Makalah

Blog ini berisi berbagai macam makalah kuliah.

Perangkat Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Modul Pembelajaran

Masih dalam pengembangan.

Skripsi

Masih dalam pengembangan.

Lain-lain

Masih dalam pengembangan.

Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juli 2013

Jual Beli (Buyu')

PENDAHULUAN

Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual-beli sewa-menyewa bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain. Baik dalam urusan kepentingan pribadi maupun kemaslahatan umat. Dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia. Suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia. Dan juga menjaga kemaslahatan umat agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab tiu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya karena dengan teraturnya muamalat maka, penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya. Sehingga perbantahan dan dendam mendendam tidak akan terjadi. Jadi Allah SWT sudah mengatur dengan sedemikian rupa tentang bagaiman jual beli yang sesuai dengan rukun dan syarat yang di syari'atkannya. Untuk pembahasan selanjutnya tentang apa itu jual beli maka akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.





BAB II
PEMBAHASAN
1.              JUAL BELI
1.              Pengertian jual beli
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksut dengan jual beli adalah sebagai berikut.
1.        Menukar barang dengan barang, atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan[1]
2.        Pemilik harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara'.[2]
3.        Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasarruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara'.[3]
4.        Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).[4]
5.        Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.[5]
6.        Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.[6]
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela diantara dua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara', dan disepakati.
2.              Dasar hukum jual beli
Peraturan atau hukum jual beli dalam Islam ditetapkan sebagai berikut:
1.        Dibenarkan jual beli yang tidak berbentuk riba.
2.        Dalam jual beli perlu ada ijab qabul (tanda terima) yang diucapkan dengan lisan atau perkataan, dan dibolehkan dalam hati masing-masing.
3.        Dilarang memperjual belikan darah, bangkai, hasil pencurian, wakaf, milik umum, minuman keras, babi, barang yang tidak ada harganya, dan barang yang tidak ada pemiliknya.
4.        Akad jual beli harus dilaksanakan dalam satu mejlis, dapat diterima (taslim) dan dapat dipegang (qabadh).
5.        Dalam jual beli dibenarkan adanya hak meneruskan atau membatalkan suatu pembelian suatu barang jika misalnya terdapat cacat ('aib) atau melihat kepada keadaannya, dan menurut Imam Hanafi dan Imam maliki "hak Khiyar" tersebut tidak boleh dari tiga hari.
6.        Dalam jual tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal, sedangkan pada anak kecil dibenarkan untuk benda-benda yang tidak bernilai tinggi, kecuali jika mereka telah dewasa ( umur 15 tahun)
7.        Jika barang–barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau ukurannya harus tertentu dan diakui.
8.        Larangan menawar tawaran orang lain ataupun menjual sesuatu dengan yang sudah dibeli oleh orang lain.
9.        Larangan menimbun barang pada saat masyarakat banyak memerlukan barang tersebut.
10.     Larangan jual beli kearah yang bermaksiat kepada Tuhan. Misalnya menjual patung untuk disembah.
11.     Larangan jual beli yang berunsur kepada penipuan atau paksaan.
12.     Dalam jual beli harus terlihat jelas bendanya tetapi diperbolehkan dengan melihat contohnya seperti pesanan buku-buku.[7]
3.              Rukun jual beli
1.        Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah:
a.        Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b.       Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c.        Tidak mubazzir (pemboros), sebab harta orang yang mubazzir itu ditangan walinya.
d.       Baligh (berumur 15 tahun keatas atau dewasa).

2.        Uang dan benda yang di beli
Syaratnya adalah:
a.        Suci
Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b.       Ada manfaatnya.
Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c.        Barang itu dapat diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang dijaminkan sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d.       Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilnya, atau yang mengusahakannya.
e.        Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga diantara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengecoh.

3.        Lafaz ijab dan Qabul
a.        Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya: "saya jual barang ini sekian".
b.       Qabul adalah ucapan si pembeli, "saya terima (saya beli dengan harga sekian)" keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka, dan juga sabda Rasulullah SAW. dibawah ini:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه إبن حبان)
"Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka" (Riwayat Ibnu Hibban).

4.              Syarat jual beli
Agar jual beli jadi sah, diperlukan terpenuhnya syarat-syarat sebagai berikut:
Diantaranya yang berkaitan dengan orang yang berakad. Yang berkaitan dengan yang diakadkan atau tempat berakad, artinya harta yang akan dipindahkan dari kedua belah pihak yang melakukan akad, sebagai harga atau yang dihargakan.

a.        Syarat orang yang berakad:
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan:
Berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah. Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar kadang-kadang gila), berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah.jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan ketika yang dilakukan ketika gila tidak sah.
Akad anak kecil yang sudah dapat membedakan dinyatakan valid (sah), hanya kevalidannya tergantung pada izin walinya.
b.       Syarat barang yang diakadkan:
1. Bersihnya barang.
2. Dapat dimanfaatkan.
3. Milik orang yang melakukan akad.
4. Mampu menyerahkannya.
5. Mengetahui.
6. Barang yang diakadkan ada di tangan. 

1.5    Bentuk-bentuk jual beli yang terlarang
         Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya, yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah:
1) menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain 2) menyempitkan gerakan pasaran 3) merusak ketentraman umum.
1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedang dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu dilarang.
2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلى  بَيْعِ بَعْضٍ
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW telah bersabda: ‘Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain”. (sepakat ahli hadits).

3.      Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهْ عليهِ وسَلَّمَ لَا تَتَلَقُوْا الرُّكْبَانِ (متفق عليه)
“Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW bersabda:‘Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar dijalan sebelum mereka sampai di pasar”. (sepakat ahli hadits).
         Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar.

4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.
Sabda Rasulullah SAW:
لا تَحْتَكِرُ إِلا خَاطِئٌ
“Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah).” (Riwayat Muslim).

5.      Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian  dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
Firman Allah SWT:
         
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (al-Maidah : 2).
6.      Jual beli yang disertai tipuan berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.
               Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رََسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عليهِ وسلمَ مَرَّ على صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيها فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَاهَذا يَا صَاحِبَ الطعَامِ قَالَ أَصابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطعامِ كَيْ يَرَاهُ الناسُ مَنْ غَشَّى فَلَيْسَ مِنِّي (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah, beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata: ’Apakah ini?’ Jawab yang punya makanan: ‘Basah karena hujan, ya Rasulullah’ beliau bersabda: ‘Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang?, barangsiapa yang menipu, maka ia bukan umatku.’ (Riwayat Muslim).
         Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa menipu itu haram, berdosa besar. Semua ulama sepakat bahwa perbuatan itu sangat tercela dalam agama, menurut akalpun tercela.
         Jual beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqh berikut ini : ‘Apabila larangan urusan muamalat itu karena karena hal yang di luar urusan muamalat, larangaan itu tidak menghalangi sahnya akad.













Simpulan

1.        Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak yana lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2.        Rukun jual beli:
1.        Akad (ijab qabul)
2.        Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3.        Ma’kud alaih (objek akad)
3.        Syarat jual beli
1.        Berakal
2.        Dengan kehendak sendiri
3.        Tidak mubazir (pemboros)









DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, 1992, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta:Jakarta.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Sabiq, Sayid, Fiqih Sunnah, PT. Al-Ma’arif:Bandung.
Rasyid, Sulaiman, 1996. Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo:Jakarta

[1]Lihat Idris Ahmad, Fiqh Al-Syafi’iyah, hlm. 50.
[2]Lihat Nawawi, 1956:130.
[3]Taqiyuddin, Kifayat Al-Akhyar, t.t. hlm.329
[4]Lihat Zakaria, t.t. hlm. 157.
[5]Lihat Fiqh Al-Sunnah, hlm. 126.
[6]Lihat Hasbi Ash-Shiddiqie, Fiqh Muamalah, hlm. 97.
[7]Husein Bahreisj, Pedoman Fiqh Islam,Passin, hlm 167-169. 

Sewa Menyewa (Ijarah)

PENDAHULUAN

Ijarah menurut syara' adalah perjanjian atau perikatan mengenai pemakaian dan pemungutan hasil dari manusia, benda atau binatang. Dalam bahasa arab ijarah adalah sewa-menyewa.
Ijarah merupakan perjanjian yang bersifat kosensual, mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung, setiap yang dapat di ambil manfaatnya serta setiap keadaannya adalah sah untuk di persewakan.
Dalam kehidupan sehari-hari yang demikian ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam melakukan hal tersebut yang secara muthlak persewaan itu adalah bayar dimuka, kecuali disyaratkan bayar belakang. Dan dalam peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan di sebut dengan "pemberi gadai" dan yang menerima gadai dinamakan "penerima atau pemegang gadai" maka dari itu pengertian gadai yang ada dalam syari'at Islam agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif kita sekarang ini, sebab pengertian gadai dalam hukum positif kita sekarang ini, cenderung dengan pengertian yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata).













A. SEWA-MENYEWA DAN UPAH (IJARAH)

a. Pengertian
Sebelum dijelaskan arti sewa-menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih Syafi'i[1] berpendapat bahwa ijarah adalah upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, yaitu mu'jir dan musta'jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq[2] menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dengan upah ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digukan untuk benda, seperti "seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah", sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti "para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa Arab upah dan sewa di sebut ijarah.
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasa ialah al-'iwadh yang arti bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain sebagai berikut:
1.        Menurut Hanafiyah bahwa ijarah ialah:
عُقْدٌ يُفِيْدُ تَمِلْيكُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ الْعَيْنِ اْلمُسْتَاْجِرَةِ بِِعَوْضٍٍ
"Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan di sengaja dari suatu yang disewa dengan imbalan".
2.        Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah:
تَسْيِةُ التَعَاقُدِعَلَى مَنْفَعَةِ اْلآدَمِىّ وَبِعْضِ الْمَنْقُوْلاَنِ  
”Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”
3.        Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَاحَةِ بِعِوَضٍ وَضْعًا
"Akad atas manfaat yang di ketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu".
4.        Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah adalah:

تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعَوْضٍ بِشُُرُوْطِ
"Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat".[3]
5.        Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian".
6.        Menurut Hasbi ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:

عَقْدٌ مَوْضُوْعَةِ اْلمُبَادَلَةِ عَلَى مَنْفَعَةِالشَّيْءِ بِمُدَّةِ مَحْدُوْدَةٍ أى تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْغُ اْلمَنَافِعِ
"Akad yang obyeknya ialah yang penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat."
7.        Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah mengupah, sewa-menyewa adalah:

بَيْعُ الْمَنَافِعِ
"menjual manfaat"
Dan upah mengupah adalah:
بَيْعُ اْلقُوَّةِ
"menjual tenaga atau kekuatan"
Menurut H. Moh. Anwar menerangkan bahwa : Ijarah, ialah perakadan (perikatan) pemberian kemanfaatan (jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai 'iwadh (penggantian/balas jasa) dengan berupa uang atau barang yang ditentukan.
Didalam istilah hukum Islam orang yang menyewakan disebut dengan "Mu'ajjir", sedangkan orang menyewa disebut dengan Musta'jir", benda yang disewakan diistilahkan dengan "Ma'jur" dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut dengan "Ajaran atau Ujrah".
Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-quran dan Hadits. Antara lain sebagaina di bawah ini.

….                             
 Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (al-Baqarah: 233)
ْ                            
   Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.  (Al-Zukhruf:32).  

عن ابن عباس قال : إحتجم رسول الله ص.م. واعطى الذى حجمه اجره (رواه البخارى)
”Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwasanya Rasulullah SAW pernah berbekam, kemudian beliau memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya ”[4]

عن ابن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله اعطوا الأجير أجره قبل ان يجف عرقه (رواه ابن ماجه)
”Diriwayatkan dari Umar ra. bahwasanya Nab Muhammad SAW bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya ”[5]

b. Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah al-Quran, al-Sunnah dan al-Ijma’.
Dasar hukum ijarah dalam al-Quran adalah:
     
Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Al-Thalaq:6)
             
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Al-Qashash: 26).
Dasar hukum ijarah dari Al-Hadits adalah:

أُعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عُرُقُهُ (رواه ابن ماجه)
”Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).

احْتَجِمْ وَاعْطِ الحُجَّامَ أَجْرَهُ (رواه البخارى ومسلم)
”Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلىَ السَّوَافِى مِنَ الزَرَعِ فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص.م. ذلِكَ وَأَمَرَنَا بِذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ (رواه احمد وابوداود)
”Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[6]

Landasan Qur’aninya
1. Allah berfirman:
                              
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Al-Zukhruf:32).

Landasan Sunnahnya
1.        Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Nabi SAW, pernah menyewa seseorang dari Bani Ad Diil[7] bernama Abdullah bin Al-Uraiqith. Orang ini penunjuk jalan yang professional.
2.        Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi SAW, bersabda :

أُعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عُرُقُهُ (رواه ابن ماجه)
”Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).
3.        Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash r.a., berkata:

كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلىَ السَّوَافِى مِنَ الزَرَعِ فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص.م. ذلِكَ وَأَمَرَنَا بِذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ (رواه احمد وابوداود)
”Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

c. Unsur-unsur Ijarah
            Ijarah menjadi sah dengan ijab kabul lafaz sewa atau kuli dan yang berhubungan dengannya, serta lafaz (ungkapan) apa saja yang dapat menunjukkan hal tersebut.
Persyaratan orang yang berakad :
            Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka akad menjadi tidak sah.
            Mazhab Imam Asy-Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi, yaitu baligh. Menurut mereka akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.





B.GADAI
a. Pengertian
Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merungguhkan  رَهَنَ- يَرْهَنُ- رَهَنًا atau jaminan (borg).[8] Sementara menurut istilah adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan/penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku waktu itu).[9] Dan menurut Drs.H.Moh.Rifa’i, gadai adalah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan, dan akan dijadikan pembayaran jika utang itu tidak dapat dibayar.[10]
Drs. Masyfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail Fiqhiyah menjelaskan definisi gadai sebagai berikut : ”gadai ialah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang”.[11]
Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkna dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu”. Secara etimologis (artinya kata) rahn berarti ”tetap atau lestari” sedangkan ”al-habsu” berarti ”penahanan”.
Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut ”menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 139)”.
Istilah yang digunakan fiqih untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin.
Pandangan fuqaha tentang kebolehan akad gadai didasarkan pada keterangan al-Quran dan al-Hadits, antara lain sebagai berikut ini:
                         
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah: 283).

ان النبي ص.م. اشترى طعاما يهودى إلى اجل ورهنه درعا من حديد.
”Rasulullah SAW membeli suatu makanan dari seorang Yahudi secara tidak tunai dan beliau meminjamkan baju besinya”.

            b. Dasar Hukumnya
            Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syari’at Islam dihukumkan sebagai perbuatan jaiz atau yang dibolehkan, baik menurut ketentuan al-Quran, Sunah maupun Ijma’ Ulama.
            Dasar hukum tentang kebolehan ini dapat dilihat dalam ketentuan al-Quran Al-Baqarah ayat 283 yang artinya berbunyi sebagai berikut:
”Jika kamu berada dalam perjalanan, dan tiada mendapatkan seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (H.B. Jassin, 1991 : 631).
Dari kalimat ‘hendaklah ada barang tanggungan’ dapat diartikan sebagai ”gadai”.
Sedangkan dalam Sunah Rasulullah SAW dapat diketemukan dalam ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a, berkata:
”Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”. (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 140).
            Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka (jumhur ulama tersebut) tidak pernah berselisih/bertentangan pendapat.
c. Unsur-unsur Gadai
            Adapun yang menjadi rukun gadai ini adalah:
1.        Adanya lafaz, yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.
2.        Adanya pemberi gadai dan penerima gadai.
3.        Adanya barang yang digadaikan.
4.        Adanya utang.

d. Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
            Menyangkut pemanfaatan barang gadaian menurut ketentuan hukum Islam tetap merupakan hak si penggadai, termasuk hasil barang gadaian tersebut, seperti, anaknya, buahnya, bulunya.
Sebab perjanjian dilaksanakan hanyalah untuk menjamin utang bukan untuk mengambil suatu keuntungan, dan perbuatan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian adalah merupakan perbuatan (qirad ialah harta yang diberikan kepada seseorang, kemudian dia mengembalikannya setelah ia mampu) yang melahirkan kemanfaatan, dan setiap jenis qirad yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai riba.
Namun demikian apabila jenis barang gadaian tersebut berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau diperah susunya, maka si penerima gadai dibolehkan untuk menggunakan atau memerah susunya, hal ini dimaksudkan sebagai imbalan jerih payah sipenerima gadai memelihara dan memberi makan binatang gadaian tersebut, sebab orang yang menunggangi atau memerah susu binatang mempunyai kewajiban untuk memberi makan binatang itu.
Dasar hukum pembolehan ini dapat diperhatikan dalam ketentuan sunah Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jama’at kecuali Muslim dan An-Nasa’i yang artinya berbunyi sebagai berikut:
”Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Boleh menunggangi binatang gadaian yang ia beri makan, begitu juga boleh mengambil susu binatang gadaian jika ia memberi makan. Kewajiban yang menunggangi dan mengambil susu memberi makan”. (Sayid Sabiq, 12, 1988 : 142-143).  

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Al-Ijarah berasal dari kata Al-Ajru  yang berarti Al-Iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats-Tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).
Menurut pengertian syara’ : al-Ijarah ialah ”sutau jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian ”.
Gadai dalam istilah bahasa Arab disebut juga dengan ”rahn” atau ”al-habsu” yang berarti sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan. Suatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. Dalam peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan disebut dengan pemberi gadai dan yang diberi gadai dinamakan penerima gadai



















DAFTAR PUSTAKA

Suhrawardi Pasaribu, Chairuman, 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta:Sinar Grafika.

Sodarsono, 1993. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta:Rineka Cipta.

Suhendi, hendi, 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Sabiq, Sayid, 1997. Fiqih Sunnah. Bandung:PT  Al-Ma’arif.

Bakry, Nazar, 1994. Problematika Pelaksanaan Fiqih Islam. Padang.

Mas’adi, Ghufron, 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual. Semarang.

[1]Lihat, hlm. 139.
[2]Lihat Fiqh al-Sunnah. Hlm. 1.
[3]Al-Khatib, Al-Iqna,hlm. 70.
[4]Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, baca Subulus Salam, Juz III, hlm. 80.
[5]Ibid., hlm. 81.
[6]Lihat Fiqih al-Sunnah, hlm. 18.
[7]Suatu cabang dari kabilah ‘Abdu Qais
[8]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Penerbit Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir al-Quran, Jakarta tahun 1973 hlm. 188.
[9]H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Penerbit At-Tahiriyah Jakarta, tahun 1973 hlm.295.
[10]Drs. H. Moh. Rifa’I,  Fiqih Islam Lengkap, Penerbit Pustaka Indonesia, Jakarta, tahun 1978 hlm.423.
[11]Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a baca hadits al-Bukhari, dalam kitab al-buyu’, nomor 1926. 

Jumat, 14 Juni 2013

Utang Piutang dalam Islam

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya utang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian utang piutang?
2. Bagaimana hukum utang piutang?
3. Bagaimana peringatan keras tentang utang?
4. Bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih?
5. Bagaimana adab islami dalam utang piutang?
6. Bagaimana hukum bunga bank?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa pengertian utang piutang
2. Mengetahui bagaimana hukum utang piutang
3. Mengetahui bagaimana peringatan keras tentang utang
4. Mengetahui bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih
5. Mengetahui bagaimana adab Islami dalam utang piutang
6. Mengetahui bagaimana hukum bunga bank 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

B. Hukum Utang Piutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245(
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”
Nabi saw juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya utang piutang (peminjaman).

C. Peringatan Keras Tentang Utang:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda:
»مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ«
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada utangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan utang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
D. Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

E. Beberapa Adab Islami dalam Utang Piutang:
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282(
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
3. Melunasi utang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاء»
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi saw di masjid, sedangkan beliau mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi utang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima utang), melunasi utang di rumah atau tempat tinggal pemberi utang, dan semisalnya.
4. Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a. Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b. Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
d. Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah swt akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah swt akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
5. Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
6. Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
7. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
8. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang mengutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah utang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
9. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari Samurah, Nabi saw bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
10. Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan utang. Maka aku memohon kepada pemilik utang agar mereka mau mengurangi jumlah utangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi saw meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau saw berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau saw pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)
11. Bersegera melunasi utang
Orang yang berutang hendaknya ia berusaha melunasi utangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan utangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan utang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah.)
12. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.
Allah swt berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

F. Hukum Bunga Bank
Mengenai hukum bunga bank sangat berkaitan dengan pembahasan tentang riba dalam Islam. Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa hukum riba adalah haram, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 275: ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan tersebut ataukah tidak? Munculnya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena sistem perekonomian perbankan belum ada pada zaman dulu, apalagi pada zaman Rasulullah saw.. Bahkan, pembahasan tentang bunga bank itu sendiri baru dapat ditemukan dalam literatur-literatur fiqih kontemporer.
Wahbah az-Zuhali, seorang pakar fiqih asal Syria, berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan oleh Islam. Wahbah az-Zuhaili mengatagorikan bunga bank sebagai riba an-nasii`ah karena –menurutnya- bunga bank itu mengandung unsur kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima, dengan menggunakan tenggang waktu.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, Kairo. Para ulama yang tergabung dalam lembaga ini berpendapat bahwa meskipun sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’aafan mudhaa’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.
Tetapi ada sebagian ulama yang mengaitkan keharaman riba tersebut dengan unsur azh-zhulm (penganiayaan atau penindasan). Artinya, bila pinjaman yang diberikan itu tidak menyebabkan orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir. Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak.
Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan utang. Amin.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang.
Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih: Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, Pemberi piutang tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman, Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Adab Islami dalam Utang Piutang: (1) Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan, (2) Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang, (3) Melunasi utang dengan cara yang baik, (4) Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya, (5) Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal, (6) Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak, (7) Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman, (8) Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, (9) Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin, (10) Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya, (11) Bersegera melunasi utang, dan (12) Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Mukhtashar Al-Imam Al Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam
_____________________________. 2006. Shahih Sunan At-Tarmidzi. Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Khalidi, Muhammad Abdul Aziz. 2007. Sunan Ad-Dariami. Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 2008. Buluqhul Maram Min Adillatil Ahkaam. Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah
http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam_definisi_pengertian_hukum_rukun_manfaat_dari_hutang_piutang_pendidikan_agama_islam
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2061522-pengertian-piutang/
http://www.getbookee.org/ruang-lingkup-manajemen-piutang/
http://id.shvoong.com/business-management/accounting/2174446-definisi-pengertian-piutang-dan-jenis/
Ibrahim, T. 2006. Penerapan Fikih, Jilid 3. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Majalah Pengusaha Muslim, Edisi, Tanggal 15 November 2010
Miftahul Huda. Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010
Nasrun, Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama

Jual Beli Dalam Islam

DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad jual beli untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam hal ini implementasi jual beli dalam kehidupan sehari-hari sangatlah perlu spesifikasi melihat beragamnya car bertransaksi.  Dalam pembahasan makalah kami kali ini akan dijelaskan tentang hokum jual beli dalam islam yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan jual beli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Jual Beli?
2. Bagaimana Hukum Jual Beli?
3. Bagaimana Akad Jual Beli?
4. Bagaimana Syarat Sah Jual Beli?
5. Bagaimana Hikmah dan Manfaat Jual Beli?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Apa Pengertian Jual Beli
2. Mengetahui Bagaimana Hukum Jual Beli
3. Mengetahui Bagaimana Akad Jual Beli
4. Mengetahui Bagaimana Syarat Sah Jual Beli
5. Mengetahui Bagaimana Hikmah dan Manfaat Jual Beli


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli
Secara bahasa, al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.

B. Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas. Allah Ta'ala berfirman :
•     
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan cacat dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya" (HR. Bukhari)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
Adapun mengenai hukum jual beli sebagai berikut:
Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli,
Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga Qodli menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang
Sunah, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkannya.
1. Khiyar
Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli) . Di adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Macam-macam Khiyar.
a. Khiyar Majelis
Khiyar majelis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara 2 perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Sabda Rasulullah SAW ; ” Dua orang yang berjual beli boleh memilih ( akan meneruskan jual beli mereka tau tidak). Selama keduanya  belum bercerai dari tempat akad ( HR. Bukhori dan Muslim)
b. Khiyar Syarat
Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, ” Saya menjual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam 3 hari atau kurang dari 3 hari”. Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya 3 hari 3 malam , terhitung dari waktu ajad. Sabda Rasulullah SAW:” Engkau boleh khiyar dalam segala barng yang telah engkau beli selam 3 hari 3 malam”.( HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
c. Khiyar ’Aibi ( cacat)
Khiyar ’Aibi artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu atau terjadi sesudah akad yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah Ijma yang disepakati oleh ulama mujtahid.
Aisyah telah meriwayatkan, “Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada catatnya lalu ia adukan perkaranya kepada Rasulullah SAW. Keputusan dari beliau budak itu dikembalikan kepada si penjual ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizi ).
Adapun apabila sudah terjadi akad antara penjual dan pembeli namun barang tersebut masih dalam tanggungan si penjual, dan ketika si pembeli menerima barang tersebut dan di dapatinya barang tersebut cacat maka boleh baginya untuk mengembalikan barang tersebut dan meminta uangnya kembali.
2. Jual Beli yang Sah, tetapi Dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, di sini akan di uraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah: 1) menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain, 2). Menyempitkan gerakan pasaran, 3) Merusak ketentraman umum.
Adapun mengenai jual beli yang sah tapi dilarang, sebagai berikut:
a. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan ia tidak menginginkan membeli barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu .
b. Membeli barang yang sudah di beli oleh orang lain yang masih dalam masa khiyar. Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain (sepakat ahli hadis)
c. Mencegat orang-orang yang datang dari desa ke luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar. Rasulullah SAW pernah bersabda : Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar ( sepakat ahli hadits).
d. Membeli barang untuk di tahan agar dapat di jual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum. Rasulullah SAW bersabda :”Tidak ada orang yang menahan arang kecuali orang yang durhaka ( salah) ( HR. Muslim)
e. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya. Allah telah melarang hal ini melalui firmanNya dalam QS. Al Maidah ayat 2 : ”Dan tolong – menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
f. Jual beli yang disertai tipuan. Ini mencakup tipuan yang dilakukan oleh penjual ataupun pembeli, pada barang, ukuran ataupun timbangannya.
Rasulullah SAW bersabda :”Dari Abu Hurairah ,’Bahwasanya Rasulullah SAW pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal di jual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata ”Apakah ini?” jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah , Beliau bersabda,”Mengapa tidak engkau taruh di bagian ats supaya dapat di lihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku” (HR.Muslim)

C. Akad Jual Beli
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "
Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan). Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus.
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah: jual beli Muathoh ada beberapa gambaran.
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

D. Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :
Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.
Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil.
Bagi (Barang) yang di aqad
1. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
2. Yang diaqad baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri..
3. Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "


E. Hikmah dan Manfaat Jual Beli
Banyak manfaaat dan hikmah jual beli, diantaranya :
1. Dapat menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2. Dapat memenuhi kebutuhan atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3. Masing-masing pihak merasa puas.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram(batil).
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
7. Melaksanakan Jual Beli yang benar dalam kehidupan.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta’awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.
Akan tetapi lain halnya apabila di dalam jual beli itu terdapat unsure kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi takaran, dan lainnya. Maka tidak lagi bernilai ibadah, tetapi sebaliknya yaitu perbuatan dosa. Untuk menjadi pedagang yang jujur itu sangat berat, tetapi harus disadari bahwa kecurangan dan kebohongan itu tidak ada gunanya. Jadi usaha yang baik dan jujur itulah yang paling menyenangkan yang nantinya akan mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan dan sekaligus Ridha Allah.

Firman Allah:
     ••              
“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (QS. Al-A’raf: 85)

             
“Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Huud: 84)

     •      
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra: 35)



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Secara bahasa, al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.
Adapun mengenai hukum jual beli sebagai berikut:
Mubah (boleh), merupakan asal hukum jual beli,
Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga Qodli menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang
Sunah, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkannya.
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan: Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "; Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan). Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus.
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta”awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membuuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT.RajaGrafindo persada.
Amir, Syarifuddin. 2003. Garis Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana
Djawaini, Dimyauddin. 2007. Pengantar Fiqih Muamalat. Yogyakarta
Khar, Mashur. 1992. Bulughul Maram Buku Pertama. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nawawiah. 1994. Fiqih Islam. Jakarta: Duta Pahala
Sunarto, Achmad. 1991. Fathul qarib. Surabaya: Al-Hidayah
Syafe’i, Rahmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syamsuri. 2005. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI Jakarta: Erlangga
Wahbah Al-Juhaili. 1989. Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Dar Al-Fikr : Rambe

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites