DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat
serta Hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan Makalah tentang Filsafat
Kontemporer. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan pada junjungan kami,
Nabi besar Muhammad SAW.
Harapan saya
semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. Sehingga dengan
Makalah Filsafat Kontemporer ini kita bisa memberikan sedikit ilmu dan
pengetahuan pada para pembaca.
Saya juga mohon
maaf apabila ada kesalahan yang kami sengaja maupun tidak disengaja, karena
manusia tidak pernah lepas dari kesalahan. Kritik dan saran membangun selalu saya
tunggu, agar kedepannya saya bisa lebih baik dalam penyusunan makalah.
Terima kasih.
Banjarmasin, Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Filsafat
Kontemporer
B. Aliran-Aliran Filsafat
Kontemporer
BAB III SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan
perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu
kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu
sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Zaman klasik
meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M.
Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M
dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran
tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan berakhir
pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang
meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.
Para penulis
merasa kesulitan ketika hendak menulis filsafat kontemporer, hal ini
dikarenakan mereka harus mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri
sehingga mereka sangat berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.
Kali ini saya
akan mencoba menguraikan filsafat fenomenologi tentang hakikat suatu benda
sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran serta filsafat eksistensialisme
tentang manusia konkret sebagai pokok renungan dari ajaran filsafat ini. Namun sebelumnya
akan diuraikan secara ringkas mengenai filsafat yang membawahinya yakni
filsafat kontemporer agar diperoleh gambaran komperhensif tentang posisi semua
aliran filsafat kontemporer dalam kontelasi sejarah pemikiran Barat.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana filsafat
kontemporer?
2.
Apa saja aliran-aliran
filsafat kontemporer?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan di atas maka
permasalah yang akan dibahas berikut bertujuan untuk:
1.
Menjelaskan bagaimana
filsafat kontemporer
2.
Menjelaskan apa saja aliran-aliran
filsafat kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. FILSAFAT KONTEMPORER
“There is No
Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu
untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak
pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada
kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi
yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata
masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran
yang disebut Fisafat Kontemporer.
Segi kekurangan
tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang
gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan
tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian
terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan
(feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan
(knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit
dipertahankan dengan argumentasi logis.
Disebabkan karena
tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang
khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat
paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah
paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat
perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan
Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau
dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris
manusia menempati center court. Paradigma antroposentris itu muncul dengan
terang benderang di panggung filsafat dalam abad ke-17.
Penggeseran yang
lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan
apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti
hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang
bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke
filsafat kritis yang mau membebaskan.
Namum dalam
faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami
pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah
filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio
merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran.
Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan
wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan
beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.
Pada abad ke-20
kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat
fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger,
dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental
terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran
Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah
Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan
bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling
terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan
Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai
praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno
kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari
pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran
keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang
terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan
Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya
menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak
segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui
satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana
penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih
ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang
tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.
Mengenai beberapa
aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan
bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan
aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas,
rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat
dalam abad ke-19 dan 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru
bermunculan, dan yang menarik aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu
negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada
abad kini diantaranya adalah positivisme, marxisme, eksistensialisme,
pragmatisme dan lainnya.
B. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
KONTEMPORER
Beberapa
aliran-aliran dalam filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme
Eksistensi
berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau
menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan
keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan
eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema pokok.
Secara umum
eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani
hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan
tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu
aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya
kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat
dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam
yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi
yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang
bereksistensi.
Eksistensialisme
merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret.
Ada beberapa ciri
eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia
dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan
pengalaman yang konkret.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi,
dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah
yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara
menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan
eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti
sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan
sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya).
Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu
dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi
eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang
lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali
manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi
esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari
eksistensialisme.
Tokoh-tokoh
Eksistensialisme:
1)
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikiran
dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan
harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan
atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2)
Friedrich Nietzsche
Menurutnya
manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3)
Karl Jaspers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya
ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan
obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4)
Martin Heidegger
Inti pemikirannya
adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang
berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5)
Jean Paul Sartre
Menekankan pada
kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk
menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
2.
Fenomonologi
Edmun Husserl
(1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof
dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat
fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati
realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck
zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti
dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil
jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan
gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai
hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau
fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya
sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak
perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat
secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa
menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang
menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa
adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara harfiah
fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode
pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat
Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin
ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari
“intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.
Filsafat
Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan
untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu
itu melalui reduksi.
Para ahli
tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati,
memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu
aliran filsafat.
Dalam pengertian
suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah
fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu
yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal
yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.
Membebaskan diri dari
anasir atau unsur subjektif,
b.
Membebaskan diri dari
kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.
Membebaskan diri dari
doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami
reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi
epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum
mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua,
fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi
tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga
dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak
terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang
tertinggi.
Tokoh-tokoh
fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty
(1908-1961).
3.
Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani.
Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang
kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya,
segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
William James (1842-1910
M), mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa
yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian
atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak
dapat dipergunakan itu keliru.
John Dewey (1859-1952
M), menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu
berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk
mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk
bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat
sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam
kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman,
penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.
4.
Sosialisme-Komunisme (Marxisme)
Teori Marxist
dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah
penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab
yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi
proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx
mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan
ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas
rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah
ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx
tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan
karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis.
Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat
panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim.
Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai
makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan
kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan
dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok
buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial
yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada
pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.
BAB III
SIMPULAN
Filsafat modern
telah dianggap lebih sempurna dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih
ada sisi kekurangannya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang
disebut Fisafat Kontemporer.
Ada dua
kekurangan pemikiran filsafat moderen: pertama, merasa bahwa penilaian terhadap
apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings)
dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua,
penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi
logis.
Secara harfiah
fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokoh fenomenologi adalah Edmund
Husser, Max Scheller, dan Maurice Merleau-Ponty.
Eksistensialisme
merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret. Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme antara lain: Soren Aabye
Kiekeegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, dan Jean Paul
Sartre.
Pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat
secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa
akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa
diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat
bagi hidup praktis”
Teori Marxist
dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah
penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab
yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi
proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba
mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi
kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx
menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum
elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
DAFTAR PUSTAKA
Fausi, imron. 2008. Tokoh-tokoh Pragmatisme. Tersedia pada (http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/pragmatisme/)
Muntansyir, Riza dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar
Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Poeja, Wijatna. 2005. Pembimbin ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam
Bayang-Bayang Lenin: Enan Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka.
Jakarta: PT Gremedia Pustaka Utama
Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat
Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia
Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada
(http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html.
________. 2008. Pandangan
Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html)
0 comments:
Posting Komentar