DOWNLOAD RATUSAN MAKALAH
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bentuk utama Seni Islam adalah kaligrafi yang berasal dari kata Perancis calligraphie dan kalligraphia kata Yunani yang berarti tulisan tangan yang indah. Salah satu alasan utama yang kaligrafi diberikan status alas dalam Islam adalah keyakinan Islam bahwa Allah SWT menggunakan bahasa Arab untuk menceritakan pesan ilahi-Nya kepada Nabi Muhammad dalam bentuk Al-Quran. Hal ini membuat suci bagi umat Islam di seluruh dunia.
Kedua Seni Islam tidak dapat digambarkan dengan menggunakan gambar karena itu menggunakan kata-kata sebagai kreativitas menghindari masalah ini juga. Dengan penemuan mesin cetak di negara-negara Eropa seni menulis kaligrafi sebagian besar menghilang.
Larangan gambar gambar memacu Kaligrafi di dunia Muslim ke ketinggian baru. Hal ini digunakan untuk meningkatkan indra estetika dalam arsitektur seni dekoratif koin perhiasan tekstil senjata peralatan lukisan dan manuskrip. Jadi Kaligrafi telah tertanam dalam setiap aspek dari masyarakat Islam.
Seni Islam dalam bentuk Kaligrafi ini paling sering ditemukan di masjid-masjid. Dinding dan langit-langit masjid dihiasi dengan ayat calligraphically tertulis. Ini prasasti ini dilakukan dengan cara yang sangat kompleks dan rumit. Formulir ini selanjutnya bercabang sesuai dengan penyebaran Islam melalui Dunia Arab Persia Kekaisaran Ottoman The benua India dan ke mana saja Islam tercapai. Selama ini berbagai daerah kaligrafi mencapai rasa yang unik sesuai dengan simbiosis budaya asli dengan budaya Islam.
Seni kaligrafi Islam telah berkembang menjadi bentuk yang sangat beragam ekspresi. Berbagai bentuk kaligrafi termasuk Diwani script script dan Ruqah Sini script. Diwani naskah ditemukan oleh Housam Roumini selama pemerintahan awal Turki Ottoman. Script Ruqah dianggap bentuk paling mudah dari script. Script Sini berasal dari Cina dan memiliki komponen terlihat dari kaligrafi Cina.
Seperti kaligrafi berkembang ahli kaligrafi besar banyak terlihat sepanjang waktu. Salah satu ahli kaligrafi tertua adalah Ibnu Muqlah. Dia dianggap sebagai salah satu trendsetter dari Kaligrafi. Dia adalah pencipta Seni Islam prinsip-prinsip geometris yang digunakan oleh ahli kaligrafi banyak yang mengikutinya. Jadi Kaligrafi telah memainkan bagian penting dalam pertumbuhan dan kemajuan dari bahasa Arab dan budaya Islam yang beragam.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa tokoh kaligrafi terkemuka yaitu Ibnu Muqlah, Hasyim Muhammad Al Baghdadi dan Yusuf Dzannun.
B. Rumusan
1. Bagaimana sejarah dan rumus tentang dasar kaligrafi Islam Ibnu Muqlah?
2. Bagaimana sejarah Hasyim Muhammad Al Baghdadi?
3. Bagaimana sejarah Yusuf Dzannun?
C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana sejarah dan rumus tentang dasar kaligrafi Islam Ibnu Muqlah
2. Mengetahui bagaimana sejarah Hasyim Muhammad Al Baghdadi
3. Mengetahui bagaimana sejarah Yusuf Dzannun
BAB II
PEMBAHASAN
A. IBNU MUQLAH
1. Sejarah Ibnu Muqlah
Al-Wazir Abu Ali al-Shadr Muhammad bin al-Hasan ibnu Muqlah, yang digelari ‘Si Biji Anak Mata’. Sebenarnya Muqlah adalah nama bapaknya, dengan tradisi Arab memanggil seorang anak dengan ‘anak si fulan’, maka dipanggillah ia dengan Ibnu Muqlah. Namun, kasih sayang sang kakek kepadanya berlebihan, ia selalu dipanggil dengan sebutan “ ya muqlata abiihaa!” (wahai biji mata ayahnya).
Ia seorang jenius, menguasai ilmu dasar geometri membawa berkah dengan sematan “Imam Khatthathin” (Bapak para kaligrafer) baginya. Inilah akar utama penemuan kaligrafi cursif.
Ibnu Muqlah berkerja di bebearapa kantor pemerintahan dengan menyumbangkan keahliannya di berbagai bidang ilmu, termasuk kaligrafi. Dengan kekhasannya itulah karirnya menanjak tajam dengan menjadi salah satu wazir untuk tiga orang khalifah Abbasiyyah, antara lain khalifah Muqtadir, al-Qahir, al-Radi. Berkat keuletan dan hubungan sosial dengan sesama pejabat lain, ia menjadi orang yang terpandang.
Agaknya sudah menjadi tradisi apabila seorang pejabat ternama dan memiliki kredibilitas yang baik, mengalami banyak tekanan dari berbagai oknum yang curang dalam sistem pemerintahan. Begitu juga yang dialami oleh Ibnu Muqlah. Berbagai intrik kecurangan dalam sistem pemerintahan mengakibatkan dia mengalami penindasan yang sangat sadis. Penganiayaan tepatnya.
Ibnu Muqlah pada mulanya bekerja sebagai pemungut pajak pemerintah sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaan membalik ketika ia menjabat sebagai pejabat bawaan al-Imami al-Muqtadi Billah pada 316H. Ia difitnah oleh musuhnya dan hartanya disita, sementara ia dibuang ke Persia. Namun pada akhirnya ia malah menjadi pembantu al-Radi, maka musuhnya kembali mencemarkan nama baiknya hingga ia ditangkap lagi dan dicopot dari jabatan kementrian.
Ia mencoba mendekati Ibnu Raiq, perdana menteri di Baghdad, seorang pejabat dibawah khalifah yang naif itu. Namun, khalifah tidak bisa menutup-nutupi rahasianya bahkan membusukkan namanya di hadapan Ibnu Raiq. Maka ditangkaplah Ibnu Muqlah dan dipotong tangannya.
Akhirnya al-Radi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh para dokter untuk mengobati luka tangannya yang buntung hingga pulih.
Dalam keadaan seperti itu, Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan tangan kanannya. Tradisi menulis dan akademis terus dijalaninya sebagaimana biasa. Namun, Ibnu Raiq sadar akan sikap baiknya, bahwa tindakan welas asihnya itu membuat Ibnu Muqlah dapat menyaingi kekuasaannya kembali, ketika Ibnu Muqlah memohon kepadanya untuk duduk kembali di kementrian.
Kesadisannya kumat lagi, dengan memerintahkan kepada anak buahnya untuk menangkap Ibnu Muqlah, memotong lidahnya, dan memenjarakannya hingga akhir hayat pada tahun 328 H/ 940 M. Ia dikuburkan di rumah sultan.
Mendengar kejadian itu, keluarganya menuntut pada kerajaan agar jenazahnya dikembalikan kepada keluarga, dan permintaan itu dipenuhi.
Segala kepedihan Ibnu Muqlah telah digoreskan dalam tiap-tiap bait syairnya, dengan artinya sebagai berikut:
Dengan pengorbanan yang besar, Ibnu Muqlah berhasil menggoreskan sejarah tertinggi yang besar nan suci yang tak pernah hilang dari peradaban manusia. Khususnya peradaban tulis-menulis kaligrafi di kalangan kaligrafer dunia. Kita pantas mendoakan beliau sebelum mulai belajar kaligrafi.
Keberhasilan Ibnu Muqlah dalam merumuskan desain kursif kaligrafi murni diakui sangat bagus secara teoritis bahkan praktek, pada masa itu hingga sekarang. Hingga, dalam waktu singkat mampu menggeser popularitas khat Kufi yang telah lama mengakar dalam peradaban masa itu (sebelum 328 H/ 940 M).
Tidak itu saja, demi menjaga kesempurnaan dan elektibilitas karya kaligrafi, seorang kaligrafer hendaknya memenuhi 4 husnul wadh’i (susunan yang baik) dan 5 kriteria penulisan yang sempurna sebagai dasar penulisan kaidah kaligrafi.
2. Rumus Ibnu Muqlah Tentang Dasar Kaligrafi Islam
Perpaduan antara kebenaran kaidah imlaiyah, kaidah khattiyah dan temperamen atau etika penggarapan yang terjaga adalah suatu keindahan tersendiri. Hal ini tentu bagi sang penulis kaligrafi akan mendapatkan kepuasan lebih. Oleh karena itu, perlu sekali membuka kembali rumus-rumus Ibnu Muqlah tentang dasar penulisan kaligrafi Islam pada awal-awal pertumbuhan dan perkembangannya.
Ibnu Muqlah telah berhasil menyempurnakan suatu pekerjaan besar dan suci, yang tak seorang kaligrafer sebelum ataupun setelahnya sebanding dengan rintisannya, bahkan dalam hal ini dialah yang dikenal menduduki tempat tertinggi dalam literatur sejarah kaligrafi Islam.
Dapat dipastikan, sejak abad ke-9 M model tulisan cursif (model tulisan miring dan lentur) dipakai secara merata dimana-mana, dengan segala kekurang-elokannya, jika dibandingkan dengan Kufi yang sudah sempurna menurut ukuran waktu itu.
Atas dasar tersebut, Ibnu Muqlah menempatkan dirinya pada tugas pendesainan tulisan cursif yang pada waktu bersamaan mebjadi indah atau menjadi sebuah keseimbangan sempurna. Dengan demikian, secara efektif, tulisan cursif sanggup bersaing dengan tulisan Kufi yang cenderung angular dan kaku.
Menurut Ibnu Muqlah, bentuk tulisan baru dianggap benar jika memiliki lima kriteria sebagai berikut :
a. Tawfiyah (Tepat), yaitu secara huruf harus mendapatkan usapan sesuai dengan bagiannya, dari lengkungan, kekejuran dan bengkokan
b. Itman (Tuntas), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh, dari panjang, pendek, tipis dan tebal.
c. Ikmal (Sempurna), yaitu setiap usapan garis harus sesuai dengan kecantikan bentuk yang wajar, dalam gaya tegak, terlentang, memutar dan melengkung.
d. Isyba’ (Padat), yaitu setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas dari mata pena sehingga terbentuk suatu keserasian. Dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan, satu bagian tampak terlalu tipis atau terlalu tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang menghendaki demikian.
e. Irsal (Lancar), yaitu menggoreskan kalam secara cepat-tepat, tidak tersandung atau tertahan sehingga menyusahkan, atau mogok di tengah-tengah sehingga menimbulkan getaran tangan yang kelanjutannya merusak tulisan yang sedang digoreskan.
Adapun mengenao tata letak yang baik (khusnul wad’i), menurut Ibnu Muqlah menghendaki perbaikan empat hal sebagai berikut :
a. Tarsif (Rapat Teratur), yaitu tepatnya sambungan satu huruf dengan huruf lainnya.
b. Ta’lif (Tersusun), yaitu menghimpun setiap huruf terpisah (tunggal) dengan lainnya dalam bentuk wajar namun indah.
c. Tastir (Selaras, Serasi), yaitu menghubungkan suatu kata dengan lainnya sehingga membentuk garisan yang selaras letaknya bagaikan mistar (penggaris).
d. Tansil (Bagaikan pedang atau lembing), yaitu meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada huruf sambung.
Untuk menunjukkan ukuran bagaimana yang seharusnya dibentuk dalam suatu tulisan, Ibnu Muqlah meletakkan suatu sistem yang luas dan sempurna pada dasar kaidah penulisan kaligrafi. Diciptakannya sebuah titik belah ketupat sebagai unit ukuran. Kemudian mendesain kembali bentuk-bentuk ukuran (geometrikal) tulisan sambil menentukan model dan ukuran menurut besarnya dengan memakai titik belah ketupat, standar alif dan standar lingkaran. Tiga poin inilah, yaitu titik belah ketupat, alif vertikal, dan lingkaran yang dikemukakan oleh Ibnu Muqlah sebagai rumus-rumus dasar pengukuran bagi penulisan setiap huruf.
Untuk sistem ini, titik belah ketupat atau jajaran genjang dibentuk dengan menekan pena bergaris sudut-menyudut diatas kertas atau bahan tulisan lainnya. Dengan demikian, potongan, titik-titik mempunyai sisi sama panjang dan lebarnya, seluas mata pena yang digoreskan.
Standar alif digoreskan dalam bentuk vertikal, dengan ukuran sejumlah khusus titik belah ketupat yang ditemukan mulai dari ujung atas ke ujung lain di bawahnya dan sejumlah titik-titik tersebut pusparagam sesuai dengan bentuknya, dari lima sampai tujuh buah. Standar lingkaran memiliki radius atau jarak sama dengan alif. Kedua standar alif dan standar lingkaran tersebut digunakan juga sebagai dasar bentuk pengukuran atau geometri.
Adalah di luar wilayah studi ini untuk menggambarkan keseluruhan sistem geometrikal dan matematika Ibnu Muqlah selanjutnya: selain untuk dikatakan bahwa keberhasilannya yang menakjubkan dalam peletakan dasar-dasar kaligrafi yang benar dan mendalam sesuai dengan rumus-rumus yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengikuti disiplin yang luar biasa ketatnya dan berhubungan dengan tiga unit standar, yaitu titik belah ketupat atau jajaran genjang, alif dan lingkaran.
Metode penulisan ini disebut al-Khat al-Mansub (Kaligrafi berstandar), dan ini menunjukkan pada pemakaiannya yang segera lemuas. Ibnu Muqlah bereputasi ke arah perintisan jalan pemakaian “enam besar” tulisan cursif yang disebutkan, seindah seperti tulisan lainnya.
Buah tangannya yang dipercaya masih ada sampai sekarang hanyalah yang tersimpan utuh di Museum Irak, Baghdad. Tulisan yang terdiri dari sembilan halaman ini, yang disebut Naskhi dan Tsulus, ditilik dari caya dan gaya penulisannya dianggap benar-benar berasal dari tangan Ibnu Muqlah sendiri. Sumber lainnya menyebutkan bahwa di Andalusia ada sebuah mushaf al-Qur’an yang sangat masyhur, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalil al-Saquny bahwa di salah satu masjid dari sekian banyak masjid Sevilla didapat mushaf juz IV edngan huruf-huruf tulisan yang mirip dengan huruf-huruf Kufi. Dikuatkan oleh Abu al-Hasan ibn Tufail bahwa mushaf itu ditulis dengan menggunakan khat Ibnu Muqlah. Sumber tersebut berasal dari Majalah Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiyah juz awal, halaman 95, tahun 1377 H, dalam suatu ulasan tentang perpustakaan dan kitab-kitab di Spanyol Islam.
Masih dari sumber yang sama, halaman 32 dalam judul al-Makhtutat al-‘Arabiyah fi Afganistan ulasan PSL de Beaurecueil mengenai berkas-berkas tulisan di empat perpustakaan, yaitu al-Mulk, Riasah al-Matbu’at, Wazarah al-Ma’arif al-Afganiyah dan Mathaf Herat, disebutkan bahwa dari sejumlah kitab-kitab langka di perpustakaan yang disebutkan terakhir ada sebuah mushaf yang ditulis oleh tangan Muhammad IbnuMuqlah al-Wazir. Ia mengatakan”... Khat Kufinya,” Ibnu Muqlah meninggal tahun 328 H. Ibnu Khallikan menyebutkan, di sana ada seorang kaligrafer dengan panggilan al-Ahdab al-Muzawwar yang suka menulis (meniru) khat setiap kaligrafer, dan tidak diragukan lagi bahwa salah satu tulisan yang ditiru tersebut adalah khatnya Ibnu Muqlah. Orang itu meninggal tahun 370 H.
Ibnu Muqlah lebih banyak menjuruskan penelitiannya pada tulisan-tulisan cursif. Namun tidak mengherankan, seandainya sebagian mushaf yang beliau tulis itu menggunakan khat Kufi – jika memang penelitian terhadap kedua sumber terakhir tersebut bisa diuji kebenarannya – tidak berarti Ibnu Muqlah hanya menguasai tulisan cursif. Sebab kenyataannya tulisan yang sudah mapan pada waktu sebelum kreasi Ibnu Muqlah itu dikemukakan hanyalah tulisan Kufi. Dapat dipastikan bahwa sebelum itu Ibnu Muqlah menulis dengan khat Kufi, sebagaimana dilakukan oleh para kaligrafer lainnya, dan bahwa hampir seluruh kaligrafer menguasai setiap model tulisan yang berkembang pada masanya.
B. HASYIM MUHAMMAD AL BAGHDADI
Abū Rāqım, Hashim bin Muhammad bin Haji Dirbās al-Qaysī Al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada tahun 1335 H/1917 M di Baghdad. Sejak kecil Hasyim sangat tertarik pada kaligrafi, ia belajar kepada Maula ‘Arif al-Shaykhlī juga kepada Ali Sabir, akan tetapi hanya sebentar saja. Kemudian ia mulai berlatih kaligrafi di bawah pengawasan dan bimbingan Syeikh Maula ‘Alī al-Fadli, yang memberinya ijazah (Sertifikat kaligrafi) pada tahun 1363 H/1943 M.
Pada 1364 H/1944 M, Hasyim pergi ke Mesir, ia tinggal di sebuah institut Kaligrafi di Kairo. Para instruktur dan administrator sangat terkesan dengan karyanya. Yang kemudian menyertakan Hasyim untuk langsung mengikuti ujian akhir di kelas senior, ia memperoleh kehormatan duduk di kelas nomer satu. Hasyim mendapat ijazah kedua dari khattat ternama Sayyid Ibrahim-Mesir (1315/1897 – 1414/1994), dan Muhammad Husni pada tahun 1364/1944. Administrator Lembaga memintanya untuk tinggal di Mesir dan mengajar, tapi ia kembali ke Baghdad dan membuka toko kaligrafi di 1365/1946. Hasyim kemudian pergi ke İstanbul, di mana ia berkenalan dengan kaligrafi Turki, terutama Hamid Aytac, yang memberinya dua sertifikat penghargaan sebagai pengganti ijazah, satu di 1370/1950 dan satu lagi di 1372/1952. Selama empat tahun, sejak 1375/1955, ia belajar dengan Mācid Ayral yang datang dari Baghdad ke İstanbul dan banyak sekali manfaat yang ia dapatkan ketika bersama Macid Ayral.
Hasyim menjabat sebagai kaligrafer di Departemen kementrian di Baghdad dari 1380/1960 sampai dia dipindahkan kepada Departemen Pendidikan, di mana ia diangkat menjadi kepala Departemen Dekorasi dan Kaligrafi.
Kaligrafi Turki sangat mempengaruhi diri Hasyim. Ia sangat mengagumi karya Hafiz Osman, muhammad sevki, Haci ahmed kamil akdik, dan hamid aytac. Kekagumannya kepada Musthafa Raqim juga begitu besar, sampai ia beri nama anaknya dengan Mushafa Raqim dan menyebut dirinya Abu Raqim. Semasa di Istanbul, Hasyim kerap kali mengunjungi Necmeddin Okyay, yang memiliki koleksi berbagai macam karya kaligrafi.
Dengan tujuan mempopulerkan seni kaligrafi, Hashim membuat koleksi potongan kaligrafi di riq’ah dan lain yang lainnya dalam berbagai skrip. Selain itu, Hasyim juga menjadi pengawas dalam penerbitan Mušhaf al-Awqāf, yang diterbitkan pertama kali oleh Departemen kementrian. Ini adalah mushaf kaligrafi yang sangat indah di tahun 1236/1821 yang ditulis oleh kaligrafer Turki Muhammad Amin Ar-Rusdi (abad ke 13/19). Mushaf ini diberikan oleh Pertevniyal, ibu dari Sultan Abdulaziz, ke Masjid Imam Besar Al-Nu’man Bin Tsabit, yang dikenal sebagai Abu Hanifah.
Hashim menghiasi lagi awal mushaf tersebut. menomori ayat, bemberi judul Al Quran, menata jumlah hizb, juz, dan ayat-ayat as sajadah. Dengan cara yang sesuai selera Arab. Kaligrafi Hasyim banyak terpajang di masjid-masjid dan bangunan lainnya di Baghdad dan kota-kota lainnya, yang terbuat dari fayans atau marmer, terutama di khot Jali Thuluth. Dan di atara karya-karyanya Yang paling langka adalah dalam naskah Kufi, seperti dalam Masjid ‘Al-Qadir Abd al-Jilani dan Masjid Hajj Mahmud.
Hashim al-Baghdadi meninggal pada 27 Rabī’I 1393/30 April 1973 di Baghdad dan dimakamkan di Pemakaman Khayzuran.
C. YUSUF DZANNUN
Beliau terhitung sebagai salah seorang kaligrafer dan tokoh seniman besar yang dimiliki oleh dunia Islam saat ini. Beliau juga merupakan seorang peneliti dan penulis dalam bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan dalam bidang kaligrafi khususnya dan dalam bidang seni umumnya. Dr. Abdullah bajuri, seorang pakar filologi Arab terkemuka mengatakan “Yusuf Dzannun adalah seorang pakar dalam filologi dan dunia kaligrafi yang dimiliki oleh dunia arab”. Bahkan beliau mengatakan bahwa Yusuf Dzannun adalah satu-satunya pakar di bidang tersebut dan sangat sedikit pakar yang setara dengannya. Lebih dari itu Yusuf Dzannun adalah tokoh yang masih tersisa dalam bidang kaligrafi, tulisan arab, dan peninggalan-peninggalan sejarah arab yang nyaris tiada tandingannya.
Yusuf Dzannun lahir di Mausil pada tahun 1932 menurut catatan sipil, tetapi sebenarnya beliau lahir setahun sebelumnya. Sejak kecil, beliau memiliki kecenderungan dalam bidang bidang pertukangan, seperti tenun, kerajinan kayu, dan arsitektur sebelum akhirnya terjun dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebuah dunia yang saat itu tidak banyak di lirik oleh masyarakat Mausil. Beliau lulus dari Akademi Pendidikan spesialisasi bidang pendidikan seni yang kelak mengantarkan beliau dari seorang guru menjadi penasehat seni kaligrafi, kemudian penasehat umum di kantor pendidikan di Ninawa. Di sela-sela kesibukan tersebut kehidupan beliau di penuhi dengan kreasi baru dalam dunia kaligrafi yang mengantarkannya menjadi seorang kaligrafer besar, peneliti ulung, pakar dalam dunia arsitek dan seni islam dalam kurun waktu tiga puluh tahun. Setelah itu, semenjak tahun 1981 beliau memfokuskan semua waktu yang ada untuk Seni Islam secara umum dan Kaligrafi Arab secara khusus.
Jika kita telusuri riwayat hidup beliau dalam belajar kaligrafi beliau tidak belajar dari seorang guru sebagaimana lazimnya para kaligrafer, tetapi beliau memulainya dengan belajar secara otodidak dari buku Muhammad Izzat, seorang kaligrafer Usmani terkenal yang wafat tahun 1886. Buku Muhammad izat adalah buku langka yang memuat contoh-contoh kaligrafi Turki Usmani yang diakui keindahan dan kekuatan kaidahnya.
Pada tahun 1957 Yusuf Dzannun pergi ke Turki pertama kalinya untuk mengunjungi tempat-tempat eksotis yang penuh dengan keindahan seni-seni Islam. Tahun ini merupakan tahun dimana pandangan beliau terhadap seni islam secara umum berubah. Terlebih dalam bidang kaligrafi. Karena kunjungan tersebut, akhirnya beliau menjadikan Turki sebagai kiblat seni yang tidak bosan untuk selalu beliau kunjungi. Selain mengunjungi museum-museum, masjid-masjid, kuburan-kuburan serta tempat bersejarah lainnya, dalam setiap kunjungannya selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan Kaligrafer Usmani terakhir, Khattath Hamid al-Amidi, serta berkunjung ke kantor IRICICA di Istanbul untuk bekerjasama dengannya. IRCICA adalah lembaga yang memelihara dan menjaga seni kaligrafi, yang dengannya kaligrafi mengalami perkembangan pesat dalam kurun terahir ini. Usaha nyata IRCICA di antaranya adalah pengadaan perlombaan kaligrafi internasional setiap 3 tahun sekali, serta seminar-seminar tentang kaligrafi.
Yusuf Dzannun mendapatkan Ijazah khat dari Hamid al-Amidi pada tahun 1966, kemudian mendapatkan Taqdir (penghargaan) dari Kaligrafer yang sama pada tahun 1969. Penghargaan ini terbilang sangat langka dalam dunia kaligrafi dan dianggap lebih tinggi nilainya daripada ijazah oleh para kaligrafer, mengingat hanya dua orang kaligrafer yang mendapatkannya, yaitu Hashim Muhammad al-Baghdadi (meninggal 1973) dan Yusuf Dzannun.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Al-Wazir Abu Ali al-Shadr Muhammad bin al-Hasan ibnu Muqlah, yang digelari ‘Si Biji Anak Mata’. Sebenarnya Muqlah adalah nama bapaknya, dengan tradisi Arab memanggil seorang anak dengan ‘anak si fulan’, maka dipanggillah ia dengan Ibnu Muqlah. Namun, kasih sayang sang kakek kepadanya berlebihan, ia selalu dipanggil dengan sebutan “ ya muqlata abiihaa!” (wahai biji mata ayahnya). Ia seorang jenius, menguasai ilmu dasar geometri membawa berkah dengan sematan “Imam Khatthathin” (Bapak para kaligrafer) baginya. Inilah akar utama penemuan kaligrafi cursif. Keberhasilan Ibnu Muqlah dalam merumuskan desain kursif kaligrafi murni diakui sangat bagus secara teoritis bahkan praktek, pada masa itu hingga sekarang. Hingga, dalam waktu singkat mampu menggeser popularitas khat Kufi yang telah lama mengakar dalam peradaban masa itu (sebelum 328 H/ 940 M).
Menurut Ibnu Muqlah, bentuk tulisan baru dianggap benar jika memiliki lima kriteria sebagai berikut : Tawfiyah (Tepat), Itman (Tuntas), Ikmal (Sempurna), Isyba’ (Padat), dan Irsal (Lancar). Adapun mengenao tata letak yang baik (khusnul wad’i), menurut Ibnu Muqlah menghendaki perbaikan empat hal sebagai berikut :Tarsif (Rapat Teratur), Ta’lif (Tersusun), Tastir (Selaras, Serasi), dan Tansil (Bagaikan pedang atau lembing.
Abū Rāqım, Hashim bin Muhammad bin Haji Dirbās al-Qaysī Al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada tahun 1335 H/1917 M di Baghdad. Sejak kecil Hasyim sangat tertarik pada kaligrafi, ia belajar kepada Maula ‘Arif al-Shaykhlī juga kepada Ali Sabir, akan tetapi hanya sebentar saja. Kemudian ia mulai berlatih kaligrafi di bawah pengawasan dan bimbingan Syeikh Maula ‘Alī al-Fadli, yang memberinya ijazah (Sertifikat kaligrafi) pada tahun 1363 H/1943 M. Hasyim menjabat sebagai kaligrafer di Departemen kementrian di Baghdad dari 1380/1960 sampai dia dipindahkan kepada Departemen Pendidikan, di mana ia diangkat menjadi kepala Departemen Dekorasi dan Kaligrafi.
Yusuf Dzannun lahir di Mausil pada tahun 1932 menurut catatan sipil, tetapi sebenarnya beliau lahir setahun sebelumnya. Sejak kecil, beliau memiliki kecenderungan dalam bidang bidang pertukangan, seperti tenun, kerajinan kayu, dan arsitektur sebelum akhirnya terjun dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebuah dunia yang saat itu tidak banyak di lirik oleh masyarakat Mausil. Beliau lulus dari Akademi Pendidikan spesialisasi bidang pendidikan seni yang kelak mengantarkan beliau dari seorang guru menjadi penasehat seni kaligrafi, kemudian penasehat umum di kantor pendidikan di Ninawa. Di sela-sela kesibukan tersebut kehidupan beliau di penuhi dengan kreasi baru dalam dunia kaligrafi yang mengantarkannya menjadi seorang kaligrafer besar, peneliti ulung, pakar dalam dunia arsitek dan seni islam dalam kurun waktu tiga puluh tahun. Setelah itu, semenjak tahun 1981 beliau memfokuskan semua waktu yang ada untuk Seni Islam secara umum dan Kaligrafi Arab secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. “Kaligrafi”, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
http://asubja.wordpress.com/category/tokoh-seni-khat/
http://diwanikraf.com/category/tokoh-seni-khat/
http://hasrulkhat.webnode.com/tokoh2-khat/
http://pesantrensenikaligrafi.com/khatthath-yusuf-dzannun-mausil-irak/
http://pesantrensenikaligrafi.com/sejarah-singkat-hasyim-muhammad-al-baghdadi/
http://www.islamkaligrafi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=86:rumus-ibnu-muqlah-tentang-dasar-kaligrafi-islam&catid=18:serba-serbi&Itemid=11
Muhamad, Hashim, Al Khattat. 1961. Rules For Arabic Penmanship. Baghdad: The Institute Of Fine Arts
Shiddiq, Noor Aufa, 1409 H. Kaligrafi Arab, Surabaya: Penerbit Bintang Terang
Sirajuddin AR, 1985. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas
0 comments:
Posting Komentar