Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2013

Puasa

BAB I
PENDAHULUAN

“Shaumu” (puasa), menurut istilah Arab adalah: menahan dari segala sesuatu, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama Islam yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Kewajiban melaksanakannya tidak membutuhkan dalil, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan dengan keharusan. Dan betapapun itu diketahui oleh orang yang bodoh maupun orang yang alim.
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf, dan tak seorangpun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Puasa
“Shaumu” (puasa), menurut istilah Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.”
Firman Allah SWT:

“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah: 187)
Sabda Rasulullah SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَاَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخارى ومسلم)
Dari Ibnu Umar, ia  berkata, “Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda: “Apabila malam datang, siang lenyap, dan matahari terbenam, maka sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Hikmah Puasa
Puasa merupakan ibadah umat Islam yang memerlukan kesiapan fisik dan mental, sebab dalam puasa tidak hanya fisik yang melakukannya tetapi juga mental dan jiwa. Orang yang fisiknya kuat, namun mental dan imannya lemah maka tidak mungkin dapat melakukan ibadah puasa. Begitu juga sebaliknya.
Sekalipun puasa termasuk salah satu ibadah yang paling berat, namun di dalamnya terdapat banyak hikmah, antara lain sebagai berikut:
1.        Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT bagi orang yang menjalankannya.
2.        Dapat mengendalikan keinginan dan nafsu, terutama nafsu syaitan yang dapat menjerumuskan manusia pada jurang kebinasaan.
3.        Membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tabah dalam menghadapi berbagai kesukaran dan kesulitan.
4.        Mendidik jiwa agar senantiasa amanat, karena puasa pada hakikatnya melaksanakan amanat untuk tidak makan dan minum.
5.        Dari aspek kesehatan, puasa juga dapat menghantarkan orang yang menjalankannya kepada peningkatan kesehatan.
6.        Menumbuhkan rasa solidaritas yang amat tinggi, cinta kasih yang amat dalam, karena puasa mendidik orang untuk merasakan penderitaan orang lain.[2]

B.      Dasar Hukum
Kewajiban berpuasa berdasarkan firman Allah dalam al-Quran yang mulia:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183)
Dasar dalam hadits Nabi SAW menyebutkan:
بُنِىَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ, وَاِقَامُ الصَّلاَةِ, وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ, وَالْحَجِّ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ (رواه البخارى)
“Islam itu didirikan atas lima sendi: (1) Bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad utusan Allah, (2) Menegakkan shalat, (3) Mengeluarkan zakat, (4) Menunaikan ibadah haji, dan (5) Puasa pada bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari).[3]

C.      Macam-Macam Puasa
            Puasa dibedakan menjadi dua, puasa wajib dan puasa sunat.
1.  Puasa Wajib
Puasa wajib ada 3 macam, yaitu:
a.  Puasa yang terikat dengan waktu, yaitu puasa Ramadhan.
b. Puasa wajib karena ada ‘illat, seperti puasa sebagai kifarat.
c.  Puasa yang diwajibkan oleh manusia kepada dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.[4]
2.  Puasa Sunat
Waktu puasa sunat sebagai rukun pertama terbagi menjadi 3, yaitu:
a.        Hari yang disunatkan
Memperbanyak puasa sunat adalah baik. Hari-hari yang disunatkan berpuasa adalah:
1.        Hari Senin
2.        Hari Kamis
3.        Hari Bidl
4.        6 hari di bulan Syawal
5.        Tanggal 9 dan 10 Asyura
6.        Hari Arafah.[5]
b.       Hari yang dilarang puasa
1.        Hari raya Fitrah
2.        Hari raya qurban
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمُ الْفِطْرِ وَيَوْمُ الأضْحَى (فى الصحيحين)
“Rasulullah SAW melarang berpuasa di dua hari, hari raya fitrah dan hari raya Adha”. (HR. Bukhari dan Muslim).[6]
c.        Hari yang disunatkan dan tidak dilarang
1.        Hari Tasyriq
2.        Hari Syak
3.        Hari Jumat
4.        Hari Sabtu
5.        Separuh terakhir bulan Sya’ban.[7]

D.      Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib atas dasar al-Quran, hadits dan ijma’ ulama. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183).[8]

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185)

1.  Syarat wajib puasa bulan Ramadhan
a.  Berakal
b. Baligh
c.  Islam
d. Mampu berpuasa.[9]
2.  Rukun puasa bulan Ramadhan
a.  Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam puasa ialah malam sebelumnya.
Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (رواه الخمسة)
“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat lima orang ahli hadits)
Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke barat).

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ
Dari Aisyah. Ia berkata, “ Pada suatu hari Rasulullah SAW datang (ke rumah saya). Beliau bertanya, ‘Adakah makanan padamu?’ Saya menjawab, ‘Tidak ada apa-apa.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu baiklah, sekarang saya puasa.’ Kemudian pada hari lain beliau datang pula. Lalu kami berkata, ‘Ya Rasulullah, kita telah diberi hadiah kue Haisun.’ Beliau berkata, ‘Mana kue itu? Sebenarnya saya dari pagi puasa.’ Lalu beliau makan kue itu.” (Riwayat Jama’ah ahli hadits, kecuali Bukhari)
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.[10]

E.       Yang Membatalkan Puasa
Yang membatalkan puasa ada 2 macam, yaitu:
1.  Yang membatalkan dan mengharuskan mengqadha puasa itu adalah:
a.  Makan dan minum dengan sengaja
b. Muntah dengan sengaja
c.  Haid
d. Nifas
e.  Mengeluarkan mani/sperma
f.   Memasukkan sesuatu ke dalam kepala (lubang telinga)
g. Meniatkan berbuka
2.  Yang membatalkan dan karenanya wajib mengqadha puasa dan membayar kifaratnya:
a.  Bersetubuh (bersenggama).[11]

F.       Adab Berpuasa
1.  Makan sahur
2.  Menyegerakan berbuka
3.  Berdo’a waktu akan berbuka
4.  Menghindarkan diri dari yang bertentangan dengan puasa
5.  Menggosok gigi
6.  Murah hati dan mempelajari al-Quran
7.  Rajin beribadah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.[12]

G.      Kelonggaran tidak Berpuasa
1.  Perempuan yang sedang hamil dan menyusui
2.  Orang yang sakit
3.  Orang yang sedang bepergian sangat jauh
4.  Orang yang tua bangka
5.  Wanita yang sedang haid
6.  Wanita yang sedang nifas.[13]

H.      Sunah-sunah Puasa
Disunahkan dalam puasa 3 perkara, yaitu;
1.  Menyegerakan berbuka puasa (bila telah sampai waktu)
2.  Melambatkan sahur
3.  Meninggalkan perkataan jelek.[14]
I.         Menentukan Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan atas tiap-tiap orang mukallaf dengan salah satu dari ketentuan-ketentuan berikut ini:
1.        Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya sendiri
2.        Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (البخارى)
“Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban 30 hari”. (HR. al-Bukhari).
3.        Dengan adanya melihat (ru’yat) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Bahwasanya Ibnu Umar telah melihat bulan. Maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW berpuasa, dan beliau menyuruh orang-orang agar berpuasa pula.” (HR. Abu Dawud)
4.        Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat berdusta atau sekata atas kabar yang dusta.
5.        Percaya kepada orang yang melihat.
6.        Tanda-tanda yang biasa dilakukan di kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum), seperti lampu, meriam, dan sebagainya.
7.        Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).
Sabda Rasulullah SAW:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا  رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Ibnu Umar telah menceritakan hadits berikut yang ia terima langsung dari Rasulullah SAW yang telah bersabda, “Apabila kamu melihat bulan (di bulan Ramadhan), hendaklah kamu berpuasa, dan apabila kamu melihat bulan (di bulan Syawal), hendaklah kamu berbuka. Maka jika tertutup (mendung) antara kamu dan tempat terbit bulan, hendaklah kamu kira-kirakan bulan itu.” (Riwayat Bukhari Muslim. Nasa’i, dan Ibnu Majah).[15]

BAB III
PENUTUP

Simpulan
1.  Puasa menurut bahasa adalah “menahan dari segala sesuatu”. Menurut istilah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya, satu ahri lamanya, mulainya dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
2.  Macam-macam puasa ada dua, yaitu: puasa wajib dan puasa sunat.
3.  Puasa Ramadhan
4.  Syarat wajib puasa bulan Ramadhan
a.  Berakal
b. Baligh
c.  Islam
d. Mampu berpuasa.
5.  Yang membatalkan puasa ada 2 macam:
a.  Yang membatalkan dan mengharuskan mengqadha puasa ada 8.
b. Yang membatalkan dan karenanya wajib mengqadha puasa dan membayar kifarat ada 10.
6.  Adab berpuasa dan kelonggaran berpuasa
7.  Sunat-sunat puasa
8.  Menentukan puasa Ramadhan
a.  Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya sendiri.
b. Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
c.  Dengan adanya melihat (ru’yat).
d. Dengan kabar mutawatir.
e.  Percaya kepada orang yang melihat.
f.   Tanda-tanda yang memberitahukan kepada orang banyak (umum).
g. Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).
DAFTAR PUSTAKA

●        Anwar, H. Moch. 1973. Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib. Bandung: PT. al-Ma’arif.
●        As’ad, Drs. Mahrus, Drs. A. Wahid. 1994. Fiqih. Bandung: CV. Armico.
●        Rasyid, H. Sulaiman. 1989. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Biru.
●        Rifa’i, Drs. Moch, Drs. Moh Zuhri, dkk. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra.
●        Rusyd, Ibnu. 1995. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani.
●        Syukur, Prof. H. M. Asywadie. 2005. Kitab Sabilal Muhtadin. PT. Bina Ilmu.

[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal. 220.
[2] Drs. Mahrus As’ad, Fiqih, hal. 75.
[3] Drs. Moh. Rifa’i dkk, Kifayatul Akhyar, hal. 149.
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 79.
[5] Drs. Moh. Rifa’i dkk, Kifayatul Akhyar, hal. 162.
[6] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal 229.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 139.
[8] Drs. H. Kahar Mansyur, Fiqih Sunnah Puasa dan Zakat, hal. 278.
[9] Prof. H. M. Aswadie Syukur, Sabilal Muhtadin, hal. 876.
[10] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal 229.
[11] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 121.
[12] Drs. H. Kahar Mansyur, Fiqih Sunnah Puasa dan Zakat.
[13] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 106.
[14] H. Moch. Anwar. Fiqih Islam, hal 103.
[15] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal. 121-124.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Munakahat dan Waris

PENDAHULUAN
Sekarang ini pergaulan bebas telah merasuk kedalam kehidupan kita, bayi yang tak berdosa berserakan di sana-sini. Ini merupakan pemandangan yang sangat tidak enak. Islam telah mengatur dengan aturan yang sangat sehat, indah dan mensejahterakan umatnya. Bahkan dengan aturan Islam orang yang bukan muslimpun juga merakan dampaknya.
Nikah merupakan jalan keluar yang sangat benar dan sehat. Kerena nikah mengandung hukum-hukum dan peraturan yang dapat membawa manusia kedalam kehidupan yang sejahtera.
Masalah lain dalam kehidupan ini yaitu pembagian harta pusaka yang ditinggalkan oleh si mayit kadang membawa malapetaka yang dapat menghancurkan tali kekerabatan diantara keluarga yang disebabkan oleh kekurangan ilmu pengetahuan terhadap hukum warisan.
Ilmu waris merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqih yang sangat penting dalam kehidupan. Sebab ilmu ini secara tidak langsung membina kerukunan antar keluarga. Dengan ilmu faraidh akan tercipta keluarga harmonis, jauh dari kekerasan, dan mencegah timbulnya kehancuran dalam keluarga.
Melihat kondisi seperti di atas pemakalah mencoba untuk mempelajari dan memahami tentang munakahat (pernikahan) dan faraidh (warisan) dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      MUNAKAHAT (NIKAH)
1.        Pengertian Nikah
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.[1]
Dari segi istilah nikah/perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa nikah ialah suatu ikatan yang menghalalkan dua orang berlawanan jenis dan bukan mahram melakukan persetubuhan, dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya.[2]
2.        Dasar Hukum Nikah
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’, sebagaimana firman Allah SWT:
                          
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisâ: 3)
       ...   
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan…” QS. An-Nûr: 32)
Rasulullah SAW bersabda:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; dan barangsiapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih)
Dalam hadits lain dinyatakan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم حَمِدَ الله وأثقف عليه فقال: لَكِنِّي أنا أصَلىِّ وأنامُ و أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (متفق عليه)
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. bahwasanya Nabi SAW memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau berkata: “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perempuaan; barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.” (HR. Muttafaqqun ‘Alaih).[3]
3.        Hukum Nikah
a.        Mubah atau boleh
Hukum asli pernikahan adalah mubah atau boleh. Artinya setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya, karena Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kebutuhan biologisnya. Dengan pernikahan, kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
b.       Sunnah
Nikah hukumnya sunnah bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat pernikahan, dan berkeinginan untuk menikah, mempunyai kemampuan lahir (memberi nafkah) dan bathin (sehat mental dan rohaninya), serta memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga. Orang yang demikian itu, akan mendapat pahala dari pernikahannya sebab telah menjalankan perintah sunnah.
c.        Wajib
Nikah bagi mereka yang telah mempunyai kemampuan lahir dan bathin, cukup umur, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina maka hukumnya wajib. Misalnya, seorang pemuda yang telah mempunyai penghasilan lumayan setiap bulannya, sehat lahir bathin, dan ia bergaul cukup bebas dengan pacarnya maka baginya wajib segera menikah. Sebab ditakutkan terjerumus kelembah perzinahan dan seks bebas yang mendatangkan dosa besar.
d.       Makruh
Nikah hukumnya makruh bagi mereka yang belum berkeinginan untuk menikah, belum mempunyai kemampuan yang cukup, dan dikhawatirkan setelah menikah tidak bertanggung jawab atas rumah tangga.
e.        Haram
Nikah juga menjadi haram hukumnya, manakala pernikahan tersebut dimaksudkan untuk menyakiti atau balas dendam terhadap pasangannya, atau menikahi orang atau pasangan yang masih mahram.[4]
4.        Rukun dan Syarat Nikah
a.        Rukun Nikah
1.        Pengantin laki-laki
2.        Pengantin perempuan
3.        Dua saksi
4.        Wali dari pengantin perempuan, atau wali hakim
5.        Shigat (ucapan ijab dan qabul).[5]
b.       Syarat pengantin laki-laki
1.        Tidak dipaksa/terpaksa
2.        Tidak dalam ihram haji atau umrah
3.        Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam)
c.        Syarat-syarat pengantin perempuan
1.        Bukan perempuan yang dalam ‘iddah
2.        Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
3.        Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim
4.        Tidakdalam keadaan ihram haji dan umrah
5.        Bukan perempuan musyrik.[6]
d.       Syarat-syarat wali
1.        Baligh
2.        Berakal
3.        Merdeka
4.        Laki-laki
5.        Islam.[7]
6.        Bersifat adil
e.        Macam-macam wali
Dilihat dari segi latar belakangnya, wali dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.        Wali Mujbir
Adalah wali yang berhak untuk menikahkan perempuan dengan tahap meminta izin terlebih dahulu. Perempuan yang berada dalam kekuasaan walinya adalah perempuan yang masih gadis, sedangkan janda berhak menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
2.        Wali ‘adhal (enggan)
Adalah wali yang menolak untuk menikahkan seorang perempuan yang mencegah kewaliannya.
3.        Wali hakim
Adalah seorang penguasa yang menjadi wali terhadap perempuan yang mempunyai wali tetapi ‘adhal, atau memang karena tidak mempunyai wali.
f.         Tertib wali menurut pendapat Imam Syafi’i yang dianut oleh umat Islam Indonesia adalah:
1.        Ayah
2.        Kakek dan seterusnya ke atas
3.        Saudara laki-laki kandung
4.        Kemenakan laki-laki seayah
5.        Paman kandung
6.        Saudara sepepu
7.        Paman seayah
8.        Saudara sepupu laki-laki kandung
9.        Saudara sepupu laki-laki seayah
10.     Sultan/hakim
11.     Orang yang ditunjuk oleh mempelai bersangkutan
g.       Syarat-syarat saksi
1.        Laki-laki
2.        Beragama Islam
3.        Akil baligh
4.        Mendengar
5.        Bisa berbicara dan melihat
6.        Waras (berakal)
7.        Adil.[8]
5.        Mahar (Maskawin)
Mahar adalah suatu pemberian yan diwajibkan atas suami untuk istrinya dengan sebab aqad atau persetubuhan.[9] Maskawin hukumnya wajib, tapi menyebutkannya dalam nikah hukumnya sunat. Firman Allah SWT dalam al-Quran:
    ...   
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib…” (QS. An-Nisa: 4).[10]
Ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu:
a.        Mahar Musamma
Mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Kalau istri menghendaki tunai, maka suami harus membayar setelah akad pernikahan dilaksanakan, tetapi jika ditangguhkan mahar harus dibayar ketika perceraian terjadi.
b.       Mahar Mitsil
Mahar mitsil atau mahar sebanding adalah mahar yang besarnya tidak ditentukan, tetapi dibayar secara pantas oleh suami dengan kedudukan istri dan kemampuan serta kedudukan suami.[11]
6.        Walimatul ‘Urs
Al-Walîmah berasal dari lafazh “walama” artinya berkumpul. Adapun walimatul ‘urs pengertiannya ialah menjamu para tamu yang diundang dalam upacara perkawinan seseorang.
Hadits Nabi yang memerintahkan untuk melaksanakan walimatul ‘urs antara lain, hadits Anas riwayat Bukhari dan Muslim:
ما أولم رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على شيْءٍ مِنْ نِسَآءِهِ, ما أوْلِمْ عَنْ زَيْنَبَ, أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Rasulullah SAW tidak pernah mengadakan walimah dalam perkawinan dengan istri-istrinya, beliau tidak melaksanakan walimah dengan istrinya Zainab (namun beliau bersabda): “Berwalimahlah walau hanya dengan seekor kambing.”[12]
a.        Menghadiri walimatul ‘urs
Menghadiri undangan walimatul ‘urs, kalau kita sanggup, wajib hukumnya, dan kalau tidak sanggup juga lebih baik datang. Sabda Nabi SAW:
مَنْ دُعِئَ الَى وَلِيْمَةٍ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخارى)
Artinya: “Siapa yang diundang ke walimah maka datanglah!” (HR. Bukhari)
مَنْ لم يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Siapa yang tidak menghadiri walimatul ‘urs sungguh telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.(HR. Muslim)
Sedang menghadiri pesta yang lain (bukan pengantin) lebih baik datang. Wajib menghadiri undangan walimatul ‘urs dengan ketentuan:
1.        Undangan itu umum, semua keluarga, tetangga, orang-orang yang kaya dan miskin turut serta diundang.
2.        Pengundang datang sendiri atau wakilnya.
3.        Kedatangannya tidak ada khawatir akan kezhaliman.
4.        Ditempatkan dengan orang yang sejajar.
5.        Dalam walimah itu tidak ada perbuatan munkar, seperti minuman-minuman keras.
6.        Mengunjungi di hari yang pertama (andaikan walimah diadakan beberapa hari).
7.        Yang mengundang harus orang Islam.[13]
b.       Waktu walimah
Waktu mengadakan walimah amat bergantung kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu temapt pada suatu masa tertentu, walimah dapat diadakan pada waktu akad.
7.        Al-Khitbah (Lamaran)
Al-Khitbah berasal dari lafazh khatiba, yakhtibu, khitbatun. Tejemahannya ialah lamaran atau pinangan.
Al-Khitbah ialah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya menurut cara-cara yang berlaku dikalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khitbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya.
Khitbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah:
                                                     
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dari nash di atas tentang khitbah, mengandung hukum-hukum sebagai berikut:
a.        Tidak boleh meminang wanita yang beriddah raj’i karena statusnya masih menjadi istri orang. Tetapi wanita yang beriddah ba’in boleh dipinang secara ta’ridh (sindiran) dan tidak boleh dipinang secara sharih (terang-terangan).
b.       Tidaklah boleh meminang wanita yang dalam pinangan orang lain, kecuali kalau sudah pasti ditinggalkan peminang pertama atau sudah pasti ditolak oleh pihak wanita. Sebagian ahli fiqih membolehkan pinangan atas wanita yang sudah dipinang orang lain apabila peminang pertama adalah orang yang fasiq, karena hal itu dilakukan untuk menghindari wanita jatuh dalam genggaman laki-laki yang cacat akhlaknya.
c.        Dalam meminang dibolehkan (dipensasi) melihat wanita secara bebas, yang secara umum dilarang, hal ini berdasarkan surah An-Nûr ayat 31:
     ...   
Artinya: “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Menurut Madzhab Jumhur melihat wanita yang bakal dipinang adalah suatu anjuran dalam syara’ hingga batas muka dan telapak tangan, tetapi madzhab Auza’iy dibolehkan melihat seluruh badan.
Perselisihan pendapat ini disebabkan penafsiran umum dari hadits:
فَلْيَنْظُرْ مِنْهَا الى ما يَدْعُوْهُ الى نِكَحِهَا
Artinya: “Lihatlah wanita yang dilamar sampai batas yang mendorong untuk menikahinya.”
Menurut pengertian yang luas, kata-kata “lihatlah wanita itu” tidak hanya melihat dengan mata secara lahiriyah, tetapi mengandung makna meneliti keadaannya secara keseluruhan terutama agamanya dan kepribadiannya.[14]
Meminang itu ada 2 macam:
1.        Shariih (terang-terangan) - (الصريح)
Meminang dengan memakai kata-kata yang jelas terang untuk maksud meminang disebut Shariih (terang-terangan)
Misalnya berkata: “Sungguh-sungguh aku ingin kawin dengan engkau” ((أريدُ أنْ اُنْكِحِك  atau : “Sudikah engkau kawin denganku” dan sebagainya.
Wanita yang sedang ‘iddah (masa menunggu) karena ditinggal mati suaminya maka wanita tadi haram dipinang secara terang-teranagan.
Sebab dikhawatirkan wanita tadi berdusta tentang ‘iddahnya, belum habis ‘iddahnya tetapi mungkin lantas mengaku sudah habis ‘iddahnya karena tergesa-gesa ingin menikah.
Misalnya laki-laki berkata:
أريدُ أنْ اُنْكِحَك وإذا انْقَضَتْ عِدَّتُكِ نَكَحْتُكِ
Bagi wanita yang sedang beriddah kata-kata semacam itu dipandang kurang sopan juga.
2.        Kinaayah atau Ta’ridh (dengan kata-kata sindiran) – (التعريض-الكناية)
Meminang dengan kata sindiran, (tidak jelas untuk maksud meminang) disebut Kinaayah (sindiran).
Misalnya seorang berkata: رُبََّّ رَاغِبٍ فِيْكِ
Banyak orang yang cinta padamu. Atau banyak orang yang ingin hidup bersama-samamu dalam satu rumah tangga. (Berarti saya termasuk orang yang banyak itu).
Atau berkata:
“Maukah engkau kujadikan teman hidupku yang sangat istimewa melebihi teman biasa” dan lain sebagainya.
Meminang dengan kata-kata sindiran ini:
HARAM       – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Raj’i.
BOLEH        – apabila wanita itu dalam keadaan ‘iddah daripada Thalaq Bain atau karena ditinggal mati oleh suami.
Jadi boleh meminang dengan jalan sindiran asal wanita tadi tidak dalam thalaq raj’i, karena dalam thalaq raj’i hak penuh ada pada suami, untuk memberi kesempatan kepada suaminya, mungkin ia meruju’ kembali kepada istrinya itu.
Oleh karena itu haram meminang wanita yang dalam ‘iddag daripada thalaq raj’i baik dengan terang-terangan maupun dengan sindiran.[15]
8.        Macam-Macam Nikah Terlarang
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a.        Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah (nikah mu’aqqat) yaitu pernikahan yang dilakukan dengan tujuan untuk bersenang-senang, karena untuk melepaskan hawa nafsu saja. Pernikahan mut’ah disebut dengan nikah kontrak. Artinya pernikahan yang ditentukan masa (waktunya) pada saat akad. Apabila telah habis masanya, maka pernikahan tersebut selesai dengan sendirinya.
b.       Nikah Tahlil
Menurut bahasa tahlil berarti penghalalan. Sedangkan menurut istilah pernikahan yang bertujuan untuk penghalalan, misalnya pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan dalam nikah dengan bekas suaminya, karena telah bertalaq tiga. Pernikahan seperti ini haram hukumnya.
c.        Nikah Syighar
Secara bahasa syighar dapat berarti mengusir atau membuang. Sedangkan secara istilah nikah syighar adalah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tertentu diikuti dengan pernikahan antara bapak perempuan itu dengan anak perempuan laki-laki yang menikah dengan anak perempuannya.
d.       Nikah antar pemeluk agama
Pernikahan yang terjadi anatara orang yang beragama Islam dengan orang yang tidak beragama Islam.
9.        Hak dan Kewajiban Suami Istri
Di dalam menguraikan anatar hak dan kewajibanseorang suami dan istri maka dapat dikaji melalui fungsi dan hakekat antara keduanya. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, sedagkan hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh seseorang. Anatar hak dan kewajiban sangat berhubungan erat. Untuk memperoleh gambaran tentang berbagai hak dan kewajiban seorang suami dan istri dapat diketahui melalui uraian berikut:
a.        Kewajiban seorang suami
1.        Memberi nafkah
2.        Mempergauli istri secara ma’ruf (layak dan patut)
3.        Memimpin keluarga
4.        Mendidik keluarga
b.       Kewajiban seorang istri
1.        Mentaati suami
2.        Menjaga kehormatan
3.        Mengatur rumah tangga
4.        Mendidik anak
10.     Hikmah Perkawinan
Didalam mengadakan perkawinan bagi umat Islam akan dapat mendatangkan hikmah (manfaat) sebagai berikut:
a.        Hikmah bagi yang melakukan
Bagi umat Islam yang mampu melakukan perkawinan akan mendapatkan hikmah atau manfaat sebagai berikut:
1.        Dapat mententramkan jiwa
2.        Dapat menghindarkan maksiat
3.        Dapat melestarikan keturunan
b.       Hikmah bagi masyarakat (umat manusia secara luas)
1.        Dapat melahirkan generasi-generasi penerus masa depan yang sah dan berkualitas
2.        Dapat menghindarkan maksiat
3.        Dapat mewujudkan masyarakat yang tentram dan aman.
B.       FARAIDH (WARIS)
1.        Pengertian Faraidh
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan).[16] Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
2.        Sumber Hukum Waris
a.        al-Quran
Dalam ayat al-Quran ditegaskan secara definitif tentang ketentuan bagian ahli waris yang disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau bagian yang telah ditentukan, dan bagian sisa (ashabah), serta orang yang tidak termasuk ahli waris adalah Q.S An-Nisa ayat 11 dan 12.
b.       As-Sunnah
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسلِمَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: "Orang muslim tak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tak berhak mewarisi orang muslim" (HR. Bukhari dan Muslim).
c.        Ijma
d.       Ijtihad.[17]
3.        Peninggalan (Tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang mati) secara muthlak. Menurut madzhab Maliki, syafi'i dan Hambali, peninggalan itu meliputi semua harta dan hak yang ditinggalkan oleh si mayit, baik harta benda maupun bukan harta benda.
4.        Rukun Waris
a.        Pewaris (al-waarits)
b.       Orang yang mewariskan (al-muwarrits)
c.        Harta yang diwariskan (al-mauruuts).[18]
5.        Syarat-syarat Pewaris
a.        Seorang meninggal secara hakiki atau secara hukum
b.       Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meninggal
c.        Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.[19]
6.        Sebab-sebab Menerima Warisan
a.        Hubungan Keluarga (Nasab Hakiki)
b.       Hubungan Perkawinan (Persemendaan)
c.        Hubungan Wala (Nasab Hukmi) yaitu hubungan sebab memerdekakan budak/hamba sahaya
d.       Hubungan Agama.[20]
7.        Halangan-halangan Pewarisan
a.        Perbudakan (hamba sahaya)
b.       Pembunuhan  dengan sengaja yang diharamkan
c.        Berlainan agama
d.       Murtad.[21]
8.        Hak-hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Pembagian Waris
a.        Biaya perawatan jenazah (wafâ al-janâzah)
b.       Pelunasan hutang (wafâ al-duyun)
c.        Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaya)
9.        Ahli Waris dan Macam-macamnya
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a.        Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.       Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
●        Perkawinan yang sah (al-musabarah)
●        Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
Apabila dilahat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
a.        Ahli waris asbab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya yang telah ditentukan dalam al-Quran seperti 1/2, 1/3, atau 1/6.
b.       Ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah warisan dibagikan kepada ahli waris asbab al-furudh.
c.        Ahli waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sebenarnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut al-Quran, tidak berhak menerima bagian warisan.
Dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
a.        Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau garis keturunannya yang menyebabkan dapat menghalangi ahli waris yang lain.
b.       Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang yang terhalang oleh waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Ahli waris berdasarkan nasabiyah yang tediri dari 25 orang, yaitu terdiri 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan, dapat dikelompokan menurut tingkatan atau kepada kekerabatanya:
1.        Furu al-waris, yaitu kelompok anak keturunan al-muwarris
a.        Anak perempuan
b.       Cucu perempuan garis laki-laki
c.        Anak laki-laki
d.       Cucu laki-laki garis laki-laki
2.        Ushul al-waris, yaitu ahli waris leluhur al-muwarris
a.        Bapak
b.       Ibu
c.        Kakek garis bapak
d.       Nenek garis ibu
3.        Al-hawasyi, yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunannya.
a.        Saudara perempuan sekandung
b.       Saudara perempuan seayah
c.        Saudara perempuan seibu
d.       Saudara laki-laki sekandung
e.        Saudara laki-laki seayah
f.         Saudara laki-laki seibu
g.       Anak laki-laki saudara sekandung
h.       Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i.         Paman sekandung
j.         Paman seayah
k.        Anak paman sekandung
l.         Anak paman seayah.
Apabila ke-15 orang dari pihak laki-laki semuanya ada maka yang berhak mendapat warisan, yaitu suami, ayah, dan anak laki-laki, dan apabila dari pihak perempuan ke-10 orangnya ada maka yang berhak mendapat warisan hanya: istri anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan saudara perempuan sekandung. Dan jika ke-25 orangnya ada maka yang berhak/yang tidak bisa gugur dalam kondisi apapun, yaitu:
a.        Suami atau istri
b.       Ayah
c.        Ibu
d.       Anak laki-laki
e.        Anak perempuan.[22]
Ahli Waris dan Furudhul Muqaddarah
Furudhul muqaddarah adalah bagian berhak didapatkan ahli waris seuai ketentuan nash al-Quran dan as-Sunnah yaitu, 1/2, 1/3, 1/4, 2/3,1/6, 1/8 serta apabila ada sisa harta warisan dinamakan ashabah.
Adapun bagian-bagiannya sebagai berikut:
a.        Anak perempuan, berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.
●        2/3 jika jika dua orang atau lebih, tidak bersama anak laki-laki.
b.       Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, atau tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjîb).
●        2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan cucu laki-laki dan tidak mahjîb.
●        1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjîb. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka dia tidak mendapatkan bagian.
c.        Ibu, berhak menerima bagian:
●        1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far'u wâris) atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/6 jikla ada far'u wâris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
●        1/3 sisa, jika ada far'u wâris dalam masalah garawain, yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari: suami/ istri, ibu dan bapak.
d.       Bapak berhak menerima bagian:
●        1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
●        1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki;
Jika bapak bersama ibu, maka;
●        Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih;
●        1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami dan atau istri.
e.        Nenek, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
●        1/6 jika seorang;
●        1/6 dibagirata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.         Kakek, jika tidak mahjûb, berhak menerima bagian:
●        1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki;
●        1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki;
●        1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain;
●        1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara-saudara).
g.       Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjûb berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
●        2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung;
h.       Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
●        1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah;
●        2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
●        1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap (takmilah li al- sulusain)
i.         Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
●        1/6 jika seorang
●        1/3 jika dua orang atau lebih;
●        Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan masalah musyârakah.
j.         Suami berhak menerima bagian:
●        1/2 jika istrinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu;
●        1/4 jika istrinya yang  meninggal mempunyai anak atau cucu.
k.        Istri berhak menerima bagian;
●        1/4 jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
●        1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.[23]
10.     Hijab
Hijab menurut bahsa adalah halangan sedangkan menurut istilah ilmu mewaris hijab ialah halangan ahli waris untuk menerima warisankarena adanya sebab-sebab tertentu.[24] Hijab terbagi 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a.        Hijab Hirman
Hijâb Hirmân, yaitu menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.
Ahli waris yang terhalang secara total oleh ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dapat dirinci sebagai berikut:
Hâjib-Mahjûb Hirmân
No
Ahli Waris
Bagian
Terhalang oleh
Menjadi
1
Kakek
1/6
Ayah
-
2
Nenek garis ibu
1/6
Ibu
-
3
Nenek garis ayah
1/6
Ayah dan ibu
-
4
Cucu laki2 grs laki2
'asabah
Anak laki-laki
-
5
Cucu pr. grs laki2
Cucu pr. grs laki2 2+
1/2
2/3
anak laki-laki
anak pr. 2 +
-
6
Saudara laki2 skdng
Saudara pr. skdng
Saudara pr.  skdng 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki-laki, cucu laki-laki
dan ayah
-
7
saudara seayah laki2
saudara pr. seayah
saudara pr. seayah 2+
'asabah
1/2
2/3
anak laki2, cucu laki-laki, ayah, sdr. laki-laki skdng, saudar pr. sekandung. Bersama anak/cucu pr.
-
8
Saudara lk2/pr seibu
Saudara lk2/pr seibu 2+
1/6
1/3
anak lk. dan anak pr. Cucu lk dan cucu pr. Ayah dan kakek
-
9
Anak lk2 sdr lk2 skdng
'asabah
anak laki, cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, saudara pr. skndg atau seayah yang menerima’asabah ma’a al-ghair
-
10
Anak lk2 sdr. seayah
'asabah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
11
Paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair
-
12
Paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung
-
13
Anak laki-laki paman sekandung
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah
-
14
Anak laki-laki paman seayah
'asabah
anak aatau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki skndg atau seayah, anak laki-laki sdr. laki-laki skndg atau seayah yang menerima ‘asabah ma’a al-ghair dan paman sekandung/seayah, dan anak laki-laki paman skndg.
-
b.       Hijab Nuqshan
Adalah hijab yang menghalangi ahli waris sehingga bagiannya berkurang atau berganti/pindah statusnya.
Hâjib Mahjûb Nuqshân
No
Ahli Waris
Bagian
Terkurangi oleh
Menjadi
1
ibu
1/3
1/3
anak atau cucu
2 saudara atau lebih
1/6
1/6
2
bapak
'asabah
'asabah
anak laki-laki
anak perempuan
1/6
1/6 + 'asabah
3
isteri
1/4
anak atau cucu
1/8
4
suami
1/2
anak atau cucu
1/4
5
saudara pr.skd/ seayah
saudara pr.skd/ seayah
1/2
2/3
anak atau cucu perempuan
anak atau cucu perempuan
'amg
'amg
6
cucu pr. grs.laki-laki
1/2
seorang anak perempuan
1/6
7
saudara pr seayah
1/2
seorang saudara pr. sekandung
1/6[25]
11.     'Asabah
'Asabah adalah ahli waris yang mendapat bagian diluar ketentuan zawil furud. Adakalanya dapat mengambil seluruh warisan apabila mayit tidak mempunyai ahli waris dari zawil furud, atau mengambil seluruh sisa harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furud.
'Asabah terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a.        'Asabah binnafsi
‘Asabah binnafsi ialah ahli waris yang menjadi ‘asabah karena diri mereka sendiri, yang berjumlah empat belas orang, yaitu:
1.        Anak laki-laki
2.        Cucu laki-laki dari anak laki
3.        Ayah
4.        Kakek dari pihak ayah
5.        Saudara laki-laki sekandung
6.        Saudara laki-laki seayah
7.        Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8.        Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9.        Paman sekandung
10.     Paman seayah
11.     Anak laki-laki paman sekandung
12.     Anak laki-laki paman seayah
13.     Laki-laki yang memerdekakan hamba
14.     Perempuan yang memerdekakan hamba
b.       ‘Asabah bilghair
‘Asabah bilghair ialah perempuan-perempuan yang menjadi ‘asabah karena adanya laki-laki yang menjadi ‘asabah bersama-sama. Pembagian ‘asabah bilghair antara laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Berdasarkan firman Allah:
           
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
Adapun yang termasuk ‘asabah bilghair hanya ada empat orang, yaitu:
1.        Anak perempuan dengan adanya anak laki-laki;
2.        Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki;
3.        Saudara perempuan sekandung dengan adanya saudara laki-laki sekandung;
4.        Saudara perempuan seayah dengan adanya saudara laki-laki seayah.
c.        ‘Asabah ma’a al-ghair
‘Asabah ma’a al-ghair ialah perempuan-perempuan yang dalam menerima ‘usubahnya memerlukan kepada orang lain, sedangkan orang itu tidak berserikat di dalam menerima ‘usubah tersebut.
‘Asabah ma’a al-ghair hanya ada dua kelompok yaitu:
1.        Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih).
2.        Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Contoh pembagian warisan:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris yaitu seorang istri, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang paman. Harta warisan sebanyak Rp. 48.000.000; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 24
Ahli Waris      Furud     Asal masalah                      Bagian Warisan
Istri                     1/8                3                 3/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
Ibu                      1/6                4                 4/24 x Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Anak laki-laki   Asabah            17                     Asabah (sisa harta) = Rp 34.000.000,00
Paman              Mahjub
12.     Permasalahan Dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan
a.        Cara Al ‘Aul
Para ulama mawaris mendefinisikan ‘Aul yaitu jika jumlah bagian ahli waris lebih banyak daripada Asal Masalah. Misalnya di antara ahli waris ada yang mendapat bagian seperdua (1/2) seperti suami, seperenam (1/6) seperti ibu, dua pertiga (2/3) seperti dua saudara perempuan sekandung, maka jumlah dari 1/2 + 1/6 + 2/3 lebih banyak daripada Asal Masalah, yaitu 6.
Seorang wanita meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung. Harta warisan sejumlah Rp 7.000.000,00; pembagiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris                                                Furud              Bilangan
Istri                                                               1/2                      3
2 saudara perempuan sekandugn                    2/3                      4
Jumlah                                                             -                        7
Karena jumlah bagian ahli waris adalah 7, berarti lebih banyak daripada asal maslahnya yaitu 6, sehingga terjadilah masalah ‘Aul dari 6 ke 7, sehingga pembagiannnya sebagai berikut:
●        Suami
3/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
●        2 saudara perempuan kandung:
4/7 x Rp 7.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
b.       Cara Ar-Rad
Menurut para ulama mawaris, Ar-Rad ialah mengembalikan sisa warisan kepada para ahli waris setelah pembagian warisan sesuai dengan furud mereka masing-masing. Hal itu dapat terjadi apabila jumlah bagian ahli waris lebih sedikit daripada Asal Masalah. Misalnya dari ahli waris ada yang mendapat bagian sepertiga seperti ibu, dan seperdua seperti saudara perempuan sekandung. Jumlah dari 1/2  + 1/3 = 5/6. Jumlah Asal Masalah 6, adalah lebih besar daripada jumlah bagian yang hanya 5. Karena jumlah bagian ahli waris lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-rad.
Contoh:
Seorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari ibu dan anak perempuan. Harta yang ditinggalkan berjumlah Rp 6.000.000,00. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Ibu                                     1/6                               1
Anak Perempuan                1/2                               3
Jumlah                                                                    4
Karena jumlah bagian lebih kecil daripada Asal Masalah, sehingga terjadilah Ar-Rad. Jadi bagian masing-masing adalah:
●        Ibu
1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
●        Anak perempuan
3/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
Jumlah                          = Rp 4.000.000,00
●        Sisa harta                     = Rp 2.000.000,00
Sisa harta tersebut dapat dibagikan kepada kedua ahli waris di atas, yakni ibu dan anak perempuan dengan menggunakan salah satu cara berikut ini:
●        Ibu
            1/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 500.000,00
●        Anak perempuan
            3/4 x Rp 2.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        Ibu
            1/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        Anak perempuan kandung
            3/4 x Rp 6.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
c.        Masalah Garawain
Garawain adalah dua masalah yang sangat yang sangat terang. Garawain disebut juga Masalah Umariyah.
Masalah garawain dapat terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ibu dan ayah, atau istri, ibu dan ayah. Untuk lebih memahami dan dapat mempraktikkan masalah garawain, hendaknya diperhatikan contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorag meninggal dunia, dan ahli warisnya terdiri dari suami, ibu dan ayah. Harta warisan sebanyak Rp. 12.000.000,00; Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Suami                                 1/2                               3
Ibu                                     1/3                               2
Ayah                                  Asabah                         1
Jadi bagian masing-masing adalah:
●        Suami                           : 3/6 x Rp 12.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
●        Ibu                               : 1/3 x Rp 12.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
●        Ayah                            : 1/6 x Rp 6.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Perhitungan tersebut sesuai ketentuan zawil furud.
d.       Masalah Musyarakah
Musyarakah sering juga disebut musytarakah, hajariyah, dan himariyah, yang mengandung arti bergabung, bersekutu, atau berserikat. Musyarakah dapat terjadi apabila saudara kandung berserikat dengan saudara seibu. Untuk lebih jelas jelasnya, perhatikan contoh kasus musyarakah berikut ini:
Contoh:
Seorang meniggal dunia dengan ahli waris terdir dari suami, ibu, 1 saudara laki-laki sekandung, dan 2 saudara laki-laki seibu. Harta peniggalan sebesar Rp 9.000.000,00. pembagiannya adalah sebagai berikut:
Asal Masalah 6
Ahli Waris                        Furud                          Bilangan
Suami                                 1/2                               3
Ibu                                     1/6                               1
2 saudara lk. seibu              1/3                               2
1 saudara lk. skndg Asabah                         -
Jadi pembagiannya adalah:
●        Suami   : 3/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
●        Ibu                               : 1/6 x Rp 9.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
●        2 saudara seibu             : 1/3 x Rp 9.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
e.        Masalah Akhdariyah
                  Akhdariyah menurut bahasa artinya menyusahkan, menyulitkan, atau mengeruhkan. Sedangkan menurut istilah ilmu mawaris, Akhdariyah ialah adanya kakek yang menyulitkan dalam pembagian waris terhadap saudara perempuan. Tanpa adanya kakek, saudara perempuan mendapat bagian seperdua, tapi dengan adanya kakek, bagian saudara perempuan gugur. (Lihat Hijab Hirman). Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah contoh kasus berikut ini:
Contoh:
Seseorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari, suami, ibu, saudara perempuan sekandung dan kakek. Harta peninggalan berjumlah Rp. 18.000.000,00. Pembagiannya adalah:
●        Suami
      3/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
●        Ibu
      2/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
●        Kakek dan saudara perempuan sekandung
      4/9 x Rp 18.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
Pembagian kakek dan saudara perempuan sekandung adalah 2:1, sehingga menjadi
●        Kakek
      2/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 5.333.333,00
●        Saudara perempuan kandung
      1/3 x Rp 8.000.000,00 = Rp 2.666.666,00
13.     Hikmah Pembagian Warisan
a.        Mewujutkan keadilan berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, untuk mencapai kebahagian yang hakiki.
b.       Menghindari terjadinya persengketaan masalah warisan diantara para ahli warisan.
c.        Menjaga hubungan tali kekeluargaan diantara keluarga muslim.
d.       Membentuk kepribadian yang jujur, adil, disiplin, dan bertanggung jawab.
e.        Menghindarkan terjadinya fitnah diantara sesama ahli waris.
f.         Melestarikan sunnah Rasulullah.[26]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Secara bahasa, nikah berasal dari bahasa Arab bentuk mashdar dari “nakaha, yankihu, nahkan, nikâhan” adalah sinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafazh “zawwaja, yuzawwiju, tazwîj, zawâj” yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.
Menurut ajaran Islam terdapat beberapa macam pernikahan yang dilarang, yaitu:
a.        Nikah Mut’ah
b.       Nikah Syighar
c.        Nikah Tahlil
d.       Nikah antar pemeluk agama
Waris (faraidh) jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Menurut istilah ahli fiqih artinya: bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama (Islam) untuk orang yang berhak.
Ahli waris terbagi dua yaitu:
a.        Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.       Ahli waris Sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu yaitu:
●        Perkawinan yang sah (al-musabarah)
●        Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena ada perjanjian tolong menolong.
'Asabah terbagi tiga:
a.        'Asabah binnafsi
b.       ‘Asabah bilghair
c.        ‘Asabah ma’a al-ghair
DAFTAR PUSTAKA
●        Amir, Ustadz Ja’far, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th.
●        Ash-Shabuni , Syekh Muh. Ali, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th.
●        As’ad, Mahrus  dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005.
●        Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.
●        Idhamy, Dahlan, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984.
●        Idris, H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
●        Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.
●        Munir, A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
●        Rifa’i, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th..
●        Rifai , H. Moh. dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001.
●        Rofiq ,Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

[1] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th. h. 9.
[2] Mahrus As’ad dan A. Wahid SY, Memahami Fiqih 2 Madrasah Aliyah, Bandung: ARMICO, 2005. h. 48.
[3] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, t.th. h. 434-455.
[4] Mahrus As’Ad dan A. Wahid SY, op.cit., h. 43.
[5] Ustadz Ja’far Amir, Ilmu Fiqih, Jakarta: Ramadhani, t.th. h 252.
[6] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 456.
[7] A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. h. 263.
[8] Moh. Rifai’i, op.cit., h. 461. 
[9] Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat. Hukun Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984. h. 48.
[10] Moh. Rifa’i, op.cit., h. 462.
[11] A. Munir dan Sudarsono, op.cit.,h. 277-278.
[12] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 46.
[13] H. Abdul Fatah Idris dan Drs. H. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. h. 219-220.
[14] Dahlan Idhamy, op.cit., h. 15-18.
[15] Ustadz Ja’far Amir, op.cit., h. 238-239.
[16] Mudzakir, Fikih Sunnah, Jil. 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. h. 235.
[17] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. h. 22-27.
[18] Mudzakir, op.cit., h. 238-240
[19] Syekh Muh. Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Bandung: Trigenda Karya, t.th. h. 46
[20] H. Moh. Rifai dan Ahmad Musthafa Hadna, Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 2001. h. 145.
[21] Sayyid Sabiq, op.cit., h. 241-242.
[22] Ahmad Rofiq, op.cit., h. 46-64.
[23] Ibid., h. 67-69
[24] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 47.
[25] Ahmad Rafiq, op.cit., h. 90-92.
[26] Mahrus dan A. Wahid, op.cit., h. 79-89. 

Sabtu, 27 Juli 2013

Shaum (puasa)

BAB I
PENDAHULUAN
 
“Shaumu” (puasa), menurut istilah Arab adalah: menahan dari segala sesuatu, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama Islam yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Kewajiban melaksanakannya tidak membutuhkan dalil, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan dengan keharusan. Dan betapapun itu diketahui oleh orang yang bodoh maupun orang yang alim.
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf, dan tak seorangpun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab.
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.      Pengertian Puasa
“Shaumu” (puasa), menurut istilah Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.”
Firman Allah SWT:
           
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah: 187)
Sabda Rasulullah SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَاَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخارى ومسلم)
Dari Ibnu Umar, ia  berkata, “Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda: “Apabila malam datang, siang lenyap, dan matahari terbenam, maka sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
 
Hikmah Puasa
Puasa merupakan ibadah umat Islam yang memerlukan kesiapan fisik dan mental, sebab dalam puasa tidak hanya fisik yang melakukannya tetapi juga mental dan jiwa. Orang yang fisiknya kuat, namun mental dan imannya lemah maka tidak mungkin dapat melakukan ibadah puasa. Begitu juga sebaliknya.
Sekalipun puasa termasuk salah satu ibadah yang paling berat, namun di dalamnya terdapat banyak hikmah, antara lain sebagai berikut:
1.        Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT bagi orang yang menjalankannya.
2.        Dapat mengendalikan keinginan dan nafsu, terutama nafsu syaitan yang dapat menjerumuskan manusia pada jurang kebinasaan.
3.        Membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tabah dalam menghadapi berbagai kesukaran dan kesulitan.
4.        Mendidik jiwa agar senantiasa amanat, karena puasa pada hakikatnya melaksanakan amanat untuk tidak makan dan minum.
5.        Dari aspek kesehatan, puasa juga dapat menghantarkan orang yang menjalankannya kepada peningkatan kesehatan.
6.        Menumbuhkan rasa solidaritas yang amat tinggi, cinta kasih yang amat dalam, karena puasa mendidik orang untuk merasakan penderitaan orang lain.[2]
 
B.      Dasar Hukum
Kewajiban berpuasa berdasarkan firman Allah dalam al-Quran yang mulia:
               
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183)
Dasar dalam hadits Nabi SAW menyebutkan:
بُنِىَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ, وَاِقَامُ الصَّلاَةِ, وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ, وَالْحَجِّ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ (رواه البخارى)
“Islam itu didirikan atas lima sendi: (1) Bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad utusan Allah, (2) Menegakkan shalat, (3) Mengeluarkan zakat, (4) Menunaikan ibadah haji, dan (5) Puasa pada bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari).[3]
 
C.      Macam-Macam Puasa
            Puasa dibedakan menjadi dua, puasa wajib dan puasa sunat.
1.  Puasa Wajib
Puasa wajib ada 3 macam, yaitu:
a.  Puasa yang terikat dengan waktu, yaitu puasa Ramadhan.
b. Puasa wajib karena ada ‘illat, seperti puasa sebagai kifarat.
c.  Puasa yang diwajibkan oleh manusia kepada dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.[4]
2.  Puasa Sunat
Waktu puasa sunat sebagai rukun pertama terbagi menjadi 3, yaitu:
1.        Hari yang disunatkan
Memperbanyak puasa sunat adalah baik. Hari-hari yang disunatkan berpuasa adalah:
1.  Hari Senin
2.  Hari Kamis
3.  Hari Bidl
4.  6 hari di bulan Syawal
5.  Tanggal 9 dan 10 Asyura
6.  Hari Arafah.[5]
2.        Hari yang dilarang puasa
1.  Hari raya Fitrah
2.  Hari raya qurban
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمُ الْفِطْرِ وَيَوْمُ الأضْحَى (فى الصحيحين)
“Rasulullah SAW melarang berpuasa di dua hari, hari raya fitrah dan hari raya Adha”. (HR. Bukhari dan Muslim).[6]
3.        Hari yang disunatkan dan tidak dilarang
1.  Hari Tasyriq
2.  Hari Syak
3.  Hari Jumat
4.  Hari Sabtu
5.  Separuh terakhir bulan Sya’ban.[7]
 
D.      Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib atas dasar al-Quran, hadits dan ijma’ ulama. Firman Allah SWT:
               
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. al-Baqarah: 183).[8]
                                                 
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185)
 
1.  Syarat wajib puasa bulan Ramadhan
a.  Berakal
b. Baligh
c.  Islam
d. Mampu berpuasa.[9]
2.  Rukun puasa bulan Ramadhan
a.  Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam puasa ialah malam sebelumnya.
Sabda Rasulullah SAW:
 
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (رواه الخمسة)
“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat lima orang ahli hadits)
Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke barat).
 
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ
Dari Aisyah. Ia berkata, “ Pada suatu hari Rasulullah SAW datang (ke rumah saya). Beliau bertanya, ‘Adakah makanan padamu?’ Saya menjawab, ‘Tidak ada apa-apa.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu baiklah, sekarang saya puasa.’ Kemudian pada hari lain beliau datang pula. Lalu kami berkata, ‘Ya Rasulullah, kita telah diberi hadiah kue Haisun.’ Beliau berkata, ‘Mana kue itu? Sebenarnya saya dari pagi puasa.’ Lalu beliau makan kue itu.” (Riwayat Jama’ah ahli hadits, kecuali Bukhari)
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.[10]
 
E.       Yang Membatalkan Puasa
Yang membatalkan puasa ada 2 macam, yaitu:
1.  Yang membatalkan dan mengharuskan mengqadha puasa itu adalah:
a.  Makan dan minum dengan sengaja
b. Muntah dengan sengaja
c.  Haid
d. Nifas
e.  Mengeluarkan mani/sperma
f.   Memasukkan sesuatu ke dalam kepala (lubang telinga)
g. Meniatkan berbuka
2.  Yang membatalkan dan karenanya wajib mengqadha puasa dan membayar kifaratnya:
a.  Bersetubuh (bersenggama).[11]
 
F.       Adab Berpuasa
1.  Makan sahur
2.  Menyegerakan berbuka
3.  Berdo’a waktu akan berbuka
4.  Menghindarkan diri dari yang bertentangan dengan puasa
5.  Menggosok gigi
6.  Murah hati dan mempelajari al-Quran
7.  Rajin beribadah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.[12]
 
G.      Kelonggaran tidak Berpuasa
1.  Perempuan yang sedang hamil dan menyusui
2.  Orang yang sakit
3.  Orang yang sedang bepergian sangat jauh
4.  Orang yang tua bangka
5.  Wanita yang sedang haid
6.  Wanita yang sedang nifas.[13]
 
H.      Sunah-sunah Puasa
Disunahkan dalam puasa 3 perkara, yaitu;
1.  Menyegerakan berbuka puasa (bila telah sampai waktu)
2.  Melambatkan sahur
3.  Meninggalkan perkataan jelek.[14]
I.         Menentukan Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan atas tiap-tiap orang mukallaf dengan salah satu dari ketentuan-ketentuan berikut ini:
1.        Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya sendiri
2.        Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (البخارى)
“Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban 30 hari”. (HR. al-Bukhari).
3.        Dengan adanya melihat (ru’yat) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
 
“Bahwasanya Ibnu Umar telah melihat bulan. Maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW berpuasa, dan beliau menyuruh orang-orang agar berpuasa pula.” (HR. Abu Dawud)
4.        Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat berdusta atau sekata atas kabar yang dusta.
5.        Percaya kepada orang yang melihat.
6.        Tanda-tanda yang biasa dilakukan di kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum), seperti lampu, meriam, dan sebagainya.
7.        Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).
Sabda Rasulullah SAW:
 
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Ibnu Umar telah menceritakan hadits berikut yang ia terima langsung dari Rasulullah SAW yang telah bersabda, “Apabila kamu melihat bulan (di bulan Ramadhan), hendaklah kamu berpuasa, dan apabila kamu melihat bulan (di bulan Syawal), hendaklah kamu berbuka. Maka jika tertutup (mendung) antara kamu dan tempat terbit bulan, hendaklah kamu kira-kirakan bulan itu.” (Riwayat Bukhari Muslim. Nasa’i, dan Ibnu Majah).[15]
  
BAB III
PENUTUP
 
Simpulan
1.  Puasa menurut bahasa adalah “menahan dari segala sesuatu”. Menurut istilah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya, satu ahri lamanya, mulainya dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
2.  Macam-macam puasa ada dua, yaitu: puasa wajib dan puasa sunat.
3.  Puasa Ramadhan
4.  Syarat wajib puasa bulan Ramadhan
a.        Berakal
b.       Baligh
c.        Islam
d.       Mampu berpuasa.
5.  Yang membatalkan puasa ada 2 macam:
a.        Yang membatalkan dan mengharuskan mengqadha puasa ada 8.
b.       Yang membatalkan dan karenanya wajib mengqadha puasa dan membayar kifarat ada 10.
6.  Adab berpuasa dan kelonggaran berpuasa
7.  Sunat-sunat puasa
8.  Menentukan puasa Ramadhan
a.        Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya sendiri.
b.       Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
c.        Dengan adanya melihat (ru’yat).
d.       Dengan kabar mutawatir.
e.        Percaya kepada orang yang melihat.
f.         Tanda-tanda yang memberitahukan kepada orang banyak (umum).
g.       Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).
DAFTAR PUSTAKA
 
●        Anwar, H. Moch. 1973. Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib. Bandung: PT. al-Ma’arif.
●        As’ad, Drs. Mahrus, Drs. A. Wahid. 1994. Fiqih. Bandung: CV. Armico.
●        Rasyid, H. Sulaiman. 1989. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Biru.
●        Rifa’i, Drs. Moch, Drs. Moh Zuhri, dkk. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra.
●        Rusyd, Ibnu. 1995. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani.
●        Syukur, Prof. H. M. Asywadie. 2005. Kitab Sabilal Muhtadin. PT. Bina Ilmu.
 
 
[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal. 220
[2] Drs. Mahrus As’ad, Fiqih, hal. 75
[3] Drs. Moh. Rifa’i dkk, Kifayatul Akhyar, hal. 149
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 79
[5] Drs. Moh. Rifa’i dkk, Kifayatul Akhyar, hal. 162
[6] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal 229
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 139
[8] Drs. H. Kahar Mansyur, Fiqih Sunnah Puasa dan Zakat, hal. 278
[9] Prof. H. M. Aswadie Syukur, Sabilal Muhtadin, hal. 876
[10] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal 229
[11] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 121
[12] Drs. H. Kahar Mansyur, Fiqih Sunnah Puasa dan Zakat
[13] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 106
[14] H. Moch. Anwar. Fiqih Islam, hal 103 
[15] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hal. 121-124  

Puasa

BAB I
PENDAHULUAN
 
Puasa merupakan suatu perbuatan kiat untuk menahan diri dari perbuatan yang berupa 2 macam yaitu syahwat peryt dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu yang tidak masuk ke perut, sperti obat atau sejenisnya. Hal ini, dilakukan pada waktu yang telah ditentukan yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari oleh orang-orang tertentu yang berhak melaksakannya yaitu orang muslim berakal dan bagi wanita tidak dalam keadaan haid atau nifas.
Zakat mengandung dua sapek yaitu aspek kekuatan kepada Allah SWT semata dan aspek amal saleh kepada masyarakat. Islam dengan tegas menjelaskan bahwa harta itu hakikatnya adalah milik Allah yang diberikan kepada orang-orang yang yang dikehendaki-Nya, untuk dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat.
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
I.         PUASA
A.      Pengertian Puasa dan Dasar Hukumnya
“Shaumu” menurut bahasa Arab, adalah menahan dari segala sesuatu. Menurut istilah agama Islam (syara’), puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membukakan/membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Hukum melaksanakan puasa adalah fardhu ‘ain atas tiap-tiap mukallaf, sebagaimana firman Allah SWT:
                                                        
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 183-184)
           
Rasulullah SAW sendiri telah mengerjakan puasa sembilan kali Ramadhan, delapan kali 29 hari, satu kali cukup 30 hari. Beliau berkata dalam hadits: “Bulan itu kadang-kadang 30 hari, kadang-kadang 29 hari”. (HR. al-Bukhari).
Puasa Ramadhan itu diwajibkan atas tiap-tiap mukallaf dengan salah satu dari ketentuan-ketentuan berikut ini:
1.              Dengan melihat bulan bagi yang melihat sendiri
2.  Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiap 30 hari. Maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat, tetapi kalau bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan cukupnya 30 hari.
Rasulullah SAW bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (البخارى)
“Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan) maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban 30 hari”. (HR. al-Bukhari).
3.  Dengan adanya melihat (ru’yat) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.[1]
 
B.       Syarat dan Rukun Puasa
1.  Syarat Puasa
Para ulama ahli fiqih membedakan syarat puasa atas:
a.        Syarat wajib puasa meliputi:
1.        Berakal (aqil)
2.        Baligh (sampi umur)
3.        Kuat berpuasa (qadir)
b.       Syarat sah puasa meliputi:
1.        Islam
2.        Mumayyiz
3.        Suci dari haid atau nifas/wiladah
4.        Dikerjakan dalam waktu yang dibolehkan
2.  Rukun puasa
Rukun puasa meliputi:
a.        Niat
b.       Menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.[2]
 
C.       Sunat-sunat Puasa
1.        Menyegerakan berbuka puasa apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah terbenam
2.        Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis atau dengan air
3.        Berdoa sewaktu berbuka puasa
4.        Makan sahur sesudah tengah malam
5.        Menta’khirkan makan sahur
6.        Perbanyak sadaqah dan membaca al-Quran.[3]
D.      Macam-macam Puasa
1.  Puasa Wajib
a.        Puasa pada bulan Ramadhan
b.       Puasa kifarat (tebusan)
c.        Puasa nadzar
d.       Puasa qadha.
2.  Puasa Sunat/Puasa Tathawu’
a.        Puasa 6 (enam) hari dibulan Syawal
Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي أيوب قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثْمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ كَصِيَامِ الدَّهْرِ (المسلم) 
b.       Puasa hari Senin dan Kamis
c.        Puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram)
d.       Puasa bulan Sya’ban
e.        Puasa tengah bulan (13, 14 dan 15).[4]
3.  Puasa Haram
Diharamkan puasa pada hari tertentu seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن صوم خمسة أيام فى السنة: يوم الفطر ويوم البحر وثلاثة أيام التسريق (رواه الدار القطنى)
“Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi SAW telah melarang berpuasa dalam lima hari setahun, yaitu a) Hari Raya Idul Fitri b) Hari Raya Idul Adha dan c) Hari Tasyriq”. (HR. al-Dâr Quthnî)
4.  Puasa Makruh
Landasan hukumnya, sabda Rasulullah SAW:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن لربك عليك حقا, ولأهلك عليك حقا, ولجسدك عليك حقا, فصم, ونووأت أهلك. وأعط كل ذى حق حقه (البخارى)
Bersabda Rasulullah SAW: “Bahwasanya Tuhanmu mempunyai hak atasmu yang wajib engkau bayar, begitu juga dengan dirimu dan ahlimu, semua mempunyai hak yang wajib engkau bayar, maka dari itu hendaklah engkau berpuasa (sewaktu-waktu) dan berbuka (pula sewaktu-waktu), berjaga malam dan tidur. Dekatilah ahlimu dan berikanlah hak mereka satu persatu”. (HR. al-Bukhari).[5]
 
E.       Manfaat Puasa Ramadhan dalam Kehidupan
Puasa adalah suatu ibadah yang mempunyai berbagai fungsi atau manfaat. Diantara manfaat puasa yaitu bagi spiritual (rohani), sosial dan kesehatan.
1.  Beberapa fungsi spiritual puasa:
a.        Membiasakan bersifat sabar
b.       Mengajarkan pengendalian diri
c.        Menimbulkan sifat takwa
2.  Beberapa fungsi sosial puasa adalah:
a.        Membiasakan hidup teratur
b.       Menimbulkan rasa persatuan, persamaan dan kasih sayang
c.        Melindungi masyarakat dari keburukan dan kerusakan akhlak
3.  Beberapa fungsi kesehatan puasa adalah:
a.        Membersihkan usus
b.       Membersihkan lambung.[6]
 
 
II.       ZAKAT
A.      Pengertian Zakat dan Dasar Hukumnya
Kata zakat berasal dari bahasa Arab yaitu “Tazkiyah”, yang artinya menurut bahasa adalah tumbuh atau suci. Menurut syara’ yaitu kegiatan mengeluarkan sebagian harta tertentu diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.  Zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, hukumnya fardhu ‘ain (wajib) bagi setiap orang yang mencukupi syarat-syaratnya. Dalil yang menunjukkan bahwa zakat hukumnya wajib antara lain firman Allah SWT:
   
“Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” (QS. an-Nisaa: 77).
                 
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. at-Taubah: 103).
 
Persyaratan Zakat:
a.        Al-Milk at-Tam (الملك التام ) yang berarti harta itu dikuasai secara penuh dan sah
b.       An-Nama (النماء)  harta yang berkembang jika diusahakan
c.        Telah mencapai nisab
d.       Telah melebihi pokok
e.        Haul.[7]
 
B.       Macam-macam Zakat
1.  Zakat Fitrah
Zakat fitrah menurut bahasa adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada hari raya Idul Fitri. Sedangkan menurut syara’ adalah zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, merdeka atau budak yang memiliki kelebihan bagi keperluan dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Fitri.
a.        Syarat wajib zakat fitrah
Zakat fitrah wajib dilaksanakan bagi orang yang memenuhi sebagai berikut:
1.        Orang Islam
2.        Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabissan Ramadhan, anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib fitrah
3.        Dia mempunyai kelebihan harta dan keperluan makanan untuk dirinya dan untuk yang wajib dinafkahinya.
b.       Waktu membayar zakat fitrah
Berikut ini dikemukakan beberapa waktu pembayaran zakat fitrah sebagai berikut:
1.        Waktu yang diperbolehkan yaitu malam dan awal bulan Ramadhan sampai dengan penghabisan bulan Ramadhan.
2.        Waktu wajib yaitu mulai terbenam matahari penghabisan Ramadhan.
3.        Waktu yang lebih baik (sunnat) yaitu dibayar sesudah shalat Subuh sebelum pergi shalat hari raya.
4.        Waktu haram lebih telat lagi, yaitu dibayar sesudah terbenam matahari pada hari raya.[8]
 
2.  Zakat Mal (zakat harta)
Zakat harta ialah mengeluarkan sebagian harta kekayaan berupa binatang ternak, hasil tanaman/buah-buahan, emas dan perak, harta perdagangan dan kekayaan lain diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.
Adapun syarat-syarat wajib zakat harta adalah sebagai berikut:
a.        Islam
b.       Baligh
c.        Berakal
d.       Merdeka
e.        Miliknya sendiri
f.         Mencukupi satu nisab
g.       Telah mencukupi haul, kecuali untuk buah-buahan/harta temuan.[9]
 
C.       Mustahiq Zakat
Mustahiq zakat yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang berhak menerima zakat dibagi menjadi delapan golongan yaitu:
1.  Fakir    yaitu orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai mata pencaharian.
2.  Miskin  yaitu orang yang memiliki harta dan mempunyai pekerjaan tetap, tetapi penghasilannya belum mencukupi keperluan, minimal diri dan keluarga.
3.  Amil yaitu petugas-petugas yang melaksankan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan saadaqah.
4.  Muallaf yaitu golongan yang diinginkan agar hatinya dapat dilunakkan dan didekatkan kepada Islam atau dikuatkan imannya.
5.  Riqab   yaitu budak yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari tuannya.
6.  Gharimin yaitu mereka yang mempunyai utang dan tidak dapat lagi membayar utangnya karena diluar kemampuannya.
7.  Fi sabilillah, sabilillah adalah jalan yang menyampaikan kita kepada keridhaan Allah SWT, Fi sabilillah yaitu meliputi semua sarana kemaslahatan agama Islam dan kemaslahatan umum sosial.
8.  Ibnu sabil yaitu orang yang kehabisan bekal dijalan walaupun dia seorang kaya dikampungnya.[10]
 
D.      Hikmah Zakat
Hikmah zakat ini bisa dikaji dari Muzakki (orang yang mengeluarkannya) bagi Mustahiq (penerima) masyarakat luas.
1.  Hikmahnya bagi orang yang mengeluarkan (Muzakki)
a.  Sebagai rasa terima kasih/syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya sehingga ditambah kenikmatan itu (lihat QS. Ibrahim; 7).
b. Membersihkan diri dari sifat kikir serta mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan menunaikan amanat kepada orang yang berhak (lihat QS. at-Taubah: 103)
c.  Membersihkan harta dari campur dengan yang haram
d. Dapat menggugah semangat kerja
e.  Dapat melipatgandakan pahala (lihat QS. ar-Rum: 3)
 
2.  Hikmahnya bagi orang yang menerima zakat dan masyarakat lainnya
a.  Agar para fakir miskin ikut serta menikmati harta yang dimiliki oleh orang-orang kaya dan kekayaan itu tidak menumpuk hanya pada orang-orang kaya saja, tetapi ada sirkulasi yang seimbang (lihat QS. al-Hasyr: 7)
b. Sebagai upaya untuk menolong mengatasi kesulitan dan kesusahan yang diderita kaum fakir miskin
c.  Dapat memperteguh dan memupuk Iman orang-orang mukallaf yaitu yang baru masuk Islam dan menarik orang lain yang belum masuk Islam.
d. Zakat dapat menghindari timbulnnya rasa dengki, iri hati, dan menghilangkan jurang pemisah.
e.  Zakat bersifat sosial, karena meringankan beban fakir miskin dan meratakan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia
f.   Zakat mengandung arti rasa persamaan yang memikirkan nasib manusia dalam suasana persaudaraan.[11]
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
Simpulan
Puasa (shaum) menurut bahasa adalah menahan. Syarat wajib puasa adalah berakal, baligh, dan kuat berpuasa, sedangkan syarat sah puasa adalah Islam. Mumayyiz, suci dari haid dan dikerjakan pada waktu yang diperbolehkan. Rukun puasa itu meliputi niat dan menahan dari yang membatalkan.
 
●        Puasa Wajib
■    Puasa Ramadhan
■    Puasa Kifarat
■    Puasa Nadzar
■    Puasa Qadha
●        Puasa Sunat/Thatawwu
■    Puasa 6 hari pada bulan Syawwal
■    Puasa Senin dan Kamis
■    Puasa Asyura
■    Puasa pada hari Arafah
Puasa haram yaitu: hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari Tasyriq.
 
●        Zakat berasal dari kata Tazkiyah yang artinya tumbuh/berkembang.
●        Macam zakat: zakat fitrah/nafs dan zakat mal/harta
●        Mustahiq zakat: fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil.
●        Zakat termasuk salah satu rukun iman yang ke 5, hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mencukupi syarat-syaratnya, dan zakat mulai diwajibkan pada tahun ke 2 Hijriyah.
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
●        Helmi, Mashar. 2001. Memahami Zakat dan Cara Perhitungannya. PT. Al-Ma’rif: Bandung.
●        Rasyid, Sulaiman. 1954. Fiqih Islam. Sinar Baru: Bandung.
●        Rifai, Moh. Dkk. 1993. Fiqih Untuk MA. CV. Wicaksana: Semarang.
●        Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama. 1982. Ilmu Fiqih. DEPAG: Jakarta.
●        Tim Editor Agama. 2007. Panduan Kegiatan Bulan Ramadhan,SMP/SLTP. Tiga Serangkai: Solo.
 
 

[1] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru. 1954) h. 210
[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Ilmu Fiqih, (Jakarta: DEPAG. 1982) h. 302.
[3] Tim Editor Agama, Panduan Kegiatan Bulan Ramadhan,SMP/SLTP, (Solo: Tiga Serangkai. 2007) h. 4.
[4] Sulaiman Rasyid, loc.cit., h. 228.
[5] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, loc.cit., h. 296.
[6] Tim Editor Agama, loc.cit., h. 228.
[7] Mashar Helmi, Memahami Zakat dan Cara Perhitungannya, (Bandung: PT. Al-Ma’rif. 2001) h. 71.
[8]  Sulaiman Rasyid, op.cit., h. 208-209.
[9] Masdar Helmi, loc.cit., h. 76.
[10] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, loc.cit., h. 261.
[10] 
[11] Moh. Rifai, dkk,  Fiqih Untuk MA, (Semarang: CV. Wicaksana. 1993) h. 76-77.
[11]

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites