KATA PENGANTAR
Alhambdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufiq dan hidayahNya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam tidak lupa pula kita haturkan kepada keharibaan kita Nabi besar Muhammad SAW serta para sahabat beliau ilâ yaumil qiyamah.
Makalah ini saya sajikan dalam rangka tugas terstruktur pada mata kuliah “Ushul Fiqih C” yang berisi tentang “MUSAWWIBAH dan MUKHATTI’AH”.
Dengan segala kekurangan yang mungkin dijumpai dalam makalah ini, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap kiranya makalah ini akan bermanfaat bagi kita semua.
Banjarmasin, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Judul Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Musawwibah dan Mukhatti’ah 2
1. Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah 2
2. Ijtihad Menurut Kelompok Mukhatti’ah 5
B. Akibat Dari Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah 8
BAB III PENUTUP 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
Musawwibah dan mukhatti’ah adalah dua kelompok yang berbeda pendapat dalam ijtihad, yang mana musawwibah sebagai kelompok yang berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad. Sedangkan mukhatti’ah adalah kelompok yang berpendapat bahwa kebenaran tu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid.
Makalah ini berupaya mencoba menjelaskan perbedaan antara musawwibah dan mukhatti’ah. Dalam makalah ini akan menyebutkan beberapa alasan yang dikemukakan oleh musawwibah dan mukhatti’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Musawwibah dan Mukhatti’ah
(Al-Musawwibah = orang yang menyatakan benar; al-mukahtti’ah = orang yang menyatakan salah) Dalam ushul fiqih istilah ini dibahas berkaitan dengan masalah ijtihad. Ushul fiqih mengartikan al-musawwibah sebagai kelompok yang berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka. Maksudnya, apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode ijtihad yang diterima syara’, maka hasil ijtihadnya adalah benar. Karenanya, ssetiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka, sekalipun untuk permasalahan yang sama hukum yang ditemukan para mujtahid berbeda. Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa setiap hasil ijtihad hanya wajib diamalkan oleh mujtahid yang bersangkutan, sedangkan mujtahid lain tidak wajib mengamalkannya. Adapun al-mukhatti’ah didefinisikan oleh ulama ushul fiqih sebagai kelompok yang berpendapat bahwa kebenaran itu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lainnya tidak mencapai kebenaran. Maksudnya, hukum yang benar di sisi Allah SWT hanya satu, karena itu para mujtahid berusaha untuk menemukannya. Dari sekian banyak mujtahid yang mengerahkan seluruh kemampuan ilmiahnya untuk yang benar itu, yang berhasil menemukannya hanya satu orang, sedangkan mujtahid lain tidak menemukannya.
1. Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah
Perbedaan pandangan kelompok al-musawwibah dengan al-mukhatti’ah berawal dari permasalahan apakah Allah SWT telah menetapkan suatu hukum pada satu masalah yang tidak ada nashnya (Al-Quran dan/atau sunah Nabi SAW) sebelum mujtahid berijtihad atau Allah SWT sama sekali belum menentukan hukum pada setiap masalah, sehingga apabila para mujtahid melakukan ijtihad maka hasil ijtihadnya itu merupakan hukum Alah SWT. Ulama Asy’ariyah (*Ahlusunah waljamaah), Mu’tazilah (aliran teologi Islam yang dikenal liberal dan rasional), Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w. 403 H/1013 M; ahli fiqih Mazhab Maliki), Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqih Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa Allah SWT tidak menetukan hukum tertentu pada setiap persoalan sebelum dilakukan ijtihad, bahkan hukum Allah SWT dalam setiapa persoalan itu merupakan hasil ijtihad yang dicapai seorang mujtahid. Dengan demikian, dalam seluruh permasalahan yang belum ada nashnya, hukumnya adalah hasil ijtihad setiap mujtahid yang melakukan ijtihad dan hasil ijtihad itu benar.
Alasan yang dikemukakan kelompok al-musawwibah ini berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT tentang kisah Nabi Daud AS dan Sulaiman AS dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 78 yang artinya: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya…” Selanjutnya dalam surah yang sama ayat 79 dikatakan: “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu…”
Menurut kelompok al-musawwibah, kedua ayat ini menggambarkan terjadinya perbedaan keputusan yang diberikan oleh Daud dan Sulaiman terhadap pemilik kambing yang merusak tanaman orang lain. Andaikata salah seoorang di antara keduanya salah dalam menetapkan hukum, maka tidak akan dinyatakan bahwa kedua hukum yang berbeda dari Daud dan Sulaiman itu sebagai hukum Allah SWT.
b. Sabda Rasulullah SAW: “Sahabatku ibarat bintang, siapa saja yang kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk” (HR. Ahmad bin Hanbal). Dalam menetapkan suatu hukum dari kasus yang yang tidak terdapat hukumnya dalam nash, para sahabat seringkali berbeda pendapat. Andaikata pendapat yang benar hanyalah satu diantara beberapa pendapat sahabat, maka Rasulullah SAW tidak akan menyatakan umat Islam untuk mengikuti pendapat sahabat manapun. Ini berarti bahwa perbedaan hasil ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW dan umat Islam boleh memilih pendapat mana saja diantara pendapat para sahabat tersebut. Hal ini juga berarti bahwa setiap sahabat yang melakukan ijtihad, maka hasil ijtihad itu menjadi hukum bagi persoalan yang dihadapi. Tetapi, hasil ijtihad seseorang tidak wajib diikuti mujtahid lain karena ia sendiri mampu untuk melakukan ijtihad dalam kasus yang sama.
c. Kelompok al-musawwibah mengatakan bahwa andaikata pada setiap masalah yang tidak ada nashnya, maka Allah pasti akan menetapkan dalil yang qat’î (pasti) terdapat hukum itu agar tidak terjadi keraguan umat Islam tentang hukum yang dicari.
2. Ijtihad Menurut Kelompok Mukhatti’ah
Menurut kelompok al-mukhatti’ah yang terdiri dari jumhur ulama dan Syiah, hukum pada setiap permasalahan ijtihad hanya satu yag benar, apabila terdapat perbedaan hasil ijithad yang dicapai para mujtahid, maka dari sekian banyak hasil ijtihad itu yang benar hanya satu, sedangkan yang lainnya adalah salah. Akan tetapi, hasil ijtihad yang benar itu hanya diketahui oleh Allah SWT dan baru bisa diketahui di akhirat. Dalam kaitan ini Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa yang benar itu di sisi Allah SWT hanya satu, karenanya tidak semua mujtahid menemukan yang benar itu. Namun demikian, sekalipun seorang mujtahid salah dalam menentukan hukum, ia tetap berhak memperoleh satu pahala, karena ia telah berupaya untuk mencapai yang benar tersebut. Selanjutnya, mujtahid yang berhasil mencapai yang benar itu maka ia akan menerima dua pahala, yaitu pahala berijtihad dan pahala mendapatkan hukum yang benar. Hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang menyatakan: “Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia menerima satu pahala”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash)
Alasan yang dikemukakan kelompok al-mukhatti’ah adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 78-79 yang dikemukakan kelompok al-musawwibah di atas. Menurut kelompok al-mukhatti’ah dalam kasus kambing yang memakan tanaman orang lain yang diceritakan dalam ayat di atas, keputusan yang benar hanya keputusan yang ditentukan Nabi Sulaiman AS, sedangkan keputusan Nabi Daud AS adalah salah. Dengan demikian, ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa pada satu kasus hanya ada satu hukum yang benar.
b. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Amr bin Ash yang disebutkan di atas. Hadits ini juga secara tegas membagi hasil ijtihad itu kepada yang benar dan yang salah. Menurut mereka andaikata yang benar itu ada beberapa, maka hal tersebut akan bertentangan dengan kandungan hadits tersebut.
c. Dalam hadits lain Rasulullah SAW mengatakan: “Hakim itu ada tiga macam, dua orang masuk neraka dan satu orang masuk surga, yaitu: hakim yang mengetahui yang benar lalu ia menetapkan hukum berdasarkan yang benar itu, maka ia masuk surga; hakim yang benar mengetahui yang benar lalu ia memanipulasi yang benar itu dalam menetapkan hukum, maka ia masuk neraka; dan hakim yang tidak mengetahui yang benar lalu ia menetapkan hukum dalam ketidaktahuannya itu, maka ia masuk neraka” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim). Andaikata yang benar itu lebih dari satu, maka pembagian hakim di atas tidak perlu ada.
d. Dalam sebuah riwayat tentang wasiat Nabi SAW kepada seorang komandan tentara yang akan diutus ke medan perang. Rasulullah SAW bersabda: “Jika musuh menuntut engkau untuk berdamai dengan cara tawar-menawar terhadap hukum Allah, maka jangan engkau lakukan, karena engkau tidak tahu apakah hukum yang engkau tetapkan itu benar atau tidak” (HR. Muslim, Hanbali, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi). Menurut kelompok al-mukhatti’ah, hadits ini merupakan hadits yang amat tegas menunjukkan bahwa hukum yang benar di sisi Allah SWT itu hanya satu, sehingga Rasulullah SAW menyatakan bisa dicapai dan bias juga tidak dicapai.
e. Para sahabat sendiri menyatakan bahwa hasil ijtihad itu bisa salah, seperti ungkapan Abu Bakar as-Siddiq ketika ia berijtihad dalam masalah kalâlah: “Yang saya kemukakan ini adalah pendapat saya pribadi , apabila pendapat saya ini benar, maka hal itu datangnya dari Allah SWT, dan apabila ijtihad saya salah, maka hal tiu datangnya dari saya dan setan, atas kesalahan ini Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bertanggung jawab”. Ucapan-ucapan seperti ini juga sering diucapkan sahabat lain, seperti Umar bin al-Khattab dalam kasus mahar yang sangat besar jumlahnya; Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) dalam kasus pembagian warisan bagi istri yang kematian suami, sementara antara mereka belum terjadi hubungan sanggama; Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dalam masalah ‘aul; dan Ali bin Thalib tentang masalah diat dalam tindak pidana ijhad. Dalam kasus-kasus tersebut para sahabat tersebut mengemukakan “apabila ijtihad ini benar, maka datangnya dari Allah SWT dan apabila salah, maka dari saya dan setan”.
f. Kelompok al-mukhatti’ah selanjutnya mengatakan, apabila hasil setiap ijtihad yang dilakukan mujtahid adalah benar, maka akan terjadi beberapa hukum (seperti halal, haram, makruh, sah, dan batal), pada satu permasalahan, sehingga terdapat dua hukum yang bertentangan dalam satu kasus. Pertentangan seperti ini tidak diterima oleh syara’.
B. Akibat Dari Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah
Akibat dari perbedaan pendapat ini, maka banyak sekali hukum yang diperselisihkan ulama fiqih. Misalnya seseorang melakukan ijtihad dalam mencari arah kiblat, lalu atas dasar hasil ijtihadnya itu ia lakukan shalat, ternyata secara faktual hasil ijtihadnya tersebut adalah salah. Dalam kasus seperti ini, kelompok al-mukhatti’ah (seperti, Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa orang yang shalat menghadap kiblat berdasarkan hasil ijtihadnya yang salah itu, wajib mengqadha shalatnya, karena ijtihad yang benar itu tidak dihasilkan mujtahid tersebut. Akan tetapi bagi kelompok al-musawwibah (diantaranya, Mazhab Hanafi), mujtahid tersebut tidak wajib mengulang shalatnya, karena apa yang telah ia capai dengan ijtihadnya itu adalah benar, sekalipun kemudian secara kenyataan arah kiblatnya salah.
Terkait dengan permasalahan benar atau salah dalam berijtihad di atas, para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah lain, yaitu tentang pendelegasian untuk berijtihad oleh Allah SWT kepada Nabi SAW atau mujtahid dengan syarat hukum itu harus benar. Persoalan ini dikenal dalam ushul fiqih dengan istilah at-tawfîd li al-mujtahid. Ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa pendelegasian berijtihad untuk suatu kasus dibolehkan bagi Rasulullah SAW atau mujtahid dengan pengerahan seluruh kemampuan intelektualnya. Akan tetapi, ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam hal pendelegasian penetapan hukum bagi para ilmuwan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Musa bin Imran (ulama fiqih Mu’tazilah). Menurutnya, pendelegasian penetapan hukum bagi para ilmuwan diperkenankan, dan dalam kenyataannya telah terjadi. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah Ali ‘Imrân (3) ayat 93: Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri…” Dalam ayat ini, menurut mereka Allah SWT menyatakan bahwa pelaku pengharaman makanan Bani Israil, yaitu ada makanan-makanan yang diharamkan sendiri oleh Israil (Ya’qub) bagi diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa menentukan hukum terhadap sebagian makanan itu didelegasikan kepada mereka. Akan tetapi, jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang mengharamkan itu bukan Bani Israil sebagai umat, tetapi maksudnya adalah nabi mereka (Nabi Ya’qub AS). Oleh sebab itu menurut jumhur ulama ushul fiqih, pendelegasian itu adalah kepada Nabi Ya’qub AS. Pendelegasian menetapkan hukum kepada seorang nabi hukum diperkenankan. Alasan selanjutnya yang dikemukakan Musa bin Imran adalah sabda Rasulullah SAW tentang haji yang ditanyakan al-Aqra bin Habis. Ketika itu, al-Aqra bin Habis bertanya tentang kewajiban haji kepada Rasulullah SAW: “Apakah tahun ini saja (kewajiban haji tiu) atau untuk selamanya?” Rasulullah menjawab: “Untuk selamanya, dan kalau saya katakana ‘Ya’, maka akan wajib tahun ini saja, sedangkan ada orang diantara kamu yang tidak mampu (melaksankan haji)” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan juga oleh Muslim dan abu Hurairah). Dalam kasus ini, penetapan hukum wajib atau tidak terletak pada Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan hukum tersebut didelegasikan kepadanya. Untuk alasan ini pun jumhur ulama ushul fiqih menyatakan tidak ada persoalan, karena pendelegasian itu adalah kepada Rasulullah SAW dan hal itu sesuai yang diterima oleh seluruh ulama.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Mu’tazilah. Menurut mereka, pendelegasian penetapan hukum kepada seorang ilmuwan sesuai dengan kehendaknya adalah tidak boleh, dan dalam hukum-hukum (fiqih) hal itu tidak pernah terjadi. Alasan mereka bahwa hukum-hukum Allah SWT itu mengandung kemaslahatan umat manusia. Kalau penentuan hukum itu didelegasikan kepada manusia, maka akan tejadi hukum-hukum yang bertentangan dengan kemaslahatan yang dikehendaki Allah SWT tersebut. Oleh sebab itu, tidak boleh penentuan hukum itu didelegasikan kepada manusia.
Pendapat ketiga dikemukakan oleh Imam al-Amidi, ahli ushul fiqih Mazhab Syafi’i. Menurutnya, pendelegasian penentuan hukum kepada seorang ilmuwan itu diperkenankan, tetapi dalam kenyataannya tidak pernah terjadi. Alasannya adalah bahwa sekalipun hal ini dibolehkan, maka hal itu tidak akan mengurangi keagungan zat Allah SWT. Karenanya, secara logika hal itu dibolehkan. Tetapi, berdasarkan induksi dari berbagai nash kasus ini tidak dijumpai.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musawwibah dan mukhatti’ah adalah dua kelompok yang berbeda pandangan dalam ijtihad, yang mana kelompok musawwibah adalah kelompok yang menyatakan benar dan mukhatti’ah kelompok yang menyatakan salah.
Dan dapat disimpulkan bahwa ijtihad itu diperlukan sekali oleh syari’at walaupun untuk mujtahid diperlukan syarat-syarat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve:Jakarta,1996.
Mu’allim Amir, Yusdani, Ijtihad (Suatu Kontoversi Antara Teori dan Fungsi), Cetakan I, Titian Ilahi Press,1997.
0 comments:
Posting Komentar