DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kaligrafi?
2. Bagaimana Asal-Usul Kaligrafi?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam?
4. Bagaimana Nafas Kaligrafi Nusantara di Era Modern?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Kaligrafi
2. Mengetahui Bagaimana Asal-Usul Kaligrafi
3. Mengetahui Bagaimana Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam
4. Mengetahui Bagaimana Nafas Kaligrafi Nusantara di Era Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaligrafi
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”.
Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
B. Asal-Usul Kaligrafi
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar. Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun. Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab.
C. Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
Seni kaligrafi pada dasarnya telah di perkembangkan demi untuk menghasilkan salinan-salinan al-Quran serta teks-teks agama dengan cantik. Selepas abad ke-14, berlaku perkembangan kaligrafi terutamanya di Parsi, Turki dan India. Ahli kaligrafi terkenal diberikan hadiah yang banyak dan diberikan kedudukan yang istimewa oleh para putera raja dan orang-orang besar di seluruh dunia Islam. Beberapa pemerintah yang masyhur telah mendirikan sekolah-sekolah dan pusat-pusat seni kaligrafi.
Bentuk huruf di dunia ini, pada mulanya merupakan tanda-tanda sangat sederhana yang telah di temukan. Diantaranya:
a. Tulisan Arab yang di gunakan sekarang berasal dari proses terakhir dari tulisan Mesir Kuno.
b. Muncul tulisan Finiqi dan kemudian timbul tulisan Aram (suku Syam Kuno) di Palestin dan Iraq.
c. Tulisan berkembang mengikut daerah sehingga tulisan Musnad berganti bentuk sesuai dengan suku kaum yang menggunakannya.
d. Tulisan Musnad telah di kalahkan oleh tulisan Kindi (suku sebelah Selatan Jazirah sebelum Islam) dan Nabthi.
e. Kemudian tulisan itu disempurnakan oleh suku Hirah dari Anbar (Iraq). Ia juga adalah penyempurnaan dari tulisan Musnad. Tulisan ini mirip dengan tulisan Arab yang digunakan sekarang ini, cuma ada perubahan sedikit sahaja.
Dalam asal usul huruf Arab, pembentukan abjad Arab seperti yang di kenal pada masa awal Islam memakan masa berabad-abad. Mereka mengenali kaligrafi melalui berbagai-bagai sumber yang sampai ke Hijjaz pada abad 6 M. Dari inskripsi yang ada, huruf Arab berasal dari huruf Nabatea, Hiri dan Anbari yang di bawa masuk oleh ahli perniagaan Quraisy.
1. Perkembangan Awal Kaligrafi Zaman Umawiyyah (661-750 M.)
Perhatian umat Islam terhadap tulisan dengan berawalnya al-Quran. Pertalian langsung antara tulisan dan nilai-nilai keagamaan ini menjadikan kaum muslimin selalu termotivasi untuk terus mengembangkannya. Ini kerana pemerintahan zaman ini amat menitikberatkan kemajuan seni kaligrafi kerana ia sangat diperlukan samada dalam penulisan mushaf, ukiran dinding, mencetak mata wang mahupun surat menyurat.
Satu kenyataan dimana bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa utama umat Islam dan ia mempunyai fungsinya tersendiri. Empat atau lima salinan pertama pada zaman Khalifah Uthmani menjadi naskah penyalinan al-Quran yang disebut sebagai Resm Uthmani dan dari sinilah semua salinan al-Quran dibuat. Zaman ini juga berlaku pembaharuan aspek peletakan titik huruf oleh Abu al-Aswad al-Dua'li dan keseimbangan baris-baris bacan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Beberapa bentuk kaligrafi ini dinamakan berdasarkan nama kota tempat berkembangnya tulisan. Bukti menunjukkan bahawa tulisan yang terkenal di Mekah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Muthallath (segitiga) dan Ti’m (gabungan segitiga dan bundar). Gaya-gaya kaligrafi lain yang berkembang di Kufah dan Basrah adalah Masyq, Tajawid, Sitawati, Mashu’, Munabaz, Murasaf, Isbahani, Sijjili dan Firamuz yang berasal dari Parsi. Gaya Masyq dan Naskhi berkembang pesat sementara Ma’il semakin tidak dipakai lagi kerana kalah dengan wujudnya gaya Kufi.
Qutbah al-Muharrir merupakan ahli kaligrafi di zaman Umawiyyah yang termasyhur kerana bakatnya yang luar biasa. Beliau menemukan empat tulisan utama yaitu Thumar, Jalil, Nifs dan Thuluth. Beliau mengembangkan tulisan tersebut dengan gaya lainnya sehingga menjadi lebih sempurna hinggakan digelar sebagai penulis kaligrafi terbaik di dunia. Bagaimanapun, khalifah pertama Bani Umawiyyah yaitu Mu'awiyyah bin Abu Sufyan (661-680) merupakan pendorong utama dalam pencarian bentuk-bentuk baru kaligrafi Islam.
Tulisan Thumar pada zaman Umawiyyah banyak digunakan dengan meluas terutama untuk komunikasi bertulis Khalifah kepada ketua-ketua dan penulisan dokumen rasmi Istana. An-Nadim dalam kitab al-Fihrist memberi keterangan tentang 24 tulisan yang ada pada masa ini terbahagi masing-masing kepada 12 tulisan. Bahkan 24 tulisan tersebut berasal dari empat tulisan yaitu Jalil, Thumar al-Kabir, Nisf as-Thaqil dan Thuluth as-Thaqil. Namun yang paling berpengaruh adalah Thumar dan Jalil.
Dalam perkembangan di zaman Umawiyyah adalah menekankan kemajuan seni kaligrafi Arab kerana ia sangat penting untuk penulisan. Sistem tulisan di zaman ini semakin berubah dalam proses pencarian bentuk-bentuk lain yang sebelum ini hanya di monopoli oleh jenis Kufi. Walau bagaimanapun, zaman Abasiyyah telah menghancurkan sebahagian besar peninggalan-peninggalannya sehingga sejarah kaligrafi pada zaman ini tidak terungkap secara menyeluruh. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang ada seperti di Qubbah ash-Shahkrah (The Dome of the Rock).
2. Perkembangan Teknik Kaligrafi pada Zaman Abasiyyah (750-1258 M.)
Waris tradisi kaligrafi di awal zaman Abasiyyah mencatat sebuah nama besar yang sering disebut-sebut hingga kini yaitu Ibnu Muqlah. Pada zaman ini menyaksikan kemuncak pembaharuan seni kaligrafi Islam yang pelbagai malahan kemunculan Ibnu Muqlah di anggap sebagai pembuka tirai sejarah pembaharuan dalam arena seni kaligrafi Islam. Sejak usia mudanya telah menunjukkan kepintaran dalam bidang ini bersama saudaranya Abu Abdullah. Kemasyhuran Ibnu Muqlah atas jasanya menerapkan kaedah-kaedah penulisan berdasarkan ukuran geometri. Ada tiga unsur kesatuan dalam pembuatan huruf yaitu titik, huruf alif dan lingkaran. Setiap huruf dalam teori Ibnu Muqlah disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang bersandar).
Ibnu Muqlah berjasa dalam pemakaian enam tulisan asas (al-Aqlam al-Sittah). Beliau sangat berjasa dalam membangunkan tulisan Naskhi dan Thuluth dalam karyanya yang sebelum ini didominasi Kufi dan gaya-gaya kecil yang lain.
An-Nadim dalam kitab al-Fihrist menyebut, Ibnu Muqlah dan saudaranya Abu Abdullah sahaja yang mencapai kesempurnaan menyeluruh. Pada masa ini penjenamaan dan penyalinan buku-buku begitu pesat. Bahkan ramai cendekiawan berbagai ilmu lahir pada zaman ini. Bagaimanapun kaligrafi bukan sekadar urusan pembuatan huruf-huruf sahaja tetapi menjadi bahagian dari tradisi intelektual yang ada.
Kepintaran Ibnu Muqlah menurun dan diikuti oleh Ibnu Bawwab yang telah mengembangkan sistem kaligrafi bernisbah. Sumbangan Ibnu Bawwab terhadap kaligrafi Arab khususnya terhadap al-Aqlam al-Sittah. Beliau mempunyai pembaikan gaya Naskhi dan Muhaqqaq. Pada abad berikutnya, muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru lagi dalam memperkaya kaligrafi Arab.
Penampilan baru gaya Thuluth dikenal sebagai Yaquti dan Yaqut adalah penulis kaligrafi terbesar di masa-masa terakhir zaman Abasiyyah yang jatuh ke tangan tentera Mongol. Pemakaian kaligrafi pada zaman Abasiyyah menunjukkan keberagamaan yang sangat nyata dan jauh apabila dibandingkan dengan zaman Umawiyyah. Untuk karya-karya yang digunakan masa awalnya Abasiyyah yang dipakai adalah gaya Kufi. Kemudian baru munculnya Naskhi dan Thuluth terutama pada abad ke-10.
Sementara itu, di wilayah Islam bahagian Barat termasuklah Andalusia (Sepanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk tulisan yang disebut Khat Maghribi. Selepas itu, muncul pertumbuhan kaligrafi masuk ke zaman kerajaan Islam Parsi seperti Ilkhanid (abad ke-13), Timurid (abad ke-15), dan beberapa kerajaan lain seperti Turki Uthmani (abad ke-14 hingga ke-20) dan lain-lain. Pada masa ini, bermula tumbuhnya gaya-gaya tulisan baru seperti Farsi & Nasta'liq, Diwani & Humayuni, Tugra dan lain-lain.
Kini, sebahagian ratusan jumlah gaya kaligrafi telah pupus dan kini hanya tinggal beberapa gaya yang paling popular di dunia Islam yaitu Naskhi, Thuluth, Raihani, Diwani, Req'ah, Farisi dan Kufi.
Seni kaligrafi begitu besar pengaruhnya terhadap al-Quran yang menyentuh setiap aspek kehidupan Muslim sehingga mengangkat kaligrafi ke puncak seni yang di anggap suci. Oleh kerana berkembangnya Islam ketika ini, tokoh kaligrafi Libanon yaitu Kamil al-Baba mengatakan bahawa penulisan al-Quran dengan indah telah mendorong kaum Muslimin mengubah nama kaligrafi Arab kepada kaligrafi Islam. Ini kerana besarnya peranan Islam dalam usaha mengembangkan kaligrafi Arab, maka sebutan seni kaligrafi Islam lebih popular daripada sebutan seni kaligrafi Arab.
3. Perkembangan Kaligrafi di Belahan Barat Islam
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Qur’an dalam gaya Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti al-Khan yang bertahan sampai abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian istimewa. Ia mempunya perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’i yang menyalin al-Qur’an tahun 1408 dalam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq akhirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikal yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oleh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman saja, tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-Amiz, Diwani dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq dan Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
4. Kaligrafi Pada Masa Awal Islam di Nusantara
Perlu diketahui bahwa dokumen yang memuat catatan penyebaran Islam di Nusantara atau yang valid mengungkapkan proses penyebaran Islam di Nusantara sangatlah jarang, kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Dari hal itu, maka sulit juga mengidentifikasi masa penyebaran kebudayaan Islam di Nusantara. Meskipun demikian, catatan perjalanan Ibnu Batutah yang melakukan pengembaraan di Asia dan sempat singgah di Sumatera pada tahun 1345 serta mendapati penduduk setempat beragama Islam, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa tulisan Arab beserta seni tulis menulisnya pada masa itu sudah dikenal di Nusantara.
Peninggalan kesenian Islam tertua di Nusantara juga ditemukan di Sumatera, tepatnya di petilasan kerajaan Pasai. Peninggalan tersebut berupa batu nisan atau makam bergaya Islam yang diperkirakan berasal dari Abad 13. Batu nisan tersebut berbentuk ukiran yang terbuat dari batu pualam bertuliskan tulisan Arab dengan hiasan yang sangat kaya. Tidak salah jika kemudian kaligrafi ditengarai dapat menjadi penanda masuknya Islam di Nusantara, yang banyak ditemukan pada pahatan-pahatan indah nisan makam-makam kuno. Penelitian arkelogis untuk membuktikan asumsi bahwa kaligrafi menjadi penanda masuknya Islam di Nusantara dilakukan oleh Hasan Muarif Ambary, guru besar arkeologi Universitas Indonesia. Ia menemukan bukti tersebut pada nisan makam-makam kuno seperti di kerajaan Islam Aceh, makam Troloyo Mojokerto, Kraton Cirebon, Ternate, Jawa, Madura serta wilayah lain di Indonesia. Pada nisan-nisan yang menjadi objek kajian arkeologisnya tersebut ditemukan berbagai model seni tulis kaligrafi, di antaranya kaligrafi dengan gaya tulisan Kufi, Tsulutsi, Nastaliq, bahkan kontemporer.
Tidak hanya menjadi penanda pada nisan, kaligrafi juga menjadi bagian penting dalam penulisan materi pelajaran proses penyebaran Islam, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, tulisan pada mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Maka dalam perkembangannya kita mengenal huruf Arab yang dipakai dalam bahasa lokal, seperti huruf Arab Melayu dan Arab Jawa atau Arab pegon yang banyak digunakan dalam penulisan kitab-kitab ajar di pesantren di Jawa.
Pada perkembangan selanjutnya, seni kaligrafi berkembang sejalan dengan berkembangnya pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, dan penyebarannya merambah ke pelosok-pelosok daerah. Namun, perjalanan perkembangan kaligrafi dalam budaya Nusantara bukanlah tanpa menemui tantangan. Pada masa permulaan Islam di Indonesia, ada periode di mana penampilan kaligrafi atau khath kurang begitu mendapatkan tempat karena penerapan kaligrafi sebagai wujud dekorasi sangat terbatas. Arsitektur pada masa permulaan Islam seperti yang ditemukan pada masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak, dan Kudus tidak banyak memberikan ruang pada kaligrafi karena lebih banyak dipadukan dengan motif hias tradisional seperti ornamen-ornamen atau ukiran jawa. Selain itu, kaligrafi sering dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan). Beberapa aspek tersebut menandakan bahwa kaligrafi Islam tidak independen sebagai cabang seni rupa. Sehingga pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih menitikberatkan pada muatan nilai-nilai fungsional ketimbang nilai estetis (Ahmad Suudi, 1995).
5. Kaligrafi Abad 16 Hingga Abad 20 di Nusantara
Sebagai bagian atau salah satu jenis seni rupa, kaligrafi menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi sedemikian rupa agar bernilai estetis. Keindahan kaligrafi tidak hanya berlaku untuk atau dari asal jenis huruf tertentu. Sebagai contoh, kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain. Sehingga kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Oleh karenya dalam perkembangan Islam di Indonesia, meskipun perkembangan kaligrafi juga menghdapi tantangan, kaligrafi yang bersifat universal mampu berkolaborasi dengan budaya asli, dari masa ke masa.
Budaya asli Indonesia yang sangat kaya membuat seni kaligrafi Islam bernegosiasi dalam proses akulturasi dengan seni tulis indah milik budaya lokal, hingga pada akhirnya menyusup ke berbagai macam kesenian tradisional budaya lokal. Perpaduan keduanya bisa dikatakan sebagai manifestasi kesenian Islam Indonesia. Dalam bentuk yang paling sederhana, misalnya, kaligrafi hadir sebagai unsur pelengkap pintu gerbang masjid, istana atau hiasan pada senjata semisal keris. Kaligrafi juga diolah dalam bentuk panji-panji atau bendera kebesaran kerajaan Islam. Salah satunya yang berlafalkan La ilaha illallah, Muhammadun Rasulullah dikibarkan dalam panji-panji peperangan terbuka antara pasukan kerajaan Islam dan non-Islam di Nusantara. Wujud lain kaligrafi yang lebih canggih terdapat pada kebanyakan hiasan masjid-masjid kerajaan seperti yang tertuang pada langit-langit, mihrab, atau mimbarnya.
Di sisi lain, perkembangan kaligrafi juga bertemu-padu dengan berkembangnya pesantren yang dirintis oleh para wali, yang merupakan tempat santri menimba dan memperdalam ajaran Islam. Pesantren rintisan para wali tersebut diantaranya Giri Kedaton, Pesantren Ampel Denta di Gresik, dan Pesantren Syeikh Qura di Karawang. Dalam dunia pesantren, para santri diajarkan ilmu baca dan tulis Alquran. Operasional sistem pendidikan dan pengajaran yang umum berlaku di pesantren biasanya dipraktikkan dengan aktivitas kyai membacakan kitab disertai terjemahan dengan bahasa Jawa lalu disertai ulasan yang cukup, sementara para santri secara berjamaah patuh mendengarkan dan menyerap ilmu yang terkandung dalam tutur kata kyai. Para santri sembari mendengarkan juga menuliskan makna atau terjemahan pelajaran yang disampaikan kyai ke dalam badan tulisan pada kitab. Maka, pelajaran kaligrafi juga diberikan mengiringi pelajaran agama seperti Alquran, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Tulisan yang diajarkan mula-mula, karena sifatnya penting untuk menunjang santri mencatat pelajaran dari kyai, adalah gaya tulisan yang sangat sederhana, seperti gaya tulisan Riq’i atau Kufi yang secara umum condong ke kanan. Kaligrafi dengan gaya tulisan Riq’i memang sederhana. Presisi ukuran panjang-pendek, tinggi-rendah, atau besar-kecil huruf bukan yang utama. Tulisan gaya ini relatif dapat ditulis dengan cepat. Setelah para santri semakin terbiasa dan mahir menulis Arab, baru muatan pelajaran khath dengan gaya tulisan yang lebih estetis dan lebih rumit diajarkan. Model pengajaran di pesantren seperti ini menyebabkan pesantren punya andil dalam mengembangkan dunia tulis menulis Arab dan kaligrafi.
Pada Abad ke-18 sampai Abad ke-20, banyak seniman kaligrafi di Nusantara melakukan terobosan-terobosan baru dalam dunia kaligrafi. Pada abad ini kaligrafi diwujudkan dalam aneka media seperti kertas, kayu, logam, dan media-media seni lainnya. Dinamika perubahan di masyarakat turut mempengaruhi nafas kaligrafi itu sendiri, yaitu seiring banyaknya impor kertas pada Abad 17, maka banyak khattath atau kaligrafer yang menuliskan Alquran. Hasilnya, kini banyak dijumpai atau ditemukan naskah Alquran kuno yang ditulis pada abad ini.
Yang cukup progressif dan mendapat sorotan mengenai seni kaligrafi Islam pada Abad 18 hingga Abad 20 tentunya adalah keinginan para kaligrafer untuk mengelaborasi kaligrafi dengan gambar makhluk hidup seperti hewan, meskipun dalam Islam sendiri ada anjuran untuk tidak menggambar makhluk hidup. Abad 17 dan sesudahnya, beberapa seniman kaligrafi Islam di Nusantara banyak menggambar makhluk hidup dengan hiasan atau kemasan kaligrafi ayat alquran atau qaul (tutur) ulama, bahkan ada khattath yang membuat karya kaligrafi yang menggambarkan jiwa kepahlawanan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Karya kaligrafi seperti ini banyak diproduksi oleh kraton Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, dan Palembang. Sampai akhir periode ini, tidak ada seniman kaligrafi yang populer namanya. Sementara bentuk huruf khath yang digunakan condong pada gaya-gaya Kufi, Naskhi, Tsulusi, Muhaqqaq, Raihani, Tauqi, dan Riq’i yang ngetrend di Timur Tengah.
D. Nafas Kaligrafi Nusantara di Era Modern
Sejak kemunculannya di tanah Arab, seni kaligrafi Islam tidak pernah absen mewarnai perkembangan masa dan perkembangan kehidupan manusia. Dari masa ke masa, dari negeri ke negeri, seni kaligrafi Islam selalu mengiringi perjalanan kebudayaan para pelaku kehidupan. Termasuk pada masa seni rupa modern, kaligrafi Islam juga tetap eksis bahkan dapat dikatakan lahir kembali. Jika ditelaah lebih dalam, kemunculan seni kaligrafi Islam di Nusantara pada masa seni rupa modern dapat dilihat jejaknya pada masa 1940an. Kaligrafi modern ini muncul bukan melalui kelembutan tangan seorang seniman melainkan dari hasrat ekspresi para seniman modern. Seni rupa modern bangkit bersama semangat nasionalisme yang mendorong lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia.
Awal tahun 1970 pada saat masyarakat Islam semakin sadar akan arti pentingnya kaligrafi dalam kebudayaan Islam, lahirlah sebuah gerakan untuk lebih mengapresiasi teknik pengolahan kaligrafi Arab sebagai media ekspresi dalam lingkungan seni rupa modern, terutama seni lukis dan garis. Gerakan ini lahir dari para kaligrafer dan juga seniman seni rupa dalam disiplin lainnya, terutama angkatan generasi muda tahun 1970-an, seiring dengan kemunculan para pelukis yang mempopulerkan œlukisan kaligrafi atau œkaligrafi lukis sebagai bentuk pembedaan dengan œkaligrafi murni atau œkaligrafi tradisional yang lazim dikenal publik saat itu. Pelopor seni lukis kaligrafi modern di Indonesia antara lain Ahmad Sadali, A.D Pirous, Amri Yahya, dan Amang Rahman Zubair.
Popularitas kaligrafi lukis nampak jelas dalam pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980). Popularitas tersebut berlanjut dengan ragam kegiatan pameran-pameran kaligrafi di berbagai wilayah. Apalagi, dalam seni kaligrafi Islam modern juga diolah berbagai disiplin seni rupa lainnya, seperti lukis yang semakin membuat para kaligrafer bebas berkreasi menumpahkan ekspresinya dalam beragam corak kaligrafi. Hal ini membuat dunia kaligrafi Nusantara terasa terus menggeliat dan banyak diminati, baik dari sisi estetika maupun religiusitas.
Gairah perkembangan seni kaligrafi Islam di Indonesia selanjutnya nampak dengan digelarnya Festival Istiqlal II pada 1995. Dalam festival tersebut, dicanangkan program pengembangan sanggar kaligrafi. Tentu saja hal ini menggugah antusiasme para seniman kaligrafi untuk berbondong-bondong mendaftar dalam sayembara kaligrafi dalam festival tersebut. Bahkan, para peserta membentuk suatu karya kolektif yang dipelopori dengan kelahiran Mushaf Istiqlal (1995) dan Mushaf Sundawi (1997). Peristiwa ini kemudian menyedot animo para khattath nasional untuk membentuk sanggar kaligrafi di berbagai pelosok Nusantara.
Kini, kecenderungan seni kaligrafi Islam di Nusantara sangat variatif dan beragam. Bahkan sudah ada diantaranya melepaskan diri dari acuan baku gaya kaligrafi dengan bereksperimen membangun kaligrafi dengan unsur-unsur seni lukis. Hasilnya adalah sebuah seni kaligrafi yang bebas dan ekspresif. Sifat bebas dan ekspresif tersebut kemudian menjadi corak penting dalam seni kaligrafi Islam Nusantara secara khusus, bahkan juga mengilhami dunia seni rupa modern. Sumbangsih ini menimbulkan maraknya kegairahan berkreasi di kalangan pelukis dan khattath di Nusantara.
Meskipun mengalami banyak akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal, serta mengalami olahan dalam ragam rupa, seni kaligrafi Islam Nusantara tetap bermakna seni yang bersifat estetis dan spiritual bagi para penikmat seni kaligrafi. Kemunculan dan perkembangannya di Nusantara menempati posisi penting dalam peradaban Islam Indonesia dari masa ke masa. Nilai esensial dalam seni kaligrafi itulah yang menjadikan seorang khattath berbeda dengan seniman lukis ketika menginterpretasi ayat Alquran dalam tulisan indah. Ada nilai spiritual yang hanya dapat didapatkan dari karya seorang khattath, dan tidak bisa didapatkan dari karya seniman lain. Philip K. Hitti dalam karyanya, History of Arabs, menyebutkan “Seorang kaligrafer menempati kedudukan yang terhormat dan mulia melebihi kedudukan para pelukis karena banyak penguasa Muslim yang berusaha mendapatkan kemuliaan agama dengan cara memperindah salinan Alquran.”
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Dalam perkembangan di zaman Umawiyyah adalah menekankan kemajuan seni kaligrafi Arab kerana ia sangat penting untuk penulisan. Sistem tulisan di zaman ini semakin berubah dalam proses pencarian bentuk-bentuk lain yang sebelum ini hanya di monopoli oleh jenis Kufi. Waris tradisi kaligrafi di awal zaman Abasiyyah mencatat sebuah nama besar yang sering disebut-sebut hingga kini yaitu Ibnu Muqlah. Pada zaman ini menyaksikan kemuncak pembaharuan seni kaligrafi Islam yang pelbagai malahan kemunculan Ibnu Muqlah di anggap sebagai pembuka tirai sejarah pembaharuan dalam arena seni kaligrafi Islam. Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Popularitas kaligrafi lukis nampak jelas dalam pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980). Popularitas tersebut berlanjut dengan ragam kegiatan pameran-pameran kaligrafi di berbagai wilayah. Apalagi, dalam seni kaligrafi Islam modern juga diolah berbagai disiplin seni rupa lainnya, seperti lukis yang semakin membuat para kaligrafer bebas berkreasi menumpahkan ekspresinya dalam beragam corak kaligrafi. Hal ini membuat dunia kaligrafi Nusantara terasa terus menggeliat dan banyak diminati, baik dari sisi estetika maupun religiusitas.
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “
Dalam perkembangan di zaman Umawiyyah adalah menekankan kemajuan seni kaligrafi Arab kerana ia sangat penting untuk penulisan. Sistem tulisan di zaman ini semakin berubah dalam proses pencarian bentuk-bentuk lain yang sebelum ini hanya di monopoli oleh jenis Kufi. Waris tradisi kaligrafi di awal zaman Abasiyyah mencatat sebuah nama besar yang sering disebut-sebut hingga kini yaitu Ibnu Muqlah. Pada zaman ini menyaksikan kemuncak pembaharuan seni kaligrafi Islam yang pelbagai malahan kemunculan Ibnu Muqlah di anggap sebagai pembuka tirai sejarah pembaharuan dalam arena seni kaligrafi Islam. Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Popularitas kaligrafi lukis nampak jelas dalam pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980). Popularitas tersebut berlanjut dengan ragam kegiatan pameran-pameran kaligrafi di berbagai wilayah. Apalagi, dalam seni kaligrafi Islam modern juga diolah berbagai disiplin seni rupa lainnya, seperti lukis yang semakin membuat para kaligrafer bebas berkreasi menumpahkan ekspresinya dalam beragam corak kaligrafi. Hal ini membuat dunia kaligrafi Nusantara terasa terus menggeliat dan banyak diminati, baik dari sisi estetika maupun religiusitas.
DAFTAR PUSTAKA
Beg, M. Abdul Jabbar. 1988. Seni di dalam Peradaban Islam. Bandung: Penerbit Pustaka
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet.3. Jakarta: PT Inchtiar Baru Van Hoeve
Husain, Abdul Karim. t.t. Khat Seni Kaligrafi: Tuntutan Menulis Halus Huruf Arab.
http://akusuka-elfad.blogspot.com/2011/04/sejarah-perkembangan-kaligrafi.html
http://bocahsastra.wordpress.com/2011/12/20/sejarah-perkembangan-kaligrafi/
http://kaligraficantik.wordpress.com/2011/03/28/sejarah-seni-kaligrafi-islam-tren-dan-perkembangan-kaligrafi-islam-dari-masa-ke-masa/
http://kaligraficenter.jimdo.com/sejarah-kaligrafi/
http://lukisanmushaf.blogspot.com/2012/08/sejarah-perkembangan-kaligrafi-di.html
http://www.lazuardibirru.org/duniaislam/khazanah/Kaligrafi%20Dalam%20Jagad%20Kebudayaan%20Islam%20Nusantara%20%20%20Lazuardi%20Birru.htm
http://www.rumpunilmu.com/2012/05/kaligrafi-kontemporer.html
Samsudin, Abdul Ghani, dkk.. 2001. Seni Dalam Islam. PJ: Intel Multimedia dan Publication.
Sirojuddin D. AR. 2000. Seni Kaligrafi Islam. cet. I, edisi II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Situmorang, Oloan. 1993. Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya. cet. X . Bandung: Penerbit Angkasa
Suudi, Ahmad. 1995. Konsep Kaligrafi Islami Amri Yahya dalam Seni Lukis Batik. Yogyakarta: FPBS-IKIP
1 comments:
Kaligrafi adalah seni menulis indah
Posting Komentar