PENDAHULUAN
Ushul Fiqih merupakan cara untuk menggali dan menetapkan hukum Islam, dengan melalui ushul fiqih ini pun dapat ditemukan jalan keluar permasalahan.
Dimana dalam ushul fiqih membahas tentang lafal dalil ushul fiqih yang mana terbagi-bagi, salah satunya yaitu masalah ‘am dan khas. Maka kami akan membahas atau meninjau lebih dalam lagi tentang ‘am dan khas dalam makalah ini.
Adapun rumusannya sebagai berikut:
● Pengertian ‘am.
● Jenis-jenis ‘am beserta contohnya.
● Pengertian lafal khas.
● Pengertian mutlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘AM
1. Pengertian ‘Am dan Lafal ‘Am
‘Am menurut bahasa artinya merata atau yang umum, sedangkan menurut istilah yaitu:
اللَّفْظُ الْمُسْتَفْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة ً
Artinya:
“Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus.”
Lafazh ‘am ialah suatu lafal yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Dengan pengertian lain, ‘am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas. Misalnya, al-insân yang berarti manusia.
2. Jenis-jenis ‘Am
Lafal ‘am mempunyai beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Lafal kullun, jami’un, kaffah, ma’syar (artinya seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu, misalnya:
1. Kullun
Artinya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)
2. Jami’un
...
Artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya.” (QS. al-Baqarah: 29)
3. Ma’syar
...
Artinya:
“Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-An’am: 130)
4. Kaffah
...
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS. Saba: 28)
b. Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (di mana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan, misalnya:
1. Man (siapa)
...
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah)?” (QS. al-Baqarah: 245)
2. Ma (apa)
Artinya:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" (QS. al-Muddasir: 42)
3. Ayyun (siapakah)
Artinya:
“Siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. an-Naml: 38)
4. Mata (kapan)
Artinya:
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
5. Aina (di mana)
أيْنَ مَسْكَنُكَ؟
Artinya:
“Di manakah tempat tinggalmu?”
c. Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja), misalnya:
1. Man (barang siapa)
...
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. an-Nisa: 123)
2. Ma (apa saja)
Artinya:
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Baqarah: 272)
3. Ayyun (yang mana saja)
...
Artinya:
“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS al-Isra: 110)
4. Ayyuma (siapa saja)
أيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ (رواه أحمد)
Artinya:
“Siapa saja perempuan yang minta ditalak kepada suaminya tanpa alasan maka haram baginya wangi surga.” (HR. Ahmad)
d. Isim mufrad yang ma’rifah dengan alif lam (al) atau idhafah:
...
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (QS. al-Maidah: 38)
Ma’rifah dengan idhafah
...
Artinya:
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS. Ibrahim: 24)
e. Jama’ yang dita’rifkan (ma’rifah) dengan alif lam atau dengan idhafah:
1. Ma’rifah dengan alif lam (al):
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. al-Maidah: 42)
2. Ma’rifah dengan idhafah:
...
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (QS. an-Nisa: 23)
f. Isim nakirah yang terletak sesudah Nafi:
Misalnya:
مَا رَأَيْتُ رَجُلاً
Artinya:
“Aku tidak melihat seorang pun.”
...
ِِArtinya:
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.” (QS. al-Baqarah: 48)
Kalimat nafsun = seorang pun, yang jatuh sesudah nafi (la = tidak) yakni tidak tertentu, dan ditujukan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
g. Isim mausul (alladzi, alladzîna, allâtî, mâ, dan sebagainya):
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. an-Nisa: 10)
Lafal ‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Lafal umum yang tidak mungkin ditakhsiskan, seperti dalam firman Allah:
...
Artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Huud: 6)
...
Artinya:
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. al-Anbiya: 30)
Kedua ayat di atas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk karena dilalah-nya qat’i yang tidak menerima takhsis.
2. Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah:
...
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Ali Imran: 97)
Lafal manusia dalam ayat di atas adalah lafal umum, yang dimaksud adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantaraan akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal, seperti anak kecil dan orang gila.
3. Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditakhsis seperti dalam firman Allah:
...
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS. al-Baqarah: 228)
Dalam uraian yang dikemukakan di atas diterangkan bahwa al-Quran dapat ditakhsiskan.
Al-Quran dapat juga ditakhsiskan dengan hadis mutawatir, seperti ayat yang berbicara tentang hukuman pencurian yang diterangkan dalam surat al-Maidah ayat 38 dikenakan kepada setiap pencuri tanpa memperhatikan jumlah barang yang dicurinya. Namun, ditemukan hadis yang memberikan takhsis dari keumuman ayat itu ialah hadis yang berbunyi:
اِقْطَعُوْا فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ وَلاَتَقْطَعُوْا فِيْمَا اَدْنىَ ذلِكَ (رواه أحمد عن عائشة)
Artinya:
“Potonglah tangan pencuri yang mencuri jumlah seperempat dinar dan jangan potong kurang dari seperempat dinar.” (HR. Ahmad dari Aisyah)
Dalam hal ini, kita mengambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut. Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW (merupakan contoh dari lafal ‘am karena sebab khusus), katanya:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ ِمنَ المَاءِ فإَنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِسْنَا أَفَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ ص . م : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ (رواه الترمذى)
Artinya:
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehausan, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: Laut itu suci dan binatangnya halal (dimakan)” (HR. Tirmidzi)
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi SAW. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.
B. KHAS
1. Pengertian Lafal Khas
Disamping lafal ‘am ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am. Lafal khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi, seperti lafal Ar-Rijâl (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
2. Hukum Lafal Khas
Lafal yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada sauatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafal khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
Atas dasar itu, maka kata tsalâtsatin pada firman Allah yang berbunyi:
...
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah makna-nya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi…
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
Mengandung arti khas yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukkan lafalnya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafal-lafal khas, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qat’iyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya (al-wad’ al-haqiqi).
3. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khas
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khas adalah qath’i. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafal khas yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafal khas itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya lafazh khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khas itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan dengan penjelasan lafazh khas sebagai pembantu untuk penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khashas itu tidak memerlukan penjelasan lain. (M. Abu Zahrah, tt.; Abu Hanifah; 261)
b. Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khas al-Quran itu qath’i dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalah-nya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khas yang qath’i itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur Ulama, antara lain, Safi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khas itu dilalah-nya qath’i, namun, tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha’-nya (asal pemasangannya). Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
b. Lafazh khas al-Quran menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih, misalnya, pengertian ruku’ pada ayat:
وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّكِعِيْنَ
Artinya:
“Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat itu sebagaimana lafazh khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku’ yang diperintahkan pada ayat itu merupakan bagian fardhu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
قُمْ فَصَلِّ لِاَنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Artinya:
“Berdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat”
4. Macam-macam Lafal Khas
Lafal khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafal itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
Dengan demikian, macam-macam lafazh khas mencakup: mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
C. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. Pengertian Mutlaq
المُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ المَاهِيَةِ بِلاَ قَيْدٍ
Artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain.”
Mutlaq berarti juga suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Maksud dari lafal yang diatas tersebut masih dalam keadaan asli dan bebas dari pengaruh hal-hal yang lain. Lafal ini disebut mutlaq/al-Mutlaq.
Contoh pertama yaitu perkataan aidiyakum (بوُجُوْهِكُمْ وَأيْدِيَكُمْ) pada surah an-Nisa ayat 42 yang artinya: “Apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu.”
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai dimana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Contoh kedua yaitu lafal Raqabatin (فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ ) pada surah al-Mujadalah ayat 3 yang artinya: “Maka hendaklah engkau memerdekakan budak (raqabah).”
Dalam ayat ini tidak diterangkan budak yang bagaimana, jadi tidak dibatasi dengan sifat atau syarat lainnya.
2. Pengertian Muqayyad
المُقَيَّدُ مَا دَلَّ عَلىَ المَاهِيَةِ بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
Artinya:
“Muqayyad atau al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.”
Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qâid (القَائِدُ)
Contoh perkataan Wa aidiyakum ilal marâfiqi pada surah al-Maidah ayat 6 yang artinya: “Maka basuhlah tanganmu sampai siku-siku.”
Ayat ini menerangkan sola wudhu, yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Di sini jelaslah bahwa lafal aidiyakum (أيْدِيَكُمْ) ini disebut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafal ilal marâfiqi (إلى الْمَرَافِقِ) disebut Al-Qâid yang kadang-kadang disebut dengan kata qaid.
Contoh lain adalah perkataan Raqabatin Mu’minatin pada surah an-Nisa ayat 92 yaitu:
Artinya:
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Dalam ayat ini, terdapat ketentuan yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus memerdekakan budak yang mukmin saja (dalam soal pembunuhan yang tidak disengaja).
3. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi).
Maksud lafal mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan yang lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus berbeda.
4. Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad
a. Persamaan Sebab dan Hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada yang muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafal Tsalâtsata ayyâm yang artinya tiga hari, bentuknya mutlaq, sebagaimana yang terdapat dalam ayat,
Artinya:
“Maka barang siapa yang tidak mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari.” (QS. al-Maidah: 89)
b. Sebabnya Berbeda tetapi Hukumnya Sama
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum) maka bagian ini diperselisihkan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contoh lain adalah ayat tayammum dengan bentuk mutlaq seperti dalam firman Allah:
Artinya:
“Sapulah mukamu dan tanganmu.” (QS. an-Nisa: 43)
Sedangkan dalam ayat wudhu dengan bentuk muqayyad, seperti firman Allah:
Artinya:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Maidah: 6)
Jika yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad (sebagaimana kata Imam Syafi’i, maka mengusap tangan dalam tayammum harus sampai siku sebagaimana halnya wudhu. Sedangkan Imam yang lain tidak mengharuskan sampai siku.
c. Perbedaan Hukum dan Sebab Perbedaan dalam Hukumnya Saja
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya, dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satunya diharuskan adil (muqayyad) dan yang lainnya diharuskan memerdekakan budak (mutlaq).
Apabila yerjadi perbedaan dalam hukumnya, maka tidak ada perselisihan antara ulama ushul bahwa yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya perkataan:
اشْتَرِ رَقَبَةً وَاَعْتِقْ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً
Artinya:
“Belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin”
Jadi hubungan antara mutlaq dan muqayyad itu ada empat, yaitu:
a. Persamaan hukum dan sebab, yang mutlaq harus diikutkan pada yang muqayyad.
b. Persamaan hukum dan berlainan sebab, yang ini diperselisihkan ulama ushul, apakah yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad ataukah tidak.
c. Perbedaan hukum dan sebab, yang mutlaq boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
d. Perbedaan hukum dan persamaan sebab, yang mutlaq juga tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
5. Penggunaan Lafal Mutlaq dan Muqayyad
Jika terdapat suatu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafal dan muqayyad pada lafal yang lain, digabungkan mutlaq kepada muqayyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan hukumnya. Seperti hadis tentang kafarat puasa.
صُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَبِعَيْنِ (متفق عليه)
Artinya:
“Puasalah kamu dua bulan berturut-turut.” (Mutafaqun ‘alaihi)
Digabungkan dengan hadis:
صُمْ شَهْرَيْنِ
Artinya:
“Puasalah kamu dua bulan.”
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Jadi ‘am adalah lafal yang meliputi pengertian umum terhadaap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu dengan hanya disebut sekaligus, dan khas adalah perkataan atau sususnan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum.
Adapun jenis-jenis ‘am:
1. Laafal kullun, jami’un, ma’syar, kaffah.
2. Isim istifham: man (siapa), ma (apa), ayyun (siapakah), mata (kapan), aina (di mana).
3. Isim syarat: man (barang siapa), ma (apa saja), ayyun (mana saja), ayyuma (siapa saja)
4. Isim mufrad
5. Jama’ yang ditakrifkan: ma’rifah dengan alif lam (al) dan ma’rifah dengan idhafah
6. Isim Nakirah
7. Isim Mausul
Mutlaq berarti juga suatu lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Muqayyad atau al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu. Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qâid (القَائِدُ)
DAFTAR PUSTAKA
● Firdaus. Ushul fiqih. Jakarta, Zikrul Hakim, 2004.
● Syafe’i, Prof. Dr. Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. t.t, Pustaka Setia, 2007.
0 comments:
Posting Komentar