Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Tampilkan postingan dengan label Ushul Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ushul Fiqih. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Agustus 2013

Ushul Fiqih Al Hakim

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Al-Hakim (pembuat hukum/Allah SWT) merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, apakah ada yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dan apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat jahat dikenakan sanksi.
Adapu mengenai kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam. Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, yakni Rasul.
Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagaimana yang akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama yaitu:
وَاضِعُ الأحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
الذِى يُدْرِكُ الأحْكَامُ وَيُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”[1]
Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal, ‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
لَاحُكْمَ إلَّا ِللهِ
Artinya: “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”
1.        Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.[2]
2.        Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya haram. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih (buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.
B.       Tahsin dan Taqbih
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih.
1.        Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qabih adalah segala sesuatuu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
2.        Al-Husnu diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaliknya, qabih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan dalam diri seseorang, seperti bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
3.        Al-Husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
4.        Al-Husnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.[3]
Ulama Asy’ariyah (Ahlussunnah wal jamaah) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dalam pengertian ketiga dan keempat di atas bersifat syar’i (secara syara’) dan harus ditentukan oleh syara’ karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara’. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada dzatnya, melainkan pada sesuatu yang bersifat nisbi (relatif).
Ulama Mu’tazilah (aliran teologi Islam yang rasional dan liberal) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu tanpa harus diberitahu oleh syara’. Menurut mereka, sebagian baik dan buruk terletak pada zatnya, dan sebagian yang lain terletak antara manfaat dan mudharatnya.[4]
C.       Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal unutk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:
1.        Menurut Ahlussunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunya syari’at. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT surah al-Isra: 15
        
Artinya: “Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (Rasul) yang membawa risalah ilahi. Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa: 165
…        …
Artinya: “Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa: 165)
Dengan mengemukakan nash di atas, menurut ahlussunah wal jama'ah, akal tidak bisa dijadikan sebagai standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandang buruk oleh akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan segala perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung mamfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudaratan.[5]
Akal sangat besar peranannya sebagai alat umtuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu mwemberi pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berpikir, dan jika sampai kesuatu daerah (masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu memberitahukannya kepada akal. Dengan adanya bantuan wahyu itu akal tidak lagi tinggal dalam kegelapan mengenai masalah yang diluar kemampuannya, seperti masalah-masalah gaib, cara-cara mengerjakan upacara keagamaan, ketentual halal dan haram, dan beberapa ketentuan hukum lainya dalam al-Quran dan Hadits.[6]
Dalam masalah yang seperti ini agama Islam masih memberi kesempatan kepada akal untuk berpikir dan berusaha untuk mencari 'illat dan hikmah terhadap ketetapan-ketetapan syara' seperti yang tersebut di atas.
Dilihat dari segi hokum, usaha menemukan 'illat dan hikmat itu besar sekali artinya untuk pengembangan hukum Islam, terutama dalam mengahadapi masalah-masalah baru yang belum terdapat di masa Rasulullah dan sahabat. Atau tidak terdapat di negeri Arab tetapi terdapat di sini dan di negeri lainya. Itulah lapangan kerja qiyâs atau ra'yu, kadang-kadang ada juga yang menyebutnya dengan ijtihad.[7]
1.        Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah SWT tersebut sebelum syari'at datang. Akal manusia dapat menentukan sesuatu itu baik dan buruk tanpa perantaraan kitab samawi dan rasul. Sesuatu dikatakan baik dan buruknya terletak pada dzatnya. Oleh karena itu baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal. Alas an mereka adalah surat al-Isra (17) ayat 15 yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kata "Rasul" dalam ayat itu berarti akal. Oleh karena itu, makna ayat tersebut bagi mereka adalah "Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal kepada mereka". Menurut mereka secara logika sebagian perbuatan atau perkataan baik, seperti iman dan bersikap benar, merupakan hal yang seharusnya diperbuat manusia.
Dalam persoalan ini, kaum mu'tazilah mempunyai prinsip bahwa al-hasan dan al-qabih merupakan produk akal, bukan berdasarkan pada syara'. Akibat dari prisip dan pendapat ini adalah bahwa orang-orang yang belum sampai kepadanya syari'at dan Rasul dikenalkan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka diberi imbalan oleh Allah SWT. Di samping itu, mereka juga dituntut untruk meninggalkan perbuatan yang dinilai buruk oleh akal mereka dan apabila mereka kerjakan, maka mereka akan mendapat hukuman dari Allah SWT.
Kaum mu'tazilah lebih lanjut berpendapat, hukum yang ditetapkan Allah SWT. Bagi manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh akal karena pada perbuatan itu terdapat mamfaat atau mudharat. Terhadap perbuatan atau perkataan ini, Allah SWT menetapkan hukum bagi manusia, yaitu perintah untuk melaksanakannya apabila baik dan meniggalkannya apabila buruk. Dengan demikian, yang baik menurut pendapat akal dituntut oleh syara' untk mengerjakannya, dan yang mengerjakannya diberi pahala. Sebaliknya, yang buruk dalam pandangan akal dituntut oleh syara' untuk meninggalkannya, dan yang mengerjakannya akan diberi hukuman.[8]
2.        Aliran Maturidiyah
Aliran Maturudiyah (aliran yang termasuk dalam kelompok Ahlusunah waljama'ah) berupaya menengahi kedua pendapat di atas. Menurut mereka, ada perbuatan atau perkataan yang pada dzatnya baik dan ada pula yang buruk. Allah SWT tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada dzatnya adalah baruk, sebagaimana juga Allah SWT tidak melarang suatu perbuatan yang pada dzatnya adalah baik. Terhadap perkataan dan perbuatan lain yang kebaikan dan keburukannya tidak terletak pada dzat perbuatan atau perperkataan itu sendiri syara' mempunyai wewenang untuk menetapkannya. Sampai disini pendapat Maturidiyah sama dengan pendapat Mu'tazilah.
Walaupun demikian, Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan atau tidak wajib ditinggalkan, dan orang yang mengerjakannya dan yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan imbalan semata-mata melalui akal menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh akal semata, tetapi harus berdasarkan pada nash (ayat atau hadis). Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang buruk dan siksa yang ditimpakan atas pelakukanya tidak dapat ditentukan melalui akal saja, tetapi harus didasarkan pada nash. Mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu kewajiban.[9]
Adanya ketentuan norma baik buruk itu untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Maksud didatangkan syari'at supaya terlepas mukallaf dari berbuat sesuatu dari unsur hawa nafsu pribadinya supaya menjadi hamba Allah yang sadar berbuat sesuatu karena Allah. Allah berfirman:
                  
Artinya: “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,  Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nâzi’ât: 40-41)
        
Artinya: “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya rusak binasa.” (QS. Al-Mu’minun: 71).[10]
Menurut pengalaman sejarah, bagwa kemaslahatan keduniaan dan keagamaan tidak dapat dicapai jika masing-masing mengikuti kehendaknya karena dianggapnya baik. Malahan yang terjadi adalah berbagai gejolak fitnah, keonaran, penghancuran, permusuhan, semua itu bertolak belakang dengan kemaslahatan manusia. Karena itu pendapat yang disepakati bahwa memperturutkan kehendak sendiri adalah sifat yang tercela; dan menahan diri untuk menegakkan kemaslahatan duniawi adalah lebih sesuai dengan alasan aqli dan naqli.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bahwasanya secara etimologis AL-HAKIM adalah pembuat, yang menetapkan sumber hukum, dan yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum.
Adapun sumber hukum secara hakikat adalah Allah SWT baik hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu maupun hasil ijtihad sunnah maupun ijmak.
Di kalangan para ulama ushul fiqh, dikenal istilah At-Tahsin wa at-taqbih (menyatakan sesuatu itu baik atau buruk). Sesungguhnya pokok-pokok keutamaan (kebaikan) itu dapat dijangkau oleh akal, karena sesuatu yang ada di dalam suatu kejelekan itu berupa mudharat, sekalipun syara' tidak mengemukakan hal ini.
Perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan pengaruh kecuali dengan menisbahkan (menghubungkan) pada orang yang tidak sampai kepadanya syari'at para Rasul. Sedangkan orang yang sampai kepadanya syari'at para Rasul, maka ukuran baik dan jelek perbuatan itu, dengan menisbahkan kepada mereka, apa yang datang dalam syari'at mereka, bukan apa yang terjangkau oleh akal mereka secara mufakat. Maka apa yang diperintahkan oleh syar'i, ia adalah baik dan dituntut untuk mengerjakan, dan diberi pahala orang yang mengerjakannya. Sedang apa yang dilarang oleh syar'i, ia adalah jelek dan dituntut untuk untuk ditinggalkan, dan disiksa bagi yang mengerjakannya.
Sehingga pada dasarnya seluruh produk fiqih saat ini tidak habis-habisnya, tetapi nalar yang dipergunakan manusia tersebut harus senantiasa bersandar kepada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash.
DAFTAR PUSTAKA
●        Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet I, Jakarta: 1996.
●        Muhammad, Syah Ismail Haji, dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara, cet 2, Jakarta: 1992.
●        Syafe'i Rachmat Dr. MA. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia, cet 3, Bandung: 2007.
●        Wahhab, Khallaf Abdul Dr. Kaidah-kaidah Hukum Islam. CV. Rajawali Pers, cet 2, Jakarta: 1991.
●        Wahhab, Khallaf Syekh, Ilmu Ushul Fiqh. PT. Rineka Cifta, cet 3, Jakarta: 1995.

[1] Prof. Dr. Rachmat Stafe’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 345. 
[2] Ibid., h. 349
[3] Ibid., h. 350. 
[4] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 504.
[5] Rachmat Syafe’i, op.cit., h. 351.  . 
[6] Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah, SH. dkk, Filsafat Hukum Islam,cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) h. 127.
[7] Ibid. 
[8] Abdul Azis Dahlan, op.cit., h.505.
[9] Ibid., h. 505.
[10] Ismail Muhammad Syah, op.cit., h. 128.
[11]11 Ibid.,h. 129.
DOWNLOAD MAKALAH FORMAT WORD

'Am dan Khas

PENDAHULUAN
Ushul Fiqih merupakan cara untuk menggali dan menetapkan hukum Islam, dengan melalui ushul fiqih ini pun dapat ditemukan jalan keluar permasalahan.
Dimana dalam ushul fiqih membahas tentang lafal dalil ushul fiqih yang mana terbagi-bagi, salah satunya yaitu masalah ‘am dan khas. Maka kami akan membahas atau meninjau lebih dalam lagi tentang ‘am dan khas dalam makalah ini.
Adapun rumusannya sebagai berikut:
●        Pengertian ‘am.
●        Jenis-jenis ‘am beserta contohnya.
●        Pengertian lafal khas.
●        Pengertian mutlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      ‘AM
1.        Pengertian ‘Am dan Lafal ‘Am
‘Am menurut bahasa artinya merata atau yang umum, sedangkan menurut istilah yaitu:
اللَّفْظُ الْمُسْتَفْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة ً
Artinya:
“Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus.”
Lafazh ‘am ialah suatu lafal yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Dengan pengertian lain, ‘am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas. Misalnya, al-insân yang berarti manusia.
2.        Jenis-jenis ‘Am
            Lafal ‘am mempunyai beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.        Lafal kullun, jami’un, kaffah, ma’syar (artinya seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu, misalnya:
1.        Kullun
       
Artinya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)
2.        Jami’un
       ...   
Artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya.” (QS. al-Baqarah: 29)
3.        Ma’syar
              ...   
Artinya:
“Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-An’am: 130)
4.        Kaffah
     ...   
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS. Saba: 28)
b.       Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (di mana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan, misalnya:
1.        Man (siapa)
       ...   
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah)?” (QS. al-Baqarah: 245)
2.        Ma (apa)
      
Artinya:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" (QS. al-Muddasir: 42)
3.        Ayyun (siapakah)
         
Artinya:
“Siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. an-Naml: 38)
4.        Mata (kapan)
           
Artinya:
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
5.        Aina (di mana)
أيْنَ مَسْكَنُكَ؟
Artinya:
“Di manakah tempat tinggalmu?”
c.        Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja), misalnya:
1.        Man (barang siapa)
     ...   
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. an-Nisa: 123)
2.        Ma (apa saja)
           
Artinya:
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Baqarah: 272)
3.        Ayyun (yang mana saja)
      ...   
Artinya:
“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS al-Isra: 110)
4.        Ayyuma (siapa saja)
أيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ (رواه أحمد)
Artinya:
“Siapa saja perempuan yang minta ditalak kepada suaminya tanpa alasan maka haram baginya wangi surga.” (HR. Ahmad)
d.       Isim mufrad yang ma’rifah dengan alif lam (al) atau idhafah:
     ...     
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)
      
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (QS. al-Maidah: 38)
Ma’rifah dengan idhafah
      ...  
Artinya:
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS. Ibrahim: 24)
e.        Jama’ yang dita’rifkan (ma’rifah) dengan alif lam atau dengan idhafah:
1.        Ma’rifah dengan alif lam (al):
      
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. al-Maidah: 42)
2.        Ma’rifah dengan idhafah:
   ...   
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (QS. an-Nisa: 23)
f.         Isim nakirah yang terletak sesudah Nafi:
Misalnya:
مَا رَأَيْتُ رَجُلاً
Artinya:
“Aku tidak melihat seorang pun.”
        ...    
ِِArtinya:
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.” (QS. al-Baqarah: 48)
Kalimat nafsun = seorang pun, yang jatuh sesudah nafi (la = tidak) yakni tidak tertentu, dan ditujukan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
g.       Isim mausul (alladzi, alladzîna, allâtî, mâ, dan sebagainya):
                
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. an-Nisa: 10)
Lafal ‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1.        Lafal umum yang tidak mungkin ditakhsiskan, seperti dalam firman Allah:
         ...    
Artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Huud: 6)
      ...   
Artinya:
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. al-Anbiya: 30)
Kedua ayat di atas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk karena dilalah-nya qat’i yang tidak menerima takhsis.
2.        Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah:
     ...    
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Ali Imran: 97)
Lafal manusia dalam ayat di atas adalah lafal umum, yang dimaksud adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantaraan akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal, seperti anak kecil dan orang gila.
3.        Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditakhsis seperti dalam firman Allah:
     ...   
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS. al-Baqarah: 228)
Dalam uraian yang dikemukakan di atas diterangkan bahwa al-Quran dapat ditakhsiskan.
Al-Quran dapat juga ditakhsiskan dengan hadis mutawatir, seperti ayat yang berbicara tentang hukuman pencurian yang diterangkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dikenakan kepada setiap pencuri tanpa memperhatikan jumlah barang yang dicurinya. Namun, ditemukan hadis yang memberikan takhsis dari keumuman ayat itu ialah hadis yang berbunyi:
اِقْطَعُوْا فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ وَلاَتَقْطَعُوْا فِيْمَا اَدْنىَ ذلِكَ (رواه أحمد عن عائشة)
Artinya:
“Potonglah tangan pencuri yang mencuri jumlah seperempat dinar dan jangan potong kurang dari seperempat dinar.” (HR. Ahmad dari Aisyah)
Dalam hal ini, kita mengambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut. Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW (merupakan contoh dari lafal ‘am karena sebab khusus), katanya:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ ِمنَ المَاءِ فإَنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِسْنَا أَفَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ ص . م : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ (رواه الترمذى)
Artinya:
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehausan, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: Laut itu suci dan binatangnya halal (dimakan)” (HR. Tirmidzi)
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi SAW. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.  
B.       KHAS
1.        Pengertian Lafal Khas
Disamping lafal ‘am ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am. Lafal khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi, seperti lafal Ar-Rijâl (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
2.        Hukum Lafal Khas
Lafal yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada sauatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafal khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
Atas dasar itu, maka kata tsalâtsatin pada firman Allah yang berbunyi:
      ...    
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah makna-nya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi…
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
Mengandung arti khas yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukkan lafalnya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafal-lafal khas, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qat’iyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya (al-wad’ al-haqiqi).
3.        Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khas
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khas adalah qath’i. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafal khas yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafal khas itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya lafazh khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a.        Mereka menetapkan bahwa lafazh khas itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan dengan penjelasan lafazh khas sebagai pembantu untuk penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khashas itu tidak memerlukan penjelasan lain. (M. Abu Zahrah, tt.; Abu Hanifah; 261)
b.       Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khas al-Quran itu qath’i dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalah-nya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khas yang qath’i itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur Ulama, antara lain, Safi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khas itu dilalah-nya qath’i, namun, tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha’-nya (asal pemasangannya). Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a.        Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
b.       Lafazh khas al-Quran menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih, misalnya, pengertian ruku’ pada ayat:
وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّكِعِيْنَ
Artinya:
“Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat itu sebagaimana lafazh khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku’ yang diperintahkan pada ayat itu merupakan bagian fardhu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
قُمْ فَصَلِّ لِاَنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Artinya:
“Berdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat”
4.        Macam-macam Lafal Khas
Lafal khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafal itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
Dengan demikian, macam-macam lafazh khas mencakup: mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
C.       MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1.        Pengertian Mutlaq
المُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ المَاهِيَةِ بِلاَ قَيْدٍ
Artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain.”
Mutlaq berarti juga suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Maksud dari lafal yang diatas tersebut masih dalam keadaan asli dan bebas dari pengaruh hal-hal yang lain. Lafal ini disebut mutlaq/al-Mutlaq.
Contoh pertama yaitu perkataan aidiyakum (بوُجُوْهِكُمْ وَأيْدِيَكُمْ) pada surah an-Nisa ayat 42 yang artinya: “Apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu.”
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai dimana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Contoh kedua yaitu lafal Raqabatin (فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ )  pada surah al-Mujadalah ayat 3 yang artinya: “Maka hendaklah engkau memerdekakan budak (raqabah).”
Dalam ayat ini tidak diterangkan budak yang bagaimana, jadi tidak dibatasi dengan sifat atau syarat lainnya.
2.        Pengertian Muqayyad
المُقَيَّدُ مَا دَلَّ عَلىَ المَاهِيَةِ بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
Artinya:
“Muqayyad atau al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.”
Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qâid (القَائِدُ)
Contoh perkataan Wa aidiyakum ilal marâfiqi pada surah al-Maidah ayat 6 yang artinya:  “Maka basuhlah tanganmu sampai siku-siku.”
Ayat ini menerangkan sola wudhu, yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Di sini jelaslah bahwa lafal aidiyakum (أيْدِيَكُمْ) ini disebut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafal ilal marâfiqi (إلى الْمَرَافِقِ)  disebut Al-Qâid yang kadang-kadang disebut dengan kata qaid.
Contoh lain adalah perkataan Raqabatin Mu’minatin pada surah an-Nisa ayat 92 yaitu:
          
Artinya:
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Dalam ayat ini, terdapat ketentuan yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus memerdekakan budak yang mukmin saja (dalam soal pembunuhan yang tidak disengaja).
3.        Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi).
Maksud lafal mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan yang lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus berbeda.
4.        Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad
a.        Persamaan Sebab dan Hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada yang muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafal Tsalâtsata ayyâm yang artinya tiga hari, bentuknya mutlaq, sebagaimana yang terdapat dalam ayat,
         
Artinya:
“Maka barang siapa yang tidak mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari.” (QS. al-Maidah: 89)
b.       Sebabnya Berbeda tetapi Hukumnya Sama
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum) maka bagian ini diperselisihkan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contoh lain adalah ayat tayammum dengan bentuk mutlaq seperti dalam firman Allah:
     
Artinya:
“Sapulah mukamu dan tanganmu.” (QS. an-Nisa: 43)
Sedangkan dalam ayat wudhu dengan bentuk muqayyad, seperti firman Allah:
        
Artinya:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Maidah: 6)
Jika yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad (sebagaimana kata Imam Syafi’i, maka mengusap tangan dalam tayammum harus sampai siku sebagaimana halnya wudhu. Sedangkan Imam yang lain tidak mengharuskan sampai siku.
c.        Perbedaan Hukum dan Sebab Perbedaan dalam Hukumnya Saja
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya, dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satunya diharuskan adil (muqayyad) dan yang lainnya diharuskan memerdekakan budak (mutlaq).
Apabila yerjadi perbedaan dalam hukumnya, maka tidak ada perselisihan antara ulama ushul bahwa yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya perkataan:
اشْتَرِ رَقَبَةً وَاَعْتِقْ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً
Artinya:
“Belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin”
Jadi hubungan antara mutlaq dan muqayyad itu ada empat, yaitu:
a.        Persamaan hukum dan sebab, yang mutlaq harus diikutkan pada yang muqayyad.
b.       Persamaan hukum dan berlainan sebab, yang ini diperselisihkan ulama ushul, apakah yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad ataukah tidak.
c.        Perbedaan hukum dan sebab, yang mutlaq boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
d.       Perbedaan hukum dan persamaan sebab, yang mutlaq juga tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
5.        Penggunaan Lafal Mutlaq dan Muqayyad
Jika terdapat suatu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafal dan muqayyad pada lafal yang lain, digabungkan mutlaq kepada muqayyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan hukumnya. Seperti hadis tentang kafarat puasa.
صُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَبِعَيْنِ (متفق عليه)
Artinya:
“Puasalah kamu dua bulan berturut-turut.” (Mutafaqun ‘alaihi)
Digabungkan dengan hadis:
صُمْ شَهْرَيْنِ
Artinya:
“Puasalah kamu dua bulan.”
BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Jadi ‘am adalah lafal yang meliputi pengertian umum terhadaap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu dengan hanya disebut sekaligus, dan  khas adalah perkataan atau sususnan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum.
            Adapun jenis-jenis ‘am:
1.        Laafal kullun, jami’un, ma’syar, kaffah.
2.        Isim istifham: man (siapa), ma (apa), ayyun (siapakah), mata (kapan), aina (di mana).
3.        Isim syarat: man (barang siapa), ma (apa saja), ayyun (mana saja), ayyuma (siapa saja)
4.        Isim mufrad
5.        Jama’ yang ditakrifkan: ma’rifah dengan alif lam (al) dan ma’rifah dengan idhafah
6.        Isim Nakirah
7.        Isim Mausul
Mutlaq berarti juga suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
 Muqayyad atau al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu. Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qâid (القَائِدُ)
DAFTAR PUSTAKA
●        Firdaus. Ushul fiqih. Jakarta, Zikrul Hakim, 2004.
●        Syafe’i, Prof. Dr. Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. t.t, Pustaka Setia, 2007.

Ijma

BAB I
PENDAHULUAN
 
Pada zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar, umat Islam belum berpecah-pecah. Jumlah fuqaha pada masa itu belum banyak sedang kedua beliau itu adalah seorang kepala negara suka bermusyawarat, tidak berbuat sekehendak hatinya dan masing-masing fuqaha diminta pendapatnya di dalam suatu soal. Dengan mudah kita dapat menggambarkan terjadinya ijma’ pada masa keduanya.
Pada masa Abu Bakar dan Umar, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha sahabat berpindah ke negeri Islam yang baru dan telah muncul fuqaha Tabi’in yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan-pertentangan politik, dan sukar dibayangkan dapat terjadinya ijma’.
Kalau sampai pada masa Tabi’in saja, tidak mungkin terjadi ijma’, lebih-lebih lagi pada masa sekarang, dimana para umat Islam dan para ulamanya telah tersebar di seluruh dunia sebab rukunnya ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.          Pengertian ijma’
Menurut bahasa, definisi Ijma’ terbagi dalam dua arti:
1.        Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat: Yunus ayat 71:
                                   
“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)
 
Maksudnya semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh.[1] Dan hadits Rasulullah SAW  yang artinya “Barang siapa yang berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[2]
 
2.        Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan menerangkan keadaan saudara Yusuf a.s.:
                    
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi." (QS. Yusuf: 15)
 
Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun perbedaan kedua arti di atas adalah: yang pertamaboleh dilakukan oleh satu orang tau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.[3]
Dalam istilah ushuliyin:
هو اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى العصر من العصور سعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة
Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.[4]
 
B.           Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Para ulama beselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid  adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid dengan istilah ulama ijma’.[5]
Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
            Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak , meskipun sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.[6]
            Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
            Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan Ahl al-Halli wa al-Aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim berakal dan telah baligh.[7]
            Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
            Ijma’ itu tidak tejadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.[8]
            Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
            Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.[9]
 
C.           Rukun-Rukun Ijma’
1.      أن يوحد فى عصر وقوع الحادثة عدد من المجتهدين
“Hendaklah ada pada masa terjadinya suatu kejadian sejumlah mujtahid”
2.      أن يتفق على الحكم الشرعي فى الواقعة, جميع المجتهدين من المسلمين فى وقت وقوعها بصرف النظر عن بلدهم أو جنسهم أو طائفتهم
“Hendaklah para mujtahid muslimin bersepakat atas hukum Syar’i yang terjadi ketika kejadian dengan melihat keadaan negeri mereka, suku mereka, atau kelompok mereka.”
3.      أن يكون اتفاقهم بإبداء كل واحد منهم رأية صريحا فى الواقعة
“Hendaklaha kesepakatan para mujtahid dimulai oleh salah satu diantara mereka dengan mengemukakan pendapat yang sharih (jelas) diwaktu kejadian.”
4.      أن يتححق الإتفاق من جميع المجتهدين على الحكم
“Hendaklah para mujtahid benar-benar sepakat atas hukum itu.”[10]
 
D.           Macam-Macam Ijma’
            Ijma’ umat tersebut dibagi dua:
1.        Ijma’ Qauli: Yaitu suatu ijma’, dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain dimasanya.
2.        Ijma Sukuti: Yaitu ijma, dimana para ahli ijtihad diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam disini dianggap menyetujui.
Menurut golongan Hanafiah kedua macam ijma’ tersebut adalah ijma’ yang sebenarnya. Menurut imam Syafi’i hanya ijma yang pertama saja yang disebut ijma’ yang sebenarnya.
Disamping ijma’ umat tersebut, masih ada macam-macam ijma’ yang lain, yaitu:
1.        Ijma’ sahabat.
2.        Ijma’ Khalifah yang empat
3.        Ijma’ Abu Bakar dan Umar
4.        Ijma’ ulama Madinah
5.        Ijam’ ulama Kufah dan Basrah
6.        Ijam itrah (ahli bait = golongan Syiah)
Selain ijma’ sahabat, ijma’-ijma’ tersebut tidak menjadi hujjah.
 
E.            Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa dalam urusan agama tanpa sandaran adalah salah. Sandaran tersebut adakalanya berupa dalil qat'i, yaitu Qur'an dan hadis mutawatir, adakalanya berupa dalil zhanni yaitu hadis ahad dan qiyas. Apabila sandaran ijma' itu hadis ahad, maka hadis ahad ini bertambah kekuatannya atau nilainya.
Tentang qiyas masih menjadi perselisihan, apakah bisa menjadi sandaran ijma' atau tidak?
Alasan yang membolehkan :
1.        Qiyas adalah salah satu jalan menetapkan hukum syara'. Karena itu, qiyas dapat dijadikan sandaran ijma' sebagaimana dalil-dalil yang lain.
2.        Terjadi ijma' atas haramnya lemak babi karena diqiyaskan dengan dagingnya.
3.        Terjadi ijma' atas kekhilafatan Abu Dakar karena diqiyaskan dengan keimanannya dalam shalat (dijadikan imam shalat oleh Nabi).
 
Alasan yang tidak membolehkan :
1.        Kalau terjadi ijma' berdasar Qiyas, tentulah seseorang mujtahid dapat menyanggahnya, sebab qiyas bisa disanggah. Menyanggah pokok, yaitu qiyas, berarti pula menyanggah cabangnya, yaitu ijma'.
2.        Para ulama tidak sepakat pendapatnya tentang kehujjahan qiyas. Keadaan demikian menimbulkan perbedaan tentang kehujjahan ijma'. Seseorang yang tidak mengakui kehujjahan qiyas, tidak akan mengakui kehujjahan ijma'.
 
 
 
F.            Kehujjahan Ijma’
Apabila sudah terjadi ijma', maka ijma' itu menjadi hujjah yang qat'i. Kebulatan pendapat segala mujtahid atas sesuatu hukum yang tertentu, meskipun berbeda lingkungan dan alirannya tanpa diragukan lagi menunjukkan adanya satu kebenaran yang telah membawa kebulatan pendapat mereka. Kebenaran tersebut ialah karena cocoknya hukum itu dengan jiwa syari'at dan dasar-dasarnya yang umum.
Kehujjahan ijma' tersebut ditunjukkan oleh Qur'an dan hadis.
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisâ: 59)
 
            Sudah disepakati yang dimaksud dengan Ulil ‘Amri, ialah para Ulama. Masing-masing bertugas dalam lapangannya sendiri-sendiri.
لاَ تَجْمَعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَإٍ
“Umatku tidak bersepakat atas kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Timidzi).[11]
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
Simpulan
Definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1.        Bermaksud atau berniat,
2.        Kesepakatan terhadap sesuatu
 
Syarat-Syarat Ijma’
1.                    Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
2.                    Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
3.                    Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
4.                    Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
5.                    mereka harus berhubungan dengan syari’at
6.                    Kesepakatan
 
Macam-Macam Ijma’: Ijma Sukuti dan Ijma’ Qauli.
Rukun-Rukun Ijma’:
1.      أن يوحد فى عصر وقوع الحادثة عدد من المجتهدين
2.      أن يتفق على الحكم الشرعي فى الواقعة, جميع المجتهدين من المسلمين فى وقت وقوعها بصرف النظر عن بلدهم أو جنسهم أو طائفتهم
3.      أن يكون اتفاقهم بإبداء كل واحد منهم رأية صريحا فى الواقعة
4.      أن يتححق الإتفاق من جميع المجتهدين على الحكم
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
●        Syafi’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
●        Hakim, Abdul Hamid. al-Bayân. Jakarta: Sa’diah Putra, t.th.
●        Wahab Khalaf, Abdul. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Dâr al-Qalam.
●        Hanafie, Ahmad. Ushuul Fiqh. Jakarta: Widjaya, 1987.
 

[1] Dr. H. Rahmat Syafi’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 68.
[2] Abdul Hamid Hakim, al-Bayân, (Jakarta: Sa’diah Putra, t.th), h. 105.
[3] Rahmat Syafi’i, op.cit., h. 69.
[4]  Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Dâr al-Qalam). h. 45.
[5] Rahmat Syafi’i, op.cit., h. 70.
[6] Ibid., h. 70.
[7] Ibid., h. 71.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h. 45-46.
[11] A. Hanafie, M.A. Ushuul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987), h. 125-127.

Sabtu, 06 Juli 2013

masaqqah tajlibut taysir

PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan kekuatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya.
Syari’ (pembuat hukum) Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bermaksud membuat kesukaran dengan taklif-taklif Nya, diantaranya tercermin dalam Firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannnya…” (QS. 2:286). Di dalam hadits Nabi SAW disebutkan: “Agama itu adalah mudah, agama yang paling disukai Allah ialah yang benar dan mudah” (HR. Bukhari), “Mudahkanlah dan jangan mempersukar” (HR. Bukhari).
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut terlihat  bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan ialah kemudahan dalam melaksanakan taklif-taklif Nya, sehingga timbullah kaidah fiqih: “Al-Masyaqqah Tajlib At-Taysîr” (kesukaran itu mendatangkan kemudahan). Kaidah ini mengandung pengertian bahwa kesukaran yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat dapat menyebabkan kemudahan demi tercapainya kemaslahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
Teks kaidahnya:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesukaran  itu menarik adanya kemudahan”
Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi.[1] 
Hal ini antara lain karena kemampuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Syathibi sebagai berikut:
1.        Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2.        Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan, karena hubungan tersebut dalam Islam bisa dikategorikan sebagai ibadah juga.
B.       Dasar-dasar Nash Kaidah
Firman Allah SWT:
       
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah:185)[2]
            Firman Allah SWT:
      
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj:78)
Hadits yang diterima dari Abu Hurairah:
الدِّيْنُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
بُعثْتُ بِالْحَنَفِيَّةِ السًّمْحَةِ (رواه أحمد عن ابن عباس)
“Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas)
C.       Klasifikasi Kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam dua kategori, yaitu:
a.  Kesulitan Mu’tadah
Adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah.
b. Kesulitan Ghairu Mu’tadah
Adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, serta dapat diukur oleh kriteria akal sehat. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah).
D.      Tingkatan Kesulitan dalam Ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam, yaitu:
a.  Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia. Kesulitan ini diharuskan adanya rukhsah secara pasti bagi manusia, karena memelihara jiwa dan anggota badan merupakan upaya untuk kemaslahatan dunia akhirat yang lebih dipentingkan dari ibadah.
b. Kesulitan Khafifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.
c.  Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilki rukhsah juga tidak dilarang memilihnya.
E.       Sebab-sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as-Suyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu:
a.  Safar (bepergian)
Menurut Imam Nawawi, kesulitan ini menjadikan 8 macam keringanan, yaitu diperbolehkan mengqashar shalat, berbuka puasa, memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan Juma’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan bertayamum.[3]
b. Marodh (sakit)
Karena sakit seseorang diperbolehkan bertayamum, duduk ketika shalat dan khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan shalat Jum’at, berbuka puasa dengan membayar fidyah, atau memberi makan orang miskin, berobat dengan najis, kebolehan melihat auratnya.
c.  Ikrah (terpaksa atau dipaksa)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram, mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. Firman Allah SWT:
           
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”. (QS. An-Nahl:106)
d. Nisyan (lupa)
Bila seseorang luapa maka ia terbebas dari dosa, misalnya makan minum waktu puasa Ramadhan, lupa mengerjakan shalat lalu ia teringat dan melakukannya di luar waktunya, lupa berbicara dalam shalat padahal belum melakukan salam. Sabda Nabi SAW:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ (رواه البيهقى)
“Sungguh Allah itu telah menggugurkan dosa ummatku karena salah, lupa, dan terpaksa”. (HR. Baihaqi)
e.  Jahl (bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan, diperbolehkan juga seseorang mengembalikan barang yang telah dibelinya, lantaran cacat  yang sewaktu mengadakan perikatan jual beli tidak diketahuinya.
f.   ‘Usrun dan Umumul Balwa (kesulitan)
Misalnya kebolehan istinja dengan batu, kebolehan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiyar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit dihilangkan.
g. Naqsh (kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak mengikuti Jum’at karena Jum’at membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi Jum’at itu datang bulan.
F.       Bentuk-bentuk Keringanan (takhfif) dalam Kesulitan
Keringanan-keringanan di dalam syara’ itu ada tujuh macam, yaitu:
a.        Takhfif isqath, yakni keringanan yang berupa pengguguran. Misalnya, gugurnya menjalankan kewajiban shalat Jum’at, menunaikan ibadah haji, jihad, dan lain sebagainya disebabkan udzur.
b.       Takhfif tanqish, yaitu suatu keinginan yang berupa pengurangan. Misalnya, mengqashar shalat 4 rakaat menjadi dua rakaat disebabkan dalam keadaan bepergian.
c.        Takhfif ibdal, yakni keringanan yang berupa penggantian. Misalnya, wudhu atau mandi dapat diganti dengan tayamum, dikarenakan sakit atau tidak memperoleh air.
d.       Takhfif taqdim, yakni keringanan yang berupa mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya. Misalnya, menjama’ (taqdim) shalat Ashar dengan shalat Zuhur pada waktu shalat Zuhur dan mendahulukan membayar zakat sebelum datang tahun wajib zakat.
e.        Takhfif ta’khir, yakni keringanan yang berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktunya. Misalnya, menjama’ (ta’khir) shalat Zuhur dengan shalat Ashar pada waktu shalat Ashar atau shalat Maghrib dengan shalat Isya pada waktu shalat Isya dan mengakhirkan puasa Ramadhan dihari-hari selain bulan Ramadhan bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya pada bulan tersebut karena suatu udzur, sakit, bepergian, atau yang lain.
f.         Takhfif tarkhish, yaitu keringanan yang berupa pemberian kemurahan. Misalnya, makan binatang yang diharamkan/barang najis untuk menolak kelaparan atau keperluan berobat.
g.       Takhfif taghyir, yakni keringanan yang berupa perubahan sesuatu yang telah diatur menurut aturan tertentu. Misalnya, berubahnya aturan-aturan sembahyang bagi orang yang dalam keadaan ketakutan terhadap sesuatu malapetaka yang bakal mengancamnya.
G.       Macam-macam Hukum Kemurahan (rukhshah)
Ditinjau dari segi hukum pelaksanaannya rukhsah itu ada 5 macam, yaitu:
a.        Rukhsah yang harus dikerjakan, misalnya memakan binatang yang tidak disembelih menurut syari’at bagi orang yang dalam keadaan mengkhawatirkan jiwanya dan membuka puasa bagi orang yang takut terganggu sekali kesehatannya lantaran lapar dan haus, sekalipun dia dalam keadaan sehat atau tidak dalam bepergian.[4]
b.       Sunnat untuk dikerjakan, misalnya mengqashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan, tidak puasa bagi orang yang mengalami kesulitan pada waktu bepergian atau dalam keadaan sakit.
c.        Mubah untuk dikerjakan atau ditinggalkan, misalnya jual beli dengan system salam, yakni jual beli dengan pembayaran lebih dahulu sedang barangnya dikirim kemudian menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.
d.       Lebih utama ditinggalkan, misalnya menjama’ kedua shalat, berbuka puasa bagi orang yang tidak mengalami kesukaran sedikitpun dan bertayamum bagi orang yang telah memperoleh air secara membeli dengan harga mahal, sekalipun ia mampu membelinya.
e.        Makruh untuk ditinggalkan, misalnya mengqashar shalat dalam bepergian yag jauh perjalanannya kurang dari 3 marhalah (± 84 km).
H.      Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan Kemurahan
1.        Kaidah pertama:
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ وَإِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”
Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh al-Ghazali dengan redaksi yang berbeda:
كُلُّ مَا تَجَاوَزَ حَدَّهُ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.
            Misalnya, pada dasarnya seorang saksi adalah laki-laki yang terpercaya, namun bila tiada laki-laki sama sekali maka boleh digantikan pada wanita atau bahkan anak kecil. Tetapi jika dalam kondisi memungkinkan saksi harus laki-laki, tidak boleh digantikan yang lain.
2.        Kaidah kedua:
الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Rukhshah-rukhshah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan”.[5]
Mengerjakan maksiat dilarang oleh syari’at. Tuntutan itu sedemikian kuatnya sehingga hampir tidak ada jalan untuk memperingankannya. Padahal keringanan itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu kelonggaran dalam menjalankan perintah syari’at. Maka, tidak logis kiranya dalam mengerjakan maksiat diberi kelonggaran demi tercapainya suatu kemaksiatan yang justru harus dihindarkan. Misalnya, orang yang sedang bepergian untuk merampok atau membajak kapal terbang, sekalipun jarak perjalanannya itu sudah memenuhi syarat diperkenankan rukhshah, maka tidak diperkenankan mempergunakan kemurahan-kemurahan seperti bertayamum, mengqashar dan menjama’ shalat dan meninggalkan puasa.
3.        Kaidah ketiga:
الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالشَّكِّ
“Rukhshah-rukhshah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan”.[6]
Misalnya, apabila seseorang ragu-ragu apakah ia diperkenankan menyapu sepatu (khuf), sebagai pengganti membasuh kaki bila telah dipenuhi syaratnya, atau tidak, maka ia wajib membasuh kaki.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Adapun kaidah fiqih: “Al-Masyaqqah Tajlib At-Taysîr” (kesukaran itu mendatangkan kemudahan) memiliki makna bahwa segala kesulitan dan kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberikan keringanan oleh Tuhan. Dimana tujuan pokok terciptanya kaidah tersebut adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam, agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan.
Dan disamping itu, kaidah ini menjadi sumber adanya bermacam-macam rukhshah (kemurahan) dalam melaksanakan tuntutan syari’at, sehingga suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memudharatkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak memudharatkan lagi. Serta dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Muhammadiyah, Drs, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta:Kalam Mulia, 1993).
D. Sirajuddin Ar, Drs, Ensiklopedi Hukum Islam 4, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999).
Usman, Mukhlis, Drs, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
Yahya, Mukhtar, Dr, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih-Islami, Cet.3, (Bandung:Al-Ma’arif, 1993).

[1]Syafi’i Rachmat, MA, Ilmu Uhul Fiqih, Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999, h. 284.
[2]Usman, Mukhlis, Drs. Kaidah-kaidahUshuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 123.
[3]Ibid,.h. 128
[4]Yahya, Mukhtar, Dr, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Cet.I, Bandung:Al-Ma’arif, 1993, h. 508.
[5]Ibid.
[6]Ibid,.h. 508.

MUSAWWIBAH dan MUKHATTI’AH

KATA PENGANTAR
 
            Alhambdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufiq dan hidayahNya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
            Shalawat serta salam tidak lupa pula kita haturkan kepada keharibaan kita Nabi besar Muhammad SAW serta para sahabat beliau ilâ yaumil qiyamah.
            Makalah ini saya sajikan dalam rangka tugas terstruktur pada mata kuliah “Ushul Fiqih C” yang berisi tentang “MUSAWWIBAH dan MUKHATTI’AH”.
            Dengan segala kekurangan yang mungkin dijumpai dalam makalah ini, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap kiranya makalah ini akan bermanfaat bagi kita semua.
 
 
 
 
Banjarmasin,   Maret 2008
 
Penulis
 
 
 
 
DAFTAR ISI
 
Judul                                                                                                                Halaman
 
KATA PENGANTAR                                                                                                        i
DAFTAR ISI                                                                                                                       ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                                   1
BAB II PEMBAHASAN                                                                                                    2
A.      Musawwibah dan Mukhatti’ah                                                                              2
1.        Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah                   2            
2.        Ijtihad Menurut Kelompok Mukhatti’ah                                                        5
B.       Akibat Dari Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah    8
BAB III PENUTUP                                                                                                            11
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                          12                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
 
Musawwibah dan mukhatti’ah adalah dua kelompok yang berbeda pendapat dalam ijtihad, yang mana musawwibah sebagai kelompok yang berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad. Sedangkan mukhatti’ah adalah kelompok yang berpendapat bahwa kebenaran tu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid.
Makalah ini berupaya mencoba menjelaskan perbedaan antara musawwibah dan mukhatti’ah. Dalam makalah ini akan menyebutkan beberapa alasan yang dikemukakan oleh musawwibah  dan mukhatti’ah.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.      Musawwibah dan Mukhatti’ah
(Al-Musawwibah = orang yang menyatakan benar; al-mukahtti’ah = orang yang menyatakan salah) Dalam ushul fiqih istilah ini dibahas berkaitan dengan masalah ijtihad. Ushul fiqih mengartikan al-musawwibah sebagai kelompok yang berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka. Maksudnya, apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihad yang diterima syara’, maka hasil ijtihadnya adalah benar. Karenanya, ssetiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka, sekalipun untuk permasalahan yang sama hukum yang ditemukan para mujtahid berbeda. Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa setiap hasil ijtihad hanya wajib diamalkan oleh mujtahid yang bersangkutan, sedangkan mujtahid lain tidak wajib mengamalkannya. Adapun al-mukhatti’ah didefinisikan oleh ulama ushul fiqih sebagai kelompok yang berpendapat bahwa kebenaran itu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lainnya tidak mencapai kebenaran. Maksudnya, hukum yang benar di sisi Allah SWT hanya satu, karena itu para mujtahid berusaha untuk menemukannya. Dari sekian banyak mujtahid yang mengerahkan seluruh kemampuan ilmiahnya untuk  yang benar itu, yang berhasil menemukannya hanya satu orang, sedangkan mujtahid lain tidak menemukannya.
 
1.        Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah
Perbedaan pandangan kelompok al-musawwibah dengan al-mukhatti’ah berawal dari permasalahan apakah Allah SWT telah menetapkan suatu hukum pada satu masalah yang tidak ada nashnya (Al-Quran dan/atau sunah Nabi SAW) sebelum mujtahid berijtihad atau Allah SWT sama sekali belum menentukan hukum pada setiap masalah, sehingga apabila para mujtahid melakukan ijtihad maka hasil ijtihadnya itu merupakan hukum Alah SWT. Ulama Asy’ariyah (*Ahlusunah waljamaah), Mu’tazilah (aliran teologi Islam yang dikenal liberal dan rasional), Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w. 403 H/1013 M; ahli fiqih Mazhab Maliki), Imam Abu Yusuf  dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqih Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa Allah SWT tidak menetukan hukum tertentu pada setiap persoalan sebelum dilakukan ijtihad, bahkan hukum Allah SWT dalam setiapa persoalan itu merupakan hasil ijtihad yang dicapai seorang mujtahid. Dengan demikian, dalam seluruh permasalahan yang belum ada nashnya, hukumnya adalah hasil ijtihad setiap mujtahid yang melakukan ijtihad dan hasil ijtihad itu benar.
Alasan yang dikemukakan kelompok al-musawwibah  ini berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
a.  Firman Allah SWT tentang kisah Nabi Daud AS dan Sulaiman AS dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 78 yang artinya: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya…” Selanjutnya dalam surah yang sama ayat 79 dikatakan: “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu…”
            Menurut kelompok al-musawwibah, kedua ayat ini menggambarkan terjadinya perbedaan keputusan yang diberikan oleh Daud dan Sulaiman terhadap pemilik kambing yang merusak tanaman orang lain. Andaikata salah seoorang di antara keduanya salah dalam menetapkan hukum, maka tidak akan dinyatakan bahwa kedua hukum yang berbeda dari Daud dan Sulaiman itu sebagai hukum Allah SWT.
b. Sabda Rasulullah SAW: “Sahabatku ibarat bintang, siapa saja yang kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk” (HR. Ahmad bin Hanbal). Dalam menetapkan suatu hukum dari kasus yang yang tidak terdapat hukumnya dalam nash, para sahabat seringkali berbeda pendapat. Andaikata pendapat yang benar hanyalah satu diantara beberapa pendapat sahabat, maka Rasulullah SAW tidak akan menyatakan umat Islam untuk mengikuti pendapat sahabat manapun. Ini berarti bahwa perbedaan hasil ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW dan umat Islam boleh memilih pendapat mana saja diantara pendapat para sahabat tersebut. Hal ini juga berarti bahwa setiap sahabat yang melakukan ijtihad, maka hasil ijtihad itu menjadi hukum bagi persoalan yang dihadapi. Tetapi, hasil ijtihad seseorang tidak wajib diikuti mujtahid lain karena ia sendiri mampu untuk melakukan ijtihad dalam kasus yang sama.
c.  Kelompok al-musawwibah mengatakan bahwa andaikata pada setiap masalah yang tidak ada nashnya, maka Allah pasti akan menetapkan dalil yang qat’î (pasti) terdapat hukum itu agar tidak terjadi keraguan umat Islam tentang hukum yang dicari.
 
2.        Ijtihad Menurut Kelompok Mukhatti’ah
Menurut kelompok al-mukhatti’ah yang terdiri dari jumhur ulama dan Syiah, hukum pada setiap permasalahan ijtihad hanya satu yag benar, apabila terdapat  perbedaan hasil ijithad yang dicapai para mujtahid, maka dari sekian banyak hasil ijtihad itu yang benar hanya satu, sedangkan yang lainnya adalah salah. Akan tetapi, hasil ijtihad yang benar itu hanya diketahui oleh Allah SWT dan baru bisa diketahui di akhirat. Dalam kaitan ini Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa yang benar itu di sisi Allah SWT hanya satu, karenanya tidak semua mujtahid menemukan yang benar itu. Namun demikian, sekalipun seorang mujtahid salah dalam menentukan hukum, ia tetap berhak memperoleh satu pahala, karena ia telah berupaya untuk mencapai yang benar tersebut. Selanjutnya, mujtahid yang berhasil mencapai yang benar itu maka ia akan menerima dua pahala, yaitu pahala berijtihad dan pahala mendapatkan hukum yang benar. Hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang menyatakan: “Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia menerima satu pahala”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash)
Alasan yang dikemukakan kelompok al-mukhatti’ah adalah sebagai berikut:
a.        Firman Allah SWT dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 78-79 yang dikemukakan kelompok al-musawwibah di atas. Menurut kelompok al-mukhatti’ah dalam kasus kambing yang memakan tanaman orang lain yang diceritakan dalam ayat di atas, keputusan yang benar hanya keputusan yang ditentukan Nabi Sulaiman AS, sedangkan keputusan Nabi Daud AS adalah salah. Dengan demikian, ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa pada satu kasus hanya ada satu hukum yang benar.
b.       Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Amr bin Ash yang disebutkan di atas. Hadits ini juga secara tegas membagi hasil ijtihad itu kepada yang benar dan yang salah. Menurut mereka andaikata yang benar itu ada beberapa, maka hal tersebut akan bertentangan dengan kandungan hadits tersebut.
c.        Dalam hadits lain Rasulullah SAW mengatakan: “Hakim itu ada tiga macam, dua orang masuk neraka dan satu orang masuk surga, yaitu: hakim yang mengetahui yang benar lalu ia menetapkan hukum berdasarkan yang benar itu, maka ia masuk surga; hakim yang benar mengetahui yang benar lalu ia memanipulasi yang benar itu dalam menetapkan hukum, maka ia masuk neraka; dan hakim yang tidak mengetahui yang benar lalu ia menetapkan hukum dalam ketidaktahuannya itu, maka ia masuk neraka” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim). Andaikata yang benar itu lebih dari satu, maka pembagian hakim di atas tidak perlu ada.
d.       Dalam sebuah riwayat tentang wasiat Nabi SAW kepada seorang komandan tentara yang akan diutus ke medan perang. Rasulullah SAW bersabda: “Jika musuh menuntut engkau untuk berdamai dengan cara tawar-menawar terhadap hukum Allah, maka jangan engkau lakukan, karena engkau tidak tahu apakah hukum yang engkau tetapkan itu benar atau tidak” (HR. Muslim, Hanbali, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi). Menurut kelompok al-mukhatti’ah, hadits ini merupakan hadits yang amat tegas menunjukkan bahwa hukum yang benar di sisi Allah SWT itu hanya satu, sehingga Rasulullah SAW menyatakan bisa dicapai dan bias juga tidak dicapai.
e.        Para sahabat sendiri menyatakan bahwa hasil ijtihad itu bisa salah, seperti ungkapan Abu Bakar as-Siddiq ketika ia berijtihad dalam masalah kalâlah: “Yang saya kemukakan ini adalah pendapat saya pribadi , apabila pendapat saya ini benar, maka hal itu datangnya dari Allah SWT, dan apabila ijtihad saya salah, maka hal tiu datangnya dari saya dan setan, atas kesalahan ini Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bertanggung jawab”. Ucapan-ucapan seperti ini juga sering diucapkan sahabat lain, seperti Umar bin al-Khattab dalam kasus mahar yang sangat besar jumlahnya; Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) dalam kasus pembagian warisan bagi istri yang kematian suami, sementara antara mereka belum terjadi hubungan sanggama; Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dalam masalah ‘aul; dan Ali bin Thalib tentang masalah diat dalam tindak pidana ijhad. Dalam kasus-kasus tersebut para sahabat tersebut mengemukakan “apabila ijtihad ini benar, maka datangnya dari Allah SWT dan apabila salah, maka dari saya dan setan”.
f.         Kelompok al-mukhatti’ah selanjutnya mengatakan, apabila hasil setiap ijtihad yang dilakukan mujtahid adalah benar, maka akan terjadi beberapa hukum (seperti halal, haram, makruh, sah, dan batal), pada satu permasalahan, sehingga terdapat dua hukum yang bertentangan dalam satu kasus. Pertentangan seperti ini tidak diterima oleh syara’.
 
B.       Akibat Dari Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah
Akibat dari perbedaan pendapat ini, maka banyak sekali hukum yang diperselisihkan ulama fiqih. Misalnya seseorang melakukan ijtihad dalam mencari arah kiblat, lalu atas dasar hasil ijtihadnya itu ia lakukan shalat, ternyata secara faktual hasil ijtihadnya tersebut adalah salah. Dalam kasus seperti ini, kelompok al-mukhatti’ah (seperti, Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa orang yang shalat menghadap kiblat berdasarkan hasil ijtihadnya yang salah itu, wajib mengqadha shalatnya, karena ijtihad yang benar itu tidak dihasilkan mujtahid tersebut. Akan tetapi bagi kelompok al-musawwibah (diantaranya, Mazhab Hanafi), mujtahid tersebut tidak wajib mengulang shalatnya, karena apa yang telah ia capai dengan ijtihadnya itu adalah benar, sekalipun kemudian secara kenyataan arah kiblatnya salah.
Terkait dengan permasalahan benar atau salah dalam berijtihad di atas, para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah lain, yaitu tentang pendelegasian untuk berijtihad oleh Allah SWT kepada Nabi SAW atau mujtahid dengan syarat hukum itu harus benar. Persoalan ini dikenal dalam ushul fiqih dengan istilah at-tawfîd li al-mujtahid. Ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa pendelegasian berijtihad untuk suatu kasus dibolehkan bagi Rasulullah SAW atau mujtahid dengan pengerahan seluruh kemampuan intelektualnya. Akan tetapi, ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam hal pendelegasian penetapan hukum bagi para ilmuwan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Musa bin Imran (ulama fiqih Mu’tazilah). Menurutnya, pendelegasian  penetapan hukum bagi para ilmuwan diperkenankan, dan dalam kenyataannya telah terjadi. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah Ali ‘Imrân (3) ayat 93: Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri…”  Dalam ayat ini, menurut mereka Allah SWT menyatakan bahwa pelaku pengharaman makanan Bani Israil, yaitu ada makanan-makanan yang diharamkan sendiri oleh Israil (Ya’qub) bagi diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa menentukan hukum terhadap sebagian makanan itu didelegasikan kepada mereka. Akan tetapi, jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang mengharamkan itu bukan Bani Israil sebagai umat, tetapi maksudnya adalah nabi mereka (Nabi Ya’qub AS). Oleh sebab itu menurut jumhur ulama ushul fiqih, pendelegasian itu adalah kepada Nabi Ya’qub AS. Pendelegasian menetapkan hukum kepada seorang nabi hukum diperkenankan. Alasan selanjutnya yang dikemukakan Musa bin Imran adalah sabda Rasulullah SAW tentang haji yang ditanyakan al-Aqra bin Habis. Ketika itu, al-Aqra bin Habis bertanya tentang kewajiban haji kepada Rasulullah SAW: “Apakah tahun ini saja (kewajiban haji tiu) atau untuk selamanya?” Rasulullah menjawab: “Untuk selamanya, dan kalau saya katakana ‘Ya’, maka akan wajib tahun ini saja, sedangkan ada orang diantara kamu yang tidak mampu (melaksankan haji)” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan juga oleh Muslim dan abu Hurairah). Dalam kasus ini, penetapan hukum wajib atau tidak terletak pada Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan hukum tersebut didelegasikan kepadanya. Untuk alasan ini pun jumhur ulama ushul fiqih menyatakan tidak ada persoalan, karena pendelegasian itu adalah kepada Rasulullah SAW dan hal itu sesuai yang diterima oleh seluruh ulama.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Mu’tazilah. Menurut mereka, pendelegasian penetapan hukum kepada seorang ilmuwan sesuai dengan kehendaknya adalah tidak boleh, dan dalam hukum-hukum (fiqih) hal itu tidak pernah terjadi. Alasan mereka bahwa hukum-hukum Allah SWT itu mengandung kemaslahatan umat manusia. Kalau penentuan hukum itu didelegasikan kepada manusia, maka akan tejadi hukum-hukum yang bertentangan dengan kemaslahatan yang dikehendaki Allah SWT tersebut. Oleh sebab itu, tidak boleh penentuan hukum itu didelegasikan kepada manusia.
Pendapat ketiga dikemukakan oleh Imam al-Amidi, ahli ushul fiqih Mazhab Syafi’i. Menurutnya, pendelegasian penentuan hukum kepada seorang ilmuwan itu diperkenankan, tetapi dalam kenyataannya tidak pernah terjadi. Alasannya adalah bahwa sekalipun hal ini dibolehkan, maka hal itu tidak akan mengurangi keagungan zat Allah SWT. Karenanya, secara logika hal itu dibolehkan. Tetapi, berdasarkan induksi dari berbagai nash kasus ini tidak dijumpai.
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musawwibah dan mukhatti’ah adalah dua kelompok yang berbeda pandangan dalam ijtihad, yang mana kelompok musawwibah adalah kelompok yang menyatakan benar dan mukhatti’ah kelompok yang menyatakan salah.
Dan dapat disimpulkan bahwa ijtihad itu diperlukan sekali oleh syari’at walaupun untuk mujtahid diperlukan syarat-syarat tertentu.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve:Jakarta,1996.
Mu’allim Amir, Yusdani,  Ijtihad (Suatu Kontoversi Antara Teori dan Fungsi), Cetakan I, Titian Ilahi Press,1997.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites