut belum dikatakan daerah yang sempurna.
Dalam pembuatan makalah ini, bertujuan agar pembaca dapat mengerti atau memahami pentingnya pelaksanaan otonomi daerah. Serta dapat menganalisis hubungan otonomi daerah dengan demokratisasi.
B. Pokok Masalah
1. Mengapa otonomi daerah perlu diketahui/dipelajari?
2. Apa yang menjadi visi-visi otonomi daerah?
3. Sipa yang mengungkapkan bentuk desentralisasi?
4. Bagaimana otonomi daerah dapat berjalan dengan lancar?
5. Dimana saja terdapat prinsip-prinsip otonomi daerah?
C. Metode Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian otonomi daerah.
2. Mengungkapkan beberapa pendapat tentang otonomi daerah.
3. Menceritakan sejarah otonomi daerah.
4. Memberikan penjelasan mengenai hubungan antar otonomi daerah dan demokratisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
OTONOMI DAERAH
1. Arti Otonomi Daerah
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah apat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.
Desentralisasi didefinisikan United Nations (PBB) hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di daerah (deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonomi daerah.
1) M. Turner dan D. Hulne (dalam Teguh Yuwono, ed., 2001,h.27)
Berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ialah teritorial dan fungsional.
Teritorial adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis yang secara geografis lebih dekat pada penyedia layanan dan yang dilayani. Fungsional adalah transfer kewenangan kepada agen yang fungsional terspesialisasi. Transfer kewenangan secara fungsional ini memiliki tiga tipe: pertama, apabila pendelegasian kewenangan itu didalam struktur politik formal misalnya; dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kedua, jika transfer itu sebuah kementrian kepada kantor kementrian yang ada didaerah. Ketiga, jika tansfer tersebut dari institusi negara kepada agen non negara,; misalnya penjualan aset pelayanan publik seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.
2) Rondinelli
Mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba (Teguh Yuwono, ed.,2001,h.28).
3) Shahid Javid Burki dkk (dalam ebidem)
Menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses perpindahan kekuasaan politik fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting adalah adanya pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (elected sub-national goverment). Dan jika tidak, maka negara tersebut tidak dianggap sudah terdesentralisasikan. Ia menekankan pada pentingnya pemerintah daerah yang terpilih itu karena dua alasan. Pertama, alasan yang mungkin paling ambisius dan paling beresiko bahwa reformasi ketiga struktur (desentralisasi, dekonsentrasi, dan privatisasi) tersebut berlangsung di daerah. Kedua, implikasi behavioral yang unik dari desentralisasi.
Jadi, desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
2. Arti Penting Otonomi Daerah – Desentralisasi
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak.
1) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2) Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3) Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara lain ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001,h.8):
1. Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
4. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.
Diantara beberapa argumen tersebut dalam memilih desentralisasi, otonomi yaitu :
1. Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to leberty what primary schools are to science; the bring it within the people reach, they teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya “Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.
4. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
3. Visi Otonomi Daerah
1) Politik
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2) Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3) Sosial dan budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
a) Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
b) Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah
c) Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d) Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
e) Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f) Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
4. Model Desentralisasi
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration, (2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local goverments, and (4) nongeverment instituions (Teguh Yuwono,ed, 2001,h.29-34).
1) Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut Rondinelli pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasan untuk membuat keputusan.
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
a) Field administration (administrasi lapangan)
Pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.
b) Local administrasion (administrasi lokal)
Terdiri dari dua tipe yaitu integrated local administration (administrasi lokal yang terpadu) dan unintegrated local administration (administrasi lokal yang tidak padu).
Dalam tipe integrated local administration, tenaga-tenaga dari departemen pusat yang ditempatkan didaerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga tersebut diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan oleh pemerintah pusat, mereka tetap berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala daerah dan bertanggung jawab kepadanya. Sedangkan tipe unintegrated local administration ialah tenaga-tenaga pemerintah pusat yang berada didaerah dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri.
Menurut Rondinelli, dekonsentrasi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu, pertama; transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada provinsi, distrik dan unit administratif llokal. Kedua; melalui koordinasi unit-unit pada level sub-nasional atau pemerintah pusat dan daerah serta unit-unit tersebut.
Mengutip pendapat Smith, Turner dan Hulme bahwa pilihan dekonsentratis didasarkan ukuran-ukuran manajerial dan bukan politik, meskipun kenyataannya memiliki nuansa politik tinggi.
Hal ini didasarkan atas dua alasan; pertama, kepentingan politik mereka yang mengendalikan kekuasaan negara seringkali kewenangan kepada pejabat administrasi daripada kepentingan pemerintah daerah. Kedua, pejabat administrasi pada umumnya melakukan kewajiban politik untuk pemerintah pusat yang memelihara stabilitas politik, menghalangi kelompok-kelompok politik oposisi, menjamin bahwa keputusan daerah berwenang tidak bertentangan dengan kebijakan pusat dan memonitor langsung politik para staf dan lain-lain.
2) Delegasi
Delegation to semi autonomus sebagai bentuk kedua yang disebutkan oleh Rondinelli adalah pelimpahan keputusan dan kewenangan untuk melakukan tugas-tugas khusus suatu organisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat.
Delegasi menurut Litvack merujuk kepada sebuah situasi dimana pemerintah pusat mentrasfer tanggung jawab (responsibility) pengambilan keputusan dan fungsi administrasi publik kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi semi otonomi yang sepenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetapi pada akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya. Bentuk desentralisasi semacam ini dapat dirincikan sebagai hubungan daerah prinsipelagen dimana pemerintah pusat sebagai prinsipal dan pemerintah daerah sebagai kebebasan pemerintah daerah yang memperoleh insentif dari pemerintah pusat dan cenderung dituntut untuk lebih memenuhi keinginan pemerintah pusat agar tidak sampai mengorbankan kepentingan daerah dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya.
3) Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk devolusi mempunyai lima karakteristik, diantaranya :
a) Unit pemerintahan lokal bersifat otonomi, mandiri dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan. Pemerintahan pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya.
b) Unit pemerintahan lokal diakui mempunayi batas-batas wilayah yang jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan
c) Unit pemerintahan daerah berstatus sebagia badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-dumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
d) Unit pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan meraka.
e) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Salah satu contoh devolusi paling ekstensif adalah Sudan dimana komisi propinsi dan DPRD propinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri , perbankan dan peradilan.
Menurut Mawhood sebagaiman dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang melekat pada devolusi yaitu :
a) Adanya sebuah badan lokal yang secara kenstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
b) Pemerintahan daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya
c) Harus mengembangkan kompetensi staf
d) Anggota dewan yang terpilih yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
e) Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagian penasehat dan evaluator luar (expternal advisors dan evaluators) yang tidak memiliki peranan apapaun didalam otoritas lokal.
4) Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah orivatisasi. Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakt, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan Pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN & BUMD dilebur menjadi PT.
Rondinelli menjelaskan melalui privatisasi pemerintahan menyerahkan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi nirlaba atau mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta. Dalam beberapa kasus, pemerintah menstransfer tanggung jawab tersebut kepada organisasi paralel seperti nasional, asosiasi dagang dan industri, kelompok-kelompok profesional, organisasi keagamaan, partai politik dan koperasi.
Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa konsep desentralisasi didekati dalam jangkauan aktivitas dan ide yang luas. Oleh karena itu bagi Maddick sebagaimana dikutip oleh Turner yang penting adalah adanya evolusi sistem pemerintahan.
5. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
1. UU No. 1 Tahun 1945
Ditetapkannya Undang-Undang ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah Pemerintahan dimana Kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. UU ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan kabupaten dan kota.
2. UU No. 22 Tahun 1948
Undang-Undang ini berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Ditetapkan 2 9dua) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daeran otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besa & desa/kota kecil. Penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah.
3. UU No. 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seluruh Indonesia)
4. UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya).
5. UU No. 5 Tahun 1974
6. UU No. 22 Tahun 1999
Pada masa itu rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR Tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keungan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
7. UU No. 25 Tahun 1999
Undang-undang ini setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
6. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UU No. 22 Tahun 1999
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan :
1) Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
2) Berdasarkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3) Otonomi daerah yang luas nyata, dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4) Sesuai dengan konstitusi negara.
5) Kemandirian daerah otonomi.
6) Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
7) Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi sebagai wilayah administrasi.
 Asas tugas pembantu.
7. Pembagian Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah Dalam UU No. 22 Tahun 1999
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara dan pengembangan sumber daya manusia.
Kewenangan propinsi sebagai daerah administrasi mencakup :
1) Kewenangan bersifat lintas kabupaten dan kota
2)Kewenangan pemerintahan lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro.
3) Kewenangan kelautan
4) Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan kota.
Kewenangan pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonomi :
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industri,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran :
1. Makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut.
2. Penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melakukan inovasi.
3. Karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata.
4. Pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata.
8. Otonomi Daerah dan Demokratisasi
Eksistensi kebijakan otonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demikratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Mawhood merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah sebagai uapaya untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsiveness.
Prasyarat yang harus untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintahan daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal teritorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election).
Keterkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh Muhammad Hatta, proklamator RI dalam suatu kesempatan.
Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaikai nasibnya sendiri.
Konsekuensi otonomi daerah dengan demokratisasi :
1) Otonomi daerah harus dipandang keutuhan sebagai instrumen desentralisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa.
2) Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi pemerintahan daerah (pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
- Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
- Arti penting otonomi daerah :
1) Untuk terciptanya efisien – efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2) Sebagai sarana pendidikan politik
3) Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4) Stabilitas politik
5) Kesetaraan politik
6) Akuntabilitas publik.
- Model desentralisasi :
1) Dekonsentrasi
2) Delegasi
3) Devolusi
4) Privatisasi
- Sejarah otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam :
1) Uu No. 1 Tahun 1945
2) UU No. 22 Tahun 1948
3) UU No. 1 Tahun 1957
4) UU No. 18 Tahun 1965
5) UU No. 5 Tahun 1975
6) UU No. 22 Tahun 1999
7) UU No. 25 Tahun 1999

peranan pancasila pada pembangunan nasional

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara yang berkembang diera ini, perkembangan itu tak lepas adanya ilmu dasar yang menjadi pegangan hidup kita dalam bertata negara yaitu pancasila, pancasila erat kaitanya dengan pemikiran yang lues, fleksibilitas dan mampu menghadapi tantangan zaman yang kian semakin dasyat, banyak negara yang bergejolak karena ideologi yang mereka pakai tidak mampu menghadapi perkembangan zaman ini.
Menjaga dan mengamalkan adalah tugas kita sebagai warga negara indonesia yang mempunyai pancasila sebagai tujuan kita didalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur didalam wadah pembangunan nasional yang berdasarkan filsafat pancasila.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Pancasila
2.      Pengertian Pembangunan Nasional
3.      Hakekat Pembangunan Nasional
4.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

C.    Tujuan Penulisan
Mengetahui tentang peranan pancasila pada pembangunan nasional dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Civic Education.

D.    Sistematika Penulisan
Makalah ini disusn dengan urutan sebagai berikut :
Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Sistematika penulisan, Pokok pembahasan, Penutup dan Daftar pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pancasila
Pancasila berasal dari bahasa sansekerta (india) atau bahasa kasta brahmana atau kebangsawanan, dan prakerta adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat india biasa didalam menyebut pancasila.
Menurut Muhamad yamin, (sansekerta) mengartikan pancasila terdiri dari dua suku kata yaitu : ‘panca’ memiliki arti (lima), dan ‘syila’ vokal huruf (i) pendeknya adalah batu, sendi, alas, atau dasar. Sementara panjangnya adalah peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau senonoh.
Menurut Dewa nagari adalah pancasila bermakna lima aturan atau tingkah laku yang penting.

B.     Pengertian Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat indonesia. Dan pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti : pangan, sandang, perumahan, kesehatan, atau juga tidak hanya ingin mengejar kepuasan batiniah seperti : pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan melainkan menginginkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan lahir batin.
Pembangunan nasional jelas-jelas  bukan hanya untuk sesuatu golongan atau sebagian kecil dari masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat dan harus benar-benar dirasakn oleh seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup yang menjadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan kita, pembangunan nasional harus berjalan seiring dengan pembinaan dan pemeliharaan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis baik di bidang politik maupun ekonomi.
Harus disadari sepenuhnya bahwa pembangunan akan mempunyai dua makna yaitu, sifat positif dari pembangunan yang akan muncul perubahan-perubahan sosial kemasyarakatan, sifat negatif membawa kebudayaan yang negatif.

C.    Hakekat Pembangunan Nasional
Adalah merupakan upaya rangkaian pembangunan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam mewujudkan tujuan nasional, mencerdaskan bangsa, mensejahterakan rakyat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, pembangunan nasional pada hakekatnya pembangunan manusia indonesia seluruhnya dengan pancasila sebagai dasar, pedoman dan tujuan pembangunan nasional.

D.    Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paradigma dalam kamus Bhs. Indonesia ialah seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat konstan atau tetap dan yang sebagian berubah-ubah.
Menurut al-marsudi paradigma adalah cara pandang nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan suatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masa tertentu.
Dalam pembangunan nasional, pancasila dijadikan sebuah paradigma karena akan dijadikan sebagai landasan acuan, metode, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam setiap program pembangunan NKRI.
Ada beberapa bentuk-bentuk pancasila sebagai paradigma :
                     
a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral
keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.
b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I
Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan
pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi
yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang
tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek.
Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang
berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.
c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak
dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si
seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas untuk menjaga pertahanan dan kemanan  serta
tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan
keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan
pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta.
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Setelah kita pahami dan diskusikan bersama-bersama anggota kelompok kami tentang materi pancasila dan  pembangunan nasional mata kuliah filsafat pancasila yaitu:
 Pancasila ialah dasar dari setiap tujuan atau rencana pembangunan nasional yang bertekad memakmurkan kesejahteraan rakyat melalui bidang pembangunan sosial budaya, ekonomi, politik, pertahanan keamanan demi terciptanya NKRI yang utuh dan berkualitas.

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

MASYARAKAT MADANI

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

KATA PENGANTAR          …………………………………………………… 2
DAFTAR ISI              …………………………………………………………… 3

BAB I PENDAHULUAN     …………………………………………………… 4
A.     Latar Belakang             …………………………………………… 4
B.    Identifikasi Masalah     …………………………………………… 5
C.    Rumusan Masalah       …………………………………………… 5

BAB II PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI     …………………… 6
A.     Pengertian         …………………………………………………… 6
B.    Ciri – Ciri Masyarakat Madani           …………………………… 7
C.    Konsep Masyarakat Madani  …………………………………… 9
D.    Masyarakat Madani Dalam Islam      ……………………………14
E.     Masyarakat Madani Di Indonesia     ……………………………15
F.     Analisa Masalah           …………………………………………………….17

BAB III PENUTUP …………………………………………………………… 19
A.     Kesimpulan       ………………………………………………….. 19
B.    Saran-saran       ………………………………………………….. 22

DAFTAR PUSTAKA           ………………………………………………….. 24

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Wacana masyarakat madani yang sudah menjadi arus utama dewasa ini, baik di lingkungan masyarakat, pemerintah, dan akademisi, telah mendorong berbagai kalangan untuk memikirkan bagaimana perkembangan sektor-sektor kehidupan di Indonesia yang sedang dilanda reformasi itu dapat diarahkan kepada konsep masyarakat madani sebagai acuan baru.
Dalam perkembangan wacana tersebut bidang ekonomi agaknya belum mendapatkan perhatian. Di bidang ini, yang masih menjadi acuan utama adalah konsep demokrasi ekonomi, Ekonomi Pancasila, dan akhir-akhir ini, ekonomi rakyat. Pertanyaannya adalah, apa kaitan konsep ekonomi madani dengan konsep-konsep yang juga masih ramai diperbincangkan itu? Salah satu masalah yang timbul dalam wacana baru tersebut adalah bahwa konsep masyarakat madani itu sendiri dewasa ini masih berada dalam proses pencarian. Masih menjadi pertanyaaan, misalnya, apakah masyarakat madani itu identik dengan civil society yang bercirikan individualisme, ekonomi pasar dan pluralisme budaya itu? 1. Konsep masyarakat madani memang telah menjadi wacana utama dan acuan, termasuk dalam memikirkan kembali sistem ekonomi Indonesia. 2 Konsep ini mengandung unsur-unsur pemikiran dan kerangka baru yang telah berkembang secara global, tidak saja di negara-negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara maju sendiri yang sudah lama mengenal dan mengembangkan konsep ini. 3. Karena itu, maka Sistem Ekonomi Indonesia di era reformasi ini harus memperhatikan wacana masyarakat madani tersebut. 4 Namun, sistem ekonomi, di samping sistem politik dan sistem sosial-budaya adalah salah satu komponen dalam masyarakat madani. Oleh karena itu maka wacana tentang sistem ekonomi ini juga akan ikut mewarnai corak masyarakat madani yang dicita-citakan. Konsep ini mencakup komponen-komponen negara (state), pasar (market), sektor voluntir (voluntary sector) atau gerakan baru masyarakat (new social movement) serta individu dan keluarga (individuals and family).5 Semua komponen tesrebut dituntut mengembangkan etos kerja dan kualitas pelayanan lebih baik dan memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian yang utuh bagi masyarakat (public service oriented). Inilah harapan masyarakat madani (civil society)6 yaitu masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan taqwa.

B.        Identifikasi Masalah
         
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang masyarakat madani, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :
a).        Konsep dari masyarakat madani.
b).        Masyarakat madani dalam kacamata islam
c).        Masyarakat madani di Indonesia

C.        Rumusan Masalah

a).        Apa pengertian masyarakat madani?
b).        Mengapa civil society disamakan sebagai sebutan masyarakat madani?
c).        Apakah masyarakat madani dizaman Rasullullah sudah dapat disebut sebagai masyarakat madani?
d).        Bagaimana upaya yang dilakukan untuk membentuk masyarakat madani di Indonesia?


BAB II
PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI
A.                 Pengertian

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praktis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).

B.                Ciri-ciri Masyarakat Madani

Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani:
1.                  Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2.                  Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
a)           Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b)          Pers yang bebas
c)           Supremasi hukum
d)          Perguruan Tinggi
e)           Partai politik
3.                  Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4.                  Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5.                  Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6.                  Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7.                  Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1.                  Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2.                  Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3.                  Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4.                  Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
5.                  Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.

C.                Konsep Masyarakat Madani

Konsep masyarakat madani yang menjadi perbincangan dewasa ini pada dasarnya memang mengacu pada konsep civil society yang sudah berkembang di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali juga pemikiran yang mengacu kepada “masyarakat Madinah”. Konsep civil society yang telah mapan, sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang (rethinking) itu, bukan merupakan konsep yang universal, melainkan historis-kontekstual. Secara historis, civil society dibentuk oleh tiga kejadian besar di Eropa Barat. Pertama, Reformasi Teologis yang menghasilkan sekularisme. Kedua, Revolusi lndustri yang menghasilkan model teknokratisme, baik yang bercorak kapitalisme pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan (welfare state). Ketiga Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang menghasilkan model negara dan masyarakat yang mengacu kepada trilogi liberte, egalite, fraternite dalam berbagai coraknya.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of  Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
Atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat). Selanjutnya, ide civil society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum atau asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar, kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah sebabnya seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of  Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.


D.                Masyarakat Madani Dalam Islam

Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim.  Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan  dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial.  Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti ‘peradaban’.  Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala’a al-badru ‘alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).
Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadharah”. Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.

E.                 Masyarakat Madani Di Indonesia

Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme, (2) makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”, (3) mengurangi dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik masing-masing.
Pemberdayaan masyarakat madani ini menurut penulis harus di motori oleh dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia lebih tua dari republik. Oleh karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal. Wibawa, komitmen dan integritas para pemimpin serta manajemen kepemimpinannya harus bisa seimbang dengan para pejabat negara, bahkan ia harus bisa memberi contoh baik bagi mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu mengisyarakat bahwa perubahan akan terjadi jika kita bergerak untuk berubah.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia,”(QS Ar-Ra’d [13]: 11).
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Untuk membangun masyarakat yang maju dan berbudaya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan iman dan takwa, paling tidak harus ada tiga syarat: menciptakan inovasi dan kreasi, mencegah kerusakan-kerusakan sumber daya, dan pemantapan spiritualitas. Masyarakat madani itu hendaknya kreatif terhadap hal-hal baru, antisipatif dan preventif terhadap segala kemungkinan buruk, serta berketuhanan Yang Maha Esa.
Jika syarat-syarat dan komponen-komponen masyakarat madani berdaya secara maksimal, maka tata kehidupan yang demokratis akan terwujud. Selain ikut membangun dan memberdayakan masyarakat, masyarakat madani juga ikut mengontrol kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya, mereka bisa memberikan saran dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu akan objektif, jika ia tetap independen. Setiap warga negara berada dalam posisi yang sama, memilik kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya, tidak merasa tertekan oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum, toleran, dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya.  Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

F.                 Analisa Masalah

Sesuai dengan pengertian dan masyarakat yaitu masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak kekurangan yang terjadi dinegara kita.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1).        Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2).        Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3).        Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4).        Tingginya lapangan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
         

Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:
1).        Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan  pendapatan dan pendidikan.
2).        Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka.

BAB III
PENUTUP

A.                 KESIMPULAN

Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115).  Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof.  Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181).  Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18.  Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Konsep civil society dalam arti politik bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).
Antara masyarakat madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka. Nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.
Komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya adalah tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000: 211).
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim.  Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani – yang kadang disamakan  dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial.  Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini.  Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan.  Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).
Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut.  Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat.  Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW.  Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.

B.                SARAN

Dalam era reformasi itu kita perlu melakukan kaji ulang dan wacana baru dengan mempertimbangan faktor-faktor yang menjadi kecenderungan nasional, regional, dan global, seperti meningkatnya peranan pasar, perampingan peranan negara dan perlunya pemberdayaan lembaga-lembaga civil society dan gerakan sosial baru (new social movement).
Wacana masyarakat madani agaknya berbeda dengan wacana civil society yang berkembang di Barat, walaupun konsep civil society itu menjadi rujukan penting. Namun harus diingat, bahwa wacana civil society itu sendiri, baik di negara-negara industri maju maupun di Dunia Ketiga, masih terus berlangsung dalam konteks baru. Oleh karena itu, masyarakat madani yang sedang dipikirkan di Indonesia ini merupakan wacana yang tebuka.









DAFTAR PUSTAKA
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.
Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.
Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohtar Mas’oed. (1999). Republika 3 Maret 1999.
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.
Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam.

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites